Wednesday, September 19, 2012

Menjaga Keseimbangan

Seminggu belakangan ini, saya memanfaatkan waktu luang di sela-sela kesibukan kerja maupun akhir pekan untuk membaca buku karya Iwan Santosa, Legiun Mangkunegaran (1808-1942): Tentara Jawa-Perancis Warisan Napoleon Bonaparte (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011). Ada sesuatu yang menarik dan unik dibahas dalam buku yang mengkaji sejarah pasukan elit dari Pura Mangkunegara, Surakarta, ini, yaitu sosok Raden Mas Said, yang bergelar Mangkunegara I.

Keunikannya terletak pada kenyataan bahwa RM Said selain dikenal sebagai pemimpin militer dan ahli strategi perang yang mumpuni, dirinya juga merupakan pujangga dan seniman yang kreatif. Hasil karya seni gubahannya termasuk tarian-tarian tradisional Jawa yang dipertunjukkan di lingkungan Keraton Mangkunegaran, antara lain Tari Bedhaya Anglirmendhung Senapaten.

Membaca tentang sosok RM Said, yang pernah bergerilya selama 16 tahun melawan ketimpangan di Kerajaan Mataram, saya teringat pada para kesatria Samurai di Jepang purba. Kita telanjur mendapatkan gambaran tentang mereka kebanyakan dari film laga atau literatur hiburan, di mana para kesatria Samurai tampil sebagai jagoan pedang yang membunuh lawan-lawan mereka tanpa ampun dengan kemahiran seni bela diri.

Padahal, selain keahlian bertarung dengan senjata maupun tangan kosong, para kesatria Samurai juga hebat dalam bidang kesusastraan, kaligrafi, kuliner, bercocok tanam, astronomi, peternakan, dan lain-lain yang tak ada hubungannya dengan pertarungan bersenjata! Hal itu mencerminkan bahwa kaum Samurai menerapkan keseimbangan dalam hidup mereka. Bidang-bidang non-militer tadi mengasah rasa, emosi maupun spiritualitas mereka, sehingga ketika menghadapi lawan mereka cenderung mementaskan sikap yang penuh kasih (compassion) dan sebisa mungkin menghindari pertumpahan darah.

Memang, kekesatriaan (knighthood) bukan semata tentang mengumbar kepahlawanan dengan menaklukkan musuh yang datang menyerang, tetapi yang lebih penting adalah menumbuhkan keberanian untuk menaklukkan diri sendiri. Bidang-bidang non-militer yang saya sebutkan di atas dilakoni dalam rangka melatih kesadaran meditatif untuk mengendalikan emosi, menenteramkan diri, yang ujung-ujungnya menghasilkan keseimbangan diri yang sempurna.

Semakin modern, kehidupan kita tampaknya semakin menjauhkan diri kita dari keseimbangan. Sebagian besar manusia dewasa ini, utamanya di kota-kota besar, hidup dalam ketidakseimbangan antara keberdayaan jasmani dan rohani. Materi dikejar untuk memperkaya diri atau untuk memperoleh kepuasan semu dari kebendaan, yang pada akhirnya hanya digunakan untuk membayar harga mahal dari kesehatan jasmani dan rohani. (Ketika menulis alinea ini, saya merenungkan karir saya yang 24 Oktober ini mencapai usianya yang ke-17 maupun usaha saya mengembangkan bisnis yang saya tekuni sembilan bulan belakangan ini: Apakah worth it jika dibayar dengan stres dan sakit badan yang saya derita dalam mencapai kebahagiaan lahir dan batin yang saya dambakan?)

Praktisi periklanan kelas wahid dunia, William Bernbach, yang bersama dua orang lainnya mendirikan perusahaan periklanan bernama DDB (Doyle, Dane, Bernbach), suatu kali berujar, “Saya tidak pernah bekerja pada akhir pekan, karena saya mencintai keluarga saya.” Tahun 1997, saya menjadi Creative Group Head di sebuah biro iklan papan atas di Jakarta yang berafiliasi pada DDB, di mana presiden direkturnya justru mengharuskan para karyawan bekerja pula pada akhir pekan, jika situasinya menuntut demikian (biasanya ketika mempersiapkan presentasi pitching). Menggugat hal itu, saya pun mengemukakan kata-kata Bernbach di atas kepada creative director saya, yang pada gilirannya mengomentarinya sambil bergurau, “Makanya Bos kita tidak sesukses Bill Bernbach!”

Kehidupan kita dewasa ini dicekoki dengan gagasan-gagasan tentang kesuksesan, yang maknanya justru kabur. Para motivator dan konsultan kepemimpinan bisnis mengumbar keahlian bicara mereka untuk menggerakkan publik kepada kesuksesan, yang tumpat dengan ‘pemenuhan keinginan untuk mencapai’, bukannya malah membantu menumbuhkan kesadaran hakiki bahwa apa yang ingin dicapai sebenarnya sudah ada di tangan. Sukses yang mereka janjikan adalah suatu titik yang berada di ujung jalan perjuangan, bukan yang mengiringi perjalanan kita hingga akhir.

Baru-baru ini, saya dirayu seorang kawan untuk menekuni bisnis berkonsep pemasaran multijenjang (multi-level marketing). Empat cakram padat dan beberapa buku yang menceritakan pengalaman mereka yang ‘sudah berhasil’ diberikan ke saya secara cuma-cuma. Semuanya memberikan gambaran tentang ‘sukses pada akhirnya’, bukan ‘sukses sepanjang jalan, dari awal hingga akhir’, yang kiranya hanya dapat dicapai dengan kita melakoni kehidupan yang seimbang.

Tujuan utama bekerja, yaitu untuk memanifestasikan potensi-potensi kemanusiaan kita, telah demikian diabaikan. Tak mengherankan jika pribadi yang bekerja dengan cinta sudah amat langka sekarang, dibandingkan dengan mereka yang bekerja karena terpaksa—demi sintas di tengah kehidupan yang memuja kebendaan—lantaran bidang pekerjaan yang sungguh-sungguh mereka cintai (dan dengan demikian memperkaya batin mereka) tidak menjanjikan materi yang berkelimpahan.

Mencapai keseimbangan hidup bukanlah tidak mungkin, namun tidak mudah, selama pola pikir Anda masih terbelenggu pada paradigma bahwa bekerja saja merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan uang, dan bahwa uang merupakan satu-satunya yang diperlukan untuk memperoleh kebahagiaan. Kiranya Anda perlu merenungkan kembali apa tujuan Anda bekerja—apakah untuk memenuhi kebutuhan atau hanya untuk memuaskan keinginan akan kebendaan?

Sebuah kampung nelayan di pesisir Kabupaten Jayapura, Papua, yang saya kunjungi pada pertengahan tahun 2009 menghadiahi saya kearifan tentang kehidupan yang seimbang. Penduduk pria Kampung Bukisi, Distrik Yokari, Kabupaten Jayapura, sedang asik bersantai di bawah keteduhan pohon kelapa di bibir pantai yang pasirnya yang putih bersih berangkulan mesra dengan birunya air Samudra Pasifik. Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Membandingkan dengan diri saya yang pada jam itu setiap hari kerja justru mulai bekerja, tentu keasikan para pria tersebut mengherankan saya. “Bapak tidak bekerja?” tanya saya pada salah satu dari mereka, mengabaikan kemungkinan pertanyaan semacam itu dianggap tidak sopan.

Jawabannya mencengangkan saya. Si bapak mengatakan kepada saya, jika tujuan bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, penduduk Bukisi sudah diberkahi dengan kekayaan alam yang hanya memerlukan waktu, pikiran dan tenaga sedikit untuk menggali dan mengolahnya. Sisa waktu dan tenaga, yang tentunya berlimpah, mereka gunakan untuk bersantai, agar mereka dapat kembali bekerja dengan riang gembira keesokan harinya!

Intinya, kita harus senantiasa menjaga keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani/duniawi dan rohani (emosi dan spiritual), tidak njomplang (berat sebelah) salah satunya. Keduanya saling menopang; yang satu membuat yang lain terberdayakan dengan baik. Dengan keseimbangan yang sempurna, terciptalah sukses yang mengiringi sepanjang jalan, dari awal hingga akhir.©



Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 22 Oktober 2011

No comments: