Monday, September 24, 2012

Nama Besar


“Di dunia kita yang penuh dengan nama-nama besar ini, anehnya, para pahlawan sejati kita cenderung anonim. Dalam kehidupan yang penuh ilusi dan kuasi-ilusi ini, orang yang memiliki kebajikan penuh yang bisa dikagumi untuk sesuatu yang lebih besar daripada kebesaran namanya seringkali terbukti merupakan pahlawan tanpa tanda jasa: guru, perawat, ibu, polisi yang jujur, serta para pekerja keras yang seorang diri melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bergaji rendah dan tidak menarik.”


TAHUN 1995-1996, saya berkesempatan bekerja sebagai junior copywriter di sebuah biro iklan multinasional yang dijuluki “Biro Iklan No.1 Indonesia”. Lepas dari situ, dengan penuh percaya diri saya mengirim lamaran ke 20 biro iklan berskala besar, menengah dan kecil di Jakarta, dengan 16 di antaranya memanggil saya untuk wawancara. Kepercayaan diri saya lebih didorong oleh kesadaran bahwa saya mendompleng nama besar dari biro iklan tersebut.

Kenomorsatuan biro iklan tempat saya bekerja itu terbukti dengan bagaimana para creative director, ekspat maupun lokal, menyambut saya: Mereka semua segan, lantaran saya menyandang nama besar biro iklan multinasional tersebut. Bahkan satu creative director asal Australia yang mewawancarai saya, ketika saya tawari untuk memeriksa portofolio karya-karya iklan yang pernah saya buat selama bekerja di biro iklan multinasional tersebut, menepis sambil berkata, “Tidak perlu. Saya sudah tahu kualitas orang-orang dari biro iklan tempat Anda bekerja itu.”

Mendompleng nama besar memang banyak enaknya, tetapi saya tidak memungkiri bahwa tidak enaknya juga banyak. Saya jadi merasa tidak nyaman, lantaran semua orang di biro-biro iklan tempat saya bekerja kemudian selalu mengharapkan yang terbaik dari diri saya. Giliran saya tidak dapat memberikan hasil yang baik, mereka mengait-kaitkan saya dengan nama besar itu: “Mantan biro iklan besar kok nggak mutu idenya?!”

Sebaik-baiknya dan seenak-enaknya mendompleng nama besar, masih jauh lebih asik menjadi diri sendiri. Selama lima tahun pertama berkarir di industri periklanan, saya belum begitu yakin pada kemampuan diri sendiri, sehingga merasa perlu mendompleng pada nama besar sederet biro iklan multinasional yang saya singgahi dalam kurun waktu 1994-1999. Sesudah itu, barulah saya memiliki pengalaman dan pengetahuan yang dapat saya andalkan untuk menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang bermutu.

Tidak sedikit orang yang memanfaatkan nama besar orang lain, organisasi sosial dan/atau bisnis untuk mencapai tujuannya atau untuk memuaskan kepentingannya. Bila orang-orang tersebut bertindak dan bersikap sebesar nama besar yang disandangnya, tentu hal itu tidak menimbulkan masalah bagi dirinya maupun orang lain. Yang menjadi masalah adalah apabila sikap dan tindakan mereka tidak sejalan dengan nama besar yang padanya mereka mendompleng.

Para alumni akademi militer terbaik Amerika Serikat di West Point, New York, mengenal kebiasaan yang dinamai “mengetuk cincin” (knocking the ring) untuk mempertegas kepada pihak lain bahwa mereka membawa nama besar USMA (United States Military Academy) West Point, sehingga jangan coba-coba berhadapan dengan mereka. Istilah “mengetuk cincin” itu muncul dari kebiasaan para alumni West Point ketika berdebat dengan sesama perwira yang asal sekolahnya bukan West Point, tapi ROTC (Reserve Officers’ Training Corps, Korps Latihan Perwira Cadangan) atau OCS (Officer Candidate School, Sekolah Calon Perwira). Ketika perdebatan memanas dan seorang alumnus West Point tampaknya mulai terdesak, dia akan mengetukkan cincin almamaternya ke meja, seakan berkata, “Lu jangan macem-macem deh sama gue. Gue ini lulusan West Point tau!”   

Membaca tentang hal “mengetuk cincin” itu di buku karya Hans Halberstadt, Army: The U.S. Army Today (Kent: Grange Books, 2003), saya sempat bertekad dalam hati, jangan sampai saya mempermalukan diri saat berbeda pendapat dengan orang lain dengan mengatakan, “Jangan macem-macem ya sama gue, gue ini lulusan UI dan anggota SUBUD lho!”

Kesadaran akan nama besar yang kita sandang, entah dari nama orang tua atau leluhur kita, organisasi di mana kita bernaung atau perusahaan tempat kita bekerja, bagaimanapun memiliki sisi positif, yaitu apabila hal tersebut dapat mendayai usaha kita untuk menjaga dan meningkatkan kualitas diri. Jangan sampai, mentang-mentang menyandang nama besar, kita lantas bertindak dan bersikap semaunya atau tidak sesuai kualitas sejati dari nama tersebut, karena hal itu malah akan menurunkan derajat dari orang atau organisasi yang namanya kita sandang dengan bangga. Saya memahami satu hal dari menyandang nama ayah saya, walaupun beliau sudah tiada: Hal tersebut bermakna saya mendoakan beliau melalui tindakan dan sikap saya; kalau tindakan dan sikap saya tidak sesuai atau mencemari nama ayah saya, maka saya telah membiarkan beliau menderita di alam baka!

Mendompleng nama besar memang tidak mudah, walaupun tak jarang tindakan itu menguntungkan kita secara material maupun sosial. Daripada keberatan beban menyandang nama besar orang lain atau organisasi, alangkah baiknya kita membangun nama besar untuk diri kita sendiri melalui pembentukan citra yang baik dengan senantiasa melakukan hal-hal positif bagi kepentingan kita sendiri maupun sesama kita.©


Mampang Prapatan XV, Jakarta Selatan, 24 September 2012











No comments: