Friday, March 22, 2019

Wahyu Latihan Kejiwaan

KEMARIN, 21 Maret 2019, seharian saya berkutat dengan tujuh ceramah Bapak tahun 1963 (dua di NiterĂ³i—Brasil, dua di Rio de Janeiro—Brasil, dua di New York—Amerika Serikat, dan satu di Bauru—Brasil).

Hasil dari saya membaca ketujuh ceramah tersebut, selain diri yang dicas dengan gelombang setrum SUTET (SUbud TEtap Top) berdaya super dahsyat, adalah kesimpulan yang saya dapatkan: Wahyu yang diterima RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo adalah Latihan Kejiwaan, dan kunci utamanya adalah pembukaan. Pak Subuh mengatakan, ajaran dan laku sabar-tawakal-ikhlas ada di agama-agama yang dianut mayoritas orang di dunia, tapi mengapa mereka sulit sekali melakoni sabar-tawakal-ikhlas, tidak seperti para anggota SUBUD, adalah karena mereka belum dibuka.

Saya jadi teringat kata-kata Pak Otjo Wiroreno (anggota SUBUD yang ketika dibuka tahun 1968 berstatus atheis) bertahun-tahun lalu bahwa Latihan Kejiwaan bukan laku, bukan ajaran, bukan teori, tapi fenomena yang hanya diterima oleh RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo dan boleh diteruskan kepada siapa saja yang menginginkannya.©2019



Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 22 Maret 2019

Monday, March 18, 2019

Menyingkap Kabut Misteri


PENGALAMAN kejiwaan ini saya lalui tahun 2014 hingga 2015 lalu. Pengalaman menakjubkan yang saya terima sebagai penulis buku yang mengungkapkan peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut dalam Operasi Seroja di Timor Timur, 7 Desember 1975.

Permintaan kepada saya untuk menjadi penulis buku tersebut berasal dari sebuah firma kehumasan yang digawangi antara lain oleh senior saya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI). Permintaan kepada saya saja sudah merupakan pengalaman yang ajaib. Pasalnya, firma kehumasan itu sebelumnya sudah menawarkan kepada tiga penulis lainnya, tetapi mereka menolak dengan alasan yang sama: Segala sesuatu terkait Operasi Seroja di Timor Timur masih diselimuti kabut misteri yang begitu tebalnya hingga membuat mereka berpikir bahwa mereka takkan bisa menembusnya, sehingga penulisan buku itu akhirnya akan mengalami kegagalan.

Senior saya di firma kehumasan tersebut pun akhirnya mengontak Program Studi (Prodi) Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia atau FIBUI (penerus FSUI setelah tahun 2002). Pihak Prodi Sejarah merekomendasikan nama saya, karena dalam daftar alumni Jurusan Sejarah FSUI hanya saya yang pernah menulis skripsi tentang sejarah perang dan strategi. Jadilah saya penulis buku yang disponsori Dinas Penerangan Markas Besar TNI AL c.q. Sub Dinas Sejarah (Disjarah) TNI AL tersebut.

Yang membuat saya tidak menolak tawaran tersebut, seperti halnya tiga penulis sebelum saya, adalah karena sebagai orang yang sudah menerima Latihan Kejiwaan saya harus senantiasa sabar, tawakal, dan ikhlas menghadapi tantangan-tantangan yang menanti di muka. Di benak saya selalu terngiang-ngiang perkataan penerima wahyu Latihan Kejiwaan dan pendiri Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (PPK SUBUD) Indonesia, RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo: “Jika Tuhan menghendaki, tidak ada yang tidak mungkin.”

Selanjutnya, selama pengerjaan buku tersebut saya dihadapkan pada keajaiban-keajaiban yang sulit dicerna akal. Informasi-informasi berharga “mendatangi” saya, mulai dari hasil googling sampai yang digali oleh tim pengumpulan data. Yang aneh, via Google saya dapat mengakses file pembicaraan rahasia antara para petinggi militer Indonesia mengenai rencana pendaratan pasukan TNI di Dili, Timor Timur, yang di kemudian hari, setelah bukunya terbit, tidak dapat diakses lagi (404 Page Not Found Error). Dengan pertolongan Tuhan dan bimbinganNya yang saya terima dari Latihan Kejiwaan yang terus-menerus mengisi diri saya, berangsur-angsur kabut misteri itu tersingkap, mengungkapkan berbagai informasi (yang tadinya) rahasia mengenai perencanaan dan pelaksanaan Operasi Seroja.

Keajaiban yang terakhir dalam proses pengerjaan buku tersebut adalah ketika pihak Disjarah TNI AL menghendaki dilampirinya oleat (atau map overlay, yaitu peta operasi yang dilengkapi dengan laporan gerakan kapal-kapal pendukung) dari armada kapal TNI AL yang mendukung pendaratan pasukan Marinir TNI AL sehubungan dengan Operasi Seroja. Masalahnya, menurut informasi yang diperoleh tim pengumpul data, oleat tersebut masih berstatus Sangat Rahasia, dan terdapat di pusat arsip Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Kemenhan RI), yang dikepalai seorang mayor dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

Kembali saya hanya menyerahkan diri kepada bimbinganNya. Dan, lagi-lagi, jalan saya dipermudah. Usut punya usut, mayor Kopassus yang mengepalai pusat arsip Kemenhan RI adalah alumnus FSUI yang rupanya mengenal saya (tapi saya tidak ingat dia). Dan dengan alasan bahwa saya adalah penulis buku, yang dia percaya dapat mempertanggungjawabkan penggunaan oleat tersebut, dia mengizinkan oleat tersebut didesain ulang visualnya dan dilampirkan pada buku yang saya tulis tersebut. Puji Tuhan!

Pengalaman ini menjadi bukti bagi saya bahwa Tuhan selalu bekerja membimbing ciptaanNya, dan juga menjadi pelajaran bagi saya agar tidak serta-merta menolak pekerjaan yang ditawarkan kepada saya, hanya karena alasan saya tidak memiliki pengetahuan atau pengalaman terkait pekerjaan tersebut, dan agar saya tidak mudah menyerah terhadap kesulitan-kesulitan yang menyertai suatu pekerjaan.©2019



Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Jakarta Selatan, 19 Maret 2019

Ikhlas Juga Pakai Otak

Saya (kanan) dan alm. Pak Djoko Mulyono (tengah) ketika menghadiri
Kongres Nasional PPK SUBUD Indonesia di Surabaya tahun 2007.
Tahun 2006, Munas PPK SUBUD Indonesia juga
digelar di Surabaya.

SAAT Musyawarah Nasional (Munas) Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK) Susila Budhi Dharma (SUBUD) Indonesia di Surabaya, Jawa Timur, tahun 2006, almarhum Pak Djoko Mulyono, saudara tua SUBUD saya, menghadirinya bersama beberapa saudara SUBUD yang tergabung dalam Kelompok Merdeka Selatan (PT Danareksa) dan Nurus Subhi Institute (NSI). NSI merupakan sebuah yayasan yang diresmikan pembentukannya pada 10 Desember 2005 di Ciganjur, Jakarta Selatan, dengan saya sebagai salah satu pendirinya. Yayasan tersebut dibentuk sejumlah anggota SUBUD Indonesia di Jakarta untuk mengewantahkan hasil Latihan Kejiwaan kewirausahaan.

Saya saat itu memang sedang berada di Surabaya dalam rangka mudik rutin, lantaran istri saya saat itu masih tinggal di Kota Pahlawan untuk meneruskan tinggal di rumah kontrakan kami yang habis pada Desember 2006. Karena itu, saya bisa terus-menerus bersama anggota dewan pendiri NSI selama berlangsungnya Munas yang digelar selama tiga hari di Asrama Haji Surabaya itu.

Pada hari kedua, Pak Djoko mengajak seluruh anggota Dewan Pendiri NSI mengunjungi Wisma SUBUD Surabaya. Lalu, sebelum kembali ke Asrama Haji, kami mampir makan siang di sebuah restoran Soto Madura. Di restoran tersebut, Pak Djoko memesan soto jeroan, yang membuat salah satu anggota Dewan Pendiri NSI, Mas Harry NP Danardojo, merasa “ngeri”. Pasalnya, Pak Djoko penderita diabetes akut yang sudah dilarang mengonsumsi jeroan sapi. Mas Harry pun, karena merasa segan menegur Pak Djoko, yang merupakan seniornya di PT Danareksa, meskipun Mas Harry sudah tidak bekerja di PT Danareksa lagi, meminta bantuan saya untuk mengingatkan Pak Djoko.

Di meja makan, ketika Pak Djoko sudah menghadapi semangkuk Soto Madura isi jeroan sapi, dengan santun saya mengingatkan beliau bahwa sudah tidak boleh mengonsumsinya. Dengan cuek, sambil menyantap soto jeroan sapi di hadapan beliau, Pak Djoko berkata ke saya, “Aku ini sudah ikhlas. Kalau nanti mati ya sudah. Nggak makan jeroan saja aku juga mati kok.”

Saya hanya tersenyum, tidak berani lagi mengusik keasikan beliau makan jeroan sapi. Tapi saya sempat imbuhi, “Saya sudah ingatkan lho, Pak, ya.”

Seminggu kemudian, pada hari Selasa malam, saya bertemu dengan Pak Djoko dan para anggota Dewan Pendiri NSI lainnya di lantai 11 gedung S. Widjojo Centre di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta. Setiap Selasa malam, auditorium di lantai 11 bangunan bersejarah yang menyandang pemendekan nama pendiri SUBUD, Bapak (Muhammad) S(ubuh) (Sumohadi)Widjojo, itu menjadi tempat Latihan Kejiwaan bagi anggota Kelompok Sudirman (atau populer dengan sebutan Kelompok S. Widjojo). Usai Latihan, Pak Djoko mengajak kami ke restoran steik Ponderosa di lantai paling bawah S. Widjojo Centre (sekarang sudah dibeli Sewu Group dan berganti nama menjadi Sequis Center).

Beliau mempersilakan kami semua memesan menu yang disukai, dan semua beliau yang bayar. Saya memesan steik iga sapi. Mendengar itu, Pak Djoko berkomentar, “Hati-hati kamu, To. Jangan makan yang banyak lemaknya.”

Dengan santai, teringat pada ucapan beliau di restoran Soto Madura di Surabaya seminggu sebelumnya, saya berucap, “Saya sudah ikhlas, Pak.”

Pak Djoko mengomentari ucapan saya dengan mimik serius, “Itu namanya SUBUD bodoh!”

Lama saya memikirkan kata-kata Pak Djoko. Tidak malam itu juga saya mendapat pengertian. Lama kelamaan, barulah saya dimengertikan oleh serangkaian pengalaman kejiwaan dalam hidup yang saya lakoni maupun dalam keheningan diri yang saya lalui.

Ikhlas ternyata harus pakai otak. Otak untuk mempertimbangkan apakah sesuatu patut atau tidak, baik atau tidak bagi kita. Otak untuk berusaha sebaik mungkin, yang hasilnya atau keluaran (output)nya harus kita ikhlaskan. Hal ini agar kita tidak kecewa bilamana keluaran dari usaha terbaik kita tidak sesuai dengan harapan kita. Tapi juga agar bila kita berhasil mewujudkan hasil terbaik kita tidak lantas melekatkan keberhasilan itu pada diri kita semata; ada suatu kekuasaan di luar eksistensi kita yang memungkinkan hal itu.

Ikhlas adalah tahap terakhir dalam rangkaian gerak hidup kita, bukan yang pertama. Bagaimanapun, rangkaian itu seperti spiral yang dirapatkan, dengan tahap-tahapnya berlangsung saling melengkapi. Ikhlas sepatutnya berjalan seiring dengan segala gerak usaha kita. Karena ia adalah kekuatan yang mengisi kiprah lahir dan batin kita. Terserah kita mau ikhlas atau tidak. Otak kita yang kita pakai untuk memutuskan hal itu, sedangkan kekuasaan Ilahi yang memungkinkan kita ikhlas.

Ikhlas bukan menunggu secara pasif, melainkan secara proaktif mengizinkan Tuhan bekerja dalam ranah yang berada di luar jangkauan kita. Hak kita sebagai manusia hanyalah berusaha, bukan menentukan hasilnya.@2019


Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 17 Maret 2019

Sunday, March 10, 2019

11 Maret: Sebuah Napak Tilas

Sudut sebelah baratlaut Wisma SUBUD Surabaya pada tahun 2015.
Atap joglonya sudah direnovasi, diganti dengan baja ringan dan
genteng galvalum warna biru.

SAYA tidak pernah merasa mencari Tuhan. Saya kira, Tuhan tidak perlu lagi saya cari. Tuhan sudah ditemukan oleh orang-orang yang dinyatakan (atau mengklaim) sebagai “utusan Tuhan”. Salah satunya adalah nabi yang mengajarkan agama yang pernah saya anut. Kitab sucinya sudah menyatakan tentang keberadaan Tuhan dan bahwa Dia sudah mengutus sejumlah ciptaanNya untuk mengajarkan mengenaiNya.
                                                                                     
Tetapi, diri saya tampaknya belum puas. Tanpa saya kehendaki, sesuatu di dalam diri saya menginginkan bukti atau membawa saya ke arah pengertian tentang hakikat Tuhan. Setiap kali membaca terjemahan Bahasa Indonesia dari kitab suci agama saya sebelumnya, muncul pertanyaan-pertanyaan yang tidak segera terjawab dengan membaca lebih lanjut. Saya pun menjadi tidak puas, terutama karena doa-doa saya tidak segera dikabulkanNya. Apalagi di kitab suci maupun dari penjelasan para guru agama, jikalau saya memohon kepadaNya dan berbuat baik, maka doa saya akan dikabulkanNya segera. Nyatanya, tidak!

Di puncak ketidakpuasan saya, saya berhenti beragama dan berhenti mempercayai Tuhan yang diajarkan oleh nabi yang mengajarkan agama yang pernah saya anut. Dalam pandangan umum dan awam, saya telah menjadi atheis. Tapi saya bukan atheis saat itu. Saya tetap meyakini ada sesuatu yang lebih besar melampaui eksistensi manusia, namun saya tidak yakin bahwa itu Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh agama saya waktu itu.

Tanpa agama, saya tidak memiliki pedoman untuk menjalani hidup secara produktif dan sehat. Tanpa Tuhan, saya ibarat rem blong—melaju kencang tapi tak bisa berhenti untuk sekadar menanyakan arah. Dalam proses ini, saya dibimbing (waktu itu, saya belum mengenal bimbingan Ilahiah) ke sesuatu yang kelak tidak saya sesali pernah menemukannya.

Pada hari Jumat, 17 Oktober 2003, diajak oleh mitra kerja saya, yang juga seorang pembantu pelatih Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK) Susila Budhi Dharma (SUBUD) Cabang Surabaya, Mas Heru namanya, saya pertama kali memasuki areal Wisma SUBUD Surabaya di Jl. Manyar Rejo No. 18-22, Surabaya, Jawa Timur. Saat itu, magrib baru saja lewat. Di teras timur dari bangunan Wisma SUBUD Surabaya duduk seorang pria berusia akhir 50an, dalam balutan baju safari berwarna biru gelap. Wajahnya lucu, sering tertawa, dan membuat lelucon.

Saya diperkenalkan Mas Heru kepadanya. Panggilannya Mas Adji, lengkapnya Istiadji Wiryohudoyo. Sebelumnya, Mas Heru telah menginformasikan ke saya bahwa Mas Adji adalah cucu tiri dari pendiri SUBUD, yaitu orang pertama yang menerima pengalaman gaib yang kelak dinamai Latihan Kejiwaan, RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo. Para anggota SUBUD memanggil Muhammad Subuh dengan sebutan “Bapak” atau “Yang Mulia Bapak”.

Mas Adji menanyakan saya apakah saya sudah tahu tentang SUBUD. Dengan yakinnya, saya mengiyakan. “Kata teman saya, perusahaan pertambangan, Mas.” Mas Adji spontan tertawa terbahak-bahak.
Dahulu, saat masih kuliah di Universitas Indonesia, saya dan teman saya beberapa kali naik angkot atau Metromini 610 jurusan Blok M-Pondok Labu yang lewat Wisma SUBUD Cilandak di Jl. RS Fatmawati No. 52, Jakarta Selatan. Suatu kali, kami melihat dari jendela angkot beberapa orang bule keluar dari kompleks Wisma SUBUD Cilandak. Teman saya berkata, “Lihat itu, To, itu SUBUD, perusahaan pertambangan. Banyak bule yang kerja di situ.”

Meskipun Mas Adji membenarkan bahwa beberapa orang SUBUD menjalankan bisnis pertambangan, tapi SUBUD bukan itu. “SUBUD adalah pendidikan jiwa. Kalau kita mati, yang tetap hidup adalah jiwa kita. Dia yang kembali kepada Tuhan. Tapi banyak orang tidak melatih jiwa mereka untuk hidup sesudah mati maupun hidup di saat ini.”

Saya pusing tujuh keliling mendengarkan penjelasan Mas Adji. Sekarang saya tahu mengapa saya pusing—karena Mas Adji menjelaskan perihal kejiwaan yang hanya bisa dipahami oleh orang yang jiwanya sudah terbuka dan hidup, yaitu orang yang rajin berlatih kejiwaan. Saat itu, jiwa saya masih tertutup, belum hidup, dan akal pikiran saya masih kuat. Bidang kejiwaan tidak akan mungkin dapat dipahami dengan kecerdasan akal pikiran.

Ada insiden lucu saat saya berhadapan dengan Mas Adji di teras timur Wisma SUBUD Surabaya. Saat itu, dia baru tiba dari Madiun, mengunjungi saudara-saudara SUBUD Cabang Madiun, dan dioleh-olehi pisang goreng buatan Ibu Soegijono, yang tak lain adalah ibunda dari Mas Heru, serta dua keik buatan ibu-ibu SUBUD Madiun. Mas Adji ingin menyuguhkan keik ke saya, dan meminta anggota dan PP yang ada di dekatnya supaya mengambilkan pisau. Saya tawarkan pisau lipat Swiss Army milik saya yang selalu saya bawa di tas pinggang saya. Tetapi, ketika saya sodorkan pisau lipat itu ke Mas Adji, dia mengibas-kibaskan tangan kanannya sebagai isyarat menolak, dan berkata, “Jauhkan itu dari saya! Banyak daya rendahnya di situ. Sampeyan kan pernah pakai pisau itu untuk ngancem orang!”

Tentu saja saya kecewa dengan penolakan Mas Adji, sekaligus terkejut: Bagaimana dia bisa tahu bahwa saya pernah menggunakan pisau lipat itu untuk mengancam orang, di masa yang telah lampau? Lama kemudian, saya tahu bahwa dengan bimbingan Tuhan, kita dibisakanNya untuk menyingkapkan apa yang tersembunyi atau terselubung.

Selanjutnya, Mas Adji mempersilakan saya masuk ke dalam ruangan besar Wisma SUBUD Surabaya, yang oleh kalangan anggota disebut “hall” (ruangan besar dan lapang). Meskipun beberapa pembantu pelatih (PP) sempat meminta saya keluar, lantaran saya belum jadi anggota SUBUD, Mas Adji bersikeras agar saya masuk. Mas Adji bahkan menegur keras para PP tersebut dengan dalih: “Bila ada yang ingin tahu tentang SUBUD, kita wajib menjelaskan!”

Mas Adji lantas membacakan satu pupuh dari buku Susila Budhi Dharma yang ditulis Yang Mulia Bapak dengan bimbingan Latihan Kejiwaan. Saya tidak mengerti apa yang Mas Adji sampaikan, dan kepala saya serasa dihantam palu besar serta jantung saya serasa meledak. Kepala saya serasa diimpit suatu kekuatan gaib yang datang dari sisi kanan dan kiri saya. Saya tidak mengerti apa itu. Saya hanya duduk bersila di lantai yang beralaskan karpet, begitu pula hadirin lainnya, yaitu para anggota dan PP SUBUD Cabang Surabaya. Mas Adji tidak menanyakan apakah saya mengerti atau tidak—belakangan saya baru mengerti bahwa bagi anggota SUBUD suatu pengertian tidak perlu diusahakan; pengertian akan datang dengan sendirinya, cepat atau lambat.

Akhirnya, Mas Adji mempersilakan saya keluar dari hall, karena selanjutnya adalah sesi yang terbatas untuk anggota dan PP. Sebelum saya sempat melangkah keluar, Mas Adji memanggil saya ke depan, mendekat ke kursi di mana Mas Adji duduk. Dia ingin menyalami saya, dan saat bersalaman Mas Adji berkata kepada saya, “Semoga kita jadi saudara ya, Mas.”

Saya tidak tahu apa maksud Mas Adji dengan “menjadi saudara”, tapi saya terkesan dengan dia. Genggaman tangannya pada tangan saya mengalirkan kehangatan cinta kasih dari seseorang yang pernah saya kenal di masa lampau. Baru kenal dan baru jumpa malam itu, tapi saya sudah kangen ingin bertemu Mas Adji lagi. Tidak banyak yang dibicarakannya, tapi energi kejiwaannya begitu besar, luas, dan dalam. Itu sudah “bercerita banyak”.

Keesokan harinya, Sabtu, 18 Oktober 2003, saya bertengkar hebat dengan istri saya. Pertengkaran adalah warna sehari-hari saya sejak saya kecewa pada agama dan Tuhan yang diajarkannya. Dan hari itu, istri saya, saking suntuknya dengan kehadiran saya, meninggalkan saya sendirian di rumah kontrakan kami di Jl. Petemon Barat, Surabaya. Dia pergi ke rumah orang tuanya di kawasan Perak Barat. Saya disuruhnya mencuci pakaian kotor yang sudah menumpuk dan saya dilarangnya menyusul ke Perak Barat.

Sepanjang pagi hingga siang, saya mencuci pakaian kotor kami. Saat azan Dzuhur berkumandang, entah mengapa saya terdorong untuk salat. Saat itu, saya sudah jarang salat; saya salat hanya untuk menyenangkan orang lain saja.

Saya pun menunaikan salat Dzuhur. Saat salam yang kedua kalinya, ketika menoleh ke kiri saya terjengkang ke belakang seperti didorong oleh suatu kekuatan gaib. Dalam posisi bersandar ke lemari di belakang saya, saya melihat serangkaian gambar bergerak seperti film di hadapan saya, yang menampilkan sederet perbuatan-perbuatan buruk yang pernah saya lakukan. Mulai dari selingkuh, mabuk-mabukan, hingga menjahati orang lain. Saya menangis dan minta ampun.

Muncul perasaan seakan nyawa saya akan dicabut. Saya ketakutan! Segera saya mengirim SMS ke Mas Heru. Dia lalu menelepon saya. Dia menyuruh saya berbaring dan tidak melawan apa pun yang datang ke saya. Saya katakan padanya bahwa saya takut mati, saya belum mau mati, karena saya belum siap. “Kamu tidak akan mati, To. Belum saatnya. Tugasmu belum selesai. Ikhlaskan saja,” kata Mas Heru di seberang sambungan.

Saya pun berbaring di ranjang dan mengikhlaskan diri. Saya merasakan gelombang seperti magnet meliputi diri saya. Saya merasa seperti terbang, terangkat dari permukaan kasur. Damai sekali rasanya. Kemudian saya tertidur. Saya terbangun karena mendengar ponsel saya berbunyi. Mas Heru yang menelepon. Dia berkata, “To, aku sudah konsultasi dengan Dewan PP. Kamu diminta datang ke Wisma SUBUD Senin besok untuk ngandidat.”

Senin, 20 Oktober 2003, jam delapan malam, saya tiba di Wisma SUBUD Surabaya. Saya sempat ragu saat dalam perjalanan ke situ maupun ketika sampai di pelataran parkir sepeda motor Wisma SUBUD Surabaya. Saya teringat pada almarhum Ibu saya yang sebagai orang Aceh syari’atnya kuat, dan saya membatin, “Akankah Mama setuju kalau saya ikut SUBUD? Apakah ini tidak bertentangan dengan agama?”

Di pelataran parkir sepeda motor saya ditemui Mas Heru yang lantas memperkenalkan saya ke salah satu PP, Cak Nur panggilannya. Cak Nur adalah seorang sarjana agama lulusan Universitas Darul Ulum Jombang dan guru ngaji yang hafal isi Al Qur’an serta korelasi ayat-ayatnya dengan berbagai persoalan kehidupan. Kegelisahan dan keraguan saya dijawab segera: “Oh, ternyata SUBUD tidak bertentangan dengan agama. Terbukti ada seorang ustaz yang jadi PP SUBUD.”

Sesuai tradisi di Cabang Surabaya, masa orientasi sebagai calon anggota atau populer disebut “ngandidat” (menjadi kandidat) saya jalani sebanyak 30 kali—dua kali dalam seminggu, malam Selasa dan malam Jumat, selama tiga bulan.

Sisi timur Wisma SUBUD Surabaya saat direnovasi pada tahun 2016.
Saya dibuka di ruangan di bawah atap bangunan ini, yang disebut
"hall Latihan".
Seminggu sebelum dibuka, tepatnya pada hari Jumat, 5 Maret 2004, saya mengalami suatu kejadian yang sulit dijelaskan. Waktu itu, saya pergi ke masjid dekat kantornya Mas Heru—di mana saya menjadi freelance copywriter—bersama Atok, adik kandungnya Mas Heru, untuk salat Jumat. Kami salat di sebuah masjid Nahdlatul ‘Ulama (NU) di kawasan Menur Pumpungan, Surabaya, bernama Masjid Al-Amin, tepatnya di Gang Masjid. Masjid NU terkenal karena dua kali azannya pada saat salat Jumat. Nah, pada azan pertama, saya yang duduk di saf ketiga tiba-tiba menangis terisak-isak, dengan perasaan rindu luar biasa kepada Tuhan dan keinginan yang kuat untuk segera pulang ke pangkuanNya. Pada azan kedua, lagi-lagi saya menangis terisak-isak, berurai air mata. Saya sampai berucap lirih dan pelan, “Ya Allah, aku ingin pulang kepadaMu!”

Usai salat, Atok, yang berada di saf terdepan, bercerita ke saya, “Mas Anto, tadi saya dengar di belakang saya ada yang menangis pas azan pertama dan kedua. Siapa tuh ya?!”

“Itu aku, Tok,” kata saya, sambil berjalan kaki bersebelahan kembali ke kantor. “Aku ngerasa kangen dan pengen pulang.”

“Pulang ke Jakarta?” tanya Atok dengan polos.

“Pulang ke rahmatullah,” jawab saya.

 Atok tersenyum lebar. Sebagai seorang pembantu pelatih seperti kakaknya, Atok merasakan bahwa saya saat itu sudah sangat siap untuk dibuka, menerima Latihan Kejiwaan SUBUD untuk pertama kalinya.

Saya dibuka pada Kamis malam, 11 Maret 2004, di Hall Latihan Surabaya, tempat saya mendapat penjelasan dari Mas Adji lebih dari empat bulan sebelumnya. Didampingi empat pembantu pelatih, yaitu Pak RB Soejanto Luwihardjo, Pak Soenardi Soemosasmito, Pak Seno Prasodjo, Cak Nur, dan Mas Heru. Ketika dibuka, saya diminta mengucapkan janji: “Saya, Anto Dwiastoro, berjanji untuk rajin melakukan Latihan Kejiwaan Susila Budhi Dharma.” Segera setelah itu, saya memejamkan mata dan sekujur tubuh saya lantas bergetar, sensasinya seperti sengatan listrik, lalu merasakan ada tarikan yang sangat kuat dari belakang saya, yang menyebabkan saya terjerembab dan berguling-guling. Setiap kali berusaha berdiri saya dibanting kembali ke lantai yang beralaskan karpet tipis dan kasar, yang menimbulkan lecet di siku kanan saya. Saya terlempar dan jatuh kembali, berulang kali. Saya sadar tapi tidak berdaya untuk melawan maupun menghentikan kekuatan dahsyat itu. Pengalaman seperti ini belum pernah saya lalui sebelumnya.

“Apa itu, Mas?!” tanya saya setelah saya terjerembab dalam posisi menelungkup, membuka mata dan melihat Mas Heru duduk di dekat saya. Napas saya terengah-engah, namun tidak merasakan sakit, meskipun sudah dibanting dan dilempar ke sana ke mari.

Itulah yang terjadi, pada 11 Maret 15 tahun yang lalu. Saya pun resmi menjadi anggota SUBUD, yang satu-satunya kewajibannya adalah Latihan Kejiwaan. Selama 15 tahun, saya berlatih kejiwaan dan menjalani hidup sejalan dengan bimbingan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang saya terima melalui Latihan Kejiwaan. Saya tidak tahu sampai kapan, hanya Tuhan yang Maha Tahu.@2019



Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 11 Maret 2019

Tuesday, March 5, 2019

Berserah Diri Sudah Primitif (?)

Saya di antara para penari tradisional Sentani mereka pentas
di Festival Danau Sentani pada 18 Juni 2009.

BULAN Mei tahun 2009 lalu, saya mengunjungi Papua untuk pertama kalinya. Saya terbang ke sana bersama saudara SUBUD saya yang juga seorang fotografer dan desainer grafis, Toni Sri Agustono. Bagi Pak Toni, itu sudah ketiga kalinya baginya ke Papua dalam rangka membantu Pemerintah Kabupaten Jayapura mempersiapkan dan menyelenggarakan Festival Danau Sentani yang pertama kali digelar pada tahun 2008.

Pada bulan Mei 2009 itu, saya dan Pak Toni dimintai bantuan oleh Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae (masa jabatan 2001-2011) untuk membuat coffee-table book (buku yang isinya 75 persen foto, dan sisanya teks) mengenai sejarah, alam, dan budaya masyarakat Sentani. Sentani merupakan sebuah distrik (setingkat kecamatan) di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Karena saya belum pernah ke Sentani dan sama sekali tidak punya bayangan tentang bagaimana keadaan daerah itu, meskipun pada tahun sebelumnya saya pernah diminta Pak Toni untuk membuat naskah narasi untuk profil video Sentani dengan melihat foto-foto yang dibuat oleh Pak Toni, saya harus mengunjunginya untuk menggali lebih banyak. Mungkin dengan begitu saya malah mendapat akses ke hal-hal yang belum diketahui oleh umum.

Menginap di Hotel Sentani Indah, yang waktu itu dimiliki oleh Grup Merpati yang juga mengoperasikan maskapai penerbangan Merpati Nusantara Airlines, di Jl. Raya Hawai, Sentani, saya dan Pak Toni, dengan didampingi general manager hotel serta satu prajurit anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI-AD berpakaian sipil—yang diminta oleh GM Hotel Sentani Indah, lantaran khawatir akan keselamatan dirinya, mengingat ancaman dari Organisasi Papua Merdeka yang mungkin berkeliaran di daerah-daerah terpencil, pun blusukan ke sejumlah lokasi yang menawarkan saya pengetahuan akan sejarah, budaya, dan kekayaan alam Papua, khususnya Sentani. Salah satu daerah yang saya kunjungi itu adalah Kampung Genyem di Distrik Ebungfau, Kabupaten Jayapura.

Genyem merupakan lokasi hutan lindung, yang dihuni berbagai jenis burung cendrawasih dan burung-burung langka lainnya. Di tempat ini juga terdapat satu suku yang ondoafi-nya menjadi tujuan saya dan Pak Toni untuk mendapatkan informasi lengkap tentang kampung di sebelah selatan Danau Sentani itu. Ondoafi, atau “ketua adat”, Genyem itu saya temui di rumah beliau. Kami memanggilnya “Pak Martinus”.

Ada satu bagian dari penuturan Pak Martinus yang menggugah saya dan Pak Toni selaku anggota SUBUD. Sang ondoafi bercerita tentang bagaimana alam akan membalas perbuatan buruk seseorang.

Penuturan beliau itu berawal dari pertanyaan saya, apakah di Genyem ada kasus-kasus kriminal. Pak Martinus bergurau bahwa kejahatan yang terjadi di kampung yang beliau pimpin biasanya dilakukan orang Jakarta. Kemudian dengan serius beliau menuturkan bahwa kejahatan jarang terjadi di komunitas adat yang beliau ketuai. Hal ini dikarenakan masyarakat setempat amat takut pada “sumpah adat” yang akan menggerakkan alam untuk membalas pelaku kejahatan dengan hukuman yang tak jarang berujung maut!

Bagaimanapun, dalam lima tahun terakhir (2004-2009) pernah ada kasus pembunuhan yang melibatkan lima warga komunitas adat, dan korbannya juga adalah warga setempat. Pak Martinus memaparkan bahwa kasus pembunuhan itu terungkap ketika satu warganya ditemukan tak bernyawa di kebun miliknya. Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan korban dianiaya sebelum dibunuh. Karena tidak ditemukan jejak-jejak yang mengarahkan pihak berwenang kepada (para) pelaku, keluarga korban pun mendatangi ondoafi untuk menuntut balas.

Menurut Pak Martinus, keberadaan penegak hukum resmi dari pemerintah diakui tetapi masyarakat memilih mengadukan suatu kasus kriminalitas yang memakan korban jiwa kepada ketua adat mereka, mungkin karena cara primitif lebih manjur daripada cara modern, yaitu melalui penyelidikan dan pemidanaan hukum.

Lalu, apa yang diharapkan masyarakat setempat dapat diperbuat oleh ondoafi untuk mencegah para pelaku kejahatan lolos dari hukuman yang setimpal? Begitulah kira-kira pertanyaan saya. Jadi, setelah ondoafi menerima laporan dari keluarga dari warganya yang menjadi korban pembunuhan, kepadanya dimohonkan agar dilakukan sumpah adat. “Melalui sumpah adat, saya serahkan pada... pada... pada apa yang Anda sebut ‘Tuhan’ itu,” ujar Pak Martinus dengan yakin. Pak Toni, yang duduk di sebelah saya di ruang tamu rumah sang ondoafi, menoleh sejenak ke saya dan berbisik, “Kayak SUBUD ya, To?!”

Saya memegang coffee-table book yang untuk
pembuatannya saya harus terbang ke Papua.
Ini pada saat peluncuran buku tersebut di
The Plaza, 30 Januari 2010.
Segera setelah mengucapkan sumpah adat, di mana ondoafi menyerahkan segala sesuatunya kepada apa yang kita di dunia modern sebut itu “Tuhan”, ia pun tinggal menunggu dengan sabar, tawakal, dan ikhlas (menurut bahasa modernnya) apa yang alam akan lakukan. Secara alami, empat orang warga komunitas adat yang dipimpin sang ondoafi mati dengan cara yang berbeda-beda, yaitu dipatuk ular, jatuh dari pohon yang tinggi, tenggelam di Danau Sentani, dan tertabrak truk pertambangan. Menyaksikan satu per satu kawannya mati, pelaku kelima ketakutan dan bersegera mendatangi sang ondoafi untuk menyerahkan dirinya.

Pelaku yang lolos dari pembalasan alam tersebut kemudian diserahkan ke pihak berwajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, tidak semudah itu; ia harus membayar “uang kepala” kepada keluarga korban, berupa penyerahan batu kapak Sentani yang bahannya mirip batu yang digunakan untuk akik. Batu kapak merupakan benda budaya yang lazim digunakan warga Sentani sebagai alat tukar atau mas kawin. Batu kapak terbuat dari batu berwarna hijau yang berasal dari Pegunungan Cyclops, barisan perbukitan yang melatari Danau Sentani di sebelah utaranya. Satu batu kapak bisa mencapai nilai nominal Rp150 juta.

Dari rangkaian penuturan sang ondoafi Kampung Genyem pada hari itu, saya berkesimpulan bahwa “berserah diri dengan sabar, tawakal, dan ikhlas” sudah menjadi cara hidup (way of life) masyarakat primitif, meskipun mereka mungkin tidak memiliki konsep Tuhan sebagaimana yang diyakini oleh umat agama-agama “modern” dan tidak memahami teknik-teknik kepasrahan yang oleh manusia modern dikatakan “baru”.©2019



Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 5 Maret 2019