Wednesday, May 11, 2011

Kasih Spontan Berkat Mie Instan


Mengenang ibuku, Animah binti Radjab (1933-1996)


“Hati seorang ibu adalah jurang yang dalam yang di dasarnya Anda akan selalu menemukan pengampunan.”

Honoré de Balzac



Belakangan ini, saya kerap terkenang akan mendiang ibu saya, yang meninggal lebih dari empat belas tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 29 September 1996. Dari sekian banyak kenangan yang saya miliki bersama beliau, ada satu yang sungguh berkesan, yang selalu muncul pertama kali dalam ingatan saya setiap kali kini saya terkenang kembali akan beliau.


Suatu ketika, ketika saya masih duduk di bangku kuliah, sekitar tahun 1992-1993, saya dimarahi ibu saya lantaran hal sepele: Beliau menanyakan saya jam berapa. Saat itu sore, dan Mama, demikian saya memanggil beliau, sedang menekuni kebiasaannya hampir setiap sore, yaitu duduk merajut di teras rumah ditemani segelas teh hangat. Saya yang sedang berada di dalam rumah bergegas ke teras untuk menanyakan apa yang Mama tanyakan ke saya, karena saya tidak terlalu jelas mendengarnya.


Bukannya jawaban yang lembut yang saya terima dari Mama, melainkan omelan. Saya disangka Mama tidak tahu jam. Saya memang ketika masih sekolah dasar tidak mengerti hitungan waktu, yang diajarkan dalam pelajaran berhitung; dengan kata lain, saya buta waktu! Tetapi seiring perkembangan kecerdasan saya, saya pun dapat mengerti. Hanya saja, rupanya Mama tidak mengikuti perkembangan itu, sehingga ketika putra semata wayangnya (saya anak kedua dari empat bersaudara dan satu-satunya laki-laki) tidak mendengar jelas pertanyaan beliau tentang jam, dikira beliau saya tetap belum mengerti hitungan waktu. “Sudah kuliah kok tetap nggak ngerti jam?!” kata Mama, yang di telinga saya terdengar sinis.


Mama tidak mau menerima penjelasan saya, dan bersikukuh bahwa saya ‘memalukan’ lantaran tidak mengerti hitungan waktu. Terdorong oleh emosi lantaran sakit hati diejek sedemikian rupa oleh sosok yang sangat saya cintai dan hormati itu, saya membentak Mama hingga beliau terdiam. Lalu saya bergegas menuju kamar saya dan mengepak pakaian ke dalam tas ransel saya. Saya berniat untuk tidak berada serumah dengan ibu saya yang tentunya memendam amarah terhadap putra semata wayangnya yang telah durhaka ini.


Keesokan harinya, saya berangkat kuliah ke Depok, Jawa Barat, tanpa berpamitan ke Mama terlebih dahulu. Telah menjadi kebiasaan saya dan saudara-saudara kandung saya untuk mencium punggung tangan kanan kedua orang tua kami ketika akan bepergian, tetapi hari itu saya mengingkarinya. Saya bertekad untuk menghindari Mama dengan tinggal di kos saya di Margonda, Depok, sekitar sepuluh meter dari Stasiun Universitas Indonesia, di mana saya menempuh pendidikan sarjana saya.


Saya tinggal di kos itu selama sebulan, dengan uang saku hanya sedikit karena saya malu minta uang pada Mama ketika minggat dari rumah, dan seiring waktu jumlahnya terus menipis. Uang saku yang ada pada saya saat itu adalah honor saya dari menulis artikel di majalah. Dalam rangka berhemat, maka setiap hari selama ‘masa minggat’, untuk sarapan, makan siang dan malam saya hanya menyantap semangkuk mie instan dengan telur dan sawi, yang kala itu masih seharga Rp 700 per porsi. Sebulan penuh, perut saya hanya diisi mie instan!


Di penghujung bulan, saya memutuskan untuk pulang ke rumah orang tua saya, karena uang saku saya sudah ludes, sementara saya harus membayar uang sewa kamar kos sebesar Rp 25.000 per bulan. Setibanya di rumah, saya menjumpai orang tua dan saudara-saudara kandung saya sedang berkumpul di ruang keluarga, bersantai, dan masing-masing anak menceritakan pengalaman hari itu kepada kedua orang tua saya. Hal semacam itu telah menjadi tradisi di keluarga kami.


Mama tidak mau menegur saya, begitu pula saya tidak mau bertegur sapa dengan beliau. Dengan santainya dan sedikit bangga, saya bercerita ke saudara-saudara kandung saya bahwa selama di kos saya hanya makan mie instan, pagi-siang-malam, sebulan penuh. Saya perhatikan, tiba-tiba Mama beranjak dari kursi di mana ia duduk dan beringsut ke kamar tidur beliau, disusul ayah saya.


Beberapa jenak kemudian, Bapak, panggilan saya untuk ayah saya, keluar dari kamar dan memanggil saya. Beliau menegur saya dengan berbisik, “Mama-mu sedih tuh... Cepat minta maaf sana!”


Dengan agak enggan saya beranjak menuju kamar orang tua saya, di mana saya menjumpai Mama sedang membaca Al Qur’an sambil duduk di atas ranjang. Saya pun bersujud sungkem di hadapan Mama dan memegang tangan kanan beliau seraya mengucapkan permintaan maaf dengan sungguh-sungguh karena saya telah menyakiti hati beliau. Berurai air mata, Mama menarik saya ke dalam pelukan beliau dan mendekap saya erat, penuh kasih. “Lupakan kejadian waktu itu, Anto. Mama nggak marah sama kamu. Mama sayang sama kamu. Dan Mama sedih mendengar kamu makan mie instan sebulan,” kata Mama, terisak. Saya pun ikut menangis.


Sungguh besar kasih sayang Mama kepada saya, walaupun saya telah berdurhaka kepada beliau. Kasihnya spontan, tak mengenal batas, dan tak berpamrih. Seperti kasih yang dicurahkan Tuhan kepada ciptaanNya. Berkat makan mie instan selama sebulan, saya menemukan kenyataan bahwa kasih ibu bersifat alami dan spontan.Ă“




Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 6 Mei 2011


Teriring Doa dan Cintaku

Kutulis sebuah surat untukmu dengan hatiku

Kugores pena ungu, menatah kata dan kuasa rindu

Kalimat demi kalimat mengalir

seperti darahku yang mendesir

kala mendengar tutur kasih indahmu

yang menyentuh dasar kalbu

Walau cinta terbelah jarak,

tak menghalangi cipta semarak

antara dua hati yang merengkuh padu,

memendam kesah, rintih batin kelu,

berkelindan dalam sulaman terungkap bisu

Kasih, melayang khayalku kepadamu

menutup suratku teriring doa dan cintaku...



Cilandak, Jakarta Selatan, 6 Mei 2011

A Beautiful Thing

What is this that we called Love?

For centuries held so up above

Roses so pretty even cannot imply

this thing so beautiful it makes us fly

It is said that life cannot last,

Without it even beauty will cast

What is this beautiful thing

that makes birds sing

and dews emerging in the morning?

I turn my face to the sky

and sees a friendship tie

turns into a love that might not die

A beautiful thing between you and I

that is felt deep down our spine

may uphold the truth about the Divine



Jakarta, May 1, 2011

Inspired by DnA

Di Ruang Sepi Itu...


“Saya selalu berpikir bahwa pencarian akan kebahagiaan merupakan kekuatan yang mendasari hidup ini. Apa pun yang kita lakukan di dunia ini, dalam kehidupan kita, isinya selalu pencarian akan suatu kebahagiaan. Salah satu dari pengalaman-pengalaman awal di mana saya merasakan bahagia yang mendalam di dalam meditasi memberi saya rasa bahagia yang berasal dari luar dunia ini. Dan sekalinya Anda merasakan hal itu Anda akan melakukan pencarian lebih lanjut akan makna dari kebahagiaan.”

—Ajahn Brahmavamso



Tak sedikit orang yang menganjurkan maupun merayu saya untuk menerbitkan tulisan-tulisan saya dalam wujud buku, atau menulis buku yang kemudian diterbitkan, dibaca orang di seluruh negeri. Sebagai reaksi, saya selalu mengatakan, “Beri saya satu alasan kenapa saya harus melakukannya!” Tidak sedikit yang menganggap bahwa penerbitan buku karya sendiri merupakan representasi dari kesuksesan.


Anggapan keliru semacam ini sudah menyebar luas dan meruyak seolah tak dapat dibendung, hingga melarut dalam berbagai budaya, bukan hanya di perkotaan tetapi juga di pedesaan. Orang sukses sepertinya perlu atribut yang kasat mata, menurut anggapan tersebut. Padahal sukses tidak bisa diukur dari hal itu. Begitu pula dengan kebahagiaan.


Rasanya, semua orang mendambakan kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidupnya. Tetapi pendambaan tersebut cukup ajaib, lantaran yang didambakan merupakan sesuatu yang tak tampak, tak dapat disentuh, dicium baunya, apalagi disimpan. Segala sesuatu tentang kebahagiaan dan kesuksesan bersifat abstrak. Ada dan tiadanya hanya seputar rasa, atau refleksi dari hati, sebuah ruang sepi yang keberadaannya tak jelas di mana.


Untuk mudahnya, kita biasa menunjuk ke dada sebelah kiri, yang sesungguhnya tempat bersemayamnya jantung. Sedangkan hati fisik – yang tentunya berbeda dari yang dimaksud dengan ‘hati’ yang lokasinya tak jelas itu – merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh kita, yang letaknya di dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma.


Hati yang saya maksud dalam Catatan ini adalah yang di kalangan Sufi disebut ‘hati spiritual’. Tempatnya di mana saja yang kita yakini, tetapi yang jelas ia merupakan sebuah ruang yang sepi dari apa pun, selain Tuhan. Hati yang ini telah menjadi kajian dan telaah para cendekiawan agama dan pejalan spiritual sepanjang zaman. Robert Frager dalam bukunya, Heart, Self and Soul: The Sufi Psychology of Growth Balance and Harmony (New Age Books, 2005), menyebutnya sebagai ‘kuil Tuhan’.


Hati yang ini tetap misterius, lantaran keberadaannya yang ‘tidak jelas’ namun ada. Ruang sepi itu senantiasa menjadi fokus pembersihan dan purifikasi bagi mereka yang menghendaki kehidupan yang lebih tenang dan menyenangkan. Cara membersihkannya beragam; ada yang lewat meditasi, sembahyang, salat yang khusyuk, bertapa menjauhkan diri dari keramaian, dan lain-lain. Apa pun caranya, semua benar dan semua dapat membawa kita kepada aras bahwa sejatinya kita sesepi ruang sepi itu. Sepi dari apa pun. Kita dilahirkan ke dunia tanpa membawa apa-apa selain tubuh dan jiwa kita, dan meninggalkan dunia ini juga tanpa membawa apa-apa selain tubuh dan jiwa kita.


Konon, rasa bahagia atau rasa sukses berasal dari ruang sepi itu. Tidak ada yang tahu dengan pasti apakah benar demikian. Kata ‘rasa’ sendiri berasal dari bahasa Sansekerta ‘rahsa’, yang kemudian terserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi ‘rahasia’, karena sifatnya memang tidak jelas atau tidak diketahui. Tetapi kalau Anda merasa nyaman dengan anggapan itu, ya silakan saja. Ada yang bersikeras bahwa bahagia atau sukses berasal dari hati, bukan pikiran. Ada yang merasa sok benar sendiri, dengan menegaskan bahwa yang berasal ‘dari dalam’ lebih bermakna daripada yang berasal ‘dari luar’. (Tuhan ada di dalam atau di luar diri kita ya?) Ada jalan spiritual yang ‘mengharamkan’ penggunaan akal pikir dan menjunjung jiwa di atas segalanya.


Maka para bhiksu Buddhis pun ‘menantang’ mereka: Coba tunjukkan di mana letak pikiran itu? Kenyataannya, pikiran, hati, diri dan jiwa sama misteriusnya terkait dengan keberadaannya. Yang kita kenal sekarang hanyalah asumsi, bukan kebenaran mutlak! Seorang bijak mengatakan, “Jangan ragukan mereka yang mencari kebenaran. Jangan percayai mereka yang mengaku telah menemukannya!” Itu menegaskan bahwa kebenaran tidak ada yang mutlak; yang ada hanyalah kebenaran esoteris/subyektif, hanya berlaku bagi yang (merasa) menemukannya.


Kebahagiaan atau kesuksesan teragung kita, menurut saya, adalah apabila kita tidak lagi membutuhkannya, karena sejatinya keduanya hanya perasaan yang bisa ‘dimanipulasi’ – baik oleh diri sendiri maupun orang lain, sebagaimana yang saya alami di atas. Di aras kesejatian – yang dicapai dengan kita ‘meniadakan’ diri dari segala sesuatu yang bukan sejatinya kita, kita hanyalah kita, tanpa apa-apa, seperti kondisi di ruang sepi itu. Ah, bahagia akhirnya.Ă“




Wisma Indonesia Lantai 2, Kompleks Wisma SUBUD Cilandak, Jakarta Selatan, 27 April 2011, pukul 18.41 WIB



Love is You

Dews remark the day when morning comes alive

Every drop of it quenches me to survive,

vitalizing my life by every thought

I do not recall as a mere notion

emanating from an empty sense

This is what I may call Love

as it radiates from my heart stubbornly enough


Love is there by every beat it may be,

unmistakably pronounces every second I feel thee

Be there forever, Love, for there you are free

I breathe your presence with ease

Surely there is no way to cease...



Jakarta, April 24, 2011




Menduga-duga yang Tidak Masuk Akal


“Saya terutama berminat pada bagaimana dan mengapa orang-orang biasa melakukan hal-hal yang tidak biasa, hal-hal yang asing bagi diri mereka. Mengapa orang-orang yang baik kadang bertindak jahat? Mengapa orang-orang cerdas kadang melakukan hal-hal yang bodoh dan tidak masuk akal?”

Philip Zimbardo



November 2010 lalu, ketika tengah disibukkan dengan penyusunan kerangka perencanaan strategis rebranding sebuah toko serba ada (department store) terkemuka di Jakarta, saya menerima kedatangan seorang saudara Subud yang hendak mengembalikan buku saya yang dipinjamnya, sekaligus memberi saya sebuah buku yang dibelinya di Times Bookstore, lantaran ia merasa bersalah atas keadaan buku saya yang agak rusak terkena cipratan air hujan. Ia berujar bahwa ia tidak tahu mengapa ia memilih buku itu untuk saya; ia hanya merasa buku itu cocok untuk saya.


Kebetulan, dalam rangka merancang rencana strategis rebranding toko serba ada itu, saya tengah meneliti motivasi apa yang mendorong orang membeli sesuatu. Jadi, tingkah laku saudara Subud itu memberi saya kesimpulan sementara, bahwa orang seringkali membeli tanpa alasan yang jelas, atau kadang hanya spontanitas saja. Uniknya, buku yang dibeli saudara Subud itu justru bertutur tentang fenomena ketidakrasionalan yang dapat diduga.


Buku Predictably Irrational: The Hidden Forces That Shape Our Decisions (New York: Harper, 2009) karya Dan Ariely menuangkan hasil penelitian penulisnya terhadap sikap dan perilaku orang dalam mengambil keputusan. Penelitiannya membuktikan bahwa pengambilan keputusan tak jarang dilakukan atas dasar yang tidak jelas, atau tanpa alasan yang masuk akal. Dalam halaman pendahuluan, Ariely mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik kesadaran kita -- dan juga membuat kita tersentil:


  • Tahukah Anda mengapa kita seringkali berjanji pada diri kita sendiri untuk berdiet, tetapi segera lupa ketika makanan penutup yang lezat lewat di depan kita?
  • Tahukah Anda mengapa kita kadang merasa sangat senang membeli benda-benda yang sebenarnya tidak kita butuhkan?
  • Tahukah Anda mengapa kepala kita tetap sakit setelah minum aspirin seharga satu sen, tetapi mengapa sembuh ketika aspirinnya berharga 50 sen?
  • Tahukah Anda mengapa orang-orang yang diminta untuk mengingat Sepuluh Perintah Tuhan cenderung menjadi lebih jujur (paling tidak segera sesudahnya) daripada mereka yang tidak mengingatnya? Atau mengapa kode-kode kehormatan benar-benar dapat mengurangi ketidakjujuran di tempat kerja?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas akan Anda temukan di akhir buku, tetapi saya tidak akan menjabarkannya di sini, karena untuk ‘alasan yang masuk akal’ saya sarankan Anda membacanya sendiri dan merenungkannya untuk kepentingan pribadi Anda. Buku ini memang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang memiliki implikasi atas kehidupan pribadi kita, atas kepentingan bisnis, dan atas cara kita memandang dunia. Jawaban-jawaban itu tidak mengikat, tidak baku, tetapi paling tidak Anda akan terpicu dan terpacu untuk senantiasa merenungkan keputusan-keputusan yang pernah atau akan Anda ambil untuk kepentingan hidup Anda.


Keputusan Ariely untuk menulis dan menerbitkan buku ini saja tergolong unik. Kehidupan profesor di Universitas Duke yang memperoleh gelar doktornya di bidang psikologi kognitif dan administrasi bisnis ini berubah ketika ia berusia delapan belas tahun. Sebuah ledakan cerawat (flare) yang berisi banyak magnesium, yang biasa digunakan untuk menerangi medan tempur pada malam hari, membuat tujuh puluh persen dari tubuhnya mengalami luka bakar tingkat tiga. Selama tiga tahun berikutnya, Ariely terkapar di rumah sakit dengan sekujur tubuhnya diperban, yang membuatnya – sebagaimana yang ia paparkan dalam bukunya – tampak seperti Spidermen berantakan.


Lantaran tidak bisa beraktivitas seperti biasa, Ariely merasa diasingkan dan akibatnya ia mulai berefleksi atas tujuan-tujuan dari berbagai perilaku, dari dirinya maupun orang lain. Ia mencontohkan: Mengapa ia mencintai satu gadis tetapi tidak yang lainnya, mengapa rutinitas sehari-harinya dirancang agar nyaman bagi dokternya dan bukan bagi dirinya, mengapa ia suka panjat tebing ketimbang belajar sejarah, mengapa ia begitu peduli terhadap anggapan orang lain atas dirinya, dan terutama apa yang memotivasi orang dan menyebabkan kita berperilaku seperti yang kita lakukan.


Salah satu riset yang dilakukan penulis melibatkan 25 mahasiswanya di MIT (Massachusetts Institute of Technology), di mana mereka diminta untuk memilih di antara tiga foto pria tampan dengan tiga foto pria ‘kurang tampan’, padahal tiga yang tersebut terakhir adalah orang-orang yang sama dengan tiga yang pertama tetapi telah mengalami sedikit sentuhan dengan komputer sehingga telinganya tampak lebih panjang, hidungnya bengkok atau alisnya tipis. Para responden yang telah memilih tiga yang pertama, yang tampan, dalam urutan pemeringkatan – sangat tampan, tampan dan agak tampan – dengan mudah.


Tetapi begitu disodori pilihan pembanding tiga pria ‘yang kurang tampan’, para responden mengalami kesulitan. Mereka memerlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu, yang akhirnya malah mencuatkan ketidakrasionalan mereka dalam menentukan teman kencan – persentase terbesar dari para responden memilih pria yang ‘kurang tampan’. Secara agak bercanda, Ariely mengungkapkan bahwa kalau mau merebut hati orang yang Anda taksir atau kagumi, jangan bawa teman yang menurut Anda lebih atau kurang dari Anda dalam hal tampang, karena orang yang Anda tuju akan mengalami kebingungan dalam memilih.


Menutup Catatan ini, saya akan beberkan strategi rebranding dari toko serba ada seperti yang saya ceritakan di muka: Konsep department store yang telah dirangkulnya selama lebih dari duapuluh lima tahun supaya diganti dengan konsep mal. Pekerjaan itu waktu itu masih ditenderkan, dan saya dan perusahaan periklanan yang memakai jasa saya sebagai konsultan branding tidak berhasil memenangkan tender tersebut. Alasannya sederhana saja – sebagaimana perilaku manusia dan dunia di mana kita hidup: Tidak dapat diduga.Ă“


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 21 April 2011

Tuesday, May 10, 2011

Soul Connection



There you are, bearing a resemblance to my mirror reflection

Here I am, providing you the warmest affection

We may be very far apart, yet close to each other in mind and heart

Distant from my body, it is for your fragility I take guard

The love you tinge in the depth of my soul

is able to present your being as a whole

Do not fear, my dearly Love – fight your agony of losing

Though dissociation remains cruising,

a bond so inscrutable between you and I

maintains the unity thereby


Jakarta, April 20, 2011

DnA (2)

A total harmony of mind, heart and soul

emanates the Love from them so full

Without you in my thought, I have no power

to naturally accept the Love you shower


Oh Love, I see your name carved in each day

that passed by, showing me the way

Enveloping my entire DNA,

your existence fulfills my longing as it may


Loving you forever I am so sure,

‘cause the love we are blessed with is a cure

in wandering the path of misery and failure

No worries, my Love, the feeling stays in its way

as it is written in our DNA…



Cilandak, South Jakarta, April 18, 2011

Gelombang Cinta



“Kebencian tidak dapat diakhiri dengan kebencian, tetapi hanya dengan cinta; inilah aturan abadinya.”
—Buddha


Saat ini, saya menempati pavilyun bekas garasi yang menempel pada rumah peninggalan orang tua saya di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Pavilyun itu saya tata sedemikian rupa, sehingga saya bisa bekerja, beristirahat (tidur) dan merenung dengan tenang. Saya mengharamkan amarah dan emosi-emosi negatif lainnya memasuki pavilyun itu, sehingga ketika saya sedang marah saya biasanya akan duduk di teras rumah utama, mengheningkan pikiran atau bermeditasi. Hanya bila hati saya sejuk saya akan memasukinya.

Pavilyun itu tidak berpendingin udara (air conditioning, AC), karena saya pada dasarnya juga tidak suka tidur dengan udara yang kelewat dingin namun artifisial sebagaimana yang diproduksi AC. Namun, anehnya, semua orang yang pernah memasuki pavilyun itu mengatakan bahwa udaranya sejuk seolah ada pendingin udaranya. “Karena penghuninya berhati sejuk,” kata saya berseloroh, menanggapi perkataan mereka. Mereka juga menganggap bahwa pavilyun itu memberi mereka ketenangan. Dua orang bibi saya—keduanya adik kandung mendiang ibu saya—tiba-tiba berurai air mata saat mengobrol dengan saya di pavilyun itu. Mereka secara bersamaan mendadak terkenang pada mendiang ibu saya. Dan mereka merasakan pula kedalaman kasih sayang ibu saya di pavilyun itu, seperti yang berulang kali saya alami di tempat itu.

Dalam ajaran Buddhisme ada yang disebut metta, yang dimaknai sebagai ‘cinta kasih’, ‘kebajikan’ atau ‘suka cita’ yang timbul secara alami. Buddha Gautama pertama kali mengajarkan metta saat sekumpulan biksu sedang berlatih meditasi jauh di dalam hutan. Para biksu mengeluh mereka tidak dapat bermeditasi karena kehadiran macan dan singa. Mereka meminta Buddha untuk mengusir binatang liar tersebut.

Buddha menjawab, “Maaf, aku tidak dapat menyingkirkan binatang-binatang tersebut, namun apa yang dapat aku ajarkan padamu adalah bagaimana melindungi diri sendiri melalui praktik cinta kasih.” Buddha menjelaskan kepada para biksu bahwa setiap makhluk hidup di atas bumi menginginkan kebahagiaan dan kita bisa mendoakan mereka agar bahagia, tak peduli bagaimana takut atau jijiknya kita kepada mereka. Buddha pun mengajarkan praktik metta pada mereka. Setelah beberapa minggu berlatih, mereka tidak lagi takut pada binatang-binatang tersebut.

Meditasi metta menghasilkan suatu gelombang cinta kasih yang merupakan fenomena alamiah—yang tidak ada penjelasan teoritisnya, sebuah mekanisme alam, bahwa bila kita mencintai orang lain dengan tulus tak berpamrih, maka orang yang kita tuju, walaupun terpisah jarak yang jauh, atau tidak saling mengenal, akan mendapatkan perasaan cinta yang mendalam, kuat dan berjangka waktu tak terbatas.

Dalam buku Diana Winston, Wide Awake: A Buddhist Guide for Teens (Perigree Trade, 2005), saya temukan penjelasan tentang fenomena gelombang cinta ini. Winston menceritakan seorang temannya yang berlatih metta di dalam hutan Myanmar dan menemukan bahwa serangga, ular dan kalajengking jadi mendatanginya! Ia merasa mereka ‘jatuh cinta’ padanya karena ia memancarkan begitu banyak metta! Winston juga menjelaskan bahwa metta hanya dapat terjadi apabila kita berperasaan cinta tanpa pamrih. Sebagaimana yang saya alami dalam berbagai peristiwa yang melibatkan metta, Winston menjabarkan bahwa kita akan merasa lembut dan hangat dalam hati.

Gelombang cinta itu memancar dari diri yang tulus dan rendah hati mencintai sesama makhluk, tidak terpaku pada satu tempat. Artinya, bila kita mampu memancarkan metta tanpa batas, tempat di mana kita berada beserta makhluk-makhluk yang berada di sekeliling kita dapat menerima dan merasakannya. Makhluk di sini mencakup baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Saudara Subud saya di Surabaya memiliki aneka tanaman di sekitar rumahnya, yang semuanya tumbuh subur dan indah. Kabarnya, saudara Subud ini hanya ‘menyapa’ tanaman-tanaman itu dengan ramah setiap pagi dan mengajak mereka ‘berbicara’ dari hati ke hati.

Saya pernah pula mengalami dengan mesin cetak (printer) di kantor saya yang ngadat, tidak mau bekerja. Teknisi sudah didatangkan untuk memperbaikinya, tetapi tidak ada hasil. Akhirnya, iseng saya mengelus-elus mesin cetak itu sambil mengucapkan kata-kata manis penuh kasih sayang yang tulus. Alhasil, mesin berfungsi kembali seperti sediakala! Philip Toshio Sudo menjelaskan soal fenomena ini dalam bukunya, yang sayangnya hanya ada dalam bahasa Belanda, Zen en de Kunst van Computer Gebruik {Zen dan Seni Menggunakan Komputer} (Uitgeverij De Fontein, 2000). Sudo menyarankan agar kita senantiasa mengucapkan kata-kata yang baik kepada komputer kita, dan niscaya komputer kita akan awet!

Gelombang cinta itu dapat kita alirkan pada satu orang saja dan kemungkinan orang itu akan mengembalikannya dalam arus cinta yang sama dalamnya, penuh kasih sayang, yang membuat jiwa kita serasa melayang, menyenangkan dan darinya tumbuh cinta yang sangat besar kepada semua orang dan segala hal. Metta menghasilkan gelombang cinta yang alami, luar biasa dan total, yang dapat ‘menyengat’ hati-hati yang mendambakan cinta kasih.

Jika demikian, sesungguhnya telah tampak di hadapan kita jalan terbaik ke arah perdamaian dunia. Tetapi, jalan itu hanya dapat kita tempuh apabila kita sudi membuka diri, membuka hati dengan lapang untuk memancarkan gelombang cinta yang bermula dari diri sendiri, terus ke lingkungan terdekat kita, dan, sebagaimana sifat gelombang, beriak-riak ke ranah yang lebih luas dan mendalam.Ă“



Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 16 April 2011