Sunday, July 31, 2011

Campur Tangan

 “Semua manusia terperangkap dalam jejaring mutualitas yang tidak bisa dielakkannya.”

—Martin Luther King, Jr.

 

PADA bulan Maret 1996, saya mendapat panggilan wawancara kerja dari sebuah biro iklan multinasional yang berkantor di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sebulan sebelumnya, saya baru meninggalkan posisi saya sebagai junior copywriter, di sebuah biro iklan multinasional papan atas negeri ini. Lantaran saking terkemukanya biro iklan yang saya tinggalkan tersebut, yang dijuluki oleh industri sebagai “universitasnya insan periklanan Indonesia”, tak pelak saya tergolong “orang iklan yang paling dicari” berkat predikat “mantan biro iklan papan atas terkemuka” yang saya sandang. Tak pelak pula, sebagai dampaknya, dari 20 biro iklan yang saya kirimi surat lamaran untuk menduduki posisi senior copywriter di departemen kreatif mereka, 16 di antaranya memanggil saya untuk diwawancarai. Salah satunya adalah biro iklan multinasional yang saya sebut pertama kali.

Telah menjadi kepercayaan umum bahwa bagus tidaknya seorang copywriter (penulis naskah iklan) atau art director (pengarah artistik) dapat dinilai dari portofolio karya materi komunikasi pemasaran dan korporat yang dimilikinya. Maka, dalam rangka memenuhi panggilan wawancara kerja dari sebuah biro iklan multinasional yang saya kemukakan di atas, saya membawa serta portfolio bag (tas besar dari bahan kain, plastik atau kulit untuk menyimpan karya visual) saya yang berisi puluhan karya iklan cetak maupun kaset video yang menampung semua iklan televisi yang naskah audio-visualnya ditulis oleh saya.

Orang Malaysia yang menjadi creative director (CD, atau pengarah kreatif, yaitu orang yang memimpin departemen kreatif sekaligus mengarahkan konsep kreatif yang digagas timnya, yang terdiri dari para copywriter, art director dan visualizer) di biro iklan tersebut membolak-balik portofolio saya tanpa minat, tetapi ia tampak mengangguk-angguk dan berucap datar, “Very good. Yeah, this is good!”

Tiga kaset video VHS yang saya sodori kepadanya hanya dipindai label stikernya, yang mencantumkan nama merek yang iklan televisinya berada di dalam kaset tersebut. “Yeah, I have seen this before,” katanya, sambil menghela napas panjang. Ia mengatakan bahwa ia pernah menontonnya di salah satu stasiun televisi, sehingga ia merasa tidak perlu memutar ketiga kaset video yang telah saya bawa dengan susah-payah itu.

“Masih ada lagi?” tanyanya dalam aksen Melayu yang kental. Saya merogoh-rogoh ke dalam portfolio bag saya dan mengeluarkan sebuah sampul besar berwarna kopi susu. “Apa itu?” tanya si CD. “Karya-karya saya yang di-reject oleh klien,” kata saya. “Wow, that’s more interesting! Saya suka karya-karya yang ditolak, karena menunjukkan kreativitas asli Anda. Kalau yang tadi, semua ada campur tangan dari banyak pihak, bukan?”

Saya mengangguk—tiba-tiba tersadar untuk membenarkan pendapat si creative director. Iya, betul, mana ada karya saya yang telah mengemuka di publik yang tidak melibatkan campur tangan orang lain? Bahkan sesungguhnya di aras penggalian ide saja saya dibantu oleh berbagai pihak, bukan hanya manusia, tetapi juga benda, pengetahuan, pengalaman atau peristiwa.

Satu iklan cetak, walaupun ukurannya tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan ukuran majalah atau koran di mana ia dimuat, melibatkan banyak orang, mulai dari pemercikan gagasan, lalu dituangkan menjadi konsep, kemudian dibuatkan tata letaknya, hingga penayangannya di media cetak. Selain saya sebagai copywriter atau creative director, di situ ada keterlibatan art director, fotografer, ilustrator, operator mesin cetak, perencana dan pembeli media, dan, tak kalah pentingnya, klien—yang membiayai itu semua!

Kabarnya, logo Garuda Indonesia yang kita kenal sekarang, yang dibuat oleh perusahaan konsultan merek terkemuka dunia Landor & Associates di San Francisco, Amerika Serikat, yang “cuma segitu aja” sampai melibatkan 150 orang dari berbagai disiplin ilmu dan kalangan, mulai dari antropolog, psikolog, pakar pemasaran, periset pasar, pengamat sosial, sampai perancang grafis, perancang busana dan konsumen sendiri.

Hidup pun demikian adanya. Manusia tidak bisa berdiri sendiri. Ia mampu menjalani hidup dan kehidupannya dengan melibatkan begitu banyak campur tangan dari berbagai unsur yang ada di alam ini, bukan hanya sesama manusia tetapi juga benda, peristiwa, pengalaman, pengetahuan, dan lain-lain. Dalam segala sesuatu yang kita lakukan ada divine intervention (campur tangan Tuhan) atasnya. Begitu kita berpikir untuk menginginkan sesuatu, atau mewujudkan sesuatu, di situ hadir campur tangan Tuhan, yang bekerja sedemikian rupa lewat tangan-tangan sesama kita, atau bekerjanya alam semesta.

Robert Scheinfeld, dalam bukunya, The 11th Element: The Key to Unlocking Your Master Blueprint for Wealth and Success (2003), menandaskan bahwa bila kita memiliki suatu keinginan, maka secara alami akan tercipta suatu invisible network (jejaring tankasatmata) yang menggabungkan berbagai unsur yang ada di alam ini untuk bekerja sama. Bagi Anda yang peka, atau terbuka ‘mata hati’-nya, akan mampu menyaksikan suatu pembelajaran agung (grand learning) dari apa pun yang Anda hadapi dalam hidup ini; bahwa hal-hal itu ada untuk suatu tujuan, yang langsung maupun tidak langsung berdampak bagi kehidupan Anda.

Terkait hal ini, tak mengherankan bila Sang Buddha tak bosan-bosannya menganjurkan pengikutnya untuk hidup secara sadar, agar mampu membaca tanda-tanda alam. Tradisi spiritual Jawa mensyaratkan tindakan niteni (membaca, menganalisis) agar senantiasa eling lan waspada (ingat dan mawas diri). Semua ajaran ini mengingatkan kita bahwa campur tangan Tuhan itu ada dan nyata, dan bisa ditangkap keberadaannya bila kita rajin mengamati. Campur tangan itu terwakili oleh bekerjanya berbagai unsur di alam semesta, termasuk manusia. Semua berpadu, bekerja sama untuk mewujudkan kesejahteraan yang berlaku bagi semua yang terlibat di dalam kerja tersebut.

Hubungan yang tercipta bersifat timbal-balik, saling menguntungkan. Ada sebagian dari kita yang tidak peduli dengan pelestarian lingkungan. Mereka berpikir bahwa hutan harus dieksploitasi untuk kebutuhan manusia. Tetapi, begitu penggundulan hutan menimbulkan longsor atau banjir yang memakan korban jiwa, kita baru menyesal. Begitu kita kepanasan disengat sinar matahari, lantaran pohon yang meneduhkan sudah ditebang, baru kita mengeluh.

Banyak dari kita yang membenci sesama kita lantaran perbuatan buruknya, dan menafikan adanya faktor campur tangan Tuhan dalam keburukan itu. “Keburukan adalah perbuatan setan, bukan Tuhan!” demikian umumnya ditandaskan. Coba, deh, Anda renungkan dengan perasaan yang tenang, hening dan tenteram, pengalaman-pengalaman hidup yang pernah Anda lalui.

Melalui suatu pengalaman nyaris ditipu seorang relasi bisnis yang sedari awal beritikad buruk, saya malah beroleh kepahaman bahwa Tuhan akan menolong saya apabila saya menyerahkan masalah itu padaNya, dan saya tidak perlu mengutuk relasi itu. Di penghujung perjalanannya, secara bertubi-tubi ia dicelakai oleh perbuatannya sendiri. Tanpa kejadian itu mungkin saya takkan pernah menginsafi kenyataan akan campur tangan Tuhan dalam pekerjaan saya yang pada dasarnya memang selalu melibatkan keterhubungan dengan berbagai pihak.

Ada pembelajaran agung di dalam jalinan perbuatan, peristiwa, pengalaman, pengetahuan yang dilakukan atau dilalui makhluk dan alam semesta, baik maupun buruk. Pembelajaran, yang terkadang sangat sederhana itu, membawa kita kepada pemahaman tentang eksistensi campur tangan Tuhan.©2011

 

Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 31 Juli 2011

Wednesday, July 6, 2011

Cinta Dalam Sepotong Cabai

 “Setiap orang bodoh bisa mengkritik, mengutuk, dan mengeluh tetapi diperlukan karakter dan pengendalian diri untuk dapat memahami dan memaafkan.”

~Dale Carnegie

 

SEPUPU saya, laki-laki yang kini berusia 38 tahun (pada tahun 2011), sewaktu kecil sangat nakal dan sering melawan orang tua. Ia anak bungsu dari tiga bersaudara, yang mana dua lainnya adalah perempuan. Lantaran “senasib”, ia lebih dekat dengan saya ketimbang saudara-saudara perempuannya. Anehnya, kalau bersama saya dia malah tidak menunjukkan kenakalan sama sekali.

Sekali waktu, ketika saya sedang menginap di rumah orang tuanya, saya menyaksikan kenakalannya yang luar biasa. Hanya karena ibunya menolak memberinya uang jajan (lantaran sebelumnya ia sudah mendapat uang jajan) ia mengejek ibunya dengan kasar. Seluruh penghuni kebun binatang dan kakus ia lontarkan kepada ibunya, yang pada gilirannya kemudian hanya diam dan tampak menahan tangis. Sepupu saya kemudian kabur, meninggalkan teras rumah dan kembali bergabung dengan kawan-kawan sepermainannya.

Tak dinyana, bibi saya, yang sebelumnya kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya,  melangkah ke teras. Di tangannya, beliau menggenggam sepotong cabai merah keriting, yang dengan melihatnya saja saya sudah merasa kepedasan. Bibi saya menyembunyikan tangan yang menggenggam cabai itu di belakang punggungnya dan beliau memanggil-manggil sepupu saya. Sepupu saya sempat tidak mau, tetapi lantaran bibi saya mengiming-iminginya dengan uang jajan, dia segera berlari menuju teras, mendatangi ibunya.

Begitu sepupu saya mendekat, bibi saya menangkapnya, menarik rambutnya agar sepupu saya terdesak untuk mendongakkan kepalanya dan mulutnya menganga. Pada saat itulah, bibi saya “mengulek” sepotong cabai merah keriting itu di mulutnya. Sepupu saya menjerit-jerit sambil memegangi mulutnya yang berlumuran cabai merah. Ia berlari kencang ke arah dapur, di mana ia membenamkan kepalanya ke dalam termos es batu.

Membandingkan diri sepupu saya yang dahulu dengan yang sekarang tentu akan tampak perbedaan yang signifikan. Kini ia lebih pendiam, hormat pada orang tua dan santun kepada siapa saja. Kepada saya—ketika saya mengungkit kisah sepotong cabai merah keriting yang diulek ibunya di mulutnya itu—ia mengutarakan bahwa ia sebenarnya mendapatkan cinta ibunya lewat pengalaman dengan cabai merah keriting itu.

Kebanyakan dari kita lebih suka dipuji daripada dikritik, atau dicaci, atau dimarahi, tidak menyadari bahwa justru lewat kritik, cacian atau kemarahan yang seimbang dengan pujian yang kita terima, pribadi kita tumbuh dan berkembang menjadi kian mantap. Pujian yang berlebihan, tanpa sekalipun menerima kritik, cenderung menjadikan pribadi kita manja dan tidak tahan dengan cobaan hidup, juga menjauhkan kita dari kesintasan (survivability).

Perlakuan yang saya terima ketika masih berstatus trainee copywriter di sebuah biro iklan multinasional papan atas di Jakarta sama sekali tidak ada korelasinya dengan pekerjaan saya. Tukang bikin copy (naskah iklan) diterjemahkan seenaknya oleh senior saya sebagai “tukang bikin kopi”; saya disuruh membuatkan kopi untuknya, padahal ada office-boy. Dan dari mulutnya jarang sekali keluar pujian atas pekerjaan yang saya lakukan dengan baik, tetapi kritikan dan caciannya sepedas cabai. Pengalaman itu membuat saya sempat bersumpah bahwa jika suatu saat saya mencapai tingkat sejajar dirinya (senior copywriter atau creative director) saya tidak akan bersikap sebagaimana dirinya terhadap bawahan atau yuniornya.

Ternyata hal itu tidak selalu bermanfaat. Ketika para pemula di bidang pekerjaan saya diperlakukan dengan lunak, tanpa pernah dikritik sama sekali, mereka malah tidak mengalami kemajuan sama sekali; pikirannya terjebak pada rutinitas atau berpikirnya tidak berani keluar dari pakem (out-of-the-box).

Hal yang sama saya lihat pada lulusan perguruan tinggi yang ketika menjadi mahasiswa baru tidak melewati masa pengenalan kampus atau perploncoan, yang sering terkesan sarat kekerasan yang intimidatif. Beberapa dari “spesies” ini pernah menjalani program permagangan di tempat saya bekerja dahulu, dan tampak jelas mereka tidak tahan banting, mudah menyerah dan sensitif terhadap kritikan. Ada yang sampai ngambek dengan membolos satu-dua hari dari masa permagangannya yang berlangsung sebulan itu. Berdasarkan pengalaman saya, inisiasi yang saya lewati ketika menjadi mahasiswa baru di Universitas Indonesia malah menempa saya untuk menghadapi kehidupan nyata di luar pagar kampus yang kerasnya melampaui apa yang saya terima dalam inisiasi.

Beberapa tahun lalu, sejumlah saudara Subud saya mengeritik serta mencaci saya sedemikian rupa di ajang mailing list, hingga saya nyaris tergerak untuk melontarkan amarah saya. Ajaibnya, pada saat saya hendak mengetik e-mail balasan untuk balik mencaci mereka, seorang saudara Subud saya yang sudah sepuh menelepon saya. Beliau berkata, “Kamu sudah baca e-mail mereka? Kalau kamu marah dan terpancing oleh mereka, berarti kamu gagal dalam Latihan Kejiwaan (baca: penyerahan diri) kamu. Kritikan dan kecaman maupun caci-maki semacam itu melatih “badan pengertian” (understanding) kamu. Terimalah dengan legawa (lapang dada). Dirasakan saja dengan penuh cinta pada mereka yang mencaci kamu.”

Itulah yang saya lakukan. Sepertinya Tuhan sedang mengajari saya untuk menjadi rendah hati terhadap situasi apa pun. Susah sekali pada awalnya memang, bak—meminjam istilah saudara Subud saya lainnya—menelan buah kedondong bulat-bulat; rasanya sakit sekali, terasa ngilu di ulu hati. Tetapi saya bersyukur lantaran pernah melewati “inisiasi kehidupan” semacam itu, karena kini, sesuai sikap kritisisme saya yang memang alami, saya cenderung terbuka dan blak-blakan dalam mengkritik orang lain, tetapi pada saat yang sama saya siap dengan konsekuensinya: dikritik atau dikecam balik oleh orang bersangkutan. Hanya saja, kini saya dapat menerimanya tanpa perasaan benci atau ketidaksukaan; sebaliknya, saya malah menyayangi orang tersebut.

Pujian memang perlu, tetapi harus proporsional, tidak berlebihan. Demikian pula dengan kritikan—harus seimbang. Dengan adanya keseimbangan, dibarengi sikap kerendah-hatian, kritikan sepedas cabai merah keriting pun berasa mengandung cinta dan perhatian.Ó2011

 

Lantai Dasar Wisma Indonesia, Kompleks Wisma SUBUD Cilandak, Jakarta Selatan, 6 Juli 2011