Friday, April 23, 2021

Powerful HR Training

I just realized last night (Jakarta time on Thursday, 22 April 2021), after breaking the fast with members and the local committee and helpers in Wisma Subud Cilandak, that the greatest and most powerful human resources (HR) training is found in Subud. We are trained under the guidance of the Almighty in managing the connectivity between people as well as with ourselves.

I started to notice it when I was asked by a helper to coordinate the members who come to Latihans at Wisma Subud Cilandak during the pandemic, so that they would strictly adhere to all the health protocols that are in place and the prohibition on gathering after the Latihan—something that members seemed to really want, because the aura of Wisma Subud Cilandak does indeed make people feel at home for a long time. Everyone has different attitudes and behaviors, and it is my job to make ALL of them happy and welcome the rules imposed by the committee.

I made no effort to do the task, instead I was moved by an unseen force that made me dare to face people of all traits, without facing any resistance from them. Their attitude is like “OK, if that's what you want. We fully support you.”©2021


Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 23 April 2021


Catatan: Teks aslinya memang saya tulis dalam bahasa Inggris untuk saya posting tadinya hanya di grup Facebook “SUBUD AROUND THE WORLD” dan grup WhatsApp “SIHA-Ramadhan-21 For All!”.

Tuesday, April 20, 2021

Cinta yang Dari Jiwa

PUASA hari kesembilan tahun 1442 H./2021 Masehi. Saya pasang alarm jam di telepon seluler saya untuk membangunkan saya pukul 03.21 untuk menyiapkan makanan sahur. Tapi tanpa saya sadari—bahkan saya mengira saya terlambat bangun karena tidak mendengar bunyi alarm ponsel—saya terbangun lebih awal.

Saya keluar kamar dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan sahur. Saat itulah istri saya, yang tidur bersama anak kami di kamar yang terpisah, mengirim pesan WhatsApp bahwa saya bangun terlalu dini, baru jam 01.30. Saya terkejut, tapi saya selesaikan memasak makanan dan kemudian kembali ke kamar saya.

Harapan saya untuk tidur kembali dari pukul 01.50 hingga jam 03.21 tidak terwujud. Saya tetap terjaga dengan mata yang bahkan sulit untuk dipejamkan. Saya mendengar suara Bapak Subuh di telinga batin saya. Seperti seorang guru yang berdiri dengan wibawa di depan kelas, Bapak menjelaskan ke saya tentang hakikat cinta. Cinta yang dari jiwa, bukan cinta nafsu.

Cinta jiwa tidak ingin memiliki, tidak merindu kehadiran fisik, tidak berhasrat seksual—bahkan keinginan untuk bersentuhan kulit saja sudah termasuk hasrat seksual. Cinta yang dari jiwa membebaskan si pecinta sehingga selalu jujur pada dirinya sendiri dan orang lain, dan membuat si pecinta mampu menjadi dirinya sendiri.

Pandangan umum bahwa “cinta yang tak harus memiliki orang yang dicintai” merupakan sesuatu yang mustahil atau menyiksa diri, menurut penjelasan Bapak kepada saya, tidak berlaku dalam cinta jiwa. Dalam cinta yang dari jiwa, getaran atau vibrasi jiwa adalah kehadiran satu-satunya yang memuaskan sang pecinta. Vibrasi itu bahkan mengalir hingga berkoneksi ke Cinta Teragung (kekuasaan Tuhan).

Cinta jiwa bersifat abadi, kekuatannya langgeng, tak lekang oleh waktu. Tidak seperti cinta nafsu yang mudah disergap rasa bosan, rasa kecewa, rasa cemburu, rasa ingin selalu dekat secara lahiriah, rasa ingin bersentuhan hingga lebih jauh lagi—berhubungan badan. Jika orang pada umumnya mengatakan bahwa perasaan cinta dalam perkawinan hanya bertahan paling lama lima tahun pertama sejak menikah, sedangkan selebihnya adalah perasaan sebagaimana biasa dalam hubungan pertemanan, yang tak jarang diwarnai pertengkaran, perselisihan, hingga permusuhan, pada hakikatnya justru itulah ciri-ciri tumbuhnya cinta jiwa; cinta yang apa adanya.

Saat itulah, saya retrospeksi ke masa ketika saya tengah melakukan pendekatan ke wanita-wanita, termasuk yang kelak menjadi istri saya, betapa saya tampil bukan sebagai diri saya yang orisinal. Saya merasa harus selalu tampil hebat, melebihi pesaing-pesaing saya yang juga berebut perhatian dari si wanita. Perilaku saya ini adalah khas pada semua pria yang memburu “cinta”; tak tampil apa adanya, sehingga ketika sudah jadian dengan si wanita, sering kali dalam perjalanan waktu muncul kekecewaan pada si wanita karena keaslian si pria muncul, yang menyebabkan si wanita merasa tertipu atau bosan.

Cinta yang dilandasi nafsu atau hasrat seksual mencirikan sifat hewan: Yang jantan ingin menaklukkan dan yang betina ingin ditaklukkan. Tujuannya adalah menang-menangan, sehingga ketika kedua insan saling mendapatkan satu sama lain muncullah perasaan bangga bak juara sebuah pertandingan. Hal ini pula yang menjadi alasan bawah sadar mengapa orang berselingkuh, yaitu untuk membuktikan dirinya masih juara.

Banyak orang menikah karena nafsu, karena kebutuhan untuk mendapatkan keturunan, karena tidak mau hidup sendirian, karena ingin memuaskan berahi. Dengan cinta jiwa, kehadiran lahiriah dari orang yang kita cintai tidak menjadi syarat. Vibrasi dari jiwanyalah yang dapat memuaskan kerinduan.

Dalam “kuliah mental” itu, saya mendapat penjelasan bahwa karena itulah yang disebut belahan jiwa tidak selalu terdapat dalam hubungan perkawinan, dalam hubungan pria-wanita selaku kekasih atau pasangan suami-istri. Bagaimanapun, kata Bapak, jangan menyesali perkawinan yang sudah terjadi; lanjutkanlah hingga jiwa-jiwa dari pasangan suami-istri terkoneksi satu sama lain.

Jika anak berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan kita sebagai orang tuanya, tegurlah, tapi jangan diimbuhi kalimat “karena cinta”. Jangan bilang “Papa dan Mama marah bukan karena benci, tapi karena Papa dan Mama cinta kamu”; kalimat itu adalah kebohongan besar yang dapat mencelakai anak di kemudian hari.

Cinta jiwa terekspresikan dengan membiarkan si anak melakukan apa yang tidak sesuai agar dia belajar sendiri mengapa orang tuanya melarangnya melakukan hal itu. Tentu saja, untuk anak-anak usia belia tetap harus diawasi dari dekat, sedangkan untuk anak yang beranjak dewasa ajarkan dia tentang tanggung jawab; bahwa perbuatan apa pun memiliki konsekuensi baik atau buruk.

Sampai di situ kuliah mental dari Pak Subuh untuk saya. Berakhir pada jam 03.15, yang mendorong saya akhirnya untuk keluar dari kamar, dan kembali menyiapkan makanan sahur. Tak sedikit pun saya merasa mengantuk. Hanya kesukacitaan merasakan cinta Tuhan yang maha besar.©2021


Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 21 April 2021

Sunday, April 18, 2021

The Kind of Happy Fasting

I may be classified as a fasting enthusiast. Since 2000, I have even been fasting diligently for 100 consecutive days, every year, aside from the 30-day Ramadan fast. Fasting does not have to be linked to a particular religion; fasting is a practice that exists in almost all religions and traditions. In the Kejawen (Javanese customs and beliefs) tradition, fasting has become a habit that is believed to make the practitioner spiritually enlightened.

That’s what happened to me when I fasted 100 days. Whenever I feel myself falling apart like pieces of a jigsaw puzzle, I will fast to put the pieces back together. That’s why I feel right with Bapak’s suggestion that Subud members should fast, because fasting is a part that completes one’s Latihan Kejiwaan. Apart from its spiritual benefits, fasting also has benefits for physical health.

Some time in 2009, I was introduced to a physician who had devoted himself to a method called auto-therapy, an approach to healing illnesses that are carried out by our own body, which is generated by a series of physical movements and breathing exercises. He shared what he found in the course of his research on auto-therapy, i.e. the health benefits of fasting. Fasting plays an important role in a process in our body called “autolysis”. He told me the following:

“Usually, during fasting, we will feel weak at 12:00 p.m. to 6:00 p.m. Be grateful, because that means a process that is very beneficial for our body will begin. The process is called autolysis. Autolysis is the process of removing dead or damaged cells in our body.

Imagine, if we are not fasting, our digestive organs almost never stop working. Every time we eat, it takes approximately eight hours for our digestive organs to work.

If at 7:00 in the morning we eat breakfast, then at 3:00 p.m. the organ finishes its job. But, at 12:00 p.m. we have lunch. The organ should have its job done at 8:00 p.m. but we eat again at 7:00 in the evening. Not to mention snacking or eating instant noodles or steak at 11:00 p.m.

If our body could talk, maybe it would say, ‘Boss, I’ll resign, okay.’

Now, when we are fasting, we eat Suhoor at 4:00 a.m.; our digestive organs work until 12:00 noon. From 12.00 noon to 6:00 in the evening, our organs are unemployed, no hard work to carry out. That’s six hours! Not bad.

Like us who like to clean up, tidy up, throw away unused things. Well, it's the same! Our organs, when there is no work, will do the cleaning of the body. This is autolysis.”

This is why fasting is healthy; it can even treat many diseases. Stomach ulcer, diabetes, chronic kidney disease, and even cancer. The more often we fast, the cleaner our body will be, and the healthier we will be. So we should be happy that we are obliged to fast by religion.

Happy fasting, peeps. Hopefully we fall in love with fasting. Stay healthy. Ameen.©2021

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 18 April 2021