Tuesday, September 18, 2012

Telanjang


SEORANG kawan pernah meminta penjelasan ke saya tentang ajaran Kejawen yang “saya anut”. Saya bingung dengan permintaan tersebut, pasalnya saya tidak merasa seorang Jawa sejati dan tidak menganut nilai-nilai Kejawen. Belakangan, ia memberitahu mengapa ia menilai saya menganut ajaran Kejawen adalah lantaran status-status Facebook saya seringkali membuatnya beranggapan demikian, yaitu status-status yang mengungkapkan nilai-nilai luhur, yang secara budaya ia ketahui hanya diamalkan oleh orang Jawa.

Menurut saya, nilai seharusnya telanjang, tidak diberi baju atau atribut yang bukan sejatinya sang nilai. Lantaran diberi baju, makanya tidak mengherankan jika orang yang tidak memahami, seperti kawan saya di atas, mencap saya seorang penganut Kejawen, gara-gara nilai-nilai luhur yang saya sampaikan dipandangnya, menurut mata budayanya, sebagai ajaran kebatinan Jawa.

Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran moral bersifat universal, menyentuh segala lapisan, tidak pandang warna kulit, budaya, agama maupun kepercayaan. Saya pernah mengungkapkan ke sejumlah teman bahwa saya gemar melakukan semadi. Karuan saja, mereka menganggap saya beragama Buddha. Ketika saya konfirmasi hal itu ke mereka, mereka mengatakan bahwa hanya Buddhis yang melakoni semadi sebagai ritual pemujaannya.

Secara historis, semadi atau meditasi juga terdapat dalam berbagai praktik keberagamaan, bukan cuma Buddhisme dan Hinduisme. Praktik meditasi, dengan berbagai istilah dan cara yang dikenal oleh masing-masingnya, dilakukan pula oleh umat Yahudi, Kristen, Islam, dan lain sebagainya. Apa pun namanya, secara akademis, semua laku kontemplatif yang bertujuan mendekatkan diri dengan Tuhan itu disebut “meditasi”.

Perbedaan baju (baca: atribut keagamaan)-lah yang menyingkirkan universalitas meditasi dan mendegradasi manfaatnya. Bayangkan saja, semata karena dipandang sebagai “ajaran Buddha”, seorang yang beragama non-Buddhis menolak melakukan meditasi yang ditawarkan sebagai metode penyembuhan alternatif atas penyakit yang dideritanya. Dunia kedokteran Barat sudah mengakui meditasi sebagai metode penyembuhan yang kuat dan tegas dalil medisnya, tetapi lantaran keterbatasan pengetahuan mengenainya, apalagi meditasi sudah tidak telanjang lagi, banyak orang yang fanatik dalam beragama menepis metode tersebut. Sungguh mengenaskan!

Dalam kasus tubuh manusia, ketelanjangan memang dianggap tabu di sejumlah budaya. Tetapi dalam hal nilai, ketelanjangan malah menurunkan derajatnya—dari bermanfaat menjadi sia-sia, karena menjadi obyek pertentangan yang tiada habisnya.©


Mampang Prapatan XV, Jakarta Selatan, 18 September 2012

No comments: