Wednesday, December 30, 2009

Mensyukuri Masa Lalu

“Saya tidak memikirkan masa lalu. Satu-satunya yang penting adalah masa sekarang yang abadi.”
—W. Somerset Maugham (1874-1965), The Moon and Sixpence



Semasa kecil, saya adalah anak lemah, penderita bronchitis yang tidak punya banyak teman, kurang pergaulan, pemalu sekaligus pendiam. Dunia yang saya nikmati adalah alam imajinasi saya yang tidak terbatas, yang akhirnya membuat saya dianggap pelamun oleh guru-guru saya. Saya amat tidak menyukai keadaan ini, tetapi saya sulit melepaskan diri maupun menguasai diri.

Saya menemukan keasikan dalam berkhayal, sehingga satu-satunya pelajaran sekolah ketika saya masih tinggal di Negeri Belanda yang sulit disaingi teman-teman sekelas saya adalah mengarang. Saya punya teman khayal (imaginative friend) yang adalah diri saya sendiri, yang kepadanya saya meminta pendapat dan kepadanya saya mencurahkan kegundahan. Semua ini membuat teman-teman saya mencap saya anak aneh.

Pernahkah saya menyesali masa lalu saya yang sedemikian rupa? Jujur saja, pernah. Saya berpikir, bila saya bisa kembali ke masa lalu saya akan memperbaikinya – saya akan berusaha keras untuk tidak menjadi pribadi semacam itu. Tetapi kini, rupanya semua yang melekat pada kepribadian saya di masa lalu menjadi bekal yang sangat berguna di masa sekarang.

Berkhayal sangat membantu saya dalam beride untuk pekerjaan-pekerjaan saya kini. Saya pernah menyesali mengapa saya dahulu hanya pintar dalam pelajaran mengarang dan menggambar, yang di mata orang tua dianggap kurang bergengsi dibandingkan penguasaan pelajaran matematika dan ilmu alam. Tetapi pelajaran mengarang yang saya sukai dahulu ternyata membuat saya sekarang tak mengalami hambatan dalam mengartikulasikan ide-ide lewat kata-kata. Kebiasaan ‘bergaul’ dengan diri sendiri memampukan saya dalam melakukan dialog intrapribadi, yang, pada gilirannya, membantu saya dalam berkomunikasi antarpribadi. Pendek kata, dengan kenyataan-kenyataan yang saya terima dewasa ini mendorong saya untuk mensyukuri masa lalu saya.

Seberapa pun buruknya masa lalu kita, hal itu sesungguhnya mempersiapkan kita untuk segala sesuatu yang kita hadapi di masa kini. Masa lalu adalah untuk disyukuri, karena apa-apa yang kita hadapi saat ini, menjadi apa kita kini, adalah hasil dari masa lalu kita. Jangan disesali, apalagi membiarkan pikiran kita melekat terus pada masa lalu; pada peristiwa-peristiwa atau orang-orang yang menimbulkan kesedihan pada diri kita. Kebahagiaan dan ketenangan jiwa takkan hinggap pada mereka yang tidak mau memaafkan masa lalu mereka, menolak mensyukuri setiap hal yang mengukir kekecewaan atau kesedihan di masa lalu.

Ada di antara kita mereka yang lebih suka hidup di masa lalu, baik karena masa lalu memberi mereka kesenangan maupun karena mereka belum bisa memaafkan perbuatan orang-orang dari masa lalu mereka. Keduanya menjadikan mereka orang-orang yang sulit menerima kenyataan, dan karenanya langkah mereka kini selalu terhambat – bukannya melihat ke muka malah melihat ke belakang terus, akibatnya mereka akan nabrak melulu. Masa lalu adalah untuk direnungkan, diambil hikmahnya, bukannya disesali. Peristiwa-peristiwa di masa lalu kita sesungguhnya memberi kita hikmah pembelajaran yang tak ternilai. Kecuali Anda sejarawan, tak perlulah Anda mengutak-atik masa lalu Anda; biarkanlah berlalu, maafkan semua orang, tidak usah berprasangka kepada Tuhan. Sekarang, pastikan masa depan Anda menjadi lebih baik dengan hikmah-hikmah yang Anda petik dari masa lalu Anda.

Setelah memperoleh sesuatu yang luar biasa saat ini, lihatlah ke belakang, ke perjalanan yang kita tempuh mulai dari satu titik di masa lalu. Kita akan dapat menengarai benang merah dari semua kejadian yang kita hadapi di masa lalu, masa kini, serta prospeknya di masa depan. Tengoklah ke belakang dengan keinsafan bahwa bagi masing-masing kita telah digariskan perjalanan hidup kita oleh Yang Maha Mengatur. Kekinian kita adalah hasil dari kelampauan kita. Dengan kekinian itu, yang kita insafi sebagai kenyataan yang patut disyukuri, seharusnya kita lebih tegar menatap masa depan, bukan malah menyesali masa lalu di masa kini.

Tuhan punya rencana atas masing-masing kita. Biarkan rencanaNya mewujud terlebih dahulu dengan kita menerima kehendakNya dengan perasaan yang sabar, ikhlas dan tawakal. Agar kita mampu memaafkan Tuhan apabila Dia menguji kita, mengikis prasangka kita kepadaNya. Saya yakin bahwa perbuatanNya mengandung kebaikan bagi kita, walau kadang perbuatanNya berbalut derita dan kedukaan. Asal kita bersedia menanti dengan sabar dan tawakal, perbuatanNya akan mewujud jadi kabar gembira. Saat itulah, biasanya kita menyesal telah berprasangka terhadapNya, dan akhirnya kita akan terdorong untuk mensyukuri masa lalu.©


Selamat Tahun Baru 2010. Semoga dapat mensyukuri tahun sebelumnya dan menjadikan hikmah-hikmah yang diperoleh selama tahun 2009 untuk memandu kita menggapai kesuksesan di tahun-tahun mendatang.

Tuhan Juga Ada di Toilet

Suatu hari, saya membatinkan pertanyaan, "Ya Tuhan, kenapa sih kita harus berserah diri kepadaMu?" Dalam sekejap, saya beroleh jawaban, yang seolah dituangkan ke dalam kepala saya, begitu derasnya sampai saya 'mendengar' suaraNya: "Aku seperti dirimu yang dapat meyakinkan klien-klienmu agar menyerahkan semuanya menyangkut pekerjaan kepadamu supaya mereka tenang. Dan kamu pun dapat bekerja dengan baik setelah diberi kepercayaan oleh mereka, bukan?"

Sontak, saya tersentak, lalu melonjak-lonjak. Bukan di atas tempat sujud, bukan pula di rumah ibadah, melainkan di toilet, yang ironisnya selama ini dianggap tempat yang tidak layak untuk 'menemui' Tuhan. Anggapan itu seperti menegaskan bahwa Tuhan ada di mana-mana tetapi tidak di toilet.

Kepahaman-kepahaman yang saya peroleh selama ini, dan yang kemudian saya tuangkan dalam Note Facebook, tidak melulu saya dapatkan ketika sedang 'menghadap' kepadaNya secara ritualistik di rumah ibadah, tetapi kebanyakan malah ketika sedang berada di toilet, di jalan, sedang bekerja, sedang mengolah asmara bersama istri, di atas sepeda motor, di dalam bus di antara bau ketiak dan keringat, dalam susah dan derita, dalam suka dan gembira. Di mana saja, kapan saja, sehingga yang menyeruak hanya rasa syukur tak berkesudahan.

Mendekatkan diri kepada Tuhan bisa di mana saja -- di mana saja Anda merasa nyaman dan dapat sepenuhnya menjadi diri sendiri. Yang penting juga, kitanya harus tenang dan tentram diri (walaupun di sekeliling kita ramai), berserah diri secara sabar, ikhlas dan tawakal. Walaupun sembahyang menurut tata cara agama, di rumah ibadah sekalipun, tetapi bila pikiran kita mengembara ke mana-mana selain kepada Tuhan yang ada di mana-mana, sembahyang yang menjadi kendaraan niat kita takkan pernah sampai di tujuannya. Kabarnya, Tuhan itu dekat, lebih dekat daripada urat nadi kita, dan dapat dicapai oleh jiwa-jiwa yang memaktubkan penyerahan diri kepada Sang Kuasa dengan sabar, ikhlas dan tawakal.

Berserah diri tidak cukup dengan dilisankan lewat mulut belaka. Ini adalah sikap batiniah yang lahir dari diri yang 'dikondisikan' secara alami untuk menjadi tenang dan tentram. Tempatnya bisa di mana saja: di rumah ibadah, di kamar, di mal, di gua atau hutan, di toilet, dan lain-lain. Yang penting rumah ibadah di dalam hati kita bersih dari segala sesuatu yang (kita anggap) menyerupaiNya. Di wilayah niskala nan suci itulah pendar-pendar cahayaNya menerpa bidang kepahaman dan penerimaan kita.

Berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal, dengan hati dan pikiran yang suci dari yang selain kesejatian, membawa kita pada realitas batin bahwa Tuhan memang ada di mana-mana. Dia bahkan juga ada di toilet.©

Diduduki Kursi

Keringat bercucuran saat saya berdiri menanti mikrobus Kopaja P-20 di depan terminal Lebak Bulus. Udara sedang panas-panasnya pada pagi itu. Selain minuman dingin, tempat duduk menjadi harapan saya ketika bus yang saya nantikan tiba. “Mudah-mudahan belum dipenuhi penumpang lain,” batin saya ketika di kejauhan saya melihat bus itu muncul.

Saya bersegera lompat ke dalam bus yang baru dimuati dua penumpang, dan dalam perjalanan lewat kampus Selapa Polri Pasar Jum’at bus tersebut segera ditumpati penumpang, juga yang berdiri berjejal-jejal lantaran tidak mendapat tempat duduk. Saya duduk dekat pintu, agar tidak kepanasan.

Naiklah dengan susah-payah seorang perempuan yang sedang hamil tua. Ia rela berdiri berjejalan dengan penumpang lain, sedang saya pada saat itu mengalami pertarungan dengan nafsu yang tidak rela menyerahkan tempat duduk saya kepada perempuan itu. Saya dijangkiti kondisi yang di kalangan anggota Subud menimbulkan permenungan: “Anda menduduki atau diduduki kursi?”; untuk menghindarkan diri kita dari sikap dan perbuatan yang dapat mengganggu hubungan dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia.

Menyembah berhala tidak melulu ditandai dengan penghambaan terhadap patung-patung belaka, melainkan mencakup pula sikap mengarahkan hati dan pikiran kepada selain Tuhan. Menafikan silaturahmi demi sesuatu yang hanya menguntungkan diri sendiri, seperti tindakan saya di atas, dikategorikan sebagai penyembahan terhadap berhala-berhala hati. Memusuhi orang-orang yang berbeda agama, atau yang berbeda paradigma walaupun satu agama, juga termasuk dalam perbuatan menuhankan nafsu angkara murka.

Sejatinya, bukan saya yang sedang menduduki kursi saat itu, melainkan (keakuan) saya yang sedang diduduki kursi. Saya dikalahkan oleh nafsu yang menghendaki duduk terus, sementara ada orang lain yang lebih membutuhkannya. Pada satu sisi, saya malu sekali pada diri sendiri, pada Tuhan, juga pada perempuan itu, tetapi di sisi lain saya lelah dan kepanasan, sehingga ingin duduk saja.

Lama-lama, malu saya pada Yang Maha Melihat lagi Memberi Pertolongan kian memuncak. Serasa saya sedang diamati oleh Yang Maha Kuasa yang berkata lewat jiwa saya, “Pertumbuhan spiritual kamu akan terhambat oleh tingkahmu yang menyebalkan itu.” Saya tidak rela kehilangan kedekatan berkelanjutan dengan Yang Maha Kuasa hanya gara-gara hati saya dikuasai oleh sikap menuhankan kursi.

Tidak! Saya tidak mau. Persetan dengan kursi, lelah dan jejalan penumpang. Saya akhirnya berdiri dan mempersilakan perempuan tadi mengambil tempat duduk saya. Di mata saya, perempuan itu laksana ibu saya waktu sedang mengandung saya. Saya pun takkan rela ibu saya diperlakukan sebagaimana saya memperlakukan perempuan itu saat saya masih diduduki kursi. Ketika perempuan tadi merebahkan pantatnya di tempat duduk dalam bus yang dipadati penumpang, saya mendapat berkah kepahaman tentang betapa celakanya mereka yang menuhankan segala sesuatu selain Tuhan Yang Maha Esa, termasuk kursi yang seyogianya dipakai untuk duduk, bukannya membiarkan ia menduduki kita.©

Dibayar untuk Bersenang-Senang

“Pekerjaan Anda adalah untuk menemukan dunia Anda dan kemudian dengan seluruh hatimu mencurahkan dirimu untuk itu.”
—Buddha Gautama, 563-483 SM


Belum lama berselang, saya iseng membuat daftar pekerjaan apa saja yang membuat pelakunya dibayar untuk bersenang-senang. Selain pekerjaan saya, penulis wisata (travel writer), yang dibayar untuk berlibur, yang masuk dalam daftar tersebut adalah pemain film porno, penguji game (game tester; sementara karyawan dilarang main game selama jam kerja, orang ini malah meraup bayaran dengan bermain game sebanyak-banyaknya), orang yang digaji untuk memberi muatan pada blog atau Facebook dari perusahaan yang direpresentasi olehnya, dan…

Sampai di situ, saya berhenti mencatat, lantaran mendapat kepahaman: Jika kamu memiliki hasrat (passion) atas apa yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya apa pun pekerjaanmu kamu bisa membuat dirimu dibayar untuk bersenang-senang.

Pengalaman saya bertutur, tidak ada pekerjaan yang terlalu susah. Suatu pekerjaan menjadi susah ketika kita tidak ‘menaruh hati’ kita di dalamnya. Dan sejatinya, kita dapat melakukan pekerjaan apa saja, tak terkecuali. Yang membuat kita tidak mampu adalah diri kita sendiri, yang senantiasa membatasi diri dengan kesadaran semu bahwa kita tidak punya pengetahuan dan pengalaman, atau sekadar pesimis. Sikap (attitude) merupakan kekuatan. Jika Anda terus-menerus berkata pada diri sendiri bahwa Anda sudah terperangkap dalam rutinitas tanpa jalan keluar sama sekali, pada akhirnya Anda akan berhenti tumbuh dan berkembang. Tetapi bila Anda bersikap sebaliknya – bahwa Anda bekerja untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan impian-impian Anda, pada akhirnya Anda akan sampai ke sana.

Stres yang menimpa para pekerja dewasa ini disebabkan oleh karena mereka tidak berhasrat akan apa yang mereka kerjakan. Pemicu utamanya adalah lantaran mereka menomorsatukan uang/gaji, bukannya bertujuan untuk merealisasi potensi-potensi (yang masih dibiarkan) terpendam serta untuk mengaktualisasi diri. Bekerja sejatinya adalah untuk pertumbuhan diri. Jika kita tumbuh dan belajar apa pun yang kita lakukan, maka kita sedang bergerak ke arah yang tepat; kita sedang melangkah ke tempat di mana kita ingin berada. Jika sebaliknya, saya sarankan Anda agar segera meninggalkan pekerjaan tersebut dan temukan sesuatu yang membuat Anda tumbuh, atau ubah sikap Anda. Tiga belas tahun bekerja sebagai ‘orang gajian’ tidak membuat saya merasa tumbuh dan juga, akhirnya, menjadi bodoh. Walaupun pada awalnya tampaknya menakutkan, saya akhirnya memutuskan untuk meninggalkan status sebagai orang gajian dan melanjutkan karir saya secara freelance, yang malah membantu saya tumbuh dan meningkat kualitas intelektual saya, juga material dan spiritual saya. Sebagaifreelancer, saya berpeluang untuk menumpahkan komitmen, dedikasi, kerja keras, bahkan hasrat saya. Saya berkomitmen untuk melakukan pekerjaan dengan baik, segalanya akan menyusul, dan rasanya tidak seperti sedang bekerja.

Sejumlah kerabat dan relasi saya mengeluhkan pekerjaan-pekerjaan mereka yang, kata mereka, tidak mendatangkan kebahagiaan. Mereka saya sarankan untuk meninggalkan pekerjaan-pekerjaan tersebut, dan mencari pekerjaan lain. As simple as that. Sebagian besar – jika tidak bisa dibilang semuanya – menampik kemungkinan itu, utamanya karena mereka khawatir tidak mendapat gaji sebesar yang mereka peroleh dari mengerjakan pekerjaan yang tidak mendatangkan kebahagiaan itu. Belum lagi, anggapan subyektif mereka bahwa pekerjaan lain tidak memiliki gengsi sebagaimana pekerjaan mereka saat ini. Kenyataan ini membuat saya memandang mereka sesungguhnya sedang melacurkan diri.

Saya punya segudang pengalaman yang menyatakan bahwa jika saya yakin sepenuh hati sesuatu pekerjaan dapat saya lakukan dengan baik, meski belum memiliki pengalaman mengenainya, pada akhirnya dapat saya kerjakan. Pada tingkatan ini, saya memahami adanya kekuasaan maha besar yang menuntun saya dalam melakukan pekerjaan tersebut. Yang diperlukan hanyalah niat dan percaya bahwa pekerjaan itu bisa dilakukan dan akan berhasil. Jika tuntunan ini kita ikuti, kita akan mendapat kemudahan-kemudahan (yang selalu saja membuat saya merasa bahwa saya tidak melakukan apa pun). Pengalaman itulah yang membuat saya selalu berhasrat akan pekerjaan saya.

Saya tidak pernah memedulikan nilai nominal dari imbalan yang bakal saya terima lewat pekerjaan saya. Pengalaman saya bertutur, kelewat memikirkan uang justru akan menghapus kemungkinan munculnya ide-ide hebat. Pada sejumlah pekerjaan, hasrat yang tumbuh dalam diri saya demikian dahsyat sampai saya tidak menarik bayaran apa pun. Alhasil, rezeki pun berdatangan dari berbagai arah yang tak disangka-sangka, baik rezeki material, intelektual maupun spiritual. Bagi saya, rezeki spiritual (pengalaman spiritual merengkuh kedekatan Ilahiah) melampaui kenikmatan apa pun yang bersifat materi.

Bekerja dalam keadaan kosong (tidak melekat pada hal-hal yang sejatinya tidak terkait langsung dengannya, seperti gaji, gengsi, merasa terbatas kemampuannya, pesimis dengan hasilnya, dan lain-lain) adalah momen di mana cinta akan meliputi diri kita. Dengan demikian, masuklah kita dalam daftar para pekerja yang dibayar untuk bersenang-senang.©

Besar-Besaran

Sungguh, Maha Besar Engkau, ya Allah

Lebih besar dari duka yang menimpa kami

Melampaui besarnya derita yang membuat sebagian kami memilih bunuh diri

Melebihi kebesaran jabatan yang mendorong kami lupa diri

Melewati kekayaan yang memercikkan kesombongan di hati kami

Mengalahkan ilmu-ilmu yang kami pelajari sampai tingkat tertinggi

Mendahului cerdik-cendekia yang suka bermain sebagai diriMu, mengatasnamakan ayat-ayat yang mereka sendiri tak tahu maknanya

Lebih besar dan lebih mulia daripada agama-agama yang selalu saja kami pertentangkan kebenaran ajaran-ajarannya

Ya Tuhan, kalau bicara besar-besaran, aku malu

Bahkan aku tak sanggup menuliskan kebesaranMu dengan tinta dari tujuh samudra

Ampunilah kami, ya Allah, debu-debu tak berharga ini...


Jakarta, 18 Desember 2009 / 1 Muharam 1431 H

Bentuk Beda, Isi Sama

“Anda takkan pernah bisa menebak isi buku dari kulitnya.”
—Edwin Rolfe dan Lester Fuller, Murder in the Glass Room, 1946


Beberapa tahun belakangan ini, saya tergolong amat jarang mengonsumsi nasi. Sebaliknya, saya amat suka mi atau, sejak mengalaminya di Papua, papeda yang terbuat dari sagu. Yang tersebut terakhir merupakan karbohidrat yang nyaris murni.

Alasannya bukanlah kesehatan; bukan karena saya menderita diabetes, bukan pula lantaran saya overweight. Sehingga saya menyanggah siapa pun yang mengkritisi tindakan saya beralih dari nasi ke mi, kentang atau sagu. “Lho, kan nasi, kentang dan sagu sama-sama karbohidrat?!” sergah mereka. Iya, saya tahu, tetapi bentuknya kan berbeda dari nasi. Inti dari tindakan saya beralih dari nasi ke mi bukanlah karena saya memikirkan kesehatan saya. Saya hanya bosan melihat bentuk nasi – yang sudah saya konsumsi selama lebih dari tiga puluh tahun!

Ketika akan bertolak ke pedalaman Papua, 6 Desember 2009 lalu, seorang pendeta Kristen didaulat untuk memimpin doa, memohon lindungan dan keselamatan kepada Tuhan Allah, Bapa di Sorga. Walaupun beliau juga mempersilakan para peserta ekspedisi Nawa-Mamberamo yang non-Nasrani untuk berdoa menurut cara agama masing-masing, saya telah terbiasa untuk ‘masuk ke dalam’, menyelami isi dari doa dan bukan bentuk/cara berdoa. Doa yang diucapkan sang pendeta, dengan ‘bahasa Kristen’ yang saya hayati lewat isinya ternyata menggugah relijiusitas saya, sehingga doa sang pendeta pun saya amini. Bentuk boleh beda, tetapi isi ternyata tetap sama.

Kebanyakan kita terpola hidupnya berdasarkan bentuk, dan amat jarang – jika tidak bisa dibilang tidak pernah – menghayati isi dari segala sesuatu, yaitu esensinya, makna hakikinya. Kegagalan semata dipandang sebagai kegagalan, yang seolah tidak membuka peluang bagi perbaikan, sedangkan isi dari kegagalan adalah segudang pelajaran yang dapat memandu kita untuk menjadi lebih baik lagi di kemudian hari.

Pun dengan kesuksesan, yang hanya dianggap sebagai puncak dari proses ikhtiar. Padahal isi kesuksesan, lagi-lagi, adalah pembelajaran agar seyogianya kita mawas diri bahwa kesuksesan hanyalah satu tahap dari perjalanan hidup kita; bukan satu-satunya serta bukan ‘terminal terakhir’. Sukses pada saat ini belum tentu berarti sukses di kemudian hari. Isi dari gagal-sukses sejatinya adalah hikmah yang membantu kita untuk melakoni hidup secara sadar, dan darinya kita akan memperoleh kebijaksanaan.

Bentuk merupakan karunia untuk kehidupan saat ini, di dunia ini. Ketika mati, isilah yang menyertai. Namun, segala bentuk punya isi, yang hakikatnya sama, walaupun dalam tampilan bentuk tampak beda. Sejumlah kerabat dan relasi saya bertanya-tanya, kok saya bisa feel at home di tengah masyarakat Papua yang bentuk fisiknya maupun cara hidupnya berbeda dari umumnya kita di Jakarta atau Pulau Jawa, sedangkan saya baru menjejakkan kaki di Papua pada pertengahan tahun 2009 ini. Di mana pun saya berada, saya selalu memohon tuntunan Tuhan agar saya dapat menyelami isi dari budaya masyarakat di mana saya berada, dan tidak terjebak pada bentuk semata. Itulah yang menyebabkan saya bisa merasa di rumah sendiri di mana pun saya berada; di antara orang asing, di tengah umat beda agama, atau dalam berbagai suasana. Setiap perjalanan yang saya lakukan ke Papua, kini, membuat dada saya bergemuruh dengan kerinduan akan kampung halaman sendiri!

Ada mereka di antara kita yang acap merasa terganggu, hingga tingkat paranoia, dengan bentuk-bentuk yang berbeda dari yang mereka punyai. Apakah Tuhan hanya mengabulkan doa orang Islam saja, atau orang Kristen saja? Doa yang dipanjatkan sang pendeta Kristen sebelum para peserta ekspedisi Nawa-Mamberamo meluncur ke lokasi, maupun yang dipohonkan para peserta yang non-Nasrani, pada akhirnya membuat perjalanan itu penuh berkah lindungan dan keselamatan bagi siapa saja dalam rombongan, tak memandang agama apa yang dianutnya atau cara berdoanya. Bagaimana bentuk atau cara Anda menjalani hidup tidak usahlah dipaksakan pada orang lain hanya karena Anda melihat perbedaannya. Segala sesuatu diciptakan Tuhan untuk setiap makhluk sesuai proporsinya masing-masing, sehingga tidak perlu dipertentangkan. Bentuk beda, isi sama.©

Kelebihan dari Kekurangan

Suatu hari, begitu terburu-burunya saya berangkat untuk menyambut rezeki, saya sampai lupa membawa telepon seluler (ponsel) saya – baik yang GSM maupun yang CDMA. Saya baru teringat ketika saya sudah sangat jauh dari rumah, yang untuk kembali tidak memungkinkan lantaran keterbatasan waktu, sedangkan jalan-jalan yang saya lalui sedang ditimpa kemacetan parah. Saya pun resah, gelisah dan mendesah. Tetapi pada saat itu pula merasa sangat janggal dengan diri sendiri: Mengapa saya merasa gelisah dan terusik dengan keadaan itu?

Kegelisahan saya perlahan-lahan mereda tatkala pikiran saya melompat jauh ke belakang, ke masa-masa dahulu ketika saya belum punya ponsel, ketika ponsel masih menjadi barang langka di Indonesia, bahkan ke masa-masa awal tahun 1970an di mana kompleks tempat tinggal saya belum disinggahi listrik, di mana satu-satunya sumber hiburan adalah radio bertenaga baterei. Kadang televisi hitam-putih mengisi kehidupan berkat genset kecil yang acap merem-melek. “Ya Tuhan,” batin saya di atas sadel sepeda motor di tengah kemacetan jalan raya, “aku rupanya dihinggapi kemelekatan pada kebendaan!”

Ketika saya baru menempuh jalan spiritual, saya sulit memercayai kenyataan bahwa benda itu punya roh atau energi yang sanggup menguasai dan bahkan menaklukkan kita. Bagaimana mungkin benda yang ciptaan manusia atau diolah manusia dari apa-apa yang sudah tersedia di alam dapat menaklukkan pembuat/pengolahnya? Saya kira, Anda pun sulit memercayainya. Tetapi, coba saja rasakan diri Anda sendiri, kok Anda bisa mencintai sebuah benda dan merasa berat hati ketika benda itu hilang. Pengalaman lupa membawa ponsel, dan betapa gelisah saya dibuatnya membuktikan bahwa benda memang punya daya yang sanggup merontokkan kemuliaan kita sebagai manusia. Kalau Anda seperti saya, berarti, sadar atau tidak, kita telah memuja berhala; menuhankan segala sesuatu yang sejatinya bukan kita, atau selain Tuhan.

Pengalaman spiritual tersebut semakin kaya ketika pada tanggal 6-9 Desember 2009 lalu saya mengikuti ekspedisi Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, beserta jajarannya ke daerah pedalaman Papua, mengunjungi distrik paling tertinggal di antara sembilan belas distrik yang dinaungi Kabupaten Jayapura, yaitu Distrik Airu, yang mencakup lima kampung berpenduduk nomaden di kawasan hutan hujan yang dibelah sungai Nawa-Mamberamo. Istilah ‘tertinggal’ sebenarnya subyektif; hanya menurut penilaian kita yang hidup dengan segala kelebihan infrastruktur dan fasilitas perkotaan. Sebab, kenyataan yang saya jumpai di Kampung Aurina I, penduduknya dapat menciptakan dan memanfaatkan kelebihan dari kekurangan kampung mereka dalam hal infrastruktur dan sarana-sarana penunjang lainnya. Dan saya belajar banyak hal di kampung yang terdiri dari dua puluh rumah dan bangunan publik (balai pertemuan musyawarah kampung dan gereja yang terkesan darurat {makeshift}) tanpa listrik dan air bersih.

Untuk sekadar menyalakan lampu selama maksimal delapan jam, setiap rumah mendapat sumbangan sel surya dari dinas energi dan pertambangan Kabupaten Jayapura serta seperangkat genset. Untuk air minum, penduduk mengandalkan sumur tadah hujan yang belakangan sudah tidak terurus. Walaupun letak kampung di tepi Sungai Nawa, namun air sungai tidak bisa dikonsumsi karena keruh akibat lumpur, yang bila masuk ke dalamnya kaki kita bakal tersedot dan tersangkut. Tak heran, jika tidak ada yang berani terjun langsung ke dalam sungai, lantaran risiko tenggelam atau kaki dicaplok buaya yang banyak menghuni perairan yang memiliki lebar rata-rata 75-200 meter itu. Ponsel saya tidak terpakai, karena toh tidak mendapat sinyal – anehnya, saya tidak merasa gelisah, walaupun nyata-nyata terputus hubungan saya dengan dunia luar. Saya mengikuti kebiasaan penduduk setempat yang mandi dengan air sungai yang keruh – dengan sedikit keistimewaan, yaitu di dalam kamar mandi yang berdinding dan berlantai kayu di dalam bedeng.

Tanpa kelebihan sarana dan infrastruktur, menurut ukuran hidup masyarakat kota besar yang saya kantongi, selama saya tinggal di Kampung Aurina I, ternyata hidup saya menjadi lebih tentram dan tenang, sebagaimana penduduk kampung tersebut lantaran tidak terusik sama sekali oleh keadaan bahwa kekurangan merupakan sesuatu yang harus disesali atau diratapi. Penduduknya tampak tetap bersemangat melangsungkan kehidupan mereka sehari-hari. Bahkan dengan kunjungan Bupati Jayapura dan jajarannya, tak sedikit pun mereka mengeluh. Mereka malah menyambut dengan menyediakan pangan (sesuai yang mereka konsumsi sehari-hari, yaitu sagu, jagung, daging rusa dan babi hutan) dan atap.

Sebagaimana penduduk Kampung Aurina I yang dapat bersahabat dengan alam sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya – walaupun secara budaya tampak primitif – saya menyikapi kekurangan sebagai keadaan untuk menumbuhkembangkan kreativitas, untuk hidup bahagia dengan kesejatian diri, yang bebas kemelekatan dengan kebendaan – yang cenderung membebani ketimbang meringankan langkah kita dalam melakoni hidup ini. Di situlah letak kelebihan dari kekurangan.©

Rendah Hati di Tempat Tinggi

“Apakah hidup layak dijalani?
Ya, dengan kehebatan kita,
Ketinggian kita, kedalaman kita –
Hidup adalah ujian kita!”
—Corinne Roosevelt Robinson (1861-1933), penyair, dosen dan orator



Meski sudah belasan kali terbang ke beberapa tempat di kepulauan Indonesia, sampai sekarang saya tidak pernah merasa nyaman naik pesawat. Saya fobia terbang dan ketinggian, dan alih-alih menikmati penerbangan sebagaimana diharapkan pramugari dari para penumpang ketika pesawat akan lepas landas, saya malah ‘full istighfar’ selama perjalanan. Tetapi, saya tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa saya harus terbang, demi mengisi hobi saya menulis artikel-artikel wisata (travel writing). Satu-satunya cara untuk mengatasi fobia itu ketika saya sudah kepalang terikat di kursi penumpang pesawat adalah dengan merendahkan hati, berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal, yang ternyata mujarab untuk meredakan ketegangan.

Bertahun-tahun lalu, saya juga gamang dengan ketinggian, baik ketika duduk di kursi penumpang pesawat maupun di ‘kursi panas’ (hot seat) manajemen perusahaan tempat saya mengabdikan diri. Di tempat tertinggi di perusahaan atau di masyarakat kebanyakan orang begitu gamangnya sampai segan melihat ke bawah, padahal dari bawah juga mereka bermula. Dengan senantiasa melihat ke bawah, selalu ingat (bahwa di atas kita masih ada Yang Maha Tinggi) dan mawas diri (melihat ke dalam, tempat bersemayamnya kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan), kita dapat menengarai pijakan-pijakan yang nyaman. Sehingga kita dapat turun dengan aman dan legawa, atau kalau jatuh pun tidak terlalu menyakitkan; terbawa perasaan hingga kita jadi kehilangan kewarasan.

Itulah kenyataan yang kini marak di sekitar kita. Posisi-posisi di ketinggian dicapai secara instan atau lewat jalan pintas; dengan naik lift, bukan lewat tangga, sementara dalam keadaan darurat kita selalu disarankan untuk turun lewat tangga. Naik-turun tangga memang melelahkan, tetapi pertimbangkan sisi positifnya: kita jadi sehat dan punya banyak waktu untuk merenungkan mengapa kita menempuh perjalanan itu, dan mereguk kedewasaan, tanggung jawab, serta selalu ingat bahwa ketinggian setinggi apa pun tidak ada yang dapat melampaui Yang Maha Tinggi.

Eling lan waspada, kata orang Jawa. Selalu ingat dan mawas diri. Bercerminlah pada sosok Gareng, salah satu dari empat punakawan dalam pewayangan Jawa, yang berjalan dengan telapak kaki menjinjit, tangan mengibas-kibas dan mata melihat ke atas, menyerupai penderita keterbelakangan mental, tetapi sesungguhnya merupakan perlambang bahwa dalam melakoni hidup kita harus berhati-hati dalam melangkah/bertindak, mengibasi kemelekatan pada hal-hal duniawi (yang tidak akan kita bawa seiring jasad kita yang telah tak bernyawa), serta selalu ingat pada Yang Di Atas.

Sosok Gareng mengajarkan kita agar senantiasa rendah hati di ketinggian. Keinsafan akan Yang Maha Tinggi meredakan kegamangan saat kita berada di ketinggian, melunturkan kesombongan, melelehkan perasaan bahwa kita memiliki segalanya untuk selamanya. Hidup tidak kejam sebagaimana dikira kebanyakan kita; hanya saja kita, tanpa sadar, suka menzalimi diri sendiri maupun orang lain, yang sejatinya merupakan bagian terpadu dari diri kita juga. Dengan hati yang merendah, kita akan dapat memahami bahwa tempat tertinggi atau terendah pada hakikatnya sama saja. Pengalaman saya menuturkan, kesuksesan tidak ditentukan oleh tingginya kedudukan, melainkan oleh kebisaan menjadi diri sendiri – bebas lepas dari nafsu untuk menguasai, tidak menempatkan ego kita dalam jabatan kita.

Seperti halnya ketika berada di ketinggian langit, di ketinggian jabatan atau pencapaian pun saya selalu mengingatkan diri untuk ‘full istighfar’, menginsafi bahwa di atas saya masih ada Yang Lebih Tinggi, agar tidak jadi seperti kawan-kawan saya yang kehilangan kewarasan akibat jatuh dari ketinggian. Saya tetap bisa menjadi diri sendiri, dengan atau tanpa jabatan. Karena saya pikir, apa yang bisa saya banggakan ketika kelak badan saya sudah berkalang tanah?©

Se(ribu)rius

“Satu rasa syukur yang dipanjatkan ke Langit adalah doa yang paling sempurna.”
—G.E. Lessing (1729-1781)


Pada tanggal 2 Desember yang lalu, saya mengantar istri saya ke Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jakarta, berhubung dia harus menghadiri pernikahan salah seorang sepupunya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Hari itu bertepatan dengan ulang tahun saya, sehingga saya berdoa semoga hari itu akan menjadi sangat istimewa bagi saya – tetapi terserah Tuhan mau bagaimana mewujudkannya.

Saya melangkah ke anjungan pengantar (waving gallery) begitu kami berpisah di muka pintu masuk terminal keberangkatan domestik. Dari arah anjungan, saya memandang ke apron (landasan beton bandara) yang diparkiri sejumlah pesawat Boeing 737 dan Airbus A320 milik maskapai penerbangan Batavia Air. Satu pesawat Boeing 737 yang paling dekat dengan titik pandang saya berada dalam keadaan mesin mati serta tidak ada kegiatan persiapan keberangkatan di sekitarnya. Tiba-tiba terlintas rasa penasaran yang sudah lama bersemayam pada diri saya akan sesuatu yang sangat sepele: Bagaimana sih pesawat jet berbadan lebar distarter mesinnya? Apakah seperti menyalakan mesin mobil atau sepeda motor? Sebab, selama ini, saya selalu saja menjumpai pesawat jet komersial berbadan lebar, jika tidak dalam kondisi siaga berangkat dengan mesin jetnya meraung-raung memekakkan telinga, ya terparkir diam dan membisu di bagian dari bandara yang disebut ramp.

Hanya dalam hitungan menit sejak rasa penasaran itu melintas, saya melihat seorang pria berseragam pilot berjalan cepat ke arah pesawat yang sedang ‘berdiam diri’ itu, menaiki tangganya, dan sebentar kemudian saya melihat silhuet pria itu di balik jendela kokpit, dengan kedua tangannya bergerak ke sana ke mari, memencet tombol-tombol instrumen kendali pesawat. Tak lama kemudian, saya tersentak: Untuk pertama kalinya, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri proses penstarteran mesin jet dari sebuah pesawat komersial berbadan lebar. Dan saya sangat bersyukur karena pengalaman langka itu terjadi pada hari ulang tahun saya! Bagi saya, itu sungguh istimewa. Untuk sebuah hal sepele saja, Tuhan memperlakukannya secara serius, bahkan dua rius, tiga rius, malah seribu rius. Dari pengalaman sepele itu, saya mendapat kepahaman bahwa doa, bila dipanjatkan secara serius, dengan niat dan keyakinan sungguh-sungguh akan pengabulannya, maka Sang Penjawab Doa akan memperlakukan doa kita secara berlipat-lipat seriusnya – seribu rius!

Selanjutnya, saya membatinkan doa, “Ya Allah, perkenankanlah aku membagi pengetahuanku kepada siapa saja yang membutuhkan.” Kontan, saya didekati seorang bapak tua, yang berada di bandara dalam rangka mengantar anaknya yang akan berangkat ke Medan. Dia berasal dari Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, yang dari penampilannya mengesankan dirinya ‘orang udik’. Dia mengaku bahwa saat itu baru pertama kalinya ngeh dengan yang namanya bandara dan pertama kalinya pula melihat dari dekat benda bernama pesawat terbang. Dia pun mengajukan pertanyaan bertubi-tubi terkait bandara dan masalah penerbangan, yang segera menyadarkan saya akan doa yang barusan saya batinkan. Secepat itu dikabulkanNya!

Seperginya bapak tadi, saya masih berdiam di anjungan pengantar dan larut dalam kebahagiaan karena Tuhan telah menjadikan hari ulang tahun saya demikian spesial, serta retrospeksi yang menimbulkan introspeksi berkelanjutan.

Pada akhir bulan Oktober lalu, mendadak sontak timbul keinginan yang kuat pada diri saya untuk memiliki sebuah laptop Apple MacBook Pro 13” untuk mendukung pekerjaan saya yang didominasi eksplorasi kreatif. Teriring pengremehan dan pengraguan dari sejumlah kerabat dan relasi saya, mengingat laptop Mac tergolong ‘barang mahal’ sedangkan secara finansial saya termasuk golongan pengusaha ‘ekonomi memble’, tak surut hasrat saya untuk mewujudkan impian saya memiliki sebuah laptop MacBook Pro. Saya sendiri heran dengan diri saya: kokdemikian nekat saya hendak menginvestasikan modal demi sebuah laptop. Namun, prinsip saya untuk selalu berpikir besar (think big), bersikap seribu rius dalam doa maupun usaha, membuat saya tak mundur sejengkal pun dari niat saya membeli MacBook Pro.

Potongan iklan cetaknya di koran, yang bertajuk Meet the New MacBook Pro, saya tempelkan pada whiteboard di kamar tidur saya, dan setiap kali akan berangkat menjemput nafkah, saya tatap potongan iklan itu laksana koboi yang siap mencabut pistolnya untuk menembak lawan duelnya, dan berucap dengan suara yang mantap, “Suatu hari kau akan menjadi milikku!” Selebihnya adalah ikhtiar dibarengi doa dengan niat serius, dua rius, tiga rius… Seribu rius!

Pada 21 November 2009, tergerak hati saya untuk mengunjungi Apple Authorized Premium Reseller di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, untuk sekadar melihat-lihat dan mencobai MacBook Pro, mudah-mudahan dapat mencambuk semangat saya untuk berusaha lebih keras agar mampu membeli laptop canggih itu. Tak dinyana, menjelang akhir tahun harganya rupanya sedang turun. Saya merasa pantat saya ditendang Gusti Allah yang menghardik, “Jika kamu meyakini sesuatu jangan ragu-ragu untuk mewujudkannya, dan Aku akan membantumu!”

Saya pandangi dan raba-raba MacBook Pro yang ditampilkan di atas meja peraga itu. Tergeletak memunggunginya adalah laptop MacBook White 13” dengan spesifikasi yang tak jauh beda dari Pro (diperkuat oleh informasi dari pihak reseller sendiri). Suara batin saya pun mengemuka: “Ya, ini (MacBook Pro) tepat untukmu, tapi bukan sekarang.” Rasa penyerahan yang ikhlas segera menyeruak dalam diri saya dan tanpa perlawanan atau penentangan, walaupun istri saya sudah memastikan bahwa ada dana dalam simpanan kami untuk membeli Pro, saya akhirnya memilih MacBook White. Utamanya karena saya tidak mau menipu diri sendiri. Sebagian besar dari kebutuhan saya akan laptop MacBook adalah untuk mendukung pekerjaan saya sebagai penulis, yang tidak setiap waktu memanfaatkan aplikasi-aplikasi hiburan atau grafis di dalam komputer itu.

Serangkaian pengalaman ini, dan kepahaman-kepahaman batiniah yang menyertainya, membuat saya semakin yakin bahwa Tuhan pasti mengabulkan doa kita, asal kita sabar, bersyukur, dan selalu berusaha secara serius, dua rius, tiga rius, bahkan seribu rius.©


Sabar Bikin Subur

"Kesabaran kita akan mencapai lebih banyak daripada kekuatan kita."
--Edmund Burke (1729-1797)



Sebuah keprihatinan mendesak di dada saya belakangan ini terkait maraknya kasus-kasus sakit jiwa akibat kesulitan menerima kenyataan, kawin-cerai di kalangan artis yang ironisnya juga doyan bikin berita tentang perjalanan umroh mereka, korupsi merajalela, dan lain-lain perbuatan yang tidak islami. Padahal Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.

Keprihatinan saya memuncak setelah kemarin (29 November 2009) saya mendapat cerita tentang teman istri saya yang jadi gila gara-gara stres berat, dan salah seorang kerabat saya yang menunjukkan tanda-tanda ketidakwarasan setelah dia di-PHK yang langsung menyebabkannya depresi. Apa yang salah dengan pengajaran agama, sehingga membuat kehidupan umat terpuruk? Agama Islam, setelah saya dalami dan amalkan dengan menghayati hakikatnya, merepresentasi kedalaman dan kemuliaan dari sikap ketundukan (taslim) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, saya berkesimpulan penyebab kekisruhan dalam kehidupan umat secara umum terletak pada cara mengajarkan agama yang berfokus pada yang lahir semata, menafikan yang batin, sehingga menghambat internalisasi nilai-nilai agama sebagai pedoman hidup.

Wajah yang islami ternyata tidak terwakili oleh atribut-atribut fisik, melainkan dengan senantiasa menghias batin kita dengan kesabaran. Kesabaran yang ikhlas dan diinsafi, bukan karena terpaksa, melahirkan sikap diri yang senantiasa siap menerima kenyataan; bahwa apa pun yang diberikan oleh Yang Kuasa merupakan curahan kasih sayangNya. Sabar bikin subur -- menyuburkan keimanan kita, keyakinan yang hakiki terhadap kuasa Allah Swt., dan memperlancar produksi kebijaksanaan (hikmah) pada diri kita. Sabar adalah permata keislaman yang sejati. Tanpa pernah berupaya menginternalisasi nilai sabar, hidup kita menjadi berantakan, sarat kemaksiatan, iman kita menggelontor dan kita cenderung berburuk sangka kepada Tuhan.

Pengalaman pendiri Apple Inc., Steve Jobs, mengajarkan saya bahwa apabila kita bersabar dalam menjalani proses kehidupan, pada titik penghujungnya kita akan mensyukuri apa saja yang kita hadapi selama proses tersebut. Jobs mensyukuri kenyataan bahwa dia dropout dari bangku kuliah dan untuk mengisi waktu luangnya ia mengambil kursus kaligrafi. Saat itu, ia tidak menyadarinya dan tidak peduli. Ia baru mengangguk-angguk puas, seakan telah memetik hikmah, ketika Apple meluncurkan komputer Macintosh pada tahun 1984. "Kalau saya tidak pernah mengambil kursus itu di kampus, Mac takkan pernah memiliki banyak typeface ataufont-font yang dispasi secara proporsional," katanya.

Bersabar dengan apa yang diberikan Allah, bagi kebanyakan orang merupakan pekerjaan yang amat sulit. (Demikian sulit rupanya sehingga banyak orang lebih memilih jalan pintas: mau kaya mereka korupsi, kurang sabar membangun komunikasi dengan pasangan, mereka langsung memutuskan bercerai.) Bagaimanapun, kesabaran harus diupayakan agar ditumbuhkan dalam diri kita, kecuali Anda memang maunya hidup dengan susah hati terus. Landasan untuk bisa bersabar adalah rasa syukur; mensyukuri apa pun yang hinggap pada kita, senang atau susah, sebagai berkah. Bercermin pada pengalaman Steve Jobs di atas, kesusahan ketika kita sedang berproses merupakan berkah tak berkesudahan, asal kita sabar membiarkan proses itu berjalan hingga mencapai kenyataan yang dikehendakiNya.

Kita harus bervisi jauh ke depan, jangan berjangka pendek, untuk saat ini saja. Biarkan hidup merekah hingga menampakkan keindahannya. Telusuri dan temukan keindahan wajah Allah pada setiap tahap pertumbuhan dan perkembangan pribadi kita, lahir maupun batin. Bersabarlah dengan duka cita, karena di dalamnya tersimpan mutiara hikmah yang menjanjikan suka cita.

Dengan kepahaman dan pengalaman langsung dengan mukjizat sabar, akhirnya saya bisa bersabar terhadap kenyataan banyaknya orang yang gila lantaran tidak bisa menerima kenyataan, artis-artis yang doyan kawin-cerai serta pejabat-pejabat di berbagai tingkatan yang gemar korupsi, walaupun secara fisik mereka mengenakan atribut yang menandai keislaman mereka. Mereka demikian karena tidak mengerti bahwa sejatinya pakaian agama yang mereka anut adalah kesabaran dalam mengamalkan ketundukan kepada Allah. Saya berdoa, semoga Tuhan mengertikan mereka bahwa justru sabar yang bikin subur.©