Thursday, April 25, 2024

Twin Flame



Telah mengada kasih abadi di antara kita

Walau kita tak dekat, itu tetap terasa

Ingin ku raih dirimu dalam jarak waktu

Namun apa dayaku, kau menjauhiku

 

Firasatku kuat, membaca isi dirimu

Lega rasaku karena kau dalam jangkauan rindu

Aku berdoa senantiasa, memelihara cinta

Menjaga jalinan leluhur kita

Ejawantah satu jiwa dalam dua raga...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 26 April 2024

Wednesday, April 24, 2024

Culture is You

SAYA tadi saat mandi mengalami vibes seakan sedang sharing dengan para anggota Pemuda (Youth) Subud Jakarta Selatan dalam suatu gathering nonformal, diantaranya ada Ketua Subud International Cultural Association (SICA) Indonesia untuk masa bakti 2023-2025, Charalambos Elias David. Dalam gathering secara mental itu saya berbagi pengalaman dan pemahaman saya tentang hubungan kita dengan leluhur.

Lalu, ada Youth yang mempertanyakan dengan nada protes bahwa tidak mungkin leluhur dia dan saya, misalnya, bisa segaris, karena saya campuran Jawa-Aceh, sedangkan dia Maluku.

“Lhoooo,” kata saya merespons protesnya, “leluhur bangsa Indonesia pada awalnya kan nggak bersuku, karena datang dari beberapa cultural hub di beberapa titik di benua yang sama. Budaya itu terbentuk karena tantangan geografi, keadaan daerah di mana leluhur kita bermukim untuk jangka waktu yang lama, mungkin sudah tiga atau lima generasi. Leluhur kita, bisa jadi, berasal dari satu budaya, yang lantas dalam proses diaspora terjadi pemecahan menjadi sejumlah subculture sesuai tantangan-tantangan di daerah baru yang ditempati leluhur kita.

“Saya rasa, budaya berkembang dari akar yang sejatinya ada di diri kita masing-masing dalam menyikapi tantangan lingkungan kita—alam, sosial dan ekonomi. Maksud saya, budaya itu individual, bukan kolektif, karena secara hakikat tiap orang itu beda. Budaya bukan sekadar kesenian lhoo... itu sih artefak (peninggalan kebudayaan). Di Subud-lah kita menemukan budaya masing-masing, yang dimanifestasi oleh bimbingan Latihan Kejiwaan. Budaya itu adalah segala gerak hidup kita yang terbimbing Latihan Kejiwaan!”

Di situ, mendadak gathering mental itu terhenti, dan saya terdiam dalam permenungan sesaat, lalu merasakan kegembiraan... Ooh, saya baru mengerti sekarang, makna hakiki dari slogan Culture is You (slogan untuk event festival budaya di Tulungagung tahun depan, yang diterima oleh pembantu pelatih Cabang Surabaya yang kini bermukim di Madiun, Heru Iman Sayudi).©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 April 2024

Tuesday, April 23, 2024

Kembaran Jiwa

KAMIS malam, 18 April 2024, saat nongkrong dengan satu saudara dan satu saudari Subud di warung kopi sebelah bangunan Guesthouse Wisma Subud Cilandak, terungkap cerita yang membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. Saudari Subud itu, Vreni (bukan nama sebenarnya) menceritakan pengalamannya beberapa bulan sebelumnya, saat ia sedang duduk di warung kopi tersebut.

Saat itu, ia melihat Aira (bukan nama sebenarnya), gadis muda yang merupakan anggota baru Subud Cabang Jakarta Selatan (dibuka tahun 2021) keluar dari Kafe Kencana, kafe berpendingin udara di bawah atap Guesthouse, dan melangkah ke jalan di depannya. Melihat dari arah belakangnya, Vreni terkejut karena ia melihat wajah Aira mirip sekali dengan wajah saya, guratan-guratannya juga sama plek. Tetapi yang lebih mengejutkan Vreni adalah bahwa bahkan vibes yang memancar dari diri Aira juga sama dengan vibes saya.

Saudara Subud bernama Jofri (bukan nama sebenarnya) menimpali cerita Vreni dengan versinya sendiri. Yang dialami Jofri tergolong baru. Ketika berjalan di teras barat Hall Cilandak, ia seperti melihat sosok saya yang sedang mengobrol dengan beberapa anggota Pemuda Subud, padahal saat itu saya sedang tidak ke Wisma Subud Cilandak. Jofri tidak mempercayai penglihatannya, dia pikir itu akibat cahaya lampu. Namun, ketika ia berada di sudut pandang lainnya ia masih melihat sosok saya “menempel” pada seorang perempuan muda yang tak lain tak bukan adalah Aira.

Bagi yang belum mengetahui kisah saya dengan Aira, ia adalah gadis lajang berusia 29 tahun ketika saya berkenalan dengannya pada bulan Juni 2023. Sebuah fenomena kejiwaan terjadi enam hari sebelumnya, dimana saya tiba-tiba merasakan jatuh ke lubang dalam dan gelap tetapi perasaan saya tenang dan nyaman, setelah melihat foto Aira di akun Instagramnya. Saya merasa jatuh cinta padanya, padahal kami belum saling mengenal.

Singkat cerita, hanya sebulan setelah kami berkenalan dan intensif mengobrol bila berjumpa di Wisma Subud Cilandak maupun di WhatsApp dan di Pesan Instagram, ia tiba-tiba menjaga jarak dari saya, me-remove nomor WhatsApp saya dan unfollow akun Instagram saya. Dalam proses yang memakan waktu lebih dari setengah tahun setelah insiden itu, saya pun sudah melupakannya. Sesekali melihat dia dari jauh di lingkungan Wisma Subud Cilandak tidak membuat saya tertarik untuk kembali seperti ketika kami baru berkenalan.

Saya teringat kembali pada Aira hanya setelah Vreni dan Jofri menceritakan pengalaman unik mereka. Menurut Jofri, selain dia dan Vreni ternyata ada beberapa saudara sejiwa yang juga mengalaminya. Saya menganggap lucu, karena kok bisa-bisanya orang yang menjauhi saya dengan rasa sebal memiliki wajah yang mirip dengan orang yang padanya dia merasa sebal.

Baru-baru ini, saya juga teringat pada pengalaman terkait hal itu namun anehnya pada saat itu saya dan Aira belum saling mengenal. Saat itu, seorang anggota Subud senior yang sedang duduk di teras timur Hall Cilandak bertanya ke saya, apakah saya memiliki adik. Mengira yang dia maksud adalah dua adik kandung saya, saya mengiyakan. “Benar, Pak. Adik saya dua, dua-duanya cewek,” kata saya. Si anggota berkata, “Bukan! Maksud saya, Anda punya adik di Subud?”

Saya jelaskan pada si anggota senior bahwa saya satu-satunya di antara saudara-saudara kandung saya yang sudah Subud. Si anggota bercerita bahwa ia melihat seorang gadis muda di teras barat yang wajahnya benar-benar menyerupai saya. Saya menjadi bingung, kok bisa ada orang yang belum saya kenal memiliki wajah yang mirip dengan wajah saya?

Beberapa saat kemudian, lewatlah gadis muda yang dimaksud si anggota senior di teras timur Hall Cilandak menuju toilet wanita. Si anggota senior berbisik pada saya bahwa gadis muda itulah yang ia anggap wajahnya mirip dengan saya. Gadis muda itu kelak saya kenal sebagai Aira.

Meskipun sudah berjauhan dan Aira menjaga jarak dari saya, ada “kebetulan-kebetulan”—terlalu banyak untuk saya sebutkan di sini—yang memberi saya keyakinan bahwa hubungan jiwa ke jiwa memang ada. Mungkin dia tidak menyadarinya, tetapi saya cukup sering merasakan kehadiran gaib Aira di dekat saya, kadang berjumbuh dengan diri saya. Seakan jiwa kami tetap berhubungan dan sepertinya sudah saling mengenal sejak lama—sebelum kami sendiri berkenalan secara fisik.

Postingan saya di linimasa Facebook saya pada 22 April 2024, yang berbunyi “Ada saudari Subud sebal pada saya. Beberapa saudara sejiwa melihat dan merasa wajah dan vibes-nya mirip saya. Nah lho, fenomena apa ini?” ditanggapi seorang saudari Subud dari Cabang Yogya, “Twin flame...” Komentarnya itu membuka mata saya dan merasa bahwa itulah jawaban atas fenomena spiritual yang saya alami sejak saya mengenal Aira.

Menurut situs www.mindbodygreen.com, twin flame adalah hubungan jiwa yang intens dengan seseorang yang dianggap sebagai belahan jiwa seseorang, terkadang disebut “kembaran jiwa” (mirror soul). Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa terkadang satu jiwa terpecah menjadi dua tubuh. Salah satu ciri utama hubungan twin flame adalah bahwa hubungan itu menantang sekaligus menyembuhkan. Hal ini disebabkan oleh sifat pencerminan dari twin flame; mereka menunjukkan rasa tidak aman, ketakutan, dan bayangan terdalam Anda. Namun mereka juga membantu Anda mengatasinya, dan sebaliknya—twin flame Anda juga akan terpengaruh oleh Anda.

Salah satu tanda twin flame, menurut situs www.alodokter.com, adalah mudah mengakrabkan diri seperti sudah mengenalnya bertahun-tahun. Saya teringat ketika pertama kali berkenalan dengan Aira di depan teras barat Hall Cilandak, sikap dan tindak-tanduk saya terhadapnya seperti sudah lama kenal. Saya bahkan kaget dengan diri saya sendiri yang bisa begitu akrab dengannya, padahal baru berjumpa saat itu.

Bahkan ketika kami berjumpa di kafe milik anggota Subud Jakarta Selatan di Jl. Caringin Barat, Cilandak Barat, pasca Latihan Kamis malam, 12 Juli 2023, dengan ringannya saya mengatakan “I love you” ketika kami bersalaman saat ia pamit untuk pulang. Ia menjawab dengan ringan pula, “I love you too.” Ya, memang itu hanya sekadar flirting, tetapi saya tetap heran mengapa saya begitu berani, tanpa beban, melakukannya, apalagi terjadinya di depan banyak orang!

Tanda lainnya adalah “menemukan banyak kesamaan”. Dilansir dari www.alodokter.com, rasanya mustahil memang saat mendengar orang lain memiliki cerita hidup yang sama dengan kita, bahkan setiap detailnya pun mirip. Namun, hal ini sangat mungkin terjadi bila kita menemukan twin flame. Semua trauma hingga kisah bahagia yang ia lewati bisa jadi pernah kita alami.

Inipun saya dan Aira memilikinya. Ibaratnya, Aira dan saya adalah cermin dan saya bisa melihat kehidupan saya dari kisah-kisah yang diceritakan oleh Aira. Kami sama-sama sarjana S1 dari fakultas dan universitas yang sama, meskipun berbeda angkatan. Jurusan kami di kampus juga berbeda tetapi terkait satu sama lain, dan di fakultas kami kantor-kantor kedua jurusan itu berada di lantai yang sama, hanya ruangannya berseberangan. Beberapa dosennya dulu merupakan teman-teman nongkrong saya di kampus.

Meskipun pengalaman di Subud ini—menemukan orang yang kemungkinan besar adalah kembaran jiwa saya—berasa “manis nan pahit” bagi saya, saya akhirnya merasa lega karena mendapatkan jawaban atas pertanyaan berulang “mengapa?” yang terus menghantui saya sebelum hari ini. Saya tetap menyayangi Aira dengan tulus, meskipun entah sampai kapan ia menjauhi saya.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 23 April 2024

Dari Penumpang Menjadi Pelanggan


BARU-baru ini saya melihat video di akun Tiktok @jadimaukemana yang menggambarkan kiprah Ignasius Jonan selama menjadi Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero). Ingatan saya segera terlempar ke bulan Juni 1994 di Stasiun Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dimana saya dan almarhum paman saya (meninggal pada tahun 2007) menunggu kedatangan KA Gaya Baru Malam Selatan (GBMS). Saat itu, GBMS adalah satu-satunya kereta api kelas Ekonomi murah(an) yang diandalkan masyarakat Jakarta untuk ke Surabaya dan sebaliknya lewat Lintas Selatan Jawa.

Saya ke Surabaya saat itu karena hendak mengunjungi pacar (yang tiga tahun kemudian saya nikahi), sementara paman saya menemani demi saya bisa ditampung di rumah “saudara jauh” yang tinggal di Desa Pabean, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, lantaran saat itu saya tidak kenal siapapun di wilayah Surabaya yang bisa saya inapi rumahnya selama keberadaan saya di Kota Pahlawan.

Kereta Api GBMS yang akan saya dan paman saya tumpangi saat itu jauh sekali keadaannya dengan GBMS yang dikenal masyarakat setelah PT Kereta Api Indonesia (Persero) dipimpin Ignasius Jonan. GBMS pra Jonan tak ubahnya kereta pengangkut hewan dimana pengelola sama sekali tidak peduli pada kenyamanan penumpang. Penumpang pun sepertinya tidak peduli pada bagaimana badan usaha milik negara (BUMN) perkeretaapian Indonesia itu memperlakukan mereka; yang penting terangkut dan bisa sampai tujuan.

Kereta Api GBMS yang saya tunggu-tunggu tiba di Stasiun Purwokerto sekitar jam 12 malam. GBMS termasuk salah satu kereta api “langganan terlambat” saat itu, dengan jam kedatangan di dan keberangkatan dari Stasiun Purwokerto tidak jelas, karena sebagai kereta api Ekonomi PSO (subsidi) dan Lintas Selatan Jawa yang masih berjalur tunggal membuat GBMS harus rela mengalah untuk melancarkan jalan kereta api-kereta api kelas Bisnis dan Eksekutif di lintas tersebut.

Tiket GBMS yang saya beli secara go-show di Stasiun Purwokerto tidak menjamin saya mendapat kursi. Harga tiket GBMS masih sangat murah saat itu. Dengan Rp10.000, kita bisa sampai Surabaya dari Jakarta. Semua kereta di rangkaian GBMS terisi penuh, dipadati penumpang baik duduk maupun berdiri. Untuk bisa masuk ke dalam kereta, saya dan paman saya harus berdesak-desakan dengan penumpang yang memadati bordes. Begitu padatnya, sampai untuk duduk di lantai pun sangat sulit.

Saya berdiri di lorong kereta di dekat bordes, dengan badan saya ditahan oleh penumpang-penumpang lainnya yang juga berdiri di segala sisi saya. Meski kaki saya tidak kuat menopang badan saya sekian lama, toh saya tidak bisa roboh atau merosot ke lantai lantaran demikian padatnya kereta. Saya bahkan tidur dalam posisi berdiri!

Baru setelah GBMS tiba di Stasiun Madiun, sekitar jam tujuh pagi, banyak penumpang yang turun, sehingga lorong kereta melonggar dan saya bisa duduk di lantai dengan kaki terlipat di depan dada karena tidak ada ruang yang tersisa. Semua penumpang yang masih ada di kereta dan memegang tiket tanpa kursi juga merebahkan pantat mereka di lantai kereta. Saya kira tidak semua penumpang membeli tiket, dengan asumsi bahwa kondektur tidak akan memeriksa karena padatnya lorong kereta akan menghambat pergerakan kondektur dan polisi khusus kereta api (Polsuska) yang mendampinginya.

Saat itu, pedagang asongan masih merajalela di areal stasiun dan kadang nekat naik ke kereta meski dipadati penumpang. Stasiun Madiun saat itu masih diwarnai kekhasan yang sangat populer di kalangan penumpang kereta api: Penjual pecel.

Drama GBMS seperti yang saya alami ini sudah lumrah di perkeretaapian Indonesia pra Jonan, dan tidak hanya terjadi di GBMS. Semua kereta api kelas Ekonomi dan Bisnis mengalaminya, dan tidak hanya menjelang Lebaran atau libur Natal dan Tahun Baru. Kapan saja kereta bisa dijubeli penumpang. Karena sebelum Jonan menjadi Direktur Utama PT KAI, layanan BUMN itu berorientasi produk (product-oriented), sehingga yang dipentingkan adalah tingkat okupansi kereta, bukan kenyamanan penumpang.

Begitu Jonan menjadi Dirut KAI, strategi pencapaian keuntungan usaha diubah menjadi berorientasi pelanggan (customer-oriented). Bahkan istilah “penumpang” oleh KAI era Jonan hingga kini diganti menjadi “pelanggan”, karena masyarakat sudah paham bahwa pelanggan adalah raja, sehingga di kelas apapun di kereta pembeli tiket berhak diperlakukan manusiawi.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 23 April 2024

Sunday, April 14, 2024

Gerakan Kesadaran

AKADEMISI yang awam Subud menggelari Subud sebagai “gerakan spiritual” atau “gerakan mistik”. Saya pribadi merasa Subud lebih tepat disebut “gerakan kesadaran”. Karena, ketika dibuka di Subud, saya tiba-tiba menyadari keberadaan saya dalam hidup dan kehidupan saya. Tanpa saya menghendaki, tiba-tiba segala sesuatu pada diri saya maupun di luar keberadaan saya memiliki makna.

Wikipedia menyebut kesadaran identik dengan pikiran. Di masa lalu, kesadaran adalah kehidupan batin seseorang, dunia introspeksi, pemikiran pribadi, imajinasi dan kemauan. Sedangkan di hari ini, sering kali mencakup beberapa jenis pengalaman, kognisi, perasaan atau persepsi.

Bapak kerap menyebut “kesadaran” dalam sejumlah ceramah beliau. Dalam ceramah di Singapura, 24 Februari 1963, Bapak menyatakan: “...Tuhan menghendaki, agar kita dapat menerima apa yang telah diberikan kepada kita dengan kesadaran rasa diri. Artinya, dengan kesadaran jiwa, dengan kesadaran rasa yang mulai dibersihkan.” Dan lagi dalam ceramah di Miami, Amerika Serikat, 31 Juli 1969: “Dan apabila ini saudara, jiwa saudara telah terlatih, jiwa inilah nanti yang mengarungi, yang menjadi wadahnya pengertian kita. Jadi, pengertian saudara, kesadaran saudara, bewustzijn (Belanda: kesadaran) saudara waktu hidupnya di dunia, ini terbawa oleh jiwa. Terbawa.”

Mengenai kesadaran, Bapak mengacu pada pengetahuan atau pengertian kita. Tergambar pada cuplikan ceramah di Rio de Janeiro, Brazil, 13 Agustus 1969, berikut: “Jadi, jiwa itu adalah pengertian dan pengetahuan dan kesadaran, pribadi saudara. Dan kesadaran kepribadian saudara dan pengertian saudara itu adalah tingkat-tingkatan. Kalau pengertian kepribadian saudara itu masih bertingkat, umpama saja, kebendaan, ya saudara tidak akan lebih daripada itu. Artinya, saudara tidak akan, nanti kalau andaikata mati begitu, tidak akan dapat meninggalkan dunia ini; tidak dapat.” Simak pula cuplikan ceramah Bapak di Coombe Springs, Inggris, 13 Agustus 1959, ini: “Kita perlu berjalan dan bertindak dengan keadaan yang tidak perlu tergesa-gesa, tidak perlu dengan nafsu, akal-fikiran, tetapi dengan kesadaran.”

Cuplikan terakhir ini mengingatkan saya pada parabel yang dikemukakan Robert Frager dalam bukunya, Hati, Diri & Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi (Jakarta: Serambi, 1999). Frager, yang seorang syekh mursyid tarekat Sufi al-Jerahi dan profesor psikologi pada Institute of Transpersonal Psychology di California, AS, mengisahkan seorang pria yang ingin belajar tasawuf pada seorang sufi yang bertapa di pegunungan. Di bawah guyuran hujan, si pria, dengan berpayung dan membawa tongkat, mendaki gunung menuju pertapaan sang sufi.

Di ambang pintu gubuk yang merupakan pertapaan sang sufi, si pria menyandarkan payung dan tongkat pada masing-masing sisi pintu—payung di sisi kiri, dan tongkat di sisi kanan—sebelum ia mengetuk pintu. Sang sufi menyambutnya dan mempersilakan si pria masuk. Si pria menyatakan keinginannya untuk berguru pada sang sufi dalam mempelajari ilmu tasawuf.

“Tasawuf itu dasarnya hanya satu,” kata sang sufi. “Kamu hanya perlu sadar!”

“Saya sadar sepenuhnya,” jawab si pria.

“Benarkah?” ucap sang sufi, meragukan jawaban si pria. “Coba kamu beritahu saya, di mana kamu taruh payung dan tongkatmu?”

Si pria dengan sigap menjawab, “Saya taruh di samping pintu tadi!”

“Di sini mana dari pintu kamu sandarkan payungmu dan di sisi mana pula kamu sandarÄ·an tongkatmu?” desak sang sufi.

Si pria terkejut dan lemas. Ia tak ingat detailnya. Sang sufi tersenyum dan dengan lembut ia menyuruh si pria pulang sambil berpesan, “Kamu tahu, kamu ingat, tapi kamu rupanya tidak sadar. Latih dulu kesadaranmu, saudaraku.”

Ada pula cerita Buddha Gautama mengenai kesadaran. Suatu hari, Buddha Gautama ditanya seseorang mengenai apa yang beliau dan para pengikut beliau lakukan. “Kami makan, minum, bekerja, tidur, berkeluarga—“

“Lho, itu kan sama saja dengan kita semua,” komentar si penanya.

“Berbeda! Kami melakukannya dengan sadar,” jawab Buddha Gautama.

Dari cuplikan-cuplikan ceramah Bapak, parabel dari Robert Frager dan kisah Buddha Gautama di atas, saya rasa yang dimaksud dengan “kesadaran” adalah perhatian penuh. Tahu dan ingat belum tentu membuat seseorang sadar akan tindakannya, tetapi kesadaran sudah pasti membuat orang tahu dan ingat. Inilah yang diperoleh seorang pelatih kejiwaan, dan karena itulah Subud sejatinya adalah gerakan kesadaran.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, dan Burger King Cinere, Depok, 15 April 2024

Sunday, April 7, 2024

Apakah Perlu Masuk Subud?

BEBERAPA tahun lalu, seorang pembantu pelatih (PP) Subud Cabang Jakarta Selatan mengundang saya ke rumahnya. Dia meminta bantuan saya untuk berbicara dengan anaknya. Si anak, bungsu dari dua bersaudara, adalah satu-satunya penghuni di rumah si PP yang belum masuk Subud. Dia anak yang cerdas, intelek, dan karena itu ayahnya merasa dia akan sepemikiran dengan saya yang juga pembelajar.

Saya sempat menolak undangan itu, karena si ayah adalah seorang PP, yang salah satu tugasnya adalah memberi penerangan kepada calon anggota Subud. Namun si ayah mengatakan bahwa dia sendiri sudah berusaha memberikan penjelasan tentang apa itu Subud dan mengapa perlu anaknya masuk Subud. Si anak malah membantah semua alasan yang diberikan ayahnya.

Ketika akhirnya saya menyambangi rumah si PP, si anak datang menemui saya di teras. Dia langsung saja menembak saya dengan pertanyaan, mengapa saya masuk Subud dan apa manfaatnya bagi saya. Saya jelaskan apa adanya.

Saya dulu tidak pernah berminat dengan spiritualitas. Saya telah dibiasakan oleh orang tua saya sejak kecil untuk rajin beribadah menurut syariat agama saya, dan bagi saya itu sudah cukup. Memang, sepanjang perjalanan hidup saya hingga akhirnya menemukan Subud saya mengkritisi ajaran agama saya—kebanyakan saya anggap tidak masuk akal atau pembodohan. Tetapi mengapa saya terus saja beribadah, ya karena saat itu itulah satu-satunya cara saya berkomunikasi dengan yang Ilahi.

Sekitar dua tahun sebelum menemukan Subud, saya berhenti beragama dan menanggalkan kepercayaan saya pada Tuhan. Keputusan itu saya ambil lantaran begitu banyak kekecewaan yang saya alami dengan hanya bergantung pada syariat. Banyak pertanyaan saya tidak beroleh jawaban; yang paling membuat saya penasaran adalah bahwa saya tidak tahu bagaimana caranya pasrah dan ikhlas, sedangkan secara etimologis kata “islam” mengacu pada “menyerah” atau “berserah diri”.

Yang menyakitkan adalah ketika ibu saya koma di rumah sakit dan saya dihadapkan pada dilema: terus dirawat di rumah sakit atau dibawa pulang dan menunggu saat beliau tiba (meninggal). Kerabat dan sahabat semuanya menyarankan agar saya mengikhlaskan, namun tidak ada satupun dari mereka memberitahu saya caranya ikhlas.

Saya baru menemukan caranya hanya ketika Tuhan membimbing saya dalam suatu proses kehidupan yang membawa saya ke Subud.

Setelah saya menyudahi cerita saya, si anak tampak terkesan. Lalu, dia bertanya, “Menurut Om, apakah saya perlu masuk Subud?”

Saya tidak segera menjawab pertanyaannya, melainkan saya bertanya pada jiwa saya. Saya kemudian spontan berucap, “Tidak perlu!”

Si anak mengucapkan terima kasih dan mohon diri untuk meninggalkan teras rumahnya karena dia mau pergi ke masjid untuk menunaikan salat Magrib.

Tahun 2021, kembali saya menjawab “Tidak perlu!” atas pertanyaan seseorang mengenai apakah dia perlu masuk Subud—setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari dua saudara Subud saya yang tampaknya begitu bernafsu ingin mengajak orang itu masuk Subud. Lagi-lagi, saya spontan dalam memberikan jawaban. Saya sendiri saat itu tidak tahu mengapa saya memberikan jawaban itu.

Baru-baru ini, di penghujung Ramadan 1445 H./2024, bulan April, ketika melakukan Latihan duduk di depan rumah saya, pasca sahur, saya beroleh jawaban yang jernih: “Jika seseorang masuk Subud karena panggilan jiwanya, maka dia tidak akan lagi bertanya apakah dia perlu masuk Subud.”©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 8 April 2024

Saturday, April 6, 2024

Tidak Ada yang Percuma

UNGKAPAN dalam bahasa Inggris “everything happens for a reason” (segala sesuatu terjadi karena suatu alasan) merupakan kalimat yang populer yang telah diterima secara umum di berbagai budaya.

Ungkapan ini menyampaikan keyakinan bahwa peristiwa dan pengalaman dalam hidup tidak terjadi secara acak atau serampangan, melainkan memiliki tujuan atau sebab yang mendasarinya. Hal ini menunjukkan bahwa ada rencana atau makna yang lebih tinggi dan telah ditentukan di balik kejadian yang kita temui.

Pendek kata, segala sesuatu dalam hidup kita, apakah eksistensi orang lain atau peristiwa, tidak ada yang percuma. Semua memiliki nilai kegunaan yang dapat memberi makna bagi hidup kita.

Pada 4 April 2024, Ketua Subud Ranting Pamulang mengirim pesan WhatsApp ke saya, yang intinya imbauan bernada teguran terkait postingan saya di linimasa Facebook saya pada 3 April 2024, dimana saya membagi cerita pengalaman saya dan foto-foto ketika mendapat kesempatan memasuki kamar tidur Bapak di Wisma Barata Pamulang. Bunyi imbauannya sebagai berikut (saya salin apa adanya):

“Kalo kamu mendapatkan suatu kebahagiaan di Subud gak usah dipamer2kan ke orang lain. Cukup dinikmati sendiri saja dan serahkan lagi ke Tuhan. Kalo kamu pamer2kan ke orang lain, itu percuma. Mereka belum tentu menerima yg sama seperti kamu atau bahkan malah jadi sebaliknya.”

Kata “percuma” menggugah saya untuk menuangkan tulisan ini. Saya menghargai imbauan beliau, dan bagi saya merupakan teguran yang mendidik serta mendewasakan saya secara emosional. Jika saya menuliskan pengalaman tersebut di blog saya ini bukanlah sebagai bentuk protes atau kritik saya terhadap imbauan tersebut. Saya memahami dengan baik bahwa imbauan beliau itu berangkat dari harapan agar Bapak dan artefak-artefak bersejarah (seperti yang mewarnai cerita pengalaman yang saya posting di Facebook itu, alih-alih pengungkapan pengalaman esoteris yang subyektif) tidak mengarah kepada pengkultusan atau pengkeramatan, yang nantinya akan mengundang pandangan negatif publik terhadap komunitas Subud.

Sekadar info, mengunjungi kamar tidur seorang tokoh bersejarah merupakan hal yang lumrah di kalangan pecinta sejarah, tidak harus berarti pengkeramatan suatu tempat. Komunitas pecinta sejarah tidak jarang mengunjungi kamar tidur Bung Karno, misalnya, di tempat pembuangannya yang telah dijadikan museum. Atau kamar tidur Napoleon Bonaparte di Istana Fontainebleau, 55 km sebelah tenggara dari pusat kota Paris, Prancis, yang pernah saya kunjungi semasa kanak-kanak saya.

Sebagian dari rumah Kho Ping Hoo di Tawangmangu, Jawa Tengah, yang saya kunjungi pada Juli 2009, bertepatan dengan Musyawarah Wilayah PPK Subud Komisariat Wilayah V Jawa Tengah-DIY, juga telah dijadikan oleh keluarga sang penulis cerita silat legendaris itu sebagai museum kecil, dimana para penggemar Kho Ping Hoo dapat berinteraksi dengan karya-karya dan pekerjaannya. Mendiang Kho Ping Hoo sendiri adalah anggota Subud Tawangmangu. Sebagai alumnus Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan history buff, saya memperlakukan artefak-artefak bersejarah peninggalan RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo dengan cara sebagaimana seorang pecinta sejarah memperlakukan benda-benda bersejarah: Dengan penuh hormat, tanpa niat menyakralkan atau mengkultuskan tokoh yang dengannya benda-benda itu pernah berinteraksi.

Kamar tidur Napoleon Bonaparte di Istana Fontainebleau.

Kembali kepada gagasan “tidak ada yang percuma” yang mendasari tulisan ini. Saya menuliskan hampir semua kisah pengalaman saya sejak dibuka di Subud, yang saya mulai ketika saya pertama kali mengenal platform Blogspot pada tahun 2007. Saya sendiri dibuka tiga tahun sebelumnya. Saya menuliskannya bukan untuk mengekalkan pengalaman-pengalaman tersebut, karena pengalaman hidup dengan bimbingan Latihan Kejiwaan bersifat dinamis, berubah-ubah dalam gerak spiral yang sejalan dengan keadaan seorang pelatih kejiwaan pada suatu periode hidupnya.

Saya menulis hanya untuk menulis (writing for the sake of writing), yang dampaknya memperkaya keahlian saya dalam bidang tulis-menulis, terutama karena saya berkarir sebagai copywriter. Tanpa pernah saya rencanakan, tanpa pernah saya perkirakan, ternyata tulisan-tulisan perihal pengalaman-pengalaman kejiwaan saya (yang pernah dianggap oleh seorang pembantu pelatih senior di Bali sebagai sesuatu yang percuma, buang-buang waktu saja) tidak percuma. Tidak sedikit orang yang setelah masuk Subud berterima kasih ke saya karena merasa terbantu dalam memahami Subud. Semacam pengenalan (introductory) atau bahkan survival kit bagi mereka yang mulai menempuh perjalanan hidup yang telah terisi dengan bimbingan Latihan Kejiwaan. Bagi para pembaca blog saya, ternyata sharing pengalaman-pengalaman Subud saya tidak percuma!

Penyataan terima kasih mereka saya serahkan kepada Tuhan, tentu saja. Saya secara terbuka mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai “pelaku utama dan satu-satunya” dalam produksi tulisan-tulisan di blog ini maupun gagasan-gagasan yang mendasari tulisan-tulisan tersebut. Keinsafan ini membantu saya dalam menundukkan ego saya yang suka sekali menggerakkan kesombongan, seolah sayalah yang menyebabkan orang-orang untuk mau ikut Subud. Terlepas dari peringatan Bapak bahwa Subud tidak boleh dipropagandakan atau diiklankan, nyatanya Subud memang tidak bisa dipropagandakan. Penyaksian saya selama ini menegaskan bahwa seseorang masuk Subud karena panggilan jiwanya, dan bukan karena panggilan orang ke orang.

Di platform Facebook pun, postingan-postingan saya ternyata tidak ada yang percuma—bagi mereka yang secara sadar mengambil manfaat dari itu. Tidak seperti yang dikhawatirkan para anggota dan pembantu pelatih, bahwa keterbukaan mengenai Subud dan (pengalaman) Latihan Kejiwaan kepada publik merupakan sesuatu yang berrisiko, yang dapat menimbulkan pandangan-pandangan yang merugikan Subud, ternyata tidak pernah terjadi, paling tidak dalam kasus saya. Saya berpegang pada nasihat Bapak bahwa makin kita takut pada sesuatu maka sesuatu itu akan menjadi kenyataan! Lagipula, berkat pembiasaan bagi saya untuk “merasakan”, yang ditanamkan oleh para pembantu pelatih Subud Cabang Surabaya yang mengasuh saya sejak saya menjadi kandidat hingga dibuka, membuat saya bijak dalam menentukan apa yang patut dan tidak patut saya tindakkan.

Saya ingat pada satu pengalaman unik saat menghadiri Kongres Nasional ke-30 Subud Indonesia di Surabaya, 3-5 Februari 2023. Seorang anggota wanita dari Cabang Denpasar membagi satu lembar fotokopi formulir pendaftaran untuk pembuatan kartu tanda anggota Subud pada stan yang diadakan di ajang Kongres Nasional untuk keperluan itu, ketika petugas di stan tersebut menyatakan bahwa formulirnya sudah habis dan belum ada ketersediaan baru dari panitia. Si anggota Denpasar itu segera mengenali saya dan memberi formulir yang telah ia gandakan, sebagai tanda apresiasinya ke saya karena postingan-postingan saya, tentang apa pun, di Facebook, yang telah membantunya menyelesaikan masalah apa pun yang dia hadapi dalam hidupnya.

Saya bingung dan bertanya padanya, “Postingan yang mana ya, Bu?”

“Semuanya, Pak Arifin. Semuanya memberi saya solusi atau hiburan yang membuat saya bisa tertawa di saat sedang susah,” jawabnya.

Saya makin heran; bagaimana bisa postingan saya di laman Facebook saya, yang sebagian besar bertema sejarah Perang Dunia II, teknologi dan strategi militer, dan kadang tentang perkeretaapian, dapat memberi solusi bagi masalah hidup seseorang yang belum tentu relevan dengan tema-tema yang saya posting? Pertanyaan yang saya batinkan ini mendapat jawaban dalam sekejap: “Yang dari bimbingan Tuhan tidak ada yang percuma!”©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 6 April 2024