Tuesday, September 18, 2012

Kebebasan


“Kebebasan itu tak ternilai harganya. Ia merupakan napas kehidupan. Siapa yang tak mau membayar untuk hidupnya?”


Dalam bidang pekerjaan saya, yang termasuk ranah komunikasi merek, kreativitas merupakan hal yang utama dan penting, karena segala sesuatu, dari produk dan jasa sampai orang, harus memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain, agar ancangan (positioning) mereknya menjadi jelas. Nama produk atau jasa belum bisa dikatakan ‘merek’ kalau belum terpenuhi semua aspek ekuitasnya (brand equity), yang pada gilirannya akan membuat namanya tertancap di benak, dipersepsikan kualitasnya oleh, diasosiasikan oleh, serta menggaet loyalitas konsumen, publik dan para pemangku kepentingan (stakeholder); ia baru menjadi sekadar label saja.

Bagaimanapun, menjadi kreatif bukanlah sesuatu yang mudah, utamanya bagi mereka yang pikirannya masih terkungkung. Kemampuan mendesain komunikasi visual, menulis naskah, memotret, membuat ilustrasi, mengomposisi nada (dalam pembuatan jingle atau ilustrasi musik sebuah iklan media elektronik) atau menciptakan lirik, dan lain-lain, yang dewasa ini serta-merta dianggap sebagai ‘industri kreatif’, tidaklah kreatif kalau karya yang dihasilkan tidak mencerminkan ciri-ciri yang berbeda atau memperlihatkan terobosan baru!

Untuk menjadi kreatif, menurut pengalaman saya selama ini, kita perlu sewaktu-waktu membebaskan diri dari nilai-nilai (pribadi maupun umum) yang menghambat kreativitas kita untuk tumbuh dan berkembang seluas-luasnya. Tidak boleh ada rasa takut, khawatir atau ragu-ragu. Menjadi kreatif saja tidak cukup; kita juga perlu berani bertindak kreatif. Lepaskan semua ketakutan itu, feel liberated, dan ide-ide kreatif akan menyembur bagaikan kuda yang menerjang kandangnya untuk meraih kebebasan.

Di pikiran kita pada umumnya terdapat sejumlah kunci, yang keberadaannya disebabkan oleh pengalaman, pengetahuan, ketakutan, nilai-nilai dan norma-norma, dan tali kekang-tali kekang lainnya, yang dapat membuat kita berkacamata kuda selamanya, tidak mampu keluar dari kotak (out-of-the-box), sehingga banyak peluang yang terlewatkan begitu saja.

Pengetahuan adalah baik, hanya ketika ia tidak menghalangi kita untuk maju. Yang berbahaya adalah ketika pengetahuan menjadi tak ubahnya tiran kejam yang mengekang pikiran, tubuh dan jiwa kita sedemikian rupa, sehingga kita tak beda dengan robot. Beberapa mahasiswa praktik kerja lapangan (PKL) atau pemagang yang pernah singgah di perusahaan tempat saya bekerja dahulu menunjukkan gejala semacam itu: Teori-teori yang mereka peroleh di bangku kuliah dari dosen-dosen yang bukan praktisi ternyata menghalangi mereka dalam melakoni pekerjaan advertising a la dunia nyata, sedangkan mereka enggan keluar dari zona kenyamanan akademik mereka! Saya sampai berkesimpulan bahwa dunia kampus hanya menelurkan lulusan yang siap pakai, tetapi tidak siap kerja!

Pengalaman menjadi guru yang baik hanya jika ia tidak mengikat Anda untuk maju berlangkah-langkah ke depan. Tidak sedikit pelaku wirausaha yang jera berwirausaha ketika dirinya didera pengalaman dengan kegagalan, padahal dalam kegagalan itu tertera segudang pembelajaran yang akan sangat berguna jika ia melanjutkan tindakan wirausahanya. Takut dan khawatir juga merupakan noda dalam upaya menumbuhkembangkan kreativitas. Pendek kata, kita harus melepas (let go) itu semua, dan menjadi bebas.

Tidak Ada Gunanya Menginginkan Kebebasan
Semua orang menginginkan kebebasan. Tetapi, ketahuilah, kita takkan mendapatkannya, selama kita masih menginginkan. Untuk menjadi benar-benar bebas, kita tidak lagi menginginkan, melainkan menjadiSimply be.

Ketika masih menginginkan, akan susah bagi kita untuk go for it (melakukan saja), karena sudah pasti kunci-kunci dalam pikiran kita akan mencegah kita melakukan apa yang kita kehendaki untuk kesuksesan pribadi kita (saya sebut demikian, karena sejatinya kesuksesan adalah yang dicapai oleh kesadaran diri pribadi, bukan lantaran menuruti tolok ukur orang lain). Belum melakukan, atau mewujudkan, gagasan atau cita-cita, Anda sudah tersandung oleh pikiran Anda sendiri bahwa hasilnya tidak akan maksimal, atau tidak sesuai dengan harapan klien, atau Anda akan dicerca orang, atau Anda merasa tidak punya pengetahuan yang menunjang tindakan Anda dalam mewujudkan sesuatu, atau Anda merasa tidak berpengalaman.

Tidak sedikit orang yang gagal melakoni usaha, bukan karena usahanya berpotensi gagal, melainkan lantaran mereka tidak mau memulainya. Waktu mereka habiskan untuk berkutat memikirkan bagaimana memulainya, bagaimana biar tidak menanggung risiko (realistis saja, Bung, tidak ada tindakan yang tidak berisiko!), bagaimana kalau gagal, modalnya dari mana, klien atau pelanggannya dari mana, dan sebagainya. Lupakan sejenak omong-kosong itu. Tuhan tidak akan mengubah nasib kita, bila kita sendiri tidak mau berubah. Mau memulai usaha? Mulai saja, go for it!

Ketika saya ditawari proyek penulisan laporan tahunan (annual report) sebuah perusahaan pupuk nasional pada akhir tahun 2007, saya belum punya pengalaman dalam hal itu dan tidak punya pengetahuan secuil pun mengenai public relations writing, suatu ranah penulisan yang di dalamnya termasuk penulisan laporan tahunan. (Setahun kemudian, saya baru menemukan buku tentang PR writing di toko buku, tetapi saya tidak berminat membelinya, lantaran setelah saya baca sebagian isinya ternyata semua sudah saya praktikkan tanpa saya tahu teorinya!)

Saat itu, saya berpikir, “Why not go for itThere’s always a first time for everything.” (Kenapa tidak diterima saja? Selalu ada pertama kali untuk semua hal.) Ketika klien menanyakan perihal pengalaman saya, dengan santai saya bilang, “Gimana saya bisa punya pengalaman kalau Bapak nggak kasih saya kesempatan?” Si klien sempat ragu, pasalnya perusahaan yang direpresentasinya ingin memenangkan posisi “5 Besar” dalam Annual Report Award (ARA) tahun 2008. Tentunya merupakan hal yang riskan bila ia mempercayakan penulisan laporan tahunan perusahaannya kepada seseorang yang belum berpengalaman.

Saya kira ada campur tangan Ilahi ketika si klien akhirnya memberi saya kesempatan yang menantang itu. Singkat cerita, saya berhasil melaksanakan pekerjaan yang saya tidak miliki pengetahuan maupun pengalaman yang relevan tentangnya, dan predikat Juara II untuk kategori non-listed company dimenangkan perusahaan pupuk nasional itu di ajang ARA 2008!

Kesimpulannya, tidak usah menginginkan kebebasan. Jadilah bebas, maka Anda baru bebas. Logis kan?!

Menghentikan Waktu
Dapatkah kita menghentikan waktu? Menurut saya, bisa. Yaitu dengan mempraktikkan ajakan Sang Buddha untuk senantiasa hidup di saat sekarang. Saya menyebutnya ‘ajakan’, bukan ‘ajaran’, karena Sang Buddha dengan rendah hati mengundang siapa saja untuk mengikuti, bukan taat ‘mati’, lantaran kepercayaan tanpa landasan pengetahuan maupun kesadaran diharamkan dalam Buddhisme. Sang Buddha tidak meminta kepercayaan Anda padanya jika Anda belum mengalaminya sendiri. Dalam Islam, sebenarnya, juga demikian: tahqiq (sadar) lebih diutamakan daripada taqlid (ikut-ikutan).

Saat sekarang adalah detik ini, dengan menjadi, bukan menginginkan begini atau begitu nanti, atau menyesali yang telah lewat. Menjadi saja (simply be), sekarang juga. Saat kita menjadi, detik ini, detik ini pula waktu berhenti. Dengan menjadi, kesadaran penuh tercapai; fokus secara alami, bukan fokus yang dikehendaki. Kawan saya pernah bertanya, bagaimana agar bisa khusyuk dalam sembahyang. “Lakukan saja. Khusyuk saja. Sembahyang kamu akan terusik sepanjang prosesnya karena selama itu kamu malah menanti-nanti momen kekhusyukan. Biarkan kekhusyukan datang secara alami. Nggak usah kamu harapinnggak usah kamu pikirin. Terima aja dan jadilah,” kata saya, santai.

Sudahkah Anda mencintai dengan bebas? Pertanyaan itu terlontar dari dalam diri ketika saya sedang mencintai seseorang. “Sebab, kalau kamu belum mencintai dengan bebas, itu bukan cinta yang sejati!” lanjut suara batin saya itu. Mencintai dengan bebas berarti tidak menghambat diri untuk memberi. Beri saja apa yang Anda ingin beri. Limpahkan cinta seutuhnya, tidak dipagari oleh penilaian ini-itu, pertimbangan begini-begitu. Cintai saja. Tuhan dan ibu kita juga hanya memberi dan memberi, tidak harap kembali. Maaf, saya tidak percaya Tuhan bisa disogok dengan sembah-sujud dan puja-puji berjuta kali agar Dia melimpahkan cintaNya kepada kita. Yang saya percayai adalah bahwa Dia hanya Cinta. Bahkan ketika Dia memanggil kita kembali landasannya adalah cinta, bukan kemurkaan!

Cinta (yang sejati) merepresentasi kebebasan sejati. Pada dirinya tidak melekat penjelasan, syarat, pamrih, hal-hal yang membuatnya terlarang, salah-benar, norma, dan lain-lain. Dia mengada saja. Kalau Anda mencintai seseorang lantaran orang itu memenuhi ideal Anda tentang sesuatu, baik itu menyangkut fisik maupun kepribadian, percayalah itu bukan cinta, melainkan tertarik atau naksir (infatuation). Anda boleh yakin bahwa itu cinta yang sesungguhnya, ketika Anda tidak punya penjelasan masuk akal mengenai alasan Anda mencintai seseorang. Anda mencintainya saja!

Kebebasan merupakan visi bagi kebanyakan orang. Tetapi kita belum bebas bila tidak menjadi. Simply be.Ó


Mampang Prapatan XI, Jakarta Selatan, 14 Desember 2011

No comments: