Monday, December 31, 2018

Mimpi di Malam Tahun Baru 2019

SAYA tidur sebelum pergantian tahun. Saya mimpi sedang jalan-jalan ke sebuah dipo lokomotif bersama satu saudara SUBUD. Ada lokomotif-lokomotif diesel dari yang tertua (CC200) sampai yang terbaru (CC206) di dalamnya, menggunakan livery dari zamannya PNKA sampai era KAI.

Saya pun minta saudara SUBUD itu memotret saya dengan masing-masing lokomotif di sebelah saya. Dia memotret saya dengan kamera ponsel saya. Saya girang sekali saat berfoto di sebelah lokomotif diesel elektrik BB200 dengan livery era PJKA (kuning-hijau), saya berharap jepretan saudara SUBUD itu bagus hasilnya. Saat saya cek ponsel saya, foto saya dengan BB200 itu tidak ada. Yang ada foto saudara SUBUD itu dengan BB200.

Saya marah pada saudara SUBUD itu, menudingnya telah menghilangkan foto tersebut. Dia menjawab tenang: "Aku terperangkap di masa lalu, sedangkan kamu selalu baru karena menggelayut di masa kini. Kamu tidak boleh hidup di masa lalu seperti aku. Sekarang kan sudah Tahun Baru."

Saya pun terbangun dari tidur jam 7.30 WIB, tanggal 1 Januari 2019.@2019


Griya Pamulang Estate, Tangerang Selatan, Banten, 1 Januari 2019

Saturday, December 29, 2018

Orang Biasa

Saya bersama istri dan putri kami saat menikmati kebersamaan di sebuah restoran di Aeon Mall BSD City,
29 Desember 2018.


SEANDAINYA SUBUD itu agama, maka itulah agama saya. Tetapi, SUBUD bukan agama, bukan pula aliran kepercayaan; sifatnya adalah Latihan Kejiwaan yang menjadi bakti tiap anggota SUBUD kepada Tuhan Yang Maha Esa. SUBUD Indonesia beranggotakan orang-orang yang telah memeluk salah satu dari agama-agama yang diakui negara. Di luar negeri, terutama di dunia Barat yang liberal, berbeda lagi keadaannya; anggota SUBUD tidak wajib memeluk agama. Tidak sedikit orang berlatarbelakang ateisme yang masuk SUBUD di Amerika dan Eropa.

Nyatanya, bimbingan yang saya terima dari Latihan Kejiwaan yang saya lakukan tiga-empat kali dalam seminggu itu benar-benar menjadi pedoman hidup saya. Kalau begitu, apa bedanya dengan agama? Bedanya, SUBUD tidak mengenal ajaran yang dogmatis, doktrin, pelajaran, atau kajian teoritis yang hanya memuaskan akal pikir, sebagaimana yang terdapat dalam agama-agama. Latihan Kejiwaan menjalinkan kontak antara saya dengan zat kekuasaan Tuhan, dan daya dari kontak ini membimbing saya dalam segala aspek kehidupan saya.

Saya melakukan Latihan Kejiwaan itu tiga sampai empat kali dalam seminggu, yaitu tiap Senin malam, Kamis malam, dan Minggu siang di Wisma SUBUD Cilandak, serta tiap Jumat malam di Tebet Mas, di rumah seorang pembantu pelatih. Seorang anggota SUBUD memang dianjurkan untuk melakukan Latihan Kejiwaan minimal dua kali dalam seminggu. Hal itu agar kontak dengan zat kekuasaan Tuhan tetap terpelihara dan stabil. Kontak ini membuat seorang anggota dapat terkoneksi dengan jiwanya yang sejak awal penciptaan selalu dalam keadaan sabar, tawakal, dan ikhlas.

Di luar hari-hari Latihan Kejiwaan bersama saudara-saudara SUBUD di hall Latihan Kejiwaan, saya adalah seorang suami bagi istri saya yang juga anggota SUBUD dan ayah bagi putri saya yang bernama Nuansa Biru Oceania. Pekerjaan saya adalah konsultan penjenamaan (branding), copywriter, memetisis, dan perencana strategis untuk pengembangan merek (brand-building) di perusahaan yang saya dirikan dan jalankan bersama istri saya, yang bernama LI9HT—The Ideas Company. Semua jenis pekerjaan yang saya lakukan, apakah di depan komputer, ketika berhadapan dengan klien, atau saat blusukan ke berbagai tempat yang dikehendaki klien, tidak memutuskan kontak saya dengan bimbingan ilahiah tersebut.

Demikian pula dalam interaksi saya dengan istri dan anak saya. Saya merasakan energi bimbingan terus-menerus dalam semua kegiatan saya. Bagi saya, semua yang saya lakukan maupun yang saya alami sehari-hari merupakan sujud atau bakti saya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada waktu-waktu khusus bagi seorang anggota SUBUD untuk berbakti kepada Tuhan; "rumah ibadah" saya adalah di mana saja saya menginjakkan kaki saya.

Dari lahiriah saya, tidak ada yang tahu bahwa saya sedang "beribadah" terus-menerus. Saya tidak mengenakan atribut-atribut yang menegaskan keterkaitan saya dengan agama atau kepercayaan tertentu. SUBUD memiliki lambang tujuh lingkaran berjari-jari tujuh, tetapi itu hanya identifikasi semata dari perkumpulan persaudaraan kejiwaan SUBUD, bukan sarana pelengkap kebaktian anggota. Yang tahu bahwa saya sedang beribadah hanyalah saya sendiri dan Tuhan. Bukan dengan gerakan-gerakan tubuh yang diatur sedemikian rupa, melainkan dengan segala gerak hidup yang tertuntun Latihan Kejiwaan, yang dalam bahasa SUBUD disebut "enterprise".

Sebagai anggota SUBUD saya tergolong aktif bergaul dengan sesama saudara SUBUD, utamanya di lingkungan Wisma SUBUD atau di kelompok Latihan Kejiwaan. Saat berkumpul, saya dan saudara-saudara sejiwa mengobrol santai, meskipun isi obrolannya serius dengan bahasan seputar pengalaman kejiwaan saya dan setiap saudara sejiwa saya, tetapi topik-topik non kejiwaan juga kami obrolkan, seperti perkembangan politik dalam negeri dan naik-turunnya nilai rupiah terhadap dolar. 

Ketika waktunya tiba, saya dan saudara-saudara SUBUD saya memasuki hall untuk melakukan Latihan Kejiwaan bersama, dengan atau tanpa pendampingan seorang pembantu pelatih. Waktu Latihan Kejiwaan adalah kapan saja sekelompok anggota merasakan dorongan di dalam dirinya masing-masing untuk melakukannya. Bagi anggota baru yang belum bisa menerima "waktu yang tepat untuk Latihan Kejiwaan" dapat melakukannya sesuai jam-jam yang telah ditetapkan di masing-masing cabang SUBUD. Di Hall Latihan Kejiwaan Jakarta Selatan di Jl. RS Fatmawati No. 52, Jakarta Selatan, atau yang dikenal sebagai Wisma SUBUD Cilandak, waktu Latihan Kejiwaan bagi pria adalah pukul 19.00-23.00 WIB di hari Senin dan Kamis, serta pukul 11.30-15.00 WIB di hari Minggu. Juga tersedia jadwal Latihan Kejiwaan di hari Selasa pagi hingga siang.

Selesai Latihan Kejiwaan yang berlangsung selama setengah hingga satu jam atau lebih, saya dan saudara-saudara sejiwa yang berlatih kejiwaan bersama saya dan pembantu pelatih yang mendampingi kembali nongkrong di teras hall. Ada juga yang langsung pamit untuk pulang, terutama di Senin dan Kamis malam, biasanya karena rumah mereka jauh.

Saya dan saudara-saudara sejiwa biasa nongkrong di teras timur Hall Cilandak. Kami mengobrolkan hal-hal yang tergolong duniawi, ditemani kopi, rokok, dan kue-kue, layaknya di warung kopi. Pemandangan yang sangat biasa, yang akan mengernyitkan kening orang yang terbiasa bergaul di lingkungan spiritual lainnya atau agama. Karena sesungguhnya anggota SUBUD itu memang orang biasa. Orang biasa yang dimurahi Tuhan, kata Bapak Subuh.©2018



Krispy Kreme Cafe, Aeon Mall BSD City, Tangerang Selatan, 29 Desember 2018


Setrum Persaudaraan

Saat Kelompok SUBUD Tebet bersilaturahmi ke Wisma SUBUD Bogor pada 25 Desember 2018.


SEBAGAI sebuah perkumpulan, adalah lazim bila persaudaraan kejiwaan Susila Budhi Dharma (SUBUD) mengadakan kongres nasional dan dunia. Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK) SUBUD Indonesia rutin menyelenggarakan kongres nasional dua tahun sekali. Dalam kongres, anggota, melalui pengurus cabangnya masing-masing mencalonkan kandidat ketua umum, yang akan memimpin pengurus nasional PPK SUBUD Indonesia selama satu periode (dua tahun).

Di kongres juga digelar sidang-sidang yang membahas program-program organisasi, kepembantupelatihan, dan kepemudaan, yang akan diputuskan oleh kongres untuk dilaksanakan selama dua tahun kepengurusan dari ketua umum yang terpilih.

Bagaimanapun, sebagian besar peserta Kongres Nasional SUBUD Indonesia datang untuk acara-acara kejiwaannya, seperti gathering dengan sesama anggota dan pembantu pelatih, ceramah dan/atau testing dari Ibu Rahayu, ataupun sekadar temu kangen dengan saudara-saudara sejiwa yang terpisah jarak yang jauh. Acara kejiwaan, formal maupun nonformal, di ajang Kongres Nasional mampu men-charge anggota dengan semangat baru yang tak terlupakan sepanjang hayat, karena bersama-sama para anggota menjadi sebuah gardu listrik yang memberi daya setrum yang menggelorakan semangat batin, yang pada gilirannya mengaktifkan sisi lahiriah kita.

Ceramah-ceramah Bapak Subuh di sejumlah kongres nasional SUBUD di berbagai negara Eropa sepanjang tahun 1970 mengkritisi sangat kurangnya porsi kejiwaan dibandingkan porsi organisasi atau kepengurusan pada perhelatan anggota SUBUD. Rupanya, kongres nasional ala SUBUD seharusnya menjadi ajang kejiwaan bagi.anggota untuk mengisi baterai dirinya dengan setrum persaudaraan yang terbangkitkan melalui acara tersebut, dan bukan ajang pengurus dalam rangka menata organisasi. Inilah yang membedakan organisasi SUBUD dengan organisasi pada umumnya.

Degradasi kongres nasional SUBUD—dari ajang kejiwaan menjadi acara pengurus—juga menimpa Indonesia, dari mana SUBUD berasal. Pembahasan anggaran dasar dan rumah tangga tak berkesudahan dan bursa pencalonan ketua umum mengingatkan anggota SUBUD akan nuansa kongres partai politik. Dan jangan dikira politik uang tidak ada dalam pencalonan ketua umum organisasi kejiwaan ini. Para anggota yang datang untuk aspek kejiwaannya malah disandangi status "penggembira", seakan tidak penting apakah mereka hadir atau tidak.

Kenyataan ini telah mendorong para anggota SUBUD Indonesia, khususnya, yang berasal dari budaya yang kental tradisi silaturahminya, berinisiatif sendiri membangkitkan setrum persaudaraan dengan melakukan kunjungan-kunjungan sosial ke berbagai cabang SUBUD di seluruh negeri.

Sebagaimana yang saya alami berkali-kali, setrum persaudaraan menyengat sekujur diri saya hanya melalui pertemuan kasual dengan saudara-saudara sejiwa dalam suasana yang santai. Pertemuan itu tidak perlu mewah, dengan hidangan ala kadarnya, dan di tempat yang sederhana. Kadang tanpa perlu mengobrol, setrum tersebut membangkitkan kesadaran akan kedekatan dan keselarasan, suatu rasa damai tak terbatas, suatu perasaan kuat meskipun sedang menderita. Keberadaan setrum itu membuat anggota SUBUD betah berlama-lama bersama saudara sejiwa.

Bila dalam jarak yang jauh saja—lintas benua, sebagaimana yang saya alami—setrum persaudaraan dapat dirasakan sengatannya, apalagi dalam jarak yang dekat. Tidak perlu bersusah-payah ke kongres nasional di tempat yang jauh, memakan biaya yang tidak sedikit, serta besar porsi urusan keorganisasiannya.©2018


Aeon Mall, Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, 29 Desember 2018

Friday, December 21, 2018

Tuhan Bukan Bankir

Gerai Emax di Jl. Kemang Raya, Jakarta Selatan.
Di sinilah pada tahun 2009 saya mendapat keajaiban ilahiah.

JUDUL tulisan ini terinspirasi oleh versi bahasa Inggrisnya dari ceramah Bapak Muhammad Subuh yang dipetik Rahman Connelly dan Bradford Temple dalam buku Human Enterprise: Compiled from the Talks and Writings of Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo (1995). Dalam buku itu saya baca bahwa Bapak Subuh menasihati anggota SUBUD agar jangan berdoa meminta uang kepada Tuhan, karena Tuhan bukan bankir, bukan pemilik bank. Pada saat saya membaca bagian itu, saya tidak mengerti maksudnya. Pengertian baru saya peroleh setelah mendapat pengalaman berikut ini.

Tahun 2009, saya ingin memiliki sebuah komputer portabel yang dirilis Apple Inc., yaitu MacBook. Terserah saya mau dibilang terpengaruh daya benda atau sok branded; saya ingin memiliki MacBook. Bukan soal gengsi yang ditawarkannya, tetapi lebih pada pengalaman menggunakan sebuah sistem komputer yang berbasis Mac OS (Macintosh Operating Systems), yang berbeda dengan Windows yang biasa saya pakai. Banyak pula program di dalamnya yang menunjang pekerjaan saya di bidang kreatif.

Dorongan yang begitu kuat untuk memiliki sebuah MacBook membuat saya menempelkan gambar laptop tersebut di dinding kamar saya, yang saya pandangi setiap hari sambil berucap dengan suara pelan: “Kamu akan menjadi milikku, lihat saja!” Dan saya juga berdoa, “Ya Tuhan, berilah aku pekerjaan freelance dengan honor yang bisa aku pakai untuk membeli MacBook.”

Saya berdoa “minta pekerjaan”, bukan “minta uang”, karena jauh sebelumnya saya telah membaca buku Human Enterprise. Saya membatin, “Baiklah, Tuhan, Engkau bukan bankir, makanya aku nggak minta duit. Aku minta pekerjaan aja, yang honornya bisa aku pakai buat membeli yang aku inginkan.” Saat itu, harga sebuah MacBook masih Rp 13 jutaan.

Tidak lama setelah berdoa, saya ditelepon seseorang, seorang account manager dari sebuah butik kreatif yang mendapatkan proyek pembuatan laporan tahunan (annual report) dan membutuhkan seorang copywriter yang berpengalaman menulis laporan tahunan. Lebih disukai yang pernah memenangkan penghargaan Annual Report Award atau ARA (kompetisi tahunan yang diselenggarakan oleh Bapepam-LK (kini Otoritas Jasa Keuangan) untuk menilai kualitas penyajian informasi dalam Laporan Tahunan sebuah perusahaan). Laporan Tahunan PT Pupuk Kalimantan Timur yang saya tulis naskahnya tahun 2008 meraih posisi kedua dalam ARA tahun itu untuk kategori perusahaan non-Tbk. Saya terima tawaran dari sang account manager untuk menulis naskah laporan tahunan dari kliennya, sebuah perusahaan pertambangan batu bara.

Honor yang saya ajukan, Rp 15.000.000, ditawar menjadi Rp 9.ooo.ooo. Walaupun saya terima, tetapi saya mengeluh kepada Tuhan: “Bagaimana aku bisa membeli MacBook kalau honorku di bawah harganya?” Saya menerima dalam ketenangan rasa diri saya kemudian, bahwa saya harus menjalaninya saja dulu, tanpa perasaan kecewa atau ogah-ogahan. “Nanti kamu akan tahu kenyataannya,” kata suara batin saya. Singkat cerita, laporan tahunan itu pun saya kerjakan dengan sungguh-sungguh selama lebih dari sebulan, dan saya menerima honor sebagaimana yang ditawarkan.

Pada suatu hari, tidak lama setelah honor tersebut ditransfer ke rekening saya, istri saya mengajak saya ke gerai Kemang dari Emax, yang merupakan Apple Premium Reseller. Ujar istri saya, “Biar kamu bisa merasakan dulu gimana rasanya memakai MacBook.” Saya terima ajakannya, dan pergilah kami berdua ke Emax Kemang, Jakarta Selatan. Saat itu, malam Minggu. Tidak terpikir sama sekali untuk membelinya malam itu juga, karena jumlah nominal uang saya masih belum mencapai harga yang ditawarkan. Ternyata, sedang ada diskon untuk semua produk Apple di Emax Kemang, yang berlaku hanya pada malam itu. Harga MacBook yang saya inginkan, dengan diskon tersebut turun menjadi Rp 8.450.000. Saya dan istri saling menatap. Mata saya berbinar-binar dan diri saya diselimuti semangat yang meletup-letup. Istri saya pun berkata, “Kita beli sekarang, gimana?”

Kami pun membahasnya dengan pramuniaga Emax Kemang. Masalahnya, kami tidak membawa uang tunai sebanyak itu. Kami harus ke ATM dulu, dan ATM dalam sekali tarik hanya dibatasi maksimal Rp 5 juta. Kami merasa mendapat mukjizat ketika pramuniaga Emax Kemang berkata dengan berbisik, “Bagaimana kalau sisanya besok? Malam ini Bapak-Ibu setor lima juta, sisanya tiga juta empat ratus lima puluh besok, sekalian bawa barangnya. Hanya kita kasih tawaran ke Bapak-Ibu aja. Bapak-Ibu nggak usah kasih tahu yang lain.”

Tentu saja, saya dan istri setuju dengan tawaran itu. Dengan ledakan kesukacitaan di dalam diri kami, saya dan istri bergegas ke ATM Mandiri terdekat, dan menarik uang tunai senilai Rp 5.000.000. Lalu, kami kembali ke Emax Kemang. Kami bayarkan uang tersebut ke kasir disertai catatan dari si pramuniaga kepada kasir, bahwa itu spesial untuk kami. Keesokan harinya, siang hari, usai Latihan Kejiwaan di Wisma SUBUD Cilandak, saya dan istri kembali ke Emax Kemang untuk membayar sisanya. Sebuah MacBook baru pun saya tenteng pulang.

Dari pengalaman tersebut, saya mendapat pengertian mengapa Tuhan tidak usah dimintai uang, karena cara Dia bekerja untuk memenuhi keinginan kita sama sekali berbeda dengan yang kita pikirkan. Bahkan, bila Tuhan menghendaki, yang kita inginkan dapat kita peroleh tanpa mengeluarkan ongkos sama sekali. Tuhan tidak memberi kita uang, karena uang adalah ciptaan makhlukNya, sebagai sarana untuk memudahkan dan menertibkan tatacara pertukaran barang dalam kehidupan di dunia. Uang adalah benda ciptaan manusia yang diberi nilai oleh akal pikir kita. Dia, sebaliknya, memberi kita jalan dan bimbingan agar kita mampu melalui jalan itu, salah satunya berupa keajaiban yang saya dan istri terima dari tawaran spesial dari si pramuniaga.

Sejak mengalami keajaiban ilahiah lewat pembelian sebuah MacBook, mulailah saya mengubah cara saya berdoa memohon sesuatu kepada Tuhan. Saya sampaikan saja apa yang saya inginkan. Umpamanya saya ingin memiliki rumah, saya mohon kepada Tuhan: “Tuhan, aku ingin rumah di mana aku dan keluargaku dapat memperoleh kenyamanan dan keteduhan. Bantulah aku dalam memperolehnya.” Tidak lagi diembel-embeli “perantaraan” seperti uang atau kemampuan fisik dari sisi saya. Tetapi yang pasti, harus dengan perasaan sabar, tawakal, dan ikhlas terhadap bimbinganNya.©2018



Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 22 Desember 2018

Monday, December 17, 2018

Tuhan yang Bukan Meme


BARU-baru ini, saya mendengar tentang satu anggota SUBUD yang tidak pernah lagi muncul di Wisma SUBUD Cilandak atau di kelompok SUBUD mana pun lantaran kecewa pada Tuhan. Dia kecewa pada Tuhan karena dianggapnya Tuhan tidak mengabulkan permohonannya akan kehidupan yang lebih baik.

Karena kecewa pada Tuhan, ada orang yang meninggalkan SUBUD. Ketika saya kecewa pada Tuhan, saya tinggalkan Tuhan, bukan SUBUDnya. SUBUD adalah saya, saya adalah SUBUD. Dan di SUBUD saya ketemu Tuhan yang bukan meme agama.

Kebanyakan orang—sebagian terbesar malah—mengenal Tuhan dari gagasan yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya, atau “meme”. Meme tidak menawarkan kebenaran indrawi, melainkan hanya kepuasan akal pikir yang pada gilirannya membangkitkan sensasi merasa paling benar agamanya, dan akhirnya menimbulkan sikap tidak toleran terhadap yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Meme memang virus yang persebarannya lewat persepsi yang dibangun di pikiran. Pikiran manusia memiliki kelemahan, yaitu terlalu cepat menyerap informasi, bahkan yang palsu sekalipun. Karena itu, orang yang telah berbekal ilmu yang mempelajari meme, disebut memetika, tidak mudah termakan berita hoax.

Di dunia Barat, agama-agama besar telah ditinggalkan umatnya sejak 20 tahun yang lalu, karena terumpan rayuan gerakan Era Baru (New Age) yang menawarkan experiential religiosity (ER) atau keberagamaan berdasarkan pengalaman keilahian langsung yang menghormati ranah pribadi, bukan kepercayaan kolektif yang berkiblat pada pengalaman satu orang (nabi atau utusan Tuhan).

Meskipun mengandung konsep keberagamaan atau religiusitas, ER tidak masuk ranah agama. Ia adalah pengalaman indrawi akan hal-hal yang diyakini memiliki daya ilahiah yang melampaui eksistensi manusia. Ada yang menyebut itu Tuhan, daya hidup, kesadaran agung, sang cahaya, atau apa pun yang ingin Anda sebut.

ER tidak seragam; ia beragam, yang membangun keimanan seseorang berdasarkan pencerahan pribadi yang esoteris (hanya dipahami oleh yang bersangkutan). Karena itu, ER bersifat pribadi, tidak kolektif sebagaimana agama-agama yang dikenal selama ini. Tidak ada ajaran yang baku; satu-satunya tuntunan adalah yang diterima seseorang melalui “suara batin” atau tanda-tanda niskala (tak tampak) yang hanya dapat dipahami secara pribadi.

Di ranah ER ini, saya menghirup udara segar, setelah sekian lama sesak napas akibat ketumpatan ritual agama yang tak bermakna. Saat saya dibuka untuk menerima kontak Latihan Kejiwaan, saya serasa seperti ditarik secepat kilat dari ruang sempit di tengah panas gurun pasir dan dipindah ke ruang beratap langit berlantai bumi di lereng gunung yang berkabut dingin, di mana embusan angin meninggalkan embun yang memuaskan dahaga pencarian akan kesejatian diri. Di ruang tak berdinding dan tanpa batas waktu itu, saya menari penuh sukacita mengikuti irama bimbingan rasadiri yang telah berkontak dengan kesadaran agung, sang Kenyataan Tertinggi, Tuhan yang bukan meme. Segala kecewa atau sakit dalam rasa perasaan melebur dalam cinta. Cinta yang tak bertepi.

Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, Bapak.©2018


Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 18 Desember 2018

Icip-Icip


LATIHAN Kejiwaan memberi pelatih (dalam bahasa SUBUD berarti “orang yang berlatih kejiwaan”) banyak sekali “icip-icip" berupa kesaktian atau kemampuan yang menurut logika tidak mungkin dicapai seseorang dengan mudah, atau melampaui kebiasaan dan kebisaan orang biasa. Karena bersifat icip-icip maka kesaktian tersebut tidak bertahan lama. Bagaimanapun, sifat atau bentuk kesaktian tersebut berganti-ganti seiring seorang pelatih menekuni Latihan Kejiwaan.

Tidak jarang seorang pelatih kejiwaan terpedaya oleh icip-icip tersebut; ia merasa telah sampai pada suatu aras (level) yang lebih tinggi daripada pelatih-pelatih lainnya. Padahal SUBUD tidak mengenal jenjang; seorang pelatih yang baru dibuka (pertama kali menerima kontak Latihan Kejiwaan) dapat saja lebih maju kejiwaannya daripada pelatih yang sudah puluhan tahun berlatih kejiwaan.

Saya mengenal satu saudara SUBUD yang terpedaya oleh icip-icip. Merasa dirinya maju secara akademis (penyandang gelar magister dari sebuah perguruan tinggi terkemuka di Pulau Jawa) dan mampu membuat orang lain tenteram dengan perkataannya, dia membukai para wanita usia lanjut yang tergabung dalam majelis taklimnya. Padahal dia belum menjadi pembantu pelatih—suatu tugas yang dibebankan kepada seorang anggota yang telah berlatih minimal tujuh tahun dan disukai para anggota lainnya karena pembawaannya yang mampu ngemong dan mengayomi.

Untuk tertib organisasi, hanya pembantu pelatih yang diberi tugas untuk membuka kandidat (calon anggota SUBUD) dan mendampinginya selama hal itu diperlukan. Dan orang yang berminat masuk SUBUD harus melalui masa orientasi atau “masa tunggu” selama tiga bulan. Selama masa tunggu itu, seorang kandidat mendapat penerangan dari pembantu pelatih mengenai asas dan tujuan SUBUD, mengenai berbagai aspek kejiwaan dan keorganisasian SUBUD. Bukan tugas yang ringan, karena tanpa penerangan dan pendampingan yang memadai, menurut yang saya saksikan, banyak anggota akhirnya meninggalkan SUBUD.

Nah, saudara SUBUD ini merasa mampu membuka orang, tetapi ujung-ujungnya kelabakan ketika harus mendampingi para wanita usia lanjut yang ia buka—tanpa penerangan yang cukup—mengalami kebingungan. Utamanya, karena Latihan Kejiwaan mereka dibungkus dengan pengajian (dan pengkajian) syariat Islam, sedangkan SUBUD bukan agama, tidak memiliki ajaran serta tidak berteori. SUBUD adalah bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat eksperiensial, atau mengalami langsung keilahian pada diri masing-masing orang.

Alhasil, saudara SUBUD itu meminta saya untuk memberi penerangan lanjutan kepada para wanita usia lanjut tersebut. Saya mau asal saya boleh menjadi diri sendiri, tidak harus mengutip dalil-dalil dari Al Qur'an atau berlagak ustad, supaya diterima para anggota majelis taklim yang dipimpin saudara SUBUD itu. Dia setuju, walaupun sempat mendesak saya agar membekali diri dengan satu-dua ayat dari Al Qur'an. Saya menolak, karena masuk SUBUD adalah tentang menjadi diri sendiri, bukan menjadi orang yang disukai menurut nilai-nilai orang lain.

Demi menjaga kesejatian saya (menjadi diri sendiri, apa adanya), saya pun muncul di acara pengajian dengan pakaian kesukaan saya: kemeja lengan pendek yang bagian bawahnya saya biarkan menggantung di luar celana, dan sepotong celana jeans belel. Pokoknya, jauhlah dari citra seorang ustad. Sebelum tampil di hadapan 50an anggota majelis taklim yang rata-rata sudah sepuh, saya menenangkan diri, sepenuhnya berserah diri kepada bimbingan Tuhan.

Lalu, mulailah saya bicara. Saya bercerita tentang berbagai pengalaman kehidupan saya setelah menerima Latihan Kejiwaan. Tidak terselip satu pun ayat suci di antara penceritaan saya. Semua mengalir sebagaimana adanya. Saya merasa ucapan saya dibimbing—begitu lancar, tanpa keraguan atau kelupaan. Tetapi yang ajaib, yang saya yakini sebagai bimbingan Tuhan, pada sesi tanya-jawab, para anggota majelis taklim membenarkan cerita-cerita saya dengan dalil-dalil dari Al Qur’an yang mereka sampaikan kalimat-kalimatnya dalam bahasa Arab yang fasih serta terjemahannya. Tanpa saya lengkapi dengan ayat-ayat suci, sebagaimana yang diharapkan saudara SUBUD tadi pada saya, ternyata audiens sendiri yang melengkapinya.

Begitu pun, para anggota majelis taklim itu menobatkan saya sebagai ustad yang hebat, sampai mereka tak segan untuk bergiliran mencium tangan saya ketika momen berbagi pengalaman itu sudah selesai. Maha Besar Tuhan dengan segala firmanNya, yang Dia salurkan melalui ucapan saya.©2018


Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 18 Desember 2018

Thursday, December 13, 2018

Beroleh Khatir Ilham di Stasiun Kedungjati

Selfie saya di emplasemen utara Stasiun Kedungjati (KEJ, +36 mdpl) di Desa Kedungjati, Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, pada 7 Februari 2016. Tampak di belakang saya, lokomotif CC206 dinas KA Semen Tiga Roda di Jalur 1 KEJ.


PADA hari Minggu, 7 Februari 2016, diantar oleh sepasang suami-istri anggota SUBUD Cabang Pati, saya dan istri berkesempatan mengunjungi rumah kelahiran Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo, pendiri Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan SUBUD, di Kedungjati. Kedungjati adalah sebuah desa di kecamatan bernama sama, yang berada di wilayah administratif Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Desa Kedungjati adalah ibukota dari Kecamatan Kedungjati. Yang membuat saya sangat antusias adalah keberadaan stasiun kereta api warisan maskapai kereta api swasta Hindia Belanda, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), di desa tersebut.

Stasiun Kedungjati termasuk “Sepuluh Besar” stasiun tertua di Indonesia. Stasiun itu resmi dibuka pada tahun 1869, sekitar dua tahun sejak jalur kereta api pertama di Nusantara diresmikan, tetapi baru digunakan pada 1873. Stasiun tersebut adalah dampak dari dibangunnya jalur Semarang-Tanggung hingga Kedungjati pada 1867, serta Kedungjati-Ambarawa pada 1870, yang menyebabkan Desa Kedungjati menjadi titik keramaian dengan pertumbuhan sentra ekonomi yang pesat. Sebagai sebuah stasiun, Kedungjati bahkan memiliki posisi sangat strategis karena menjadi persimpang untuk jalur menuju Surabaya, Ambarawa, dan Vorstenlanden (Tanah-tanah Kerajaan, yaitu Yogyakarta dan Surakarta).

Berawal dari sebuah stasiun kecil dengan bangunan sederhana yang seluruhnya terbuat dari kayu jati, NISM melakukan pembenahan menyeluruh terhadap fisik Stasiun Kedungjati pada tahun 1907. Kayu jati sangat mudah didapat di daerah itu. Wilayah Kedungjati memiliki struktur tanah yang datar dan berbukit, sehingga tidak ada lahan persawahan, meskipun sumber air cukup berlimpah di sungai yang membelah Desa Kedungjati, yang bersumber dari Rawa Pening di Tuntang, Kabupaten Semarang. Alih-alih persawahan, dahulu terhampar ribuan hektar pohon jati di Kedungjati dan sekitarnya, dengan kualitas nomor satu. Keberlimpahan pohon jati itulah yang membuat daerah itu dinamai “Kedungjati”, yang bermakna kedung (lubuk/cekungan sungai) yang dikelilingi pohon jati.

Pembenahan yang dilakukan NISM pada tahun 1907 sama sekali mengubah wajah Stasiun Kedungjati. Konstruksi dari bangunan stasiun yang sebelumnya dari kayu jati diubah dan diperkokoh dengan batu bata yang diplester. Bagian peron ikut dibenahi, dengan penambahan overkapping (kanopi) dengan rangka baja dan beratapkan seng dengan tinggi 14,65 meter. Bentuk bangunan stasiun ini memiliki kemiripan dengan Stasiun Willem I di Ambarawa (diresmikan 21 Mei 1873) dan Stasiun Purwosari (1876) di Surakarta.

Stasiun Kedungjati, seperti Stasiun Ambarawa dan Purwosari, merupakan stasiun pulau. Konstruksi bangunannya, karena itu, berupa tiang-tiang baja yang menopang kuda-kuda atap. Di bawah atap besar ini terdapat ruang-ruang dinas dan pelayanan penumpang serta peron di kedua sisinya. Di emplasemen utara terdapat rel lintasan utama yang menghubungkan Semarang dengan Surakarta, sedangkan di emplasemen selatan terdapat dua jalur rel lintasan cabang menuju Ambarawa yang dinaungi overkapping kecil yang ditambahkan pada 1915.

Terletak hanya sekitar 50 meter dari rumah kelahiran Bapak Subuh, bubungan atap peron (overkapping) yang berwarna abu-abu dari Stasiun Kedungjati dapat saya lihat dari samping rumah tersebut. Saya sebelumnya tidak menandainya, tetapi setelah saya tanya ke penjaga rumah Bapak Subuh, yaitu Ibu Handono, di mana stasiun tersebut berada, beliau menunjuk ke bubungan abu-abu yang mencuat di atas atap-atap rumah penduduk, sambil berkata singkat, “Itu! Kelihatan dari sini.”

Maka saya pun bergegas menuju stasiun tersebut. Saya baru menandai, bahwa lahan dan bangunan di sisi timur rumah Bapak Subuh ditancapi papan penanda aset milik PT Kereta Api Indonesia (Persero), yang membuat saya menduga bahwa sebagian dari desa tersebut semasa Hindia Belanda merupakan kompleks bangunan fungsional NISM, mungkin untuk rumah dinas pegawai kereta api.

Jalan sempit menyerupai gang dengan deretan rumah di sisi kanan dan kirinya, di selatan rumah Bapak Subuh, saya lalui tidak lama setelah saya tinggalkan pekarangan rumah Bapak Subuh. Jalan itu tembus ke emplasemen utara Stasiun Kedungjati yang mewadahi tiga jalur rel dengan rel yang di tengah sebagai sepur lurus. Di selatan stasiun berbentuk pulau itu terdapat dua jalur rel, yang dipayungi kanopi peron mirip yang saya jumpai di Stasiun Purwosari.

Jalur 1 di sisi selatan Stasiun Kedungjati yang mengarah ke barat langsung menikung ke selatan, yang membentuk jalur kereta api yang dikenal sebagai Jalur Kedungjati-Secang. Jalur Kedungjati-Secang merupakan jalur bersejarah yang telah ditutup sejak tahun 1976. Di jalur ini kini yang aktif digunakan hanya petak Ambarawa-Tuntang dan Ambarawa-Bedono, yaitu oleh kereta api wisata yang berjalan reguler pada hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional, serta dengan sistem sewa pada hari-hari lainnya.

Saat saya berkunjung pada 7 Februari 2016 itu, saya lihat jalur rel di sisi barat emplasemen selatan Stasiun Kedungjati belum tersambung, meskipun kericak sudah ditata dan bantalan rel beton sudah terpasang beberapa. Dan tidak ada pula pekerja-pekerja yang sedang bergiat memasang rel. Saya sempat mengira, mungkin karena hari Minggu mereka libur kerja. Namun rupanya aktivitas untuk reaktivasi jalur kereta api Kedungjati hingga Ambarawa sudah berhenti sejak awal tahun 2015.

Menurut Kompas.com tertanggal 16 Oktober 2017, mengutip Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, reaktivasi jalur kereta api bersejarah Kedungjati-Tuntang memiliki potensi masalah, terutama pembebasan lahan. Pasalnya, banyak lahan di sepanjang jalur kereta api ini masih dikuasai oleh masyarakat. Sebelumnya dikabarkan, proyek reaktivasi jalur kereta api Kedungjati-Tuntang mangkrak. Proyek reaktivasi jalur kereta api sepanjang 30 km ini bahkan belum jelas kapan akan dilanjutkan kembali, setelah tiga tahun tak terurus.

Arsitektur Stasiun Kedungjati sangat mirip dengan Stasiun Ambarawa dan Stasiun Purwosari yang dibangun pada masa yang sama. Perbedaan yang menonjol selain pada ukuran juga pada perletakan ruang tunggu kelas 3. Di Stasiun Kedungjati, letak ruang tunggu kelas 3 berada di depan pintu masuk berdampingan dengan loket penjualan tiket. Ini berbeda dari Stasiun Ambarawa dan Purwosari yang ruang tunggu kelas 3-nya berada di belakang, berdekatan dengan kamar mandi dan WC.

Dengan diluncurkannya KA Joglosemarkerto atau Loop Line Jawa Tengah pada 1 Desember 2018, Stasiun Kedungjati kian ramai lalu lintas kereta apinya. Stasiun ini menjadi salah satu persinggahan dari KA Joglosemarkerto, yang memungkinkan para pecinta sejarah perkeretaapian maupun bangunan tua dapat mempercepat ketibaan mereka di stasiun yang menjadi salah satu tujuan wisata sejarah itu.

Tujuan sebenarnya dari kunjungan saya dan istri ke Kedungjati pada 7 Februari 2016 adalah untuk melihat langsung rumah di mana Bapak Muhammad Subuh dilahirkan dan melakukan Latihan Kejiwaan bersama ketua Ranting SUBUD Kedungjati, namun saya mendapat bonus “khatir ilham” saat blusukan ke Stasiun Kedungjati yang sebelumnya hanya saya lihat di lembaran majalah dan buku sejarah perkeretaapian.©2018
                                                        

Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 14 Desember 2018

Wednesday, December 5, 2018

Jiwa Ke Jiwa


PADA tahun 2005—saya tidak ingat tanggal dan bulannya, tapi sepertinya Maret, saya dalam keadaan antara tidur dan sadar melihat siluet seorang pria tua dari arah kasur yang saya tiduri di rumah kontrakan saya di Jl. Margodadi III, Surabaya, Jawa Timur. Waktu itu jam dua dinihari.

Siluet itu dapat saya lihat karena meski kamar saya gelap, pintu kamar biasa saya biarkan terbuka dan di pojok depan kamar mandi, yang letaknya di sebelah kamar tidur saya, terpasang lampu neon yang saya biarkan menyala sepanjang malam.

Batin saya dan pria itu seperti tersambung dan segera saya dapat mengenali bahwa beliau adalah Om Amen, adik kandung dari almarhum ibu saya, yang tinggal di Medan, Sumatera Utara. Dalam dialog jiwa ke jiwa antara saya dan paman saya tersebut, beliau berpamitan; beliau juga mengatakan, “Nanti kita ketemu lagi ya, To. Om pergi dulu.” Siluet itu pun sirna dari pandangan saya, dan saya kembali tidur.

Ketika saya terbangun paginya, ponsel saya berbunyi. Kakak kandung saya di Jakarta mengabari bahwa Om Amen telah meninggal dunia pada jam dua dinihari. Persis pada saat siluet sosok paman saya itu muncul di kamar saya. Saya pun bercerita ke kakak saya, bahwa pada jam itu, antara mimpi dan kenyataan, saya didatangi Om Amen untuk berpamitan. Pertanyaan kakak saya: “Lho, kamu kan nggak dekat dengan Om Amen, kok Om Amen pamitan ke kamu?!”

Saya juga tidak mengerti mengapa begitu.

Entah dalam mimpi atau melalui keadaan-keadaan nyata, saya kerap berhubungan jiwa ke jiwa dengan orang yang sudah atau akan meninggal, entah itu masih famili saya atau orang lain yang tidak sedarah. Ketika Mas Adji, cucu tiri dari Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo, meninggal pada Februari 2005, saya yang sedang duduk di depan komputer di kantor saya tiba-tiba merasa tidak enak badan. Saya gemetar, serasa mau mati, dan tiba-tiba ada sesuatu di dalam diri saya yang serasa keluar dari badan saya, langsung melesat pergi. Saya mendapat pengertian bahwa ada seorang saudara SUBUD telah pergi untuk selamanya. Beberapa menit kemudian, pembantu pelatih daerah SUBUD Cabang Surabaya, Pak Soejanto Luwihardjo menelepon saya, memberitahu tentang wafatnya Mas Adji.

Perihal pengalaman jiwa ke jiwa dalam kaitan dengan paman saya di Purwokerto, yang menghendaki masuk SUBUD pada tahun 2007, pernah saya publikasikan di blog ini dengan judul “Kebenaran Latihan Kejiwaan SUBUD yang Saya Terima” (klik http://kriyashakti.blogspot.com/2018/09/kebenaran-latihan-kejiwaan-subud-yang.html). Paman itu dan kemudian paman lainnya (adik kandung ayah saya juga) di Purwokerto, yang meninggal pada 3 September 2007, saya rasakan proses kepulangannya ke alam keabadian. Om Darno, begitu saya memanggilnya, sedang dalam keadaan kritis, ketika sepupu saya di Purwokerto menelepon saya yang sedang berada di Ungaran, Jawa Tengah, dalam rangka acara Konsolidasi Pemuda SUBUD Indonesia, pada 1-2 September 2007, menginformasikan hal itu dan meminta saya menunda kepulangan ke Jakarta dan agar kembali ke Purwokerto pada hari itu juga.

Karena bingung dan grogi, saya kemudian mengajak satu saudara SUBUD, yang juga menginap bersama saya di rumah seorang pembantu pelatih SUBUD Ranting Ungaran, untuk menemani saya melakukan Latihan Kejiwaan di ruangan di rumah tersebut yang memang diperuntukkan para anggota Ranting Ungaran berlatih kejiwaan. Dalam Latihan Kejiwaan itu, saya merasakan sesuatu keluar dari diri saya, dan saya merentangkan kedua lengan ke atas dan mendongakkan kepala saya, seraya berucap “inna lilahi wa inna ilaihi roji’uun”. Saya tidak mengerti mengapa, tapi perasaan saya tidak enak. Usai Latihan, saya segera memeriksa ponsel saya—mungkin ada SMS masuk atau miscall. Tidak ada apa pun di layar ponsel saya yang menginformasikan adanya SMS atau miscall, tapi mata saya sempat melihat jam menunjukkan pukul 09.33 WIB.

Sepuluh menit kemudian, sepupu saya menelepon saya lagi. Kali itu untuk memberitahu bahwa Om Darno sudah pergi untuk selama-lamanya. “Jam berapa?” tanya saya.

“Jam sembilan lewat tiga puluh tiga menit, Mas,” jawab sepupu saya.

Jawaban itu membuat saya merinding. Saya merasa, Latihan Kejiwaan yang saya lakukan tadi telah menjadi “jembatan” bagi paman saya untuk kembali kepada Sang Pencipta.

Segera setelah mendapat telepon tersebut, saya menelepon pemilik rumah, Mas Susilo Haksoro namanya, yang sedang mengantar Koordinator Pemuda SUBUD Indonesia ke Bandar Udara Ahmad Yani Semarang dan sesudah itu akan ke Stasiun Semarang Tawang untuk memesan tiket KA Argo Bromo Anggrek buat saya pulang ke Jakarta malamnya. Saya menelepon Mas Susilo untuk membatalkan pemesanan tiket kereta api, karena saya toh harus kembali ke Purwokerto menumpang bus. Beberapa hari sebelum acara Konsolidasi Pemuda SUBUD Indonesia digelar di Bandungan, Ungaran, saya memang sedang berada di Purwokerto dalam rangka pengukuhan satu saudari SUBUD dari Cabang Purwokerto menjadi gurubesar Universitas Jenderal Soedirman, dan saya sengaja terus tinggal di Purwokerto karena lebih dekat ke Ungaran.

Mas Susilo beserta istrinya, Mbak Dini, tiba kembali di rumah dengan membawa tiket bus Lorena jurusan Purwokerto yang berangkat jam 12.00 WIB, dan sejumlah oleh-oleh untuk saya bawa ke Purwokerto. Saya tiba di Purwokerto tidak lama setelah magrib. Di rumah duka, saya berjumpa dengan kakak dan adik saya, sepupu-sepupu, dan ipar-ipar saya yang baru tiba di Purwokerto dengan bermobil. Satu sepupu saya berujar, “Mas Anto kok selalu kebetulan ya ada di tempat saat Om Darisan dan saat Om Darno meninggal.” Saya hanya tersenyum—karena juga tidak mengerti mengapa bisa begitu. Kebetulan saya tidak percaya “kebetulan”. Mungkin karena hubungan jiwa ke jiwa, di mana jiwa paman-paman saya berkoneksi dengan jiwa saya.

Seorang pembantu pelatih sepuh SUBUD Cabang Jakarta Selatan, almarhum Pak Djoko Mulyono, pernah berbagi pengetahuan ke saya, bahwa jiwa orang yang akan meninggal sudah terlebih dahulu meninggalkan tubuh orang tersebut. Yang masih tinggal pada orang itu adalah akal pikir dan nafsunya, karena akal pikir dan nafsu adalah dua unsur niskala pada diri manusia yang paling sulit berserah diri. Jiwa yang sudah meninggalkan wadahnya akan berhubungan dengan jiwa-jiwa yang utama (yang sudah terbuka dan menerima bimbingan kekuasaan Tuhan), yang belum tentu dari kerabat orang tersebut.

Kebenaran dari apa yang disampaikan almarhum Pak Djoko itu ke saya, saya alami pada hari Jumat, 30 November 2018 lalu. Sepulang dari menengok adik ipar saya yang sedang kritis, almarhum Riza Aulia bin Achmad Kamal (14 April 1968-2 Desember 2018), saya menuju Tebet untuk memenuhi jadwal Latihan Kejiwaan rutin tiap Jumat malam di kediaman pembantu pelatih daerah (PPD) Cabang Jakarta Selatan, Mas Luthfie Hadiyin, di kompleks perumahan Regensi Tebet Mas, Jakarta Selatan. Saat penenangan diri, saya berucap “inna lilahi wa inna ilaihi ro’jiuun” serta mendaraskan puji dan puja kepada Allah Swt, seperti layaknya tahlilan. Lalu, ketika masuk ke momen Latihan Kejiwaan, saya terus mendaraskan puja dan puji seperti sebelumnya, dengan rasa perasaan yang dipenuhi kedamaian dan kesukacitaan. Rasanya ringan dan melayang.

Kemudian, saya “melihat” (menyaksikan dengan rasa diri) sosok adik ipar saya mengulurkan tangan kanannya ke saya untuk bersalaman, dan kemudian ia terbang menuju lingkaran cahaya putih yang berangsur-angsur melebar, ke mana ruh adik ipar saya masuk dan menyatu dengan semesta alam. Saat itulah, saya merasa pasti, dalam beberapa hari lagi Riza akan meninggalkan dunia fana ini. Ia mengembuskan napas terakhir pada 2 Desember 2018, pukul 12.50 WIB, di rumahnya. Saya tidak seberapa dekat dengan almarhum semasa hidupnya, tapi rupanya hubungan jiwa ke jiwa antara almarhum dan saya lebih dekat daripada yang dapat dijangkau akal pikir siapa pun.©2018


Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 5 Desember 2018

Tuesday, December 4, 2018

Sinterklaas Bukan Santa Claus

Saya berdiri berhadapan dengan Sinterklaas, yang membacakan surat yang saya kirim kepadanya. Dalam surat tersebut, saya bertanya apakah Sinterklaas punya ayah dan ibu. Foto ini dibuat pada Sinterklaasdag (Hari Sinterklaas), 5 Desember 1974. Saat itu, saya kelas 1 SD di Diamanthorst Lagere Basisschool, 
Mariahoeve, Den Haag, Belanda.

DI Belanda, sudah merupakan tradisi setiap tanggal 5 Desember dirayakan Hari Sinterklaas. Tokoh Sinterklaas berbeda dengan Santa Claus yang datang pada hari Natal. Sinterklaas merupakan tokoh yang benar-benar ada, bukaan rekaan. Ia dilegendakan oleh masyarakat, yang bersumber pada Santo Nikolas, santo pelindung anak-anak. Nama lain untuk tokoh ini termasuk De Sint (“Santo”), De Goede Sint (“Santo Baik”), dan De Goed Heiligman (“Orang Suci yang Baik”) dalam bahasa Belanda; Saint Nicolas dalam bahasa Prancis; Sinteklaas di Westerlauwers Fries (provinsi Friesland di Belanda); Sinterklaos di Limburg; Saint-Nikloi dalam bahasa West Flemish; dan Kleeschen atau Zinniklos di Luksemburg.

Masih terpatri di ingatan saya, pesan guru saya di sekolah Belanda tersebut, agar sebelum tidur di malam hari saya menyiapkan sepatu saya yang telah diisi dengan rumput dan segelas air di sebelah sepatu saya, yang saya letakkan di bawah tempat tidur. Rumput dan air itu untuk kuda putih yang ditunggangi Sinterklaas yang datang ketika anak-anak sedang tidur, bersama Zwarte Piet (Piet Hitam), sosok orang berkulit hitam yang memikul karung goni besar berisi aneka hadiah dan menenteng sapu lidi. Hadiah itu akan diletakkan di sebelah sepatu yang ditaruh anak-anak di bawah ranjang mereka, bagi anak-anak yang sepanjang tahun berbuat baik, tidak nakal; sedangkan sapu lidi dipakai Zwarte Piet buat memukul anak-anak yang berkelakuan tidak baik dan malas.

Tokoh Sinterklaas dipercaya anak-anak Belanda, Belgia, Prancis, Luksemburg dan sekitarnya berasal dari Spanyol, yang datang ke negara mereka menumpang kapal. Karena itu, salah satu lagu Sinterklaas dalam bahasa Belanda yang paling dikenal berlirik: “Zie ginds komt de stoomboot uit Spanje weer aan | Hij brengt ons Sint Nicolaas, ik zie hem al staan | Hoe huppelt zijn paardje het dek op en neer, hoe waaien de wimpels al heen en al weer.” (Lihatlah kapal uap di sana datang lagi dari Spanyol | Dia membawa kita Santo Nikolas, aku sudah bisa melihatnya | Kudanya melompat-lompat di atas dek, dan panji-panji berkibar.)

Sosok Sinterklaas ini didasarkan pada tokoh bersejarah Santo Nikolas (270-343 Masehi), seorang uskup Yunani asal Myra dari negeri yang sekarang disebut Turki. Lantas, mengapa dalam lagu di atas disebutkan ia berasal dari Spanyol? Kemungkinan karena pada tahun 1087, sebagian dari relik-relik Santo Nikolas diangkut ke kota Bari di Italia, yang kelak menjadi bagian dari Kerajaan Napoli Spanyol. Ada juga pendapat bahwa jeruk mandarin, yang secara tradisional merupakan hadiah dari Santo Nikolas, membuat dirinya dikira berasal dari Spanyol.

Sinterklaas digambarkan sebagai pria yang tua, berwibawa, dan serius, berambut dan berjenggot panjang. Ia mengenakan jubah merah dan tongkat gembala keemasan dengan bagian atasnya melengkung indah. Ia mengendarai kuda putih, yang di Belanda dinamai Amerigo, dan di Belgia “Slecht Weer Vandaag” (Cuaca Buruk Hari Ini). Sinterklaas membawa sebuah buku besar berwarna merah yang di dalamnya dituliskan apakah seorang anak berkelakuan baik atau buruk pada di sepanjang tahun.

Sinterklaas kabarnya merupakan sumber utama dari ikon Natal Santa Claus yang demikian populer di Barat, terutama Amerika Serikat dan Kanada, tetapi telah mengalami banyak pengurangan atribut asalnya, seperti kuda putih, Piet Hitam, Spanyol, kapal uap, dan bahkan busana ala Santo Nikolas. Di Indonesia, salah kaprah terbesar terjadi, dengan menamai ikon Natal Santa Claus sebagai Sinterklaas, dan menghadirkan Piet Hitam dengan karung goni penuh hadiah.©2018


Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 5 Desember 2018

Mengharumkan Kubur


TANGGAL 2 Desember 2018, bertepatan dengan hari ulang tahun saya, adik ipar saya mengembuskan napas terakhir pada pukul 12.50 di atas ranjang di rumahnya. Ditunggui istri, kedua putra dan putrinya, serta saudara-saudara kandungnya, adik ipar saya meninggal karena penyakit kanker nasofaring stadium akhir yang dideritanya sejak Februari 2018.

Almarhum dimakamkan keesokan harinya, tanggal 3 Desember 2018, di Tempat Pemakaman Umum Pondok Petir, Depok, Jawa Barat. Saya menyaksikan seluruh prosesi pemakamannya, mulai dari menurunkan jenazah yang telah dikafani ke liang lahat hingga para tukang gali menimbun kembali liang kubur dengan tanah, dan keluarga inti serta kerabat menaburkan bunga di atas gundukan tanah merah nan basah yang telah menutup liang kubur.

Saat kedua anak-anak almarhum menaburkan bunga di pusara ayah mereka, saya mendapat kepahaman tentang apa makna hal tersebut. Menaburkan bunga di pusara memang bagian dari tradisi masyarakat, yang tidak ada dalam ajaran agama. Mungkin hanya sebuah tradisi masyarakat Jawa atau kepercayaan mistik Jawa (Kejawen), untuk mengharumkan tanah kubur. Tapi saat menyaksikan prosesi tabur bunga ke atas makam adik ipar saya itu, saya beroleh kepahaman berikut ini.

Tabur bunga ternyata melambangkan atau merepresentasi suatu nasihat kepada yang masih hidup, terutama anak-anak dari orang yang telah meninggal, bahwa tugas mereka adalah mengharumkan kubur orang tuanya. Secara etimologi, “kubur” berasal dari kata bahasa Arab “kufur” yang merupakan kata kerja (verba), yang berarti “menanam” atau “memendam”.

Dalam kaitan tulisan saya ini, hakikat dari menanam bukanlah “meletakkan jenazah di dalam tanah”, melainkan “mencamkan di dalam diri” anak-anak dari orang yang telah meninggal, bahwa tugas mereka selanjutnya adalah mengharumkan nama orang tua mereka yang telah tiada. Bukan dengan taburan bunga-bunga cantik nan harum, melainkan dengan perbuatan dan perkataan yang baik. Karena, bagaimanapun, anak-anak direlasikan langsung oleh masyarakat kepada orang tua mereka. Bila anak dari seseorang bernama Syamsudin, yang sudah meninggal, berbuat jahat di lingkungan tempat tinggalnya, maka masyarakat setempat pun akan menilai, “Wah, itu anaknya Pak Syamsudin kok jahat ya? Padahal ayahnya sendiri tidak demikian.” Anak yang berbuat jahat, ayahnya yang telah meninggal dibawa-bawa.

Saya memujikan Tuhan untuk bimbinganNya atas pengetahuan mengenai tindakan simbolik “mengharumkan kubur” ini. Sayangnya, saya tidak dapat, atau belum diberiNya kesempatan untuk, menyampaikan hal ini kepada kedua anak almarhum adik ipar saya. Semoga di lain kesempatan saya dapat melakukannya.©2018


Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 4 Desember 2018

Saturday, December 1, 2018

Ikhlas—Ilmu yang Tidak Ada Teorinya


SAYA ingin berbagi pengalaman kemarin (Jumat, 30 November 2018) saat menjenguk ipar saya di Pamulang, Tangerang Selatan. Ipar saya, yang adalah suami dari sepupu saya, menderita kanker nasofaring stadium akhir, yang dirawat di rumah, karena dokter sudah angkat tangan.

Semalam, ketika sudah hendak pulang, saya bilang ke Esta (bukan nama sebenarnya), sepupu saya, bahwa bagi saya sulit untuk menasihati keluarga yang sedang berduka agar sabar dan ikhlas, karena saya tahu hal itu tidak mudah, dan saya tidak berada di posisi dia.

“Karena itu, Es, saya ceritain aja ya, kalau pelajaran berserah diri saya yang pertama adalah di tahun 1996, waktu Mama (begitu saya memanggil ibu saya) dirawat di ruang ICU di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Dokter kasih saya dua pilihan yang sulit, tapi saya harus memilih. Tante P dan Tante N, yang seingat saya hadir waktu itu, bilang agar saya ikhlaskan. Kamu tahu, Es, meskipun ikhlas diajarkan oleh agama, tapi latihan real-nya kan nggak pernah dikasih sama semua guru ngaji yang pernah ngajarin saya.

Makanya, waktu saya masuk SUBUD, ditanya: ‘Sampeyan tahu, apa itu berserah diri?’ Saya bilang, ‘Saya nggak tahu, tapi saya mendapat pelajaran berserah diri, waktu Ibu saya sedang koma dan saya harus memilih di antara dua pilihan yang sama-sama sulit.’

Saya pun menjauh dari orang-orang yang ngumpul di luar ruang ICU Mama dan saya menyendiri di satu sudut di RSCM. Saya mohon pada Tuhan, ‘Ya Allah, berilah aku petunjuk bagaimana aku harus ikhlas.’ Saat itulah, saya seperti mendengar suara batin yang bilang: ‘Apa pun yang kamu pilih, itulah yang terbaik bagi Mama. Dan jangan kamu sesali, karena Allah Maha Tahu apa yang ada di hatimu.’.”

Esta tampak menahan tangis (karena tidak mau kelihatan oleh putri sulungnya). Dia lalu bilang, semua tindakan perawatan Sola (bukan nama sebenarnya), suaminya, adalah pilihan dia dan Sola, sehingga apa pun yang terjadi dia tidak akan menyesali dan berharap semua orang tidak menyalahkan dia atas pilihan-pilihannya. Esta dan Sola sudah tahu risikonya, tapi mereka berjuang untuk yang terbaik.

Puji Tuhan, cerita saya ternyata bermanfaat, daripada memberi saran atau nasihat terkait suatu keadaan yang saya sendiri belum pernah mengalaminya.©2018


Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan II, 1 Desember 2018