Monday, April 2, 2012

Baik Atau Buruk?

“Baik dan buruk tidaklah sebaik dan seburuk yang terlihat.”

~Samuel Taylor Coleridge




IBU saya (1 Agustus 1933-29 September 1996) lahir di Langsa, Aceh, dan sempat melewati masa kecil di Lhokseumawe sebelum akhirnya menetap hingga dewasa di Medan, Sumatra Utara. Gaya bicara beliau terdengar keras dan bernada galak, walaupun sesungguhnya beliau baik dan ramah. Bagaimanapun, bagi orang-orang yang dibesarkan di budaya Jawa Tengah yang halus, seperti ayah saya dan adik-adiknya, gaya bicara ibu saya dianggap kasar. Hal tersebut sering menimbulkan salah paham: adik-adik ayah saya menganggap ibu saya keras dan suka marah-marah. Mengikuti tolok ukur budaya Jawa Tengah, orang berbudaya Sumatra Utara seperti ibu saya dipandang “buruk”.

 

Apakah orang Sumatra buruk dan orang Jawa baik? Tidak fair kalau menilai seseorang dari sudut pandang budaya kita. Kita haruslah mengenakan sepatu mereka agar mendapat pemahaman menyeluruh.

 

Baik dan buruk tidak pernah jelas tolok ukurnya. Kebanyakan kita dengan mudahnya menyatakan tidak suka perilaku buruk seseorang, dan lebih memilih kebaikan di atas segalanya, tetapi ketika ditanya apa tolok ukur dari masing-masing karakter tersebut kebanyakan kita juga bingung. Sebab, yang buruk bagi suatu budaya, belum tentu buruk bagi budaya lainnya.

 

Dosen filsafat saya semasa saya kuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah IKIP Negeri (sekarang Universitas Negeri) Jakarta tahun 1986 pernah melontarkan pertanyaan kepada para mahasiswa yang mengikuti matakuliah yang diajarnya, “Ada nggak budaya yang negatif?”

 

Serempak semua berseru, “Ada!” Beberapa di antara mereka mencoba mengingatkan dosen tentang perilaku orang Barat yang berciuman di depan umum atau berjalan-jalan dengan bertelanjang dada, yang bagi mereka merupakan budaya yang negatif. “Oh begitu ya?” kata sang dosen dengan santai. “Coba saudara tanyakan pada orang Barat itu apakah budaya mereka negatif!”

 

Kontan para peserta matakuliah tersebut terbelalak. Terlebih-lebih setelah dosen menyatakan bahwa tidak ada budaya yang negatif atau buruk. Yang ada adalah budaya yang relatif!

 

Lantas, apa dong tolok ukur baik dan buruk? Yang menyimpang dari kebiasaan suatu budaya disebut “buruk”, sedangkan yang sesuai (compliant) disebut “baik”. Yang sesuai bagi suatu budaya belum tentu sesuai bagi budaya lainnya. Karena itu, tidak patut menilai sesuatu sebagai baik atau buruk sebelum mengenal seseorang dan budaya dari mana ia berasal.

 

Orang Jawa yang menganggap dirinya beradab akan memandang suku pegunungan Papua yang kaum wanitanya tidak mengenakan penutup dada serta kaum prianya memakai penutup ala kadarnya di bagian pribadinya sebagai tidak beradab. Mungkin sebaliknya orang Papua akan menganggap orang Jawa terlalu lamban, yang tidak baik bagi kemakmuran, serta kurang tegas sehingga bisa dijajah selama tiga setengah abad.


Memperdebatkan tolok ukur baik-buruk tidak akan pernah ada habisnya, karena setiap orang punya nilai-nilai pribadi yang dipengaruhi budaya masyarakatnya yang tidak selalu sama. Yang bisa kita harapkan adalah agar orang yang berasal dari budaya yang berbeda dari budaya kita bisa menyesuaikan diri ketika ia memasuki lingkungan budaya kita. Dan, sebaliknya, diharapkan kita pun demikian ketika berada di lingkungan budaya yang lain, paling tidak menghargai dan tidak mengecamnya. Seperti kata peribahasa, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

 

Kepada para siswa sekolah menengah atas Indonesia yang akan diberangkatkan ke Jepang dengan sponsor dari Yayasan Antarbudaya pada tahun 2010, seorang pakar kajian antar budaya mengatakan, “Kalau Anda disuguhi makanan yang mengandung babi, jangan kuliahi tuan rumah tentang ajaran Islam yang mengharamkan daging babi. Anda akan ditertawakan, karena agama tidak dianggap penting oleh orang Jepang. Bersikaplah arif dengan bilang, ‘Maaf, saya tidak makan daging babi karena saya tidak menyukainya’. Cara itu akan membuat Anda lebih dihargai.”

Jadi, di sisi mana Anda berdiri—baik atau buruk?©2012

 

Lantai 7 Apartemen Citylofts Sudirman, Karet Tengsin, Jakarta Pusat, 3 April 2012