Friday, July 27, 2007

"Kamu harus menemukan apa yang kamu cintai," kata Jobs.

Berikut ini naskah dari pidato Steve Jobs, CEO Apple Computer dan Pixar Animation Studios, yang disampaikan pada 12 Juni 2005 di hadapan para wisudawan sebuah universitas di Amerika Serikat.

Saya merasa terhormat hadir bersama Anda dalam wisuda Anda di salah satu universitas terbaik di dunia. Saya tidak pernah menamatkan kuliah saya. Jujur saja, inilah pertama kali saya menghadiri wisuda sarjana. Hari ini saya akan bercerita kepada Anda tentang tiga kisah hidup saya. Itu saja. Tidak ada yang luar biasa. Hanya tiga kisah.

Kisah pertama adalah tentang menghubungkan titik-titik.

Saya drop-out dari Reed College setelah 6 bulan pertama, tapi tetap datang ke kampus selama kurang lebih 18 bulan berikutnya sebelum saya benar-benar keluar. Lalu, mengapa saya drop-out?

Semuanya bermula sebelum saya dilahirkan. Ibu kandung saya adalah seorang mahasiswi yang masih belia dan belum menikah, dan ia memutuskan untuk menyerahkan saya agar diadopsi orang lain. Ia sangat menginginkan agar saya diadopsi oleh pasangan sarjana, sehingga semuanya sudah beres bagi saya sebelum diadopsi oleh seorang pengacara dan istrinya. Tapi ketika saya dilahirkan mereka memutuskan pada menit terakhir bahwa mereka menginginkan anak perempuan. Sehingga kedua orangtua saya, yang ada di dalam daftar tunggu, mendapat telepon tengah malam, bertanya: “Kami mendapat bayi laki-laki yang tidak diharapkan; Anda mau dia?” Mereka bilang: “Tentu saja.” Ibu kandung saya kemudian mendapat tahu bahwa ibu angkat saya tidak pernah lulus dari bangku kuliah dan bahwa ayah angkat saya tidak pernah menamatkan SMA. Ia menolak menandatangani dokumen adopsi. Ia baru mau menerima beberapa bulan kemudian ketika orangtua angkat saya berjanji bahwa suatu hari saya akan dimasukkan ke perguruan tinggi.

Dan 17 tahun kemudian saya memang masuk perguruan tinggi. Tapi dengan lugunya saya memilih sekolah yang hampir sama mahalnya dengan Stanford, dan seluruh tabungan orangtua angkat saya habis untuk membiayai kuliah saya. Setelah 6 bulan, saya tidak menemukan arti buat apa saya kuliah. Saya sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang ingin saya lakukan dengan hidup saya dan bagaimana kuliah bisa membantu memberi saya jawaban. Dan saya terus menghabiskan uang yang telah ditabung orangtua angkat saya selama hidup mereka. Saya lalu memutuskan untuk meninggalkan bangku kuliah dan merasa yakin bahwa segalanya akan berakhir dengan baik. Saya lumayan takut pada waktu itu, tapi kalau saya menengok ke belakang ternyata itu adalah keputusan terbaik yang pernah saya buat. Pada saat saya DO saya berhenti mengambil mata kuliah yang tidak menarik minat saya dan mulai mengikuti kuliah-kuliah yang tampaknya menarik.

Tidak semuanya penuh romantika. Saya tidak punya kamar sendiri di asrama, sehingga saya menumpang tidur di lantai kamar teman-teman saya; saya mengembalikan botol-botol Coca Cola dengan uang tukar 5 sen untuk membeli makanan; dan saya berjalan kaki sejauh 7 mil ke kota setiap Minggu malam untuk mendapatkan seporsi makanan lezat per minggu di kuil Hare Krishna. Saya menyukainya. Dan kebanyakan yang saya jumpai karena mengikuti rasa penasaran dan intuisi saya menjadi sesuatu yang amat bernilai di kemudian hari. Satu contohnya begini:

Reed College pada waktu itu menyediakan kursus kaligrafi yang mungkin terbaik di seluruh negeri. Di seluruh kampus setiap poster, setiap label pada setiap laci, diukir sangat indah dengan kaligrafi. Karena saya sudah DO dan tidak perlu lagi mengambil mata-mata kuliah normal, saya memutuskan untuk mengambil kuliah kaligrafi untuk belajar bagaimana melakukannya. Saya belajar tentang tipografi serif dan sans serif, tentang variasi jumlah spasi antara berbagai kombinasi huruf, dan tentang membuat tipografi yang hebat. Benar-benar tampak indah, menyejarah dan artistik dalam cara yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, dan saya menganggapnya sangat menarik.

Tak satu pun dari ini semua memiliki aplikasi praktis dalam hidup saya. Tapi 10 tahun kemudian, ketika kami tengah merancang komputer Macintosh pertama, semuanya kembali saya pakai. Dan kami merancangnya semua ke dalam Mac. Inilah komputer pertama dengan tipografi yang indah. Bila saya tidak pernah mengikuti kursus tersebut di kampus, komputer Mac takkan pernah memiliki tipografi ganda atau huruf-huruf yang berspasi secara proporsional. Dan karena Windows hanya meniru Mac, tampaknya tidak ada komputer pribadi yang memilikinya. Bila saya tidak pernah DO, saya takkan pernah mengikuti kelas kaligrafi tersebut, dan komputer-komputer pribadi tidak akan memiliki tipografi hebat seperti yang mereka miliki sekarang. Tentu saja tidak mungkin untuk menjalin titik-titik (connecting the dots) jauh ke depan ketika saya masih kuliah. Tapi bagi saya sangat jelas dengan melihat ke belakang, sepuluh tahun kemudian.

Sekali lagi, Anda tidak dapat menghubungkan titik-titik dengan melihat ke depan; Anda bisa melakukannya bila Anda melihat ke belakang. Jadi, Anda harus yakin bahwa titik-titik itu bagaimanapun akan terjalin di masa depan Anda. Anda harus meyakini sesuatu – nyali, takdir, hidup, karma Anda atau apa pun. Pendekatan ini tak pernah mengecewakan saya, dan telah membuat semua kemajuan dalam hidup saya.

Kisah kedua saya adalah tentang cinta dan kehilangan.

Saya sungguh beruntung. Saya menemukan apa yang ingin sekali saya lakukan pada awal kehidupan saya. [Steve] Woz dan saya mengawali Apple di garasi orangtua saya ketika saya berusia 20 tahun. Kami bekerja keras, dan dalam waktu 10 tahun Apple tumbuh dari hanya kami berdua di dalam garasi menjadi perusahaan senilai $2 miliar dengan karyawan lebih dari 4.000 orang. Kami baru saja merilis ciptaan kami yang terbaik – Macintosh – setahun sebelumnya, dan saya baru memasuki usia 30 tahun. Lalu saya dipecat. Bagaimana Anda bisa dipecat dari perusahaan yang Anda bangun sendiri? Ketika Apple mulai tumbuh kami memperkerjakan seseorang yang saya kira sangat berbakat untuk menjalankan perusahaan bersama saya, dan selama kira-kira tahun pertama segalanya berjalan baik. Tapi lalu visi-visi kami mengenai masa depan mulai berbeda dan akhirnya kami mengalami perpecahan. Ketika kami melakukannya, Dewan Direksi kami berpihak kepadanya. Sehingga pada usia 30 tahun saya keluar. Dan benar-benar keluar. Apa yang telah menjadi fokus dari keseluruhan hidup saya sebagai orang dewasa telah hilang, dan ini menyakitkan.

Saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya lakukan selama beberapa bulan. Saya merasa bahwa saya telah mengecewakan generasi entrepreneur terdahulu – bahwa saya telah menjatuhkan tongkat estafet ketika akan diserahkan ke saya. Saya berjumpa dengan David Packard dan Bob Noyce dan berusaha untuk meminta maaf karena telah mengacau sedemikian rupa. Saya merupakan kegagalan publik yang sangat besar, dan saya bahkan berpikir untuk kabur dari lembah [Silikon]. Tapi sesuatu mulai muncul perlahan pada diri saya – saya tetap mencintai apa yang saya lakukan. Kejadian-kejadian di Apple tidak mengubah hal itu sedikit pun. Saya telah ditolak, tapi saya tetap memiliki cinta. Dengan begitu saya mulai lagi dari awal.

Saya tidak melihatnya pada waktu itu, tapi tampaknya bahwa dengan dipecatnya saya dari Apple merupakan hal terbaik yang pernah saya alami. Rasa berat karena menjadi sukses tergantikan dengan rasa ringan karena kembali menjadi pemula, yang kurang pasti akan segala sesuatu. Ini membebaskan saya untuk memasuki salah satu periode paling kreatif dari hidup saya.

Selama lima tahun berikutnya, saya memulai sebuah perusahaan bernama NeXT, perusahaan lainnya lagi bernama Pixar, dan jatuh cinta pada seorang wanita luar biasa yang kemudian menjadi istri saya. Pixar selanjutnya menciptakan film feature animasi komputer pertama di dunia, Toy Story, dan kini merupakan studio animasi paling sukses di dunia. Menyusul serangkaian peristiwa, Apple membeli NeXT, saya kembali ke Apple, dan teknologi yang kami kembangkan di NeXT terletak di pusat kebangkitan Apple sekarang ini. Dan Laurene dan saya pun telah membangun keluarga yang hebat bersama-sama.

Saya sangat yakin tak satu pun dari ini semua akan terjadi bila saya tidak dipecat dari Apple. Ini merupakan obat yang berasa amat pahit, tapi saya kira pasien membutuhkannya. Terkadang hidup memukul kepala Anda dengan batu bata. Jangan kehilangan kepercayaan. Saya yakin bahwa satu-satunya yang membuat saya bertahan adalah bahwa saya mencintai apa yang saya lakukan. Kamu harus menemukan apa yang kamu cintai. Dan itu berlaku baik untuk pekerjaan Anda maupun untuk orang-orang yang Anda cintai. Pekerjaan Anda akan mengisi sebagian besar dari hidup Anda, dan satu-satunya cara untuk merasa benar-benar puas adalah dengan melakukan apa yang Anda yakini merupakan pekerjaan yang baik. Dan satu-satunya cara untuk melakukan pekerjaan yang baik adalah dengan mencintai apa yang Anda kerjakan. Bila Anda belum menemukannya, teruslah mencari. Jangan berhenti. Seperti segala sesuatu yang berkaitan dengan hati, Anda akan tahu saat Anda menemukannya. Dan, seperti hubungan yang hebat, ia akan menjadi semakin baik seiring perjalanan waktu. Jadi, teruslah mencari sampai Anda menemukannya. Jangan berhenti.

Kisah ketiga saya adalah tentang kematian.

Ketika saya berusia 17 tahun, saya membaca sebuah pepatah yang berbunyi kurang-lebih begini: “Bila kamu menjalani setiap harimu seolah merupakan hari terakhirmu, suatu saat kamu pasti akan menghadapinya.” Ini memberi kesan tersendiri pada diri saya, dan sejak itu, selama 33 tahun, setiap pagi saya bercermin dan bertanya pada diri sendiri: “Bila hari ini adalah hari terakhir hidup saya, akankah saya melakukan apa yang hendak saya lakukan hari ini?” Dan jika setiap kali jawabannya adalah “Tidak” selama berhari-hari berturut-turut, saya tahu bahwa saya harus mengubah sesuatu.

Mengingat bahwa saya akan segera mati merupakan alat terpenting yang pernah saya jumpai untuk membantu saya membuat pilihan-pilihan besar dalam hidup. Karena hampir segala sesuatunya, segala harapan eksternal, semua kebanggaan, semua ketakutan akan rasa malu atau kegagalan – semua ini sirna ketika maut tiba, hanya menyisakan apa yang benar-benar penting. Mengingat bahwa Anda akan mati adalah cara terbaik yang saya tahu untuk menghindari jebakan pikiran bahwa Anda harus kehilangan sesuatu. Anda sudah kepalang telanjang. Tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati Anda.

Kira-kira setahun yang lalu saya didiagnosis menderita kanker. Saya di-scan pada pukul 7.30 pagi, dan jelas menunjukkan adanya tumor di pankreas saya. Saya bahkan tidak tahu apa itu pankreas. Para dokter memberitahu saya bahwa ini hampir pasti suatu tipe kanker yang tidak bisa disembuhkan, dan bahwa harapan hidup saya tidak lebih lama daripada tiga sampai enam bulan. Dokter saya menyarankan agar saya pulang untuk membereskan semua urusan saya, yang merupakan kode dokter yang berarti ‘bersiaplah untuk mati’. Itu artinya Anda harus berusaha memberitahu anak-anak Anda segala sesuatu yang Anda pikir Anda masih memiliki 10 tahun lagi untuk memberitahu mereka. Itu artinya Anda harus yakin segalanya sudah beres sehingga keluarga Anda akan semudah mungkin menerimanya. Itu artinya Anda harus mengucapkan selamat tinggal.

Saya hidup dengan diagnosis itu sepanjang hari. Malamnya, saya mendapat biopsi, di mana mereka memasukkan endoskopi melalui kerongkongan saya, ke perut saya dan memasuki lambung saya, menusukkan jarum ke pankreas saya dan mengambil sedikit sel dari tumor. Saya merasa cemas, tapi istri saya, yang hadir mendampingi saya, memberitahu saya bahwa ketika mereka mengamati sel-sel tersebut di bawah mikroskop para dokter mulai menangis, karena ternyata itu merupakan bentuk kanker pankreas yang amat langka dan dapat disembuhkan dengan operasi. Saya pun menjalani operasi dan kini saya sehat-sehat saja.

Inilah keadaan di mana saya berada begitu dekat dengan kematian, dan saya berharap inilah yang terdekat yang bisa saya capai untuk beberapa dasawarsa ke depan. Karena pernah melaluinya, kini saya bisa bilang kepada Anda dengan sedikit lebih pasti bahwa kematian merupakan konsep yang berguna tapi murni intelektual:

Tak seorang pun ingin mati. Bahkan orang-orang yang ingin masuk surga pun tidak mau mati untuk sampai ke sana. Bagaimanapun, kematian adalah takdir yang akan kita semua alami. Tak seorang pun pernah bisa menghindarinya. Dan begitulah semestinya, karena Kematian kiranya merupakan satu-satunya penemuan terbaik dari Hidup. Kematian merupakan agen perubahan dari Hidup. Kematian menyingkirkan yang tua untuk memberi jalan kepada yang baru. Saat ini, yang baru adalah Anda, tapi suatu hari tidak lama dari sekarang, Anda akan perlahan menjadi tua dan disingkirkan. Maafkan saya karena saya begitu mendramatisasinya, tapi inilah yang sebenarnya.

Waktu Anda terbatas, jadi jangan disia-siakan dengan menjalani hidup orang lain. Jangan terjebak dengan dogma – yaitu hidup dengan hasil-hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan suara-suara pendapat orang lain menenggelamkan suara batin Anda sendiri. Dan yang paling penting, miliki keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisi Anda. Bagaimanapun, mereka sudah tahu Anda sesungguhnya ingin jadi apa. Yang lain-lainnya itu nomor dua.

Waktu saya masih muda, ada sebuah terbitan yang bagus, bernama The Whole Earth Catalog, yang merupakan salah satu kitab suci dari generasi saya. Ia diciptakan oleh seorang pemuda bernama Stewart Brand tidak jauh dari sini, di Menlo Park, dan ia menghidupkannya dengan sentuhan puitisnya. Ini terjadi pada akhir tahun 1960an, sebelum era komputer pribadi dan desktop publishing, sehingga semuanya dibuat dengan mesin ketik dan kamera Polaroid. Ini mirip Google dalam format kertas, 35 tahun sebelum Google muncul: terbitan ini amat idealistik dan penuh dengan pendekatan-pendekatan yang bagus dan gagasan-gagasan besar.

Stewart dan timnya mengedarkan beberapa edisi The Whole Earth Catalog, dan ketika sudah mencapai tujuannya mereka mengeluarkan edisi terakhir. Waktu itu pertengahan tahun 1970an, dan saya seusia Anda. Pada kulit belakang dari edisi terakhir mereka terdapat sebuah foto dari pemandangan jalan desa di waktu pagi, yang pernah Anda lalui bila Anda senang bertualang. Di bawah foto itu tercantum kata-kata: “Stay Hungry. Stay Foolish.” (Jadilah terus lapar dan terus bodoh) Itu merupakan pesan perpisahan mereka. Stay Hungry. Stay Foolish. Dan saya senantiasa mengharapkan hal itu untuk diri saya. Dan kini, ketika Anda mulai melangkah mengawali hidup baru sebagai sarjana, saya mendoakan hal itu untuk Anda.

Stay Hungry. Stay Foolish.

Terima kasih.

(Sumber: www.subudusa.org/SES.php)

Wednesday, July 25, 2007

Kisah-Kisah Yang Menyembuhkan

"DE nobis fabula narratur," ungkap filsuf dan sejarawan Romawi Kuno, Cicero, yang berarti "kisah mereka adalah kisah kita juga". Kisah-kisah yang kerap digunakan untuk mengidentifikasi diri dan keadaan pada hakikatnya adalah suatu sistem simbol yang bersifat inspirasional. Karenanya, kisah-kisah sering digunakan dalam metode penyembuhan jiwa. Banyak sistem spiritual menyingkirkan doktrin-doktrin agama yang dogmatis dan non-kompromis. Gantinya adalah penyampaian (sharing) kisah-kisah para utusan Tuhan dan pencari spiritual terdahulu.

Para terapis psikologi spiritual (bidang yang dipelopori oleh psikolog Amerika, William James, ini mengkaji jiwa sebagai spirit, bukan sebagai psyche) biasanya menyampaikan kisah secara tulisan maupun lisan yang sesuai kebutuhan penderita. Pada tingkat tertentu, sebuah kisah membantu penderita membangun momentum yang diperlukan untuk bergerak menuju sesuatu yang ia identifikasi dengan keadaan dirinya. Kisah-kisah yang inspiratif mendorong penderita untuk melihat sedikit lebih jauh dari apa yang ia lihat di hadapannya. Kisah-kisah mengilhaminya untuk menjadikan sesuatu yang tidak kentara menjadi dapat dirasakan secara intuitif. Kisah-kisah membantunya melihat, berpikir dan merasakan hal-hal dan situasi yang biasanya mungkin tidak ia perhatikan.

Tugas terapis dalam hal ini adalah sekadar membuka cakrawala pandangan penderita dan menjajaki nilai-nilai yang memungkinkan dapat ditemukannya makna hidup, yaitu nilai-nilai kritis, kreatif dan sikap bertuhan. Sebagai metode penyembuhan, kisah-kisah dipandang psikologi sebagai terapi yang bercorak orientasi masa depan (future-oriented), yang efektif terhadap kasus-kasus dengan kesadaran diri dan intelejensi yang cukup baik.

Menghidupkan kebenaran

Lama sebelum kelahiran agama-agama resmi, kisah lisan menjadi wahana untuk memelihara kebijaksanaan yang berabad-abad usianya. Dalam kisah-kisah, legenda, sejarah dan perumpamaan, kebenaran tentang kehidupan menemukan ekspresinya. Kisah-kisah memperkenalkan pendengarnya pada sebuah dunia magis dan misteri, pada kemungkinan yang lain-lain. Kisah-kisah yang mempesonakan dan menenangkan pikiran yang penat di akhir sebuah hari yang melelahkan.

Kisah-kisah juga sudah lama menjadi medium pendidikan dan pengajaran tradisional. Koentjaraningrat dalam Beberapa Pokok Antropologi Sosial (cetakan ke-4, 1980) menyatakan bahwa pengkisahan beberapa peristiwa dari kehidupan tokoh-tokoh keramat atau dewa-dewa melalui upacara seni drama bisa menimbulkan suatu suasana keramat juga, yang seolah-olah bisa memberi kekuatan kepada orang untuk tahan kepada penderitaan yang akan datang.

Yesus dan Buddha sangat menonjol dalam hal menyampaikan ajaran melalui kisah-kisah. Kaum shaman serta para tetua dari setiap tradisi menangkap kearifan para guru agung dalam kisah-kisah di sekitar perapian dan pada pertemuan anggota suku, menorehkan dalam dunia pendengarnya sebuah visi kehidupan yang lebih dalam dengan berbagai gambaran dan simbol-simbol.

Masyarakat Arab pra-Islam tidak memiliki tradisi baca-tulis, sehingga kisah-kisah (tradisi lisan) menjadi metode Nabi Muhammad untuk menyampaikan kebenaran wahyu Tuhan dengan bersandar kepada kitab-kitab sebelumnya (lihat QS Faathir [35]: 3). Penyusunan Al Qur'an menjadi kitab tertulis/tercetak justru baru terwujud lama setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa kekhalifahan Utsman ibn 'Affan.

Literatur teologi dan filsafat Zaman Baru acapkali memakai kisah-kisah yang mampu menciptakan pemahaman praktikal, ketimbang gagasan-gagasan konseptual yang membuat pembaca berhenti pada teori. Psikologi sufi yang diklaim sebagai metode penyembuhan holistik mengedepankan kisah-kisah dan perumpamaan untuk menyampaikan kebenaran yang subtil.

Buku Heart, Self and Soul: The Sufi Psychology of Growth, Balance, and Harmony (1999) karya Robert Frager, misalnya, menyelipkan cukup banyak kisah semi-mitologis untuk memudahkan pembaca mengerti tentang topik-topik tasawuf yang kompleks. Maulana Wahiduddin Khan dalam karyanya, An Islamic Treasury of Virtues -- A Collection of Inspiring Thoughts, Stories, Quotes and Sayings of the Prophet Muhammad and His Companions (1999), mengumpulkan kisah-kisah tentang perbuatan dan perkataan yang terpilih untuk diteladani; tujuan Khan adalah untuk memberikan gambaran otentik tentang pandangan hidup Islami.

Karya populer Christina Feldman dan Jack Kornfield, Stories of the Spirit, Stories of the Heart--Parables of the Spiritual Path From Around the World (1991), adalah kumpulan kisah-kisah pengajaran yang sifat muatannya melampaui batas-batas agama dan budaya, dari tradisi agung di Timur dan Barat, dari Kristen, Buddha, Sufi, Zen, Chassid, Hindu, suku Indian, Afrika dan sumber-sumber lainnya. Diungkap oleh kedua penulis buku tersebut, "Setiap kisah terus hidup, terisi dengan hati dan inspirasi dari tradisi-tradisi ini."

Logoterapi

Berdasarkan penjelasan di atas, kisah-kisah yang berpotensi menyembuhkan tersebut termasuk ranah logoterapi, sebuah corak psikoterapi yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Victor Frankl (1905), seorang ahli penyakit syaraf dari Austria.

Logoterapi menggunakan metode retrospektif (mengenang kembali) dan introspeksi terhadap perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dan lain-lain melalui, antara lain, kisah-kisah yang dengannya penderita dapat mengidentifikasi dirinya. Kisah-kisah yang tergolong sejarah itu, bagaimanapun, terfokus pada masa depan dan kewajiban serta makna hidup yang harus dipenuhi oleh seseorang.

Dalam kehidupan, mungkin hasrat hidup bermakna sebagai motif utama tidak dapat terpenuhi, karena ketidakmampuan kita melihat, bahwa dalam kehidupan itu sendiri terkandung makna hidup yang sifatnya potensial, yang perlu disadari dan ditemukan. Keadaan ini menimbulkan semacam frustrasi yang disebut frustrasi eksistensial, yang pada umumnya diliputi oleh penghayatan tanpa makna. Gejala-gejalanya sering tidak terungkapkan secara nyata, karena umumnya bersifat laten dan terselubung.
Pendekatan kisah-kisah membantu pribadi untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya dan menyadarkan akan tanggung jawabnya, baik terhadap diri sendiri, hati nurani, keluarga, masyarakat maupun terhadap Tuhan. Kisah-kisah menjawab dan menyelesaikan berbagai problem, krisis dan keluhan manusia masa kini, yang intinya adalah seputar hasrat untuk hidup secara bermakna.

Kisah-kisah mencitrakan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam upaya menemukan makna hidup, yakni melalui hal-hal yang dialami dan dihayati. Kisah-kisah menuntun pikiran bawah sadar (sub-conscious mind) untuk mengambil sikap terhadap keadaan dan penderitaan yang tidak mungkin dielakkan. Kisah-kisah menunjukkan suatu jalan, memancarkan cahaya di jalan kita, mengajari kita bagaimana kita melihat, menyingkap kenyataan psikologis dan kejiwaan kita, menerangi kenyataan dan kesulitan-kesulitan yang tak terhindarkan dalam keseluruhan perjalanan kita. Seperti dinyatakan oleh Cicero pula: "Historia vitae magistra -- kisah sejarah adalah guru kehidupan."(AD)

Diri Merdeka

Tulisan berikut ini merupakan perspektif pengalaman "praktis" saya saat menempuh jalan spiritual. Juga sebagai refleksi diri menyambut peringatan enampuluh dua tahun Proklamasi Kemerdekaan RI.

Sebuah pertanyaan teosofis patut diajukan setiap kali kita, rakyat Indonesia, merayakan peringatan Hari Proklamasi pada 17 Agustus: Benarkah kita sudah merdeka?

Dari sudut pandang fisikal, kita memang sudah lepas dari kekang penjajahan bangsa asing ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, bila kita merefleksi diri ke dalam, ada beberapa keraguan yang patut diajukan.

Keraguan itu bersandarkan pada hakikat kemanusiaan kita. Sebab, secara hakiki, manusia bukanlah makhluk fisik di dunia spiritual, melainkan makhluk spiritual di dunia fisik. Kita terbentuk oleh Ruh dari Allah, bukan oleh paradigma, pengalaman, lingkungan, materi atau kebendaan lainnya. Artinya, anggapan kita selama ini bahwa keutuhan ragawi merupakan han kodrati manusia hidup di dunia sebenarnya adalah "kebenaran semu".

Pendekatan nalar dalam ajaran-ajaran agama menegaskan bahwa Tuhanlah yang gaib, tidak berujud, sehingga ajaran-ajaran tersebut menafikan "bersatunya Allah dengan diri" kita. Padahal kenyataan di jalan spiritual membuktikan bahwa memang diri atau jiwa adalah hakikat kita. Jiwa yang terkondisikan secara keilahian untuk senantiasa berada dalam bimbinganNya, bila manusia berserah diri tanpa syarat ke dalam Kekuasaan Tuhan Yang Maha Wujud!

Merefleksi sang diri, yang di zaman modern ini terlampaui kekuasaan akal pikir dan hawa nafsu, menjadi dasar penilaian bahwa secara mental dan spiritual orang Indonesia belum merdeka seutuhnya.


A. Reza Arasteh dalam bukunya Growth to Selfhood--A Sufi Contribution (1998), menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "diri" hakiki adalah diri yang terbentuk dari produk jagat raya dalam evolusi (universal self), suatu entitas dari ruh (spirit) yang diisikan Tuhan pada awal penciptaan manusia. Teosofi Jawa menyumbangkan terminologi "jiwa" ke dalam kamus esoterikisme Indonesia, yang secara etimologis kurang tepat untuk disinonimkan dengan jiwa (psyche) dalam gagasan psikolog dan psikoanalis Barat, yang lebih merupakan dimensi sosial.

Makna jiwa menurut teosofi Jawa itu terasosiasi dengan "diri", "rasa", "kreativitas", "implementasi", "mengingat" (eling), dan "pengendalian". Dalam konteks ini, seseorang dapat melakukan pengembaraan ke dalam jiwa atau diri bila ia berkemauan untuk mengendalikan kerja akal pikir dan hawa nafsu (laku weneng) dan menentramkan diri (laku meneng). Pada tahap persentuhan dengan jiwa ia akan mengalami kondisi ekstase, suatu kerinduan mendalam dan agung kepada Tuhan. Segala ucapan, tindakan dan pikirannya akan terbimbing dengan sendirinya oleh "energi Illahi". Kesadaran tetap melekat pada dirinya, tetapi hanya sebagai "penonton" atas apa yang dilakukan kekuasaan Tuhan terhadap jiwanya, entitas yang tunduk kepada Sang Pencipta.

Ia lantas dihadapkan kepada situasi introspeksi dan retrospeksi; ia akan menyaksikan sendiri betapa semua perbuatan yang pernah dilakukannya membawa efek timbal-balik kepada dirinya. Di dalam Al Qur'an, berkali-kali Allah berfirman, "Dan Aku sekali-kali tidak menyiksamu, melainkan engkau menganiaya dirimu sendiri." Proses weneng dan meneng pada orang Jawa membawanya kepada kontak spiritual yang imanen dengan Tuhan (manunggaling kawula kalawan Gusti), yang diaplikasi baik dalam meditasi atau kontemplasi maupun dalam laku sehari-hari; semua ucapan, tindakan dan pikirannya senantiasa terbimbing dan tertuntun oleh Gusti Allah, seperti halnya wayang di tangan sang dalang.

Sifat jiwa terbebas dari segala sesuatu selain Tuhan. Kenyataan ini diperkuat oleh firman Allah, bahwasanya ruh adalah urusanNya. Barangkali pembaca akan berasumsi, bukan tidak mungkin setan akan menancapkan pengaruhnya. Mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, "Payahkanlah setan-setan di dalam dirimu dengan ucapan laa illaha ilallah," mahaguru Tarekat Qadirriyah, Syekh Abd' al-Qadir al-Jilani dalam Fathurrabani: Pencerahan Sufi (2001) berpendapat bahwa yang disebut "setan" adalah entitas lain dalam diri manusia, yaitu hawa nafsu atau ego! Psikolog Amerika yang juga syekh sufi Tarekat Halveti al-Jerrahi, Robert Frager, Ph.D., dalam Hati, Diri dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi (2002), menyatakan bahwa manusia merupakan wadah yang "menampung" jiwa (dzat Allah), akal pikir (sifat malaikat) dan hawa nafsu (sifat setan); ketiga-tiganya menjadikan badan kasar sebagai medan pertempuran untuk menguji keimanan manusia bahwasanya tiada Tuhan selain Allah. Akal pikir dan hawa nafsu adalah alat-alat peserta manusia untuk melakoni hidup di dunia. Ibarat radar, jiwa menerima banyak petunjuk dari Tuhan, yang sering tidak jelas maknanya. Untuk itu, manusia harus berikhtiar menemukan jawabannya berbekal hasrat pendorong, melalui prosesor pencitraan yang bernama akal pikir.

Diri yang merdeka (baca: jiwa yang berserah diri kepada Tuhan semata) senantiasa dituntun di jalan yang diberi Cahaya Allah (petunjuk atau wahyuNya). Baik atau buruk adalah tolok ukur relatif di jalan spiritual ini. Yaitu dalam kerangka penemuan hakikat eksistensi diri: Keburukan bisa jadi sebuah jalan menuju kebaikan. Atau, maksud baik belum tentu berakibat baik. Kita tidak akan bisa merasakan nikmatnya makan bila kita tidak pernah merasakan sengsaranya kelaparan, kan?

Spiritualitas yang terhidupkan membuat manusia sampai pada kesadaran bahwa Tuhan memang tidak pernah menyiksa umatNya yang berbuat kemudharatan, melainkan manusia menganiaya dirinya sendiri. Tanpa bermaksud menggugat syari'at Islam atau qanun yang berlaku di Aceh dewasa ini, saya merasa bahwa hukum cambuk yang diterapkan kepada para penjudi tidak akan menjerakan mereka. Yang mudah-mudahan akan membuat mereka benar-benar jera adalah siksa neraka kemiskinan yang semakin berat, akibat harta mereka--yang sudah kekurangan--dipertaruhkan di meja judi. Secara teoritis, manusia mau berubah, hanya bila itu berasal dari dirinya.

Menurut Arasteh, yang juga saya alami di jalan spiritual, kebanyakan orang paling tidak satu kali dalam hidup mereka pernah mendengarkan suara batin mereka dan seringkali melihat signifikansinya. Sebagian lagi, pada saat yang tepat berada pada situasi holistik yang membantu mereka untuk memperkuat keyakinan mereka. Pada saat seperti itu, jiwa yang terbangkitkan larut dalam tuntutan dorongan hasrat manusia dan menolak argumentasi akal pikir.

Saat transendental ini lebih unggul daripada saat pertobatan, tetapi mempunyai kesamaan karakteristik. Tobat merupakan saat menghentikan diri seseorang dari dosa, tetapi saat keyakinan adalah saat menghentikan diri dari konsep baik dan buruk, dan realisasi fakta bahwa baik dan buruk merupakan produk budaya. Saat pengenalan dengan kesadaran diri seseorang yang lebih unggul adalah saat sumpah seseorang dengan realitas wahyu dan ilham, yang akan mengarahkannya kepada kedekatan dengan hakikat Tuhan.

Apa pun yang "diskenariokan" Tuhan untuk kita mengandung hikmah pembelajaran yang hakikatnya dapat membawa kita kepada kedekatan spiritual denganNya. Asal manusia sudi dan pasrah melakukan pengembaraan ke dalam diri universalnya, cobaan adalah nikmat agung yang dikaruniakan Tuhan untuk ciptaanNya. Hanya melalui kegelapanlah kita akan melihat cahaya yang menuntun kita ke arah pencerahan spiritual--bangkit dan hidupnya sang jiwa, melampaui penjajahan akal pikir dan hawa nafsu.

Kemerdekaan diri atau jiwa merupakan kodrat Illahi, kemurahan Tuhan yang tiada habisnya dan tidak berbatas dalam kekuasaanNya (lihat firmanNya di atas). Jiwa yang berserah diri kepada Tuhan tidak tersentuh oleh nilai-nilai dunia yang lama-kelamaan menjadi sumber pertentangan antar umat manusia, yang mana memunculkan pemberhalaan terhadap ritual dan pemberhalaan terhadap materi.

Ritual yang diajarkan agama bila dipahami secara kontemporer dan kontekstual, adalah suatu "jalan" menuju Tuhan. Namun, tanpa kita sadari fanatisme sering membutakan kita sehingga kita cenderung menyembah "jalan" tersebut, bukannya Tuhan. Dan kita juga menyembah berupa simbol-simbol; simbol merupakan materi, sedangkan Tuhan tidak terbatasi materi. Dia adalah Ruh Yang Maha Kuasa dan tidak dapat dibatasi oleh materi. Spiritualitas merupakan suatu jalan tanpa ritual--atau, spiritual merupakan dasarnya ritual --yang diyakini dapat meraih Tuhan seperti agama. Frager menyebutkan, jalan kepada Tuhan adalah melalui kuilNya yang berada di dalam diri.
Tetapi orang Indonesia di zaman modern ini mengalami degradasi keikhlasan, kesabaran dan ketawakalan, menafikan ujian berat Nabi Ibrahim ketika harus menyembelih putra kesayangannya; menutup mata terhadap derita Yesus Kristus kala memanggul salib ke bukit Golgota di bawah siksa cambuk Romawi; dan memungkiri penyerahan diri Rasulullah SAW di hadapan Allah dalam mengajak umat jahiliyah ke jalanNya. Tak dipungkiri kenyataannya, bahwa kita secara kolektif telah membiarkan diri universal kita terjajah oleh akal pikir dan hawa nafsu.

Akal pikir dan hawa nafsulah yang membuat manusia merasa takut akan kekurangan materi, sehingga berkorupsi ria. Rasionalitas manusia modern menganggap Tuhan itu jauh "di surga sana", padahal Tuhan meliputi segala sesuatu, bukan sesuatu meluputiNya, sehingga para ulama pun tidak segan-segan bermaksiat. Daya-daya rendah (lower forces) manusia telah secara tidak sadar menciptakan bentukan-bentukan budaya yang berkiblat kepada materialisme dan simbol-simbol. Budaya seperti ini melahirkan pola pikir bahwa kesuksesan dalam hidup adalah kekayaan materi; dan umat beragama pun baru mau menyembah Tuhan bila diuntungi pahala dan surga, layaknya pedagang.

Ada kecenderungan umat beragama menyembah simbol-simbol, dengan kepercayaan bahwa simbol-simbol itu adalah Tuhan sendiri. Tidak mengherankan bilamana banyak umat yang diperdayai oleh kebendaan, dan kalangan pemuka agama tak segan-segan mengakomodasi umat dengan jimat-jimat yang "dilegalisasi" dengan tulisan yang dikutip secara sembarangan dari kitab suci. Bukankah Allah berfirman, "Janganlah engkau menyembah sesama makhluk!"?

Orang Indonesia harus melihat dirinya dalam perspektif pertumbuhan transformatif, agar bisa mengetahui "diri sejatinya". Sekali terbangkitkan, kita akan menyadari bahwa proses pertumbuhan yang membimbing kita kepada keadaan sekarang ini terus menerus berjalan. Proses ini mungkin berkembang lebih jauh dalam pikiran kita, dan menjadikan kita sadar akan kebutuhan kita sebagai manusia agamis atau manusia cendekia. Pada tahapan berikutnya, mengutip Arasteh, kita akan berkenalan dengan berhala-berhala dalam pikiran kita dan berusaha untuk menghancurkan semuanya agar kita dapat mencapai keadaan hidup kita yang baru.

Seorang bijak mengatakan, bahwa solusi kebahagiaan bukan didapat dari luar, tetapi dari dalam, yaitu dari diri atau jiwa yang dikodrati kemerdekaan oleh Tuhan, melampaui gemerlap kekayaan materi duniawi, bila kita berserah diri kepadaNya secara ikhlas, sabar dan tawakal. Haruskah kita menunggu enampuluh dua tahun lagi untuk memproklamasikan "diri" kita merdeka?(AD)

Wednesday, July 18, 2007

Keyakinan Mewujudkan Segalanya

Jendral Thomas Jonathan Jackson mendapat julukan "Stonewall" (tembok batu) ketika dalam Pertempuran Bull Run I (21 Juli 1861) dirinya bergeming meski di sekitarnya peluru senapan berseliweran dan peluru-peluru meriam berjatuhan. Pasukan Virginia Utara yang berada di bawah bendera Konfederasi yang dipimpinnya bergerak mundur setelah dihajar oleh pasukan Federal. Salah seorang komandan pasukan berhasil menggelorakan semangat anak buahnya untuk kembali maju setelah ia menunjuk ke arah bukit di mana Jendral Jackson berada, dengan sikap gagah berani, dan berseru, "There is Jackson standing like a stone wall. Let us determine to die here, and we will conquer. Follow me!"
Ditanya oleh salah seorang ajudannya, usai pertempuran, kenapa ia bisa tetap bergeming walau maut mengintai di tengah dahsyatnya pertempuran, salah seorang panglima pasukan Konfederasi yang legendaris semasa Perang Saudara Amerika (1861-1865) itu menjawab, "Keyakinanku pada Tuhan memberiku rasa aman meskipun di medan perang. Tuhan yang menentukan kematianku dan aku tak khawatir soal kematian." Dan Tuhan menentukan kematian Stonewall Jackson dalam Pertempuran Chancellorsville (30 April-6 Mei 1863) yang, ironisnya, disebabkan oleh peluru yang ditembakkan pasukannya sendiri!

Satu kata tercamkan di benak saya ketika membaca kisah salah seorang tokoh idola saya ini: keyakinan. Banyak pemimpin yang sukses di medan perang atau pun medan perjuangan hidup dapat bertahan kokoh karena memiliki keyakinan. Keyakinan dipercayai sebagai suatu energi yang membangkitkan mental wirausaha untuk selalu sukses menaklukkan tantangan hidup.

Keyakinan mampu mewujudkan segalanya. Kenyataan praktiskah itu atau semata ungkapan pelipur lara bagi orang yang sudah demikian terpuruk hidupnya? Robert Frager, Ph.D. dalam bukunya yang menyentak dunia psikologi tradisional (baca: psikologi Barat yang tidak berkonsep ketuhanan), Hati, Diri dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi--Cetakan ke-2 (Jakarta: Penerbit Serambi, 2003) memberikan contoh realistis tentang begitu kuatnya pengaruh daya keyakinan terhadap diri manusia--yang sebagian besar dari kita pasti pernah mengalaminya. Frager berkisah tentang seorang ibu yang mendapati anaknya terjepit di bawah mobil yang tengah direparasi si anak. Si ibu tua itu bukan Superman, bukan pula juara angkat besi, tapi ia memiliki keyakinan dalam dirinya bahwa ia bisa dan harus menyelamatkan anaknya. Dan tiba-tiba saja ia memperoleh kekuatan untuk mengangkat mobil tersebut dan menarik anaknya keluar. Ketika beberapa lama kemudian ia mencoba lagi mengangkat mobil tersebut, ia tidak mampu melakukannya.

Lain lagi dengan kisah yang dituturkan Elizabeth Kubler-Ross, M.D., psikiater rekan Frager. Seorang wanita yang sakit kanker stadium akhir dan diramalkan hidupnya tinggal empat bulan lagi, curhat ke Dr. Kubler-Ross bahwa ia belum mau mati, karena ia punya anak berumur 14 tahun yang dikhawatirkannya bakal disiksa suaminya yang psikopat. Demi anaknya, si wanita 'menolak' meninggal hingga si anak mencapai usia 18 tahun. Ketika Dr. Kubler-Ross memberitahu si wanita bahwa anaknya sudah dewasa dan bisa menghindar dari ancaman suaminya, malamnya wanita itu pun menghembuskan napas terakhir.

Familiar dengan kisah-kisah semacam ini? Atau mungkin Anda pernah tahu--atau mengalaminya sendiri--tentang anak kecil yang tiba-tiba bisa melompati pagar yang lebih tinggi dari pinggangnya, atau melompati selokan lebar, ketika dia begitu ketakutan dikejar anjing? Penjelasan yang paling saintifik berkenaan dengan ini menekankan pada "dorongan adrenalin" yang tiba-tiba terpompa. Ketakutan yang begitu besar terhadap sesuatu justru bisa menghilangkan rasa takut itu sendiri. Tahun 2005 di Surabaya, saat menunaikan sholat Hajat tengah malam, saya bertemu face-to-face (tepatnya, saling menempel jidat) dengan kuntilanak. Saya merasakan napas saya berhenti seketika, dan jantung saya serasa jatuh ke perut. Namun bukannya pingsan, adrenalin saya tiba-tiba terpompa untuk menghadapi si makhluk Dunia Lain yang super seram itu. Saat itu, saya sudah pasrah, seandainya Mbak Kunti mau mencekik saya atau apa. Tapi satu hal yang pasti, ketidakberdayaan membangkitkan keyakinan saya akan pertolongan Tuhan. Walaupun berhasil mengatasi rasa takut luar biasa saat itu, bagaimanapun saya berharap tidak akan pernah mengalami pertemuan dengan makhluk-makhluk semacam itu lagi.

Tetapi pengalaman menyeramkan itu membawa saya kepada kepahaman praktikal bahwa keyakinan yang kuat akan dapat membuat kita sanggup mengatasi masalah, bahkan mewujudkan segala sesuatu yang dihakimi akal pikir kita sebagai tidak mungkin. Keyakinan ini tidak mesti berlandaskan kepercayaan kepada Tuhan. Bisa juga disebabkan oleh kepercayaan kepada orang-orang tertentu yang sukses. Juga kepercayaan kepada cita-cita atau ideologi tertentu. Atau melalui kepercayaan kepada suatu motto/ungkapan yang memberi inspirasi/simbol.

Pada tingkat tertentu, biasanya pada kaum muda, keberadaan sebuah simbol membantu membangun momentum yang diperlukan untuk bergerak menuju sesuatu yang mereka identifikasi. Pada saat itulah, mereka dapat menjalani transisi menuju keyakinan yang lebih dewasa dengan menciptakan hubungan-hubungan pribadi dengan Tuhan, dengan menerima keyakinannya dan menjadikan keyakinan itu bagian dari semua yang ia lakukan.

Di dunia militer, utamanya pada para prajurit tempur, simbol/motto kesatuan bisa mengilhami mereka untuk menjadikan yang biasa menjadi luar biasa, yang tidak mungkin menjadi mungkin, dan sesuatu yang tidak kentara menjadi dapat dirasakan secara intuitif. Lihat saja Kapten Richard "Dick" Winters (Anda bisa menonton DVD mini-seri kisah nyata Band of Brothers untuk mengenal sosok pemimpin di medan perang ini); dia selamat melewati semua pertempuran di Eropa pada tahun-tahun terakhir Perang Dunia Kedua, walaupun dia selalu berada paling depan, langsung menghadapi tembakan musuh. Dengan keyakinan tinggi dia selalu berhasil menyemangati anak buahnya dengan seruan "Follow me!", motto pasukan infanteri Angkatan Darat AS.

Keyakinan pada kemampuan diri sendiri pun bisa membantu kita melihat, berpikir dan merasakan hal-hal dan situasi yang biasanya mungkin tidak kita perhatikan. Pendek kata, keyakinan melahirkan kesadaran. Kesadaran mencetuskan pengenalan, dan pengenalan membuka jalan bagi pengetahuan.

Pada sebagian besar orang, proses ini adalah proses yang panjang dalam kehidupan mereka. Peralihan ditandai dengan dualisme antara kritisisme yang berkelanjutan pada bentuk keyakinan, dan pencarian terus menerus akan makna; dan dengan proses kritisisme tersebut, kita bisa membedakan diri dengan keyakinan yang ditanamkan dari luar dan keyakinan pribadi yang tumbuh dari "dalam". Penemuan spiritualitas ini merupakan sesuatu yang penting dalam keberadaan kita; sesuatu yang memerlukan waktu dan usaha. Latihan spiritual (a.l. meditasi transendental, sembahyang khusyuk, berdoa khidmat) yang didukung dengan kemauan untuk memperhatikan (me-niteni) diri sendiri maupun dunia sekitarnya pada hakikatnya bisa "memendekkan" waktu tersebut, sehingga aneh--kalau tidak bisa dikatakan "anomalistik"--bila orang yang sudah berspiritualitas tidak memiliki keyakinan sama sekali bahwa ia dapat mewujudkan tindakan ikhtiar untuk kesejahteraan hidupnya.

Menjadikan keyakinan sebagai bagian dari hidup kita lebih berarti daripada menoleh pada Tuhan saat kita perlu, saat berspiritualitas atau saat kita merayakan hari besar keagamaan. Dengan menghidupkan keyakinan pribadi kita membuktikan kebenaran dari apa yang kita yakini dalam tindakan kita sehari-hari.(AD)