Saturday, June 25, 2022

Puji Tuhan


PADA 24 Juni 2022 lalu, bertempat di restoran Teras Nusantara, Tiga Dari Plataran, yang merupakan salah satu venue acara di Hutan Kota by Plataran, di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, saya mewawancarai para Old Boys. Old Boys adalah sebutan bagi para pionir yang menjalankan roda perusahaan pembuat kaca arsitektur dan kaca otomotif terbesar di Indonesia, yaitu PT Asahimas Flat Glass Tbk.

Saat mewawancarai orang-orang yang sudah sepuh ini, saya menempatkan diri sebagai anak muda polos yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lugu kepada ayah, kakek dan kakek buyutnya apa yang telah mereka lakukan “dalam perang”.

Sebagian sudah lupa, karena ingatan mereka termakan usia (paling tua umurnya 86 tahun), tapi semua merasa bangga telah menjadi bagian dari suatu entitas raksasa yang mereka bangun dari nol dalam semangat kebersamaan. Bukan lantaran jabatan puncak yang pernah atau masih mereka pegang (satu orang masih aktif sebagai Wakil Presiden Direktur, satu Komisaris, dan satu orang saat ini menjadi Ketua Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman Indonesia/AKLPI), melainkan karena pernah mengalami bahwa di posisi puncak mereka justru merasa diri mereka sangat kecil. Mereka tidak malu berucap “puji Tuhan” berkali-kali, karena mereka menyadari bahwa semua pencapaian mereka merupakan berkat dariNya.



Saya pernah berjumpa dengan sebagian besar dari mereka sepuluh tahun yang lalu, untuk proyek pembuatan buku kenangan dalam rangka ulang tahun ke-40 PT Asahimas Flat Glass Tbk., tahun 2013. Karena rekaman wawancara dan transkripsi dari saat itu masih saya simpan—mengenai perjalanan sejarah perusahaan manufaktur kaca arsitektur dan otomotif terbesar di Indonesia itu sejak awal, dalam wawancara pada 24 Juni 2022 itu saya hanya menanyakan kesan-kesan para pionir selama bekerja di Asahimas dan harapan mereka terhadap almamater profesional mereka ke depannya.

Cara mereka berbagi cerita, yang satu menimpali yang lain dengan canda dan kadang sambil menerawang dengan mata berkaca-kaca, mengingatkan saya pada video para veteran Kompi Easy ketika diwawancarai, yang menjadi pengantar dalam setiap episode dari miniseri HBO Band of Brothers. Setiap orang bercerita bahwa rekan yang duduk di sebelahnya atau di seberangnyalah yang berperan penting dalam peningkatan karir mereka selama bekerja di perusahaan patungan PT Rodamas (Indonesia) dan Asahi Glass Co., Ltd. (kini bernama AGC Inc., berkantor pusat di Tokyo, Jepang) itu. Yang satu belajar dari yang lainnya, rekannya yang senior atau yunior; tidak ada yang merasa bahwa kemajuan dirinya adalah berkat usahanya sendiri.



Saya rasakan, sepertinya Tuhan sedang mengajari saya melalui pekerjaan saya saat ini bahwa pencapaian saya bukan karena saya hebat, tapi karena Dia menghendakinya. Maka, seperti mereka, saya pun berucap dalam hati “puji Tuhan” berkali-kali dalam kesempatan asik nan seru kemarin itu.©2022

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 Juni 2022

Tuesday, June 21, 2022

Bapak Kejiwaan


SEBAGIAN anggota Subud dan warga non Subud (biasanya media pers) menganggap atau menyebut RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo sebagai “guru spiritual”. Saya pribadi lebih suka menganggap beliau “bapak kejiwaan” saya. Istilah “guru spiritual” terasa janggal, karena di Subud tidak ada ajaran maupun pelajaran, sehingga tidak diperlukan guru. Setiap orang menjadi guru bagi dirinya sendiri-sendiri.

Dilahirkan di Kedungjati, Karesidenan Semarang (dewasa ini, Kecamatan Kedungjati termasuk wilayah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah), pada 22 Juni 1901, Pak Subuh berasal dari keluarga petani kecil, berayahkan Chasidi Kartodihardjo dan beribukan Raden Nganten Kursinah. Ibunda dari Pak Subuh merupakan keturunan dari Raden Syahid (Said) atau Sunan Kalijaga.

Pak Subuh awalnya diberi nama “Soekarno”, namun karena bertubuh lemah dan nyaris menemui ajalnya, sebagaimana lazimnya tradisi Jawa nama beliau diganti menjadi “Muhammad Subhi”, lantaran beliau dilahirkan pada waktu subuh. Sejak nama beliau diganti, Pak Subuh kecil pun tumbuh sehat. Karena orang Jawa pada umumnya kesulitan mengucapkan “Subhi” nama beliau pun lantas menjadi “Subuh”.

Pada usia masih belia, Pak Subuh telah memperlihatkan kemampuan mendapatkan informasi, energi atau kekuatan di dalam kesadaran kosmik, serta kemampuan untuk memanfaatkan informasi, energi atau kekuatan yang telah diperoleh secara gaib itu.

Di usia 16 tahun, karena merasa seakan mau mati, Pak Subuh meninggalkan bangku Hoogere Burgerschool (HBS) untuk mengembara mencari keterangan mengenai alam rohani dan ilmu hakikat. Beliau pun belajar kepada sejumlah guru agama dan spiritual. Salah satunya, yang terkemuka, adalah Kyai Abdurrachman, seorang ulama tasawuf dari Tarekat Naqshbandiyah.

Bagaimanapun, guru-guru itu menolak mengajari Pak Subuh. Ketika beliau mendesak mereka, para guru itu menjawab bahwa beliau akan menerima sendiri jawaban atas pertanyaan-pertanyaan beliau. Bukan dari manusia, melainkan dari Tuhan langsung. Hal ini tidak memuaskan Pak Subuh, dan di ambang keputusasaannya beliau mulai berfokus ke kehidupan duniawinya.

Menikah dengan putri seorang ulama dari Pamotan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, bernama Rumindah, pada tahun 1922, Pak Subuh menjalani hidup sebagai orang biasa, yang memperoleh nafkah dengan bekerja sebagai Asisten Kepala Perbendaharaan Gemeente (Kotapraja) Semarang. Dari perkawinannya dengan Ibu Rumindah, Pak Subuh dikaruniai tiga putra dan dua putri.

Pada suatu malam, di musim kemarau tahun 1925, di tengah malam yang tidak disinari bulan, Pak Subuh berjalan-jalan untuk rileks, lantaran lelah belajar tata buku di rumah beliau di Bergota Kalisari, Semarang. Di depan lahan proyek pembangunan rumah sakit Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ; kelak menjadi RSUP dr. Kariadi, Semarang), sebuah bola bercahaya seperti matahari turun dari angkasa dan menembus ubun-ubun beliau. Cahaya terang itu juga jatuh ke atas atap rumah tinggal Pak Subuh di Semarang, yang disaksikan oleh lebih kurang 100 orang.

Sejak malam itu, selama 1.000 hari dan 1.000 malam, Pak Subuh terus-menerus terjaga untuk “dilatih” dan dibimbing kekuasaan Tuhan. Selama itu, Pak Subuh dapat mengerti dan menyadari gerakan-gerakan beliau yang digerakkan oleh hati dan akal pikir dan penerimaan gerakan dengan kontak dalam Latihan Kejiwaan yang terbimbing oleh kekuasaan Tuhan. Beliau menjalaninya dengan perasaan sabar, tawakal dan ikhlas. Itulah pertama kalinya Latihan Kejiwaan turun ke umat manusia, dan kini dilakukan oleh semua anggota Subud di seluruh dunia.

Hari ini, 22 Juni 2022, adalah hari lahir Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo yang ke-121. Saya, yang masuk Subud bertahun-tahun setelah Pak Subuh wafat pada 23 Juni 1987, hanya dapat berterima kasih kepada Tuhan yang telah menurunkan Latihan Kejiwaan kepada beliau, yang selanjutnya beliau wariskan kepada siapa saja yang berminat.©2022


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 22 Juni 2022

Monday, June 20, 2022

Gathering Kejiwaan dalam Rangka Harlah Bapak Tahun 2022


DI Wisma Subud Cilandak, kemarin, 19 Juni 2022, mulai dari pagi hingga siang, digelar Gathering Kejiwaan dalam rangka Hari Lahir ke-121 tahun Bapak. Banyak anggota yang hadir, termasuk mereka yang pada jadwal-jadwal Latihan reguler tidak pernah kelihatan. Ditambah dengan belasan anggota dan pembantu pelatih dari dua kota di Jawa Tengah—Pati dan Semarang.

Saya sendiri hadir—saya amat menyukai gathering kejiwaan, karena mendengarkan cerita pengalaman para anggota lainnya dengan Latihan Kejiwaan memberi saya wawasan baru dan inspirasi. Karena banyaknya jumlah peserta, maka gathering-nya dibagi dalam kelompok-kelompok. Untuk kaum prianya ada tiga kelompok (pada Sesi II, dikerucutkan menjadi dua kelompok saja, dengan satu kelompok mayoritas terdiri dari anggota Pemuda Subud).

Pada sesi I, para peserta dalam kelompok dimana saya menjadi bagiannya diminta bercerita tentang pengalaman mereka menemukan Subud dan apa manfaat yang telah mereka peroleh dari Latihan. Sayalah yang mengajukan diri sebagai yang pertama untuk bercerita.


Bagi saya, Latihan banyak sekali manfaatnya, bahkan SEMUA aspek kehidupan saya terisi Latihan. Selain menceritakan kisah yang menyenangkan, saya juga bercerita pengalaman yang tidak menyenangkan, yang, bagaimanapun, selalu berakhir menyenangkan karena saya kemudian menyadari bahwa bimbingan Tuhan selalu menyertai saya.

“Enak atau tidak enak itu adalah produk akal pikir kita. Sebagai orang Subud, kita hanya harus berserah diri kepada Tuhan dengan sabar, tawakal dan ikhlas. Tuhan tahu apa yang terbaik bagi kita, tapi akal pikir selalu menentang pekerjaan Tuhan,” kata salah satu pembantu pelatih yang melayani saya ketika saya baru dibuka dulu.

Pada Sesi II, setelah dijelaskan oleh satu pembantu pelatih senior mengenai Zat, Sifat, Asma’, Af’al, para peserta Gathering dimintai saran bagaimana kita dapat memajukan Subud sebagai sebuah perkumpulan; bagaimana kerukunan bisa dilanggengkan serta bagaimana seharusnya hubungan antar anggota agar tetap rukun. Saya ingin mengutarakan pendapat dan saran saya, tapi saya mempersilakan para anggota baru dulu. Tetapi setelah beberapa anggota baru menyampaikan saran-saran mereka, waktu untuk Sesi II keburu habis, sehingga saya mengutarakan saran saya via WhatsApp kepada satu pembantu pelatih (yang dalam gathering di kelompok saya bertugas sebagai pemandu) dan beliau akan meneruskannya kepada Dewan Pembantu Pelatih Cabang Jakarta Selatan.




Para anggota baru, pada dasarnya, menginginkan pendampingan pembantu pelatih yang lebih intens serta diadakan gathering dan testing yang lebih sering, misalnya sebulan atau tiga bulan sekali. Saya ingin—tapi waktunya keburu habis—mengutarakan pendapat bahwa kerukunan sulit dibangun karena setiap orang berproses. Menurut saya, kita tidak bisa (dipaksa) untuk harmonis dengan semua orang; hal itu tergantung pada bimbingan Tuhan. Selama sekian lama di Subud, saya dekat dengan sejumlah anggota, tapi kedekatan itu berubah seiring waktu, dimana saya kemudian akrab dengan anggota-anggota lainnya. Meskipun hubungan saya renggang dengan anggota lainnya, saya tetap merasakan kasih sayang terhadap mereka, yang saya yakini berkat bimbinganNya.

Dalam pesan WhatsApp saya kepada satu pembantu pelatih itu, saya juga memberi saran agar para pembantu pelatih Cabang Jakarta Selatan khususnya mengajak anggota, terutama anggota baru, berkunjung ke cabang-cabang terdekat, misalnya di cabang-cabang lainnya dari provinsi DKI Jakarta, atau ke Bogor, Sukabumi dan Bandung di Jawa Barat. Dengan demikian, akan sirna perasaan anggota-anggota di Jakarta Selatan maupun berbagai daerah di Indonesia bahwa Subud seolah tersentralisasi di Cilandak. Para anggota dan pembantu pelatih dari Cabang Jakarta Selatan juga dapat belajar tentang sifat dan keadaan dari cabang-cabang lainnya, sehingga ke depannya dapat terjalin kerjasama yang lebih baik di antara para pembantu pelatih di satu cabang dengan cabang lainnya. Dan kerukunan dapat meluas, tidak hanya di satu cabang tapi juga antar cabang.

Secara umum, gathering 19 Juni itu terasa menyenangkan dan menginspirasi. Semua anggota merasakan kebersamaan yang kami harap tidak akan pernah berakhir.
©2022


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 20 Juni 2022

Tuesday, June 7, 2022

Menomorsatukan Tuhan

“Jadi, terang bahwa petunjuk dari Tuhan akan dapat diterima oleh umat manusia, apabila umat manusia benar-benar telah menyerahkan segala apa yang terasa dalam rasa pikirannya dan benar-benar bertawakal dan patuh atas perintah Tuhan kepadanya. Karena pemberian Tuhan dari kehendak Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dicampuri, juga tidak dapat dipersamakan dengan bagaimana kehendak dan kelanjutan akal pikiran dari manusia.” 

~Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo (cuplikan ceramah kepada anggota wanita di Coombe Springs, Inggris, 19 Agustus 1057)


HARI Sabtu malam Minggu, 4 Juni 2022, di teras rumah seorang pembantu pelatih Subud Cabang Jakarta Selatan, saya bersama tiga saudara Subud lainnya, termasuk tuan rumah, mengobrol tentang aspek-aspek dari Latihan Kejiwaan Subud. Yang membuat obrolannya seru adalah ketika kami masuk ke topik mengenai perbedaan berserah diri menurut ajaran agama dan berserah diri ala Subud.

Menurut pengalaman kami masing-masing, agama mengajarkan “berusaha dulu sekeras mungkin, kemudian berserah diri kepada Tuhan”, sedangkan orang-orang Subud berserah diri dulu, yang akan membuat mereka menerima bimbingan Tuhan kepada rasa diri mereka ketika berikhtiar.

Bagi orang Subud, ikhtiar dan berserah diri berjalan bersamaan, berjumbuh bagaikan minyak dan air dalam satu wadah yang sama. Orang Subud menomorsatukan Tuhan, membiarkan Dia bekerja ketika ia belum, saat dan sesudah melakukan suatu kegiatan. Tuhan dulu dan Tuhan kemudian!

Ajaran agama terkait berserah diri membuat seolah Tuhan dinomorduakan. Saya mendapat informasi bahwa ajaran ini bukan asli dari para nabi pembawa agama, melainkan di satu titik dalam lini perkembangan suatu agama telah terjadi distorsi atau sengaja diputarbalikkan; barangkali karena para ulama saat itu telah menyaksikan dahsyatnya kekuatan yang dihasilkan dari sikap berserah diri dengan sabar, tawakal dan ikhlas, yang mungkin tidak bakal sanggup diterima orang awam.

Dalam tradisi agama-agama, Tuhan hanya dilibatkan ketika manusia sudah mengerahkan segenap tenaga, nafsu dan akal pikirannya dalam berusaha. Kalau Tuhan bisa ngomong seperti halnya manusia, mungkin Dia akan bilang, “Lah, lu yang melakukan, kok gue yang disuruh menanggung akibatnya?!”

Keesokan harinya, 5 Juni 2022, saat diskusi dengan satu teman seangkatan di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, di grup WhatsApp “Sahabat Sejarah 87 FSUI”, dia berprinsip bahwa hak manusia hanya berusaha, setelah itu diserahkan kepada Tuhan mengenai penentuan hasilnya. Kalimat “setelah itu” saja sudah membuktikan bahwa kalangan umat beragama menomorduakan Tuhan. Bagaimanapun, saya hentikan diskusi itu dengan alasan saling menghormati dan saling menghargai dalam berpendapat, karena kepala saya menjadi sangat sakit membaca lontaran-lontaran pendapat dari lawan diskusi saya.

Dengan menomorsatukan Tuhan, mendahulukan berserah diri kepadaNya alih-alih berusaha dahulu, hal itu mempertegas makna dari tawakal yang terdapat pada kredo sikap hidup orang Subud—sabar, tawakal dan ikhlas, yaitu mewakilkan atau menyerahkan diri dan peserta-pesertanya (hati, nafsu dan akal pikir) kepada Tuhan. Berserah diri adalah sikap orang Subud yang (diharapkan) mengisi semua ekspresi pikiran dan perasaannya, perkataan dan perbuatannya.

Dengan berserah diri secara sabar, tawakal dan ikhlas kepada kehendakNya, niscaya orang Subud mendapatkan bimbingan kekuasaan Tuhan untuk melakukan segala usahanya demi mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Memang tidak mudah—menurut akal pikir kita yang kepalang sudah “terkontaminasi” ajaran buatan manusia—karena bimbingan Tuhan tidak selalu sejalan dengan bayangan kita. 

Kebanyakan orang maunya yang enak-enak saja; ia terpengaruh ajaran agama pada umumnya bahwa Tuhan tidak akan mempersulit hambaNya. Jika bimbinganNya dirasa tidak enak, atau tidak sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang dianutnya, kebanyakan orang lantas beranggapan bahwa bimbingan itu bukan berasal dari Tuhan. Untuk itulah, dalam ceramah terakhir Bapak Muhammad Subuh, pada 26 Mei 1987 (kode rekaman: 87 CDK 05), beliau menambahkan kata “berani” dalam sekuens sabar, tawakal, dan ikhlas yang merupakan sikap hidup orang Subud.

Tanpa sikap berani menerima dan mengikuti bimbinganNya, kebanyakan anggota Subud “terpental” dari kemurnian Latihan Kejiwaannya, yang mensyaratkan berserah diri dengan sabar, tawakal dan ikhlas, menomorsatukan Tuhan.©2022

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 8 Juni 2022

Thursday, June 2, 2022

Wilayah Pribadi

SATU saudara Subud saya dari Surabaya baru-baru ini memosting di sebuah grup WhatsApp Subud, video berdurasi satu menit 18 detik yang menampilkan seorang berkulit hitam berceramah di hadapan sekian banyak orang. Ia berbicara tentang rusaknya kehidupan bermasyarakat karena dikotak-kotakkan oleh agama-agama. Ia mengajak audiens untuk meniadakan pengotakan itu dan hidup dalam harmoni.

Saudara Subud itu pun bertanya ke saya, “Lalu, ritual (syariat)-nya kayak apa, ya?”

Saya menjawab, “Ritualnya masing-masinglah. Ritual kan wilayah pribadi. Bahkan dalam agama Islam saja, gerak dan ucapan dalam salat tiap orang beda-beda. Beda-beda pula isi pikiran tiap muslim saat berritual.”

Jawaban yang saya ucapkan itu seolah datang dari ketiadaan – saya tidak memikirkannya, melainkan keluar begitu saja gagasan tersebut. Untuk saya sendiri, saya selanjutnya menerima pengertian dari dalam bahwa toleransi atau kerukunan (khususnya dalam hubungan antar umat beragama) hanya dapat tercapai apabila ada atmosfer saling menghormati (mutual respect) dan saling memahami (mutual understanding) wilayah pribadi tiap orang.

Saya teringat pada penjelasan dari satu saudara Subud di Jakarta Selatan, yang bekerja sebagai dosen, mengajar Akidah Akhlak di Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta. Sebagai ahli bahasa Arab dan mumpuni dalam kajian Qurani, beliau menjelaskan bahwa makna lakum dinukum waliyadin sejatinya bukan semata “bagimu agamamu, bagiku agamaku”, tapi juga bisa berarti “bagimu caramu, bagiku caraku”, sehingga ayat 6 dari Qur’an Surah Al-Kafirun itu juga berlaku dalam interaksi antar individu dalam kolektivitas umat (agama) Islam.

Saya menyaksikan bagaimana arti luas dari ayat ini hidup dan dijunjung di Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK) Subud. Mengapa di Subud tidak ada ajaran dan pelajaran yang diberi manusia kepada manusia lainnya adalah karena sifat kemanusiaan kita tidak seragam; kita masing-masing secara alami memang berbeda, dalam pikiran dan perasaan, perkataan dan perbuatan kita. Perselisihan atau pertengkaran yang timbul di lingkungan PPK Subud biasanya disulut oleh pemaksaan kehendak oleh individu yang merasa paling benar, yang menyenggol wilayah pribadi dari individu lainnya.

Diri kita adalah wilayah pribadi kita, yang hanya dipahami oleh kita sendiri dan pencipta kita. Kita tidak mau, bahkan menentang keras intervensi apa pun dari luar terhadap wilayah pribadi kita. “Caraku bukan caramu, jangan kau ganggu caraku dengan memaksakan caramu,” kira-kira begitulah ekspresi orang yang mempraktikkan hakikat dari lakum dinukum waliyadin.

Dengan menghormati dan memahami batas-batas wilayah pribadi tiap individu, maka terbukalah jalan menuju toleransi yang hakiki dalam hubungan antar umat beragama. Kita bisa hidup rukun dalam semua aspek, selama tidak saling mengganggu wilayah pribadi masing-masing.©2022


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 3 Juni 2022