Wednesday, November 26, 2008

Pekerjaan Paling Berat di Dunia

"...Nilai seorang manusia bergantung pada apa yang dia berikan, bukan atas apa yang dia terima..."
--Albert Einstein


PEKERJAAN apa yang paling berat di dunia? Bahkan pekerjaan sebagai kuli bongkar-muat di pelabuhan tidak juga bisa mengalahkan beratnya pekerjaan ini. Kalau menurut kapasitas Anda, pekerjaan Andalah yang paling berat, saya yakin bebannya masih kalah dari beban pekerjaan yang saya maksud.

Menurut pengalaman kawan saya baru-baru ini, pekerjaan yang paling berat di dunia ternyata adalah memberi-dan-memberi kebermanfaatan kita bagi orang lain apabila kita tidak terbiasa, dan selalu mengharapkan balasan untuk setiap pengerahan sebagian dari dari apa yang kita miliki. Bukan memberinya itu sendiri yang berat, melainkan upaya menumbuhkan sikap mental dalam diri kita untuk senantiasa merasa tulus dan ikhlas dalam memberi sebagian dari kelebihan kita--tanpa harus menguntungkan diri kita, apakah itu harta, ilmu, waktu atau pun tenaga, bagi orang lain yang kekurangan.

Pekerjaan ini berat tetapi pekerja sebaiknya tidak mengharapkan upah. Jika si pekerjanya berpamrih, berharap mendapat balasan yang sepadan di kemudian hari, ia akan merasa ringan ketika melakukan pekerjaan itu tetapi keberatan belakangan, karena biasanya imbalannya tidak sesuai harapannya. Kebanyakan orang, paling tidak, mengharapkan pujian atas tindakannya memberi kepada orang lain, sehingga cenderung menampakkan hal itu. Jika hal itu tidak terpenuhi, biasanya mereka kapok memberi di kemudian hari.

Yang akan saya ceritakan berikut ini adalah pengalaman Yudha (bukan nama sebenarnya), salah seorang kawan, mitra kerja dan saudara Subud saya, persis seperti yang ia tuturkan ke saya, sekadar untuk menggambarkan betapa beratnya pekerjaan memberi-dan-memberi itu--dalam kapasitas Yudha, tentu saja.

Sekitar satu setengah jam setelah Yudha tiba di rumah dari Latihan Kejiwaan di S. Widjojo Centre pada 19 Februari 2008, ia mendapat kunjungan dari seorang kawan satu sekolah waktu SMP dan SMA, yang bernama Latief (juga bukan nama sebenarnya). Sudah lama sekali Yudha tidak bersua dengannya, sehingga Yudha sempat pangling, siapakah gerangan dia. Yudha juga bertanya-tanya dalam hati, kenapa pula Latief mengunjunginya, mengingat bahwa semasa SMP dan SMA dahulu Yudha tidak akrab dengan dia; Latief tergolong murid pintar se-SMP Negeri xxx Jakarta Selatan, sedangkan Yudha selalu masuk ranking terakhir di kelas. Semasa SMP, Latief digandrungi cewek, sementara Yudha melulu disandungi masalah cewek. Pendek kata, Yudha tidak termasuk dalam lingkaran pergaulan Latief.

Setelah saling tanya kabar, bercerita tentang perjalanan hidup masing-masing selepas pendidikan menengah, Latief menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke rumah Yudha. Ternyata seperti yang Yudha duga sebelumnya--perbedaan dunia pergaulan mereka semasa sekolah seperti yang saya ceritakan di atas membuat Yudha sudah syak sejak Latief datang ke rumahnya malam itu; pasti masalah keuangan. Latief kehabisan uang untuk pulang ke Tasikmalaya buat mengunjungi anak-istrinya, yang telah ditinggalkannya selama hampir empat bulan untuk mencari nafkah di Bogor. Usaha beternak ayam potong di kawasan Megamendung yang dirintisnya bersama seorang mitra jatuh pailit setelah sang mitra kabur, meninggalkan utang ke bank sebesar Rp 120 juta, yang mengakibatkan penyitaan atas aset-aset peternakan itu.

Kisah yang dituturkan Latief terdengar klise bagi Yudha, tetapi, bagaimanapun, dari sinilah dimulai pekerjaan yang paling berat di dunia itu. Apa pun alasannya, Yudha harus memberi Latief. Jangankan uang, memberi nasihat saja bagi Yudha terasa berat, karena dengan memberi nasihat ia akan memikul beban moral untuk melakoni apa yang ia nasihatkan ke orang lain. Contohnya, adalah konyol bila dia menasihati orang agar tidak merokok, sementara dia sendiri menghabiskan sebungkus rokok dalam sehari--makanya, Yudha menolak untuk mengerjakan kampanye iklan layanan masyarakat anti-rokok, karena akan terkesan munafik.

Latief minta uang untuk ongkos pulang ke kampung halaman istrinya, seberapa pun sanggupnya Yudha. Si Setan Beban memberati diri Yudha, betapa pun ia berusaha melawannya. Yudha duduk diam, agak lemas, di kursi di ruang tamu rumahnya di mana ia menemui Latief. Yudha sebal dengan dirinya sendiri, kok susah banget bersikap spontan dalam memberi respons segera untuk menyisihkan sebagian hartanya buat orang yang membutuhkannya.

Di tengah-tengah Yudha menceritakan pengalamannya itu, ingatan saya melayang ke saat ketika saya bertemu Pak Wito, seorang anggota Subud Yogya, yang saya kunjungi bersama saudara-saudara Subud dari Jakarta seminggu setelah gempa bumi melanda Yogya pada Mei 2006. Rumah beliau rata dengan tanah dan beliau sendiri luka-luka, tetapi beliau menyambut musibah itu dengan suka cita, berterima kasih kepada Tuhan atas nikmat yang diberikanNya. Meski kedukaan baru saja menimpa beliau, tetapi beliau malah "menyedekahkan" kesukacitaan kepada saudara-saudara Subud yang datang berkunjung dengan keprihatinan mendalam tergambar pada wajah masing-masing. Membagi kegembiraan juga merupakan perwujudan dari sikap memberi-dan-memberi. Hebatnya, dalam kasus Pak Wito: yang melipur lara orang yang merasa berduka atas nasib korban adalah korban sendiri, bukan sebaliknya!

Setiap kali saya menjadi saksi langsung atas pancaran kebaikan semacam itu muncul pertanyaan-pertanyaan berikut di benak saya: Kok bisa ya orang sedemikian ikhlas melayani sesamanya? Kok tampak (dan terasa) tidak terbebani sama sekali? Apa kiatnya?

Permenungan kilat yang saya lakukan sambil mendengarkan kisah Yudha diakhiri oleh gaung pernyataan Kazuo Murakami, Ph.D. perihal sikap memberi-dan-memberi, di kepala saya. Dalam bukunya, The Divine Message of the DNA -- Tuhan Dalam Gen Kita ( Bandung : Mizan, 2007), hlm. 99-100, Murakami menulis:

"[S]aya telah membuktikan bahwa memberi-dan-memberi ternyata lebih tepat. Jika Anda ingin menyalakan gen Anda, sikap memberi-dan-memberi jauh lebih efektif. Memberi-dan-memberi berarti bahwa ketika saya memberikan sesuatu, saya akan mendapatkan sesuatu sebagai balasannya. Tetapi jika Anda memikirkannya, kebanyakan 'balasan' adalah hal-hal yang tidak perlu dibesar-besarkan; biasanya mereka hanyalah hasil alami, seperti mendapatkan tiket kereta ketika Anda memasukkan uang ke dalam mesin penjualan tiket. Kita menerima balasan yang terbesar dari Sang Pencipta. Sebaiknya, kita menghadapi kehidupan dengan sikap 'memberi-dan-memberi'."

Secara fisik, Yudha tidak termasuk kelas berat seperti halnya saya, tetapi toh dia susah bangun dari kursi yang didudukinya. Yang membuatnya susah bangun bukanlah berat badannya, melainkan sulitnya bersikap ikhlas "memberi-dan-memberi". Makanya, Yudha memohon kepada Tuhan agar diberi kekuatan melawan si Setan Beban. Suara dirinya berbisik, "Ingat kata-kata orang bijak, 'Hadiah terindah dari Allah bagi orang yang beriman adalah pengemis yang berdiri di depan pintu rumahnya'." Saat itulah, Yudha mampu bangkit dari kursi dan meninggalkan Latief sejenak di ruang tamu untuk mengambil uang di dompet yang ditaruh Yudha di kamarnya. Begitu dompet ia buka, menyembul selembar uang kertas Rp 50 ribu--dan itu satu-satunya uang yang tersisa di dompet Yudha. Si Setan Beban muncul kembali, menjadikan memberi-dan-memberi lagi-lagi merupakan pekerjaan paling berat di dunia. Untuk melawan si Setan Beban, Yudha buru-buru membawa uang itu ke Latief. "Setelah dia menerimanya, lepaslah beban itu, apalagi setelah dia mohon diri," kisah Yudha dengan bersemangat kepada saya.

Sepeninggal kawannya itu, Yudha melakukan permenungan lagi di kamarnya. Kejadian Selasa malam itu merupakan ujian sesungguhnya bagi penyerahan dirinya yang merupakan prasyarat dalam Latihan Kejiwaan Subud; bahwa berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal bukan semata niat dalam hati. Kisah yang diceritakan Yudha itu memberi saya pelajaran, bahwa secuil keikhlasan saja bisa meringankan pekerjaan paling berat di dunia.©



Jakarta, 26 November 2008

Tuesday, November 25, 2008

Pertolongan Pertama

"Jangan tinggal di masa lalu, jangan memimpikan masa depan, konsentrasikan pikiran pada saat ini."
--Buddha Gautama


SALAH seorang bibi saya adalah seorang dokter yang pernah bertugas di sebuah kampung di provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kampung itu begitu terpencilnya, sehingga sulit diakses bantuan obat-obatan. Bibi saya pun praktik medis di sana berbekal ilmu "tanggap darurat" yang dipelajarinya di fakultas kedokteran; cara-cara untuk memberi pertolongan pertama yang sepintas bisa dianggap tidak biasa dari kacamata ilmu kedokteran modern. Selain berbekal ilmu tersebut, beliau juga memperoleh pengalaman dalam hal mengatasi penyakit-penyakit tertentu dengan metode tradisional yang telah diterapkan penduduk setempat dari generasi ke generasi. Dari sudut pandang layanan medis profesional, mungkin bibi saya itu bisa dianggap melakukan malpraktik. Tetapi dari sisi pertimbangan moral, dalam menghadapi kasus-kasus medis yang membutuhkan penanganan segera, tidak ada kata "nanti" atau "tunggu bantuan dari pusat" dalam kamus beliau.

Banyak hal dalam kehidupan kita tidak jarang membutuhkan penanganan segera. Ibarat setitik api jika dibiarkan akan menjadi besar dan mengancam jiwa kita, persoalan-persoalan dalam kehidupan sosial kita pun seyogianya tidak dibiarkan berlarut-larut tanpa penanganan yang cepat dan tepat. Penundaan dalam penyelesaiannya hanya akan menimbulkan persoalan baru.

Penyelenggaraan organisasi merupakan salah satu dari sekian banyak bidang kehidupan sosial yang kerap menghadapi persoalan yang berdimensi pertikaian. Adalah wajar jika kita sesekali bertikai, karena toh kita masing-masing mempunyai kepentingan, kebutuhan dan keinginan yang tidak mungkin diseragamkan. Yang tidak wajar adalah jika pertikaian itu menjadi berlarut-larut, lalu membesar dan meluas karena masing-masing pihak yang bertikai mulai mencari dukungan. Organisasi semacam ini biasanya diketuai oleh orang yang tidak memiliki kemampuan memimpin dan kewibawaan yang mampu mengayomi anggota. Ia cenderung menyelamatkan dirinya sendiri, menghindari penyelesaian masalah segera dengan berlindung di balik AD/ART. Biasanya, ia hanya bisa mengatakan--yang saking klisenya hingga sulit untuk dianggap sebagai pernyataan diplomatis: "Nanti saja, pas musyawarah nasional kita selesaikan masalah ini." Bila Anda kebetulan ketua organisasi tipe ini, belajarlah sebanyak-banyaknya dari para dokter UGD (unit gawat darurat), dinas pemadam kebakaran, komandan pasukan tempur, pilot, atau siapa pun yang tidak mengenal kata "nanti" dalam kamus profesi mereka ketika menghadapi persoalan.

Inti dari semua ini adalah senantiasa belajar dari kehidupan. Persoalan datang tanpa pernah mengetuk pintu terlebih dahulu, sehingga kita perlu selalu siap untuk menyambutnya dalam keadaan apa pun. Oleh karena itu, belajar sebanyak-banyaknya akan menyediakan bagi kita himpunan solusi kreatif atas segala masalah.

Saya pernah bekerja pada sebuah biro iklan di Surabaya yang presiden-direkturnya berlatar belakang pendidikan kedokteran, tetapi belum pernah praktik, apalagi di UGD. Sang Presdir acapkali memerlukan proses yang bertele-tele bahkan dalam penyelesaian masalah genting yang dihadapi perusahaan. Sedangkan saya, selaku creative director, dan kawan saya yang menjadi general manager biro iklan tersebut, karena lama menggeluti bidang kreatif, yang mengajarkan kami untuk memberikan solusi "lain daripada yang lain", cenderung berpikir dan bertindak secara lateral. Dalam rapat manajemen sang Presdir memerintahkan kepada kami runtutan langkah yang harus kami tempuh secara berurutan. Karena ia jarang sekali terlibat langsung dalam operasional perusahaan, dan jarang pula berada di kantor, maka saya dan general manager memasukkan langkah-langkah runtun-vertikal itu ke dalam tong sampah di pikiran kami dan menempuh cara kami sendiri: penyelesaian masalah secara lateral.

Penyelesaian masalah secara lateral memberi tekanan pada skala prioritas; dahulukan yang paling mendesak untuk diselesaikan. Itu membutuhkan kecermatan kita dalam memilih serta pertimbangan yang ekstra cepat, karena keputusan harus segera diambil. Keliru dalam menetapkan prioritas bisa mengakibatkan masalah yang sesungguhnya mendesak untuk diselesaikan semakin membesar intensitasnya, lalu menghambat langkah-langkah penyelesaian lainnya. Latihan Taekwondo saya selama dua puluh tahun amat membantu dalam hal ini; dalam pertarungan bebas, para taekwondoin dituntut untuk memutuskan dalam hitungan detik tangkisan/serangan apa yang harus dilancarkannya dalam menghadapi tangkisan/serangan lawan; terlambat satu detik saja bisa mengakibatkan kaki lawan bersarang di rahang Anda sebelum Anda sempat menyadarinya. Tetapi bukan pertarungan itu sendiri yang memberi saya kemampuan mengambil keputusan dalam sekejap. Di Taekwondo, seperti halnya dengan bentuk-bentuk seni bela diri lain, terdapat latihan meditasi (zazen joonbi) yang bertujuan untuk memantapkan pikiran pada apa yang bakal kita kerjakan, dan bukannya memikirkan hal-hal lain yang tidak relevan.

Kini, agresivitas saya sudah menurun, sehingga saya tidak lagi terlalu bergantung pada pengalaman saya sebagai taekwondoin, dan menggantinya dengan Latihan Kejiwaan, yang fleksibel dengan kondisi fisik dan pertumbuhan mental saya.

Perilaku menunda-nunda perbuatan yang berlandaskan kebaikan tampaknya tidak mengalami penundaan ketika merembes ke dalam pola kebiasaan hidup kita sehari-hari. Kebanyakan kita berpikir untuk jadi kaya dahulu untuk bersedekah; menantikan jabatan dahulu untuk berbuat bagi kemaslahatan banyak orang; menunggu kemarahan orang lain reda dahulu sebelum kita minta maaf; menunggu tua dahulu sebelum berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan; dan "nanti-nanti" lainnya. Di lingkungan sebuah organisasi masyarakat, saya pernah melontarkan isu bahwa saya akan mencalonkan diri menjadi ketua pada kongres organisasi tahun 2009 mendatang. Reaksi yang muncul sesuai dengan yang sudah saya perkirakan sebelumnya: tudingan, baik langsung maupun tidak langsung, bahwa saya ambisius dengan jabatan struktural di keorganisasian segera menerpa saya. Sambil tertawa, saya merespons, "Tanpa jadi Ketua aja gue bisa minta pertolongan Tuhan untuk mengajak anggota bekerja sama, memberdayakan diri mereka. Ngapain nunggu tahun 2009, sekarang aja bisa kok!" Latihan Kejiwaan Subud memampukan saya untuk memimpin diri sendiri (self-leading), dan kata Philip Massinger, yang dikutip Stephen Covey pada halaman 97 dari bukunya, The 8th Habit -- Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan (Jakarta: Gramedia, 2005), "Siapa pun yang ingin memimpin orang lain pertama-tama harus menguasai dirinya sendiri."

Mudah-mudahan muatan tulisan ini ada manfaatnya bagi Anda. Bila tidak, segera hapus saja dari pikiran Anda. Jangan menunggu lain waktu!©



Jakarta, 26 November 2008

Monday, November 24, 2008

Kiamat Agama

Dua orang darwis (murid tarekat Sufi) berdebat soal "kebenaran". Karena tidak mencapai titik temu yang memuaskan, keduanya pun menghadap syekh mursyid (guru). Darwis A bilang, "Syekh, menurut saya, kalau mau mendekatkan diri kepada Allah yang benar itu: cukup berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal." Mursyid menjawab, "Ya, kamu benar!"

Tetapi Darwis B membantah, "Syekh, menurut saya itu salah! Kalau kita mau mendekat kepada Allah, kita harus berikhtiar dengan sangat keras, melalui salat, zikir, puasa dan berzakat!" Mursyid pun menjawab, "Ya, kamu pun benar!"

Darwis lain yang ikut mendengarkan merasa bingung dengan sikap mursyid yang membenarkan kedua pendapat itu dan berkata, "Tidak mungkin kan keduanya benar, Syekh?!" Mursyid menjawab dengan tenang, "Ya, kamu pun benar!"

Dari kisah anekdotal yang saya kutip dari buku Christina Feldman dan Jack Kornfield, Menghidupkan Kebenaran Kita: Kisah-Kisah Spirit, Kisah-Kisah Batin--Parabel tentang Jalan Spiritual dari Seluruh Dunia (Pustaka Karaniya, 2003) ini saya menangkap pemahaman bahwa kebenaran itu sangat personal sifatnya. Di dunia spiritual, kebenaran masuk dalam tataran "esoterik", yang dalam bahasa ilmiahnya bersinonim dengan "subyektif". Kebenaran itu bukan ini, bukan itu, melainkan apa yang masing-masing dari kita menerimanya!

Hanya di jalan spirituallah saya menemukan ajang untuk perbedaan pendapat dan "diabsahkan" dengan landasan pemahaman, bahwa semua itu berasal dari Tuhan dan kembali kepadanya. Para anggota Subud cukup merasakan saja suatu pernyataan pendapat dan tidak perlu dipermasalahkan panjang-lebar, yang cuma membuang-buang waktu dan tenaga, bahkan menghambat tumbuh-kembang spiritualitas mereka.

Tetapi di ranah agama yang cenderung legalistik, perbedaan pendapat merupakan dosa dan dianggap bid'ah. Perbedaan pendapat, pandangan, tata cara hukum/syari'at, bahkan dalam soal hakikat ketuhanan pada berbagai agama, secara eksternal (antar agama) maupun internal (antar umat dalam satu agama) tak jarang menimbulkan konflik dan pertumpahan darah. Padahal siapa/apakah Tuhan itu sendiri kita semua belum bisa mencapai pemahaman final. Untuk tujuan yang acap dianggap tidak rasional--misalnya, "membela nama Tuhan"--nyawa banyak manusia bisa dianggap tidak ada artinya. Inilah yang diangkat Sam Harris melalui bukunya, The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason (New York: W.W. Norton, 2004)--sudah tersedia terjemahan bahasa Indonesianya, Terbenamnya Iman: Agama, Teror, Dan Masa Depan Nalar (Abdi Tandur, 2007).

Di dalam buku yang mengundang reaksi keras dari kalangan agamawan, Harris "membantai habis" umat Muslim, Yahudi, Hindu dan Kristen. Umat keempat agama ini dianggap Harris menyembah Tuhan imajiner, menjalankan ajaran dan metode ketaatan yang tidak rasional dan suka menggunakan nalar untuk mencapai cita-cita religiusitas yang tidak masuk akal. Seorang anak muda yang mengaku mendapat sinyal-sinyal dari alien yang menunjuknya sebagai "pewarta kebenaran" atau penerima wahyu dianggap gila! Tetapi, sebaliknya, pejuang Palestina yang meledakkan dirinya bersama puluhan anak-anak tidak berdosa di Israel malah dipuja sebagai pahlawan dan Al Qur'an menjanjikan bidadari yang akan menyambutnya di pintu surga. "Ini lebih gila (insane) daripada anak muda yang mengaku mendapat wahyu dari alien!" kata Harris.

Dalam buku ini Sam Harris menyampaikan analisisnya yang sangat mengejutkan tentang pertentangan (clash) antara nalar dan agama di dunia modern. Buku yang mulai ditulisnya sehari setelah WTC New York rata dengan tanah pada 11 September 2001 ini mengajak pembaca untuk menyusuri perjalanan sejarah dari kesediaan manusia untuk mengabaikan nalar yang rasional demi agama--bahkan walaupun agama-agama tersebut memberi inspirasi kepada tindak kekerasan dan pembunuhan.

Membaca bab-bab awal (dari tujuh bab) kita akan mendapat kesan bahwa Sam Harris adalah seorang atheis. Tetapi memasuki Bab 7 barulah kita akan mengerti bahwa sarjana filsafat dari Stanford yang selama 20 tahun mempelajari berbagai tradisi relijius serta disiplin spiritual dari Timur dan Barat ini merupakan seorang agnostik. Dia mengakui pada epilog buku ini, bahwa dia memuji Buddhisme, yang dalam manuskrip-manuskripnya memberi tekanan kepada cinta kasih dan perdamaian. Harris sendiri melakoni meditasi Zen, yang disukainya karena "tidak mengatur-atur bagaimana seseorang menjalani hidupnya". Dalam Bab 7 juga dikemukakannya bahwa kini saatnya agama harus diakhiri, dan spiritualitas dimulai. (Ingat pernyataan John Naisbitt, "Spirituality yes, organized religion no!"?) Dia berusaha membuka insight pembaca dari sudut pandang neuroscience, filsafat dan mistikisme dunia Timur untuk menyampaikan bahwa masyarakat membutuhkan pondasi modern bagi etika dan spiritualitas yang bersifat sekuler dan humanistik.

F. Budi Hardiman dalam tulisannya di Kompas, 5 April 2007, berjudul "Agama dalam Ruang Publik", mengatakan bahwa masyarakat Barat menerapkan sekularisme sebagai suatu cara untuk mengakhiri absolutisme agama dan konflik-konflik agama. Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir-nya yang bertajuk "Pagoda" di Tempo, 1 April 2007, juga mengungkap kerisauan yang kurang lebih sama dengan F. Budi Hardiman. Agama, tulis Goenawan, dimulai dengan senyap, hening dan sebuah saat yang dahsyat, juga gemetar, rasa kasih dan ngeri, serta amor dan horor. Tetapi kini, agama menjadi terkonstruksi, tak lagi senyap. Agama kini identik dengan bangunan, simbol dan sikap (maksudnya sikap memamerkan relijiusitas melalui penampilan berpakaian; seseorang diragukan keislamannya bila tidak tampak seperti orang Timur Tengah: jenggot, jubah, kopiah).

Menurut hemat saya, baik Harris maupun umat Islam skripturalis (yang berpedoman pada ayat-ayat kitab suci tanpa memahami maknanya) tidak sepenuhnya memahami bahwa kajian Islam itu memerlukan pikiran yang terbuka dan wawasan yang sangat luas dan mendalam. Harris tampaknya tidak tahu bahwa di Indonesia terdapat komunitas Islam Kejawen yang mengajarkan compassion dan surrender serta hakikat bahwa semua manusia bersaudara. Harris tampaknya tidak tahu tentang banyaknya mazhab syari'at dan fikih di dalam Islam, yang agaknya juga menjadi salah satu penyebab timbulnya pertentangan antar umat Islam, semata karena umat mazhab Syafii yang dominan di Indonesia tidak mengerti eksistensi mazhab lainnya sehingga serta-merta memusuhi mereka. Dalam hal ini, tampak bahwa yang memporakporandakan kedamaian umat beragama adalah hukum-hukum--yang dipandang Sam Harris tidak bisa berjalan seiring dengan perkembangan zaman serta tidak rasional. Mengenai hal ini Goenawan mengatakan:

"Sebenarnya agama pernah dimaksudkan untuk membebaskan kita dari [hasrat akan milik dan milik atas hasrat]. Tapi apa lacur: agama, yang bermula pada senyap dan berakhir dengan konstruksi, juga akhirnya hanya jadi simtom sebuah kerisauan: merasa diri subyek yang utuh dan permanen, orang-orang beragama tak henti-hentinya berusaha menaklukkan ruang-dan-waktu, merampat yang-lain di dalam dan di luar diri. Itu terutama terjadi ketika konstruksi, bukan sepi, mengambil alih--dan tak hanya berupa masjid dan candi, tapi juga lembaga dan hukum-hukum."

Gerakan New Age yang bangkit di Barat pada tahun 1970an sebenarnya merupakan upaya untuk memanusiakan manusia (manusia sebagai pribadi (inside-out), bukan sebagai sekumpulan obyek dari eksploitasi segala sesuatu di luar dirinya(outside-in)). Tetapi gerakan ini menemui jalan buntu, karena pelakunya--yang belum mau menyelami kediriannya--bergantung kepada "luar diri"; mereka mengonsumsi narkoba untuk mencapai ekstase [pseudo-]spiritual, misalnya.

Sejumlah agama kini satu per satu ditinggalkan umatnya, di dunia Barat maupun Timur, hanya karena tidak mampu relevan. Manusia cuma dianggap sebagai robot yang tidak punya hasrat, nilai dan visi. Kalau kita tidak bisa menghargai kebenaran manusia lain, dan malah memaksakan kebenaran kita sendiri, matilah kita![]



Jakarta, 25 November 2008

Sunday, November 23, 2008

Pendekatan Terbaik untuk Mengenal Tuhan (?)

Beberapa bulan lalu, saya mendapat pengalaman menjadi atheis (put myself in the atheist's shoes), yang kemudian membuat saya berpikir, barangkali atheisme bisa menjadi alternatif untuk (malah) mengenal Tuhan. Pengalaman saya berawal dari sebuah buku.

"Jika buku ini berfungsi sesuai dengan maksud saya, para pembaca yang relijius yang membuka buku ini akan menjadi atheis ketika menutupnya," tulis Richard Dawkins, Ph.D. dalam kata pengantar bukunya (hlm. 28) yang menjadi "Surprise Bestseller of 2006", The God Delusion (London: Transworld Publishers, Cetakan ke-2, 2007; 463 hlm., termasuk lampiran, catatan belakang dan indeks). Dawkins mengakui bahwa pernyataannya itu merupakan prakiraan yang terlalu optimistik mengingat bahwa orang-orang yang fanatik dalam beragama biasanya kebal terhadap argumen, karena mereka memiliki mekanisme pertahanan yang dibangun selama bertahun-tahun melalui indoktrinasi sejak usia dini, menggunakan metode yang memakan waktu berabad-abad untuk menjadi matang.

Untungnya, Dawkins mengutarakan hal itu pada kata pengantar bukunya, sehingga saya pun dapat memperkuat kuda-kuda sebelum meneruskan membaca The God Delusion -- yang menurut saya lebih mengguncang iman daripada The Davinci Code-nya Dan Brown. Lagipula, buku yang tersebut pertama adalah literatur non-fiksi yang mengetengahkan data-data yang akurat.

Karena Dawkins mengasumsikan bahwa para pembaca yang relijius akan menjadi atheis ketika selesai membaca The God Delusion, saya tantang Charles Simonyi Professor for the Public Understanding of Science di Universitas Oxford ini dengan pola yang terbalik: saya menjadi atheis dulu saat akan membaca The God Delusion; semakin mendekati akhir dari buku tersebut, saya malah menjadi kian percaya dan yakin akan kekuasaan Tuhan!

Pasti Anda bertanya-tanya bagaimana seseorang yang telah sejak lahir memeluk agama Islam seperti saya dapat menggelontor keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa sedemikian rupa demi sebuah buku yang dihujat (juga dipuji, lho) kalangan beragama di seluruh dunia? Sebelum lanjut, patut diperhatikan pernyataan saya di atas: 'sejak lahir memeluk agama Islam'; Dawkins mengecam keras sebutan 'anak Muslim', 'anak Kristen', 'anak Yahudi', dan lain-lain, karena dunia anak adalah dunia yang masih suci dari campur tangan orang dewasa. Dawkins mengusulkan istilah 'anak dari orangtua yang beragama Islam' dan lain-lain. Saya menerapkan esensi dari Latihan Kejiwaan Subud, yaitu 'mengosongkan diri' dari segala sesuatu yang bersifat material. Material di sini tidak melulu berujud; bisa juga niskala (subtle), seperti bentukan pikiran (artefak). Dalam konteks ini, saya mampu 'mengusir' Tuhan dari pikiran saya. Lho kok? Lha, iyalah! Tuhan yang ada dalam pikiran kita bukanlah Tuhan yang sejati, melainkan Tuhan meme, Tuhan rekaan virus akalbudi. Tuhan sejati malah tidak terjangkau oleh akal kita. Ia adalah suatu spirit Yang Maha Kuasa dan tidak dapat dibatasi oleh materi. Jadi, saya menjadi atheis dalam pengertian tidak bertuhan yang meme (memetic god)!

Richard Brodie dalam bukunya, Virus of the Mind (1996; sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Awas! Virus Akalbudi Ganas, diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2005), mendefiniskan meme sebagai "pemikiran, kepercayaan, atau sikap yang tersimpan di akalbudi kita yang bisa menyebar dari dan ke akalbudi orang lain." Meme meresap ke dalam akalbudi tanpa seizin kita. Meme menjadi bagian pemrograman mental kita dan memengaruhi kehidupan kita bahkan tanpa kita sadari. Media massa, utamanya televisi, dan periklanan diajukan Brodie sebagai 'pencipta meme terdahsyat'.

Sadar atau tidak, Tuhan yang kita hamba selama ini sering kita perosokkan menjadi sekadar bentukan pikiran sekehendak kita (seenak perut kita). Pada kalangan umat beragama sendiri, kemahaluasan Tuhan acap diberi batasan ruang dan waktu. Ia dibatasi oleh 'jalan' dan simbol. Dan kita pun menyembah materi yang berupa simbol-simbol. Simbol merupakan materi, sedangkan Tuhan (yang bukan meme) tidak dapat dibatasi dengan materi!

Yang membuat saya dahulu sempat menyingkir dari jalan menuju Tuhan adalah pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang tidak saya temukan jawabannya saat itu: Apakah Tuhan berdomisili di Arab, berbahasa Arab sehingga tidak bisa menjawab doa yang tidak dilantunkan dalam bahasa Arab, dan berbudaya gurun pasir, sehingga sebagai pemeluk agama Islam saya mesti bersandang, berpangan, berpapan, dan berkesenian layaknya masyarakat gurun? Para nabi sebagai penyampai pesan Tuhan memang berada di dalam dunia dan terbatas dalam suatu dimensi ruang dan waktu (suatu masa yang telah lampau di kawasan Timur Tengah). Apabila dimensi di mana para nabi hidup tersebut dipaksa diperpanjang dan diperluas, akan menjebak kita ke dalam suatu stagnasi. Kita manusia yang hidup secara dinamis dalam konteks sosial-budaya dan lain sebagainya. Tentunya, agama-agama juga bersifat universal-dinamis. Tuhan mengaruniakan kemajemukan dan keanekaragaman di dunia, bukan hegemoni Arab-sentris!

Richard Dawkins begitu mencerca kaum beragama, terutama yang fanatik. Alasan-alasan yang dikemukakannya bolehlah kita renungkan: "Kenapa, sih, umat beragama menunjukkan sikap permusuhan atas nama Tuhan?" (judul Bab 8-nya, "What's wrong with religion? Why be so hostile?") Inilah akibatnya jika yang disembah adalah Tuhan meme. Tuhan dipersonifikasi seolah Dia adalah makhluk lemah sehingga perlu dibela; seperti ciptaanNya yang selalu ingkar, Sang Pencipta pun harus memeluk agama, sehingga muncullah istilah 'agama Allah'. Tuhan yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu malah diberi atribut-atribut idiosinkretik yang terdapat dalam 99 nama 'baik'-nya. Kawan saya pernah kena getah Asma'ul Husna; ia mengaku bingung dengan konsep "Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," karena bersamaan dengan itu Dia dicitrakan sebagai Maha Menyesatkan (lihat QS Ibrahim [14]: 4), Maha Pembalas, Maha Memurkai. Saya pun menyarankan agar dia menjadi 'atheis', yaitu meluruhkan diri dari Tuhan rekaan virus akalbudi, dan merasakan eksistensi Tuhan yang "bukan ini, bukan itu, tetapi yang Anda terima!".

Sebenarnya Dawkins sendiri pun terperangkap pada konsep 'agama' sebagai 'religion' (berasal dari bahasa Latin religaire = 'aturan-aturan yang mengikat'). Dalam hal ini, agama Dawkins adalah atheisme, karena seperti yang dituturkan oleh Fellow of New College ini, agnostikisme/atheisme mewujud 'jalan pencarian' bagi orang-orang yang menuntut pembuktian indrawi akan keberadaan Tuhan. Filsuf Bertrand Russell yang ditanya (The God Delusion, hlm. 131), apa yang akan dikatakannya jika ia mati dan menemukan dirinya berhadapan dengan Tuhan, yang ingin tahu kenapa Russell tidak percaya kepadaNya. "Tidak cukup bukti, Tuhan, tidak cukup bukti," adalah jawaban Russell.

Dalam kaitan ini, Dawkins membandingkan skeptisisme Russell yang berani dengan kepengecutan matematikawan Prancis, Blaise Pascal (hlm. 130) yang mengatakan, "Anda sebaiknya percaya Tuhan, karena bila Anda benar maka Anda berpeluang mendapatkan surga abadi dan jika Anda salah maka tidak akan ada bedanya. Di lain pihak, jika Anda tidak percaya Tuhan dan ternyata Anda keliru Anda akan dikutuk selamanya, sedangkan jika Anda benar toh tidak ada bedanya."

Dawkins mengutip Daniel C. Dennett, psikolog yang dalam bukunya, Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (Viking Adult, 2006), membedakan antara kepercayaan kepada Tuhan (believe in God) dan kepercayaan kepada agama/kepercayaan (believe in belief): kepercayaan yang baik untuk dipercaya, bahkan bila kepercayaan itu sendiri palsu. Bagi sebagian besar orang, agama dianggap pelipur (consolation). Lebih baik bila ada 'sesuatu' untuk dijadikan pegangan dan pedoman daripada tidak sama sekali. Terhadap hal inilah Dawkins melancarkan pukulan yang, saya kira, cukup telak. Kalau manusia mengaku percaya kepada Tuhan, ujar Dawkins, kenapa mereka takut mati, bahkan menganggap kematian itu menakutkan, sehingga kematian dicap sebagai kedukaan. Fakta ini menafikan konsepsi kreasionis yang umumnya dianut kaum agama bahwa segala sesuatu berasal dari dan kembali kepada Sang Pencipta.

Pembunuhan, apa pun bentuknya, termasuk eutanasia dan bunuh diri yang dibantu (assisted suicide) adalah dosa. "Tetapi kenapa dianggap dosa," kritik Dawkins (hlm. 399), "jika Anda sungguh-sungguh percaya bahwa kematian adalah perjalanan ke surga?" Adalah mereka yang menganggap kematian sebagai terminal, bukannya transisional, yang akan secara naif menolak eutanasia atau bunuh diri dengan bantuan, tulis Dawkins di hlm. 400. Seorang perawat senior kenalan Dawkins, yang berpengalaman menjalankan panti jompo, mengatakan bahwa berdasarkan pengalamannya orang-orang yang paling takut mati justru adalah mereka yang relijius. Kenyataan ini menegaskan bagi Dawkins bahwa agama tidak memiliki kekuatan yang berpengaruh atas mereka yang sedang menghadapi maut.

Dawkins memegang teguh ajaran 'agama' yang dianutnya, yang bernama 'atheisme'. Kredo kesaksiannya berbunyi: "Tiada Tuhan dan Charles Darwin adalah sebenar-benarnya pemberi bukti." Dawkins memang terutama menyandarkan ketidakpercayaannya atas eksistensi Tuhan yang gaib pada teori evolusi yang dikemukakan Darwin. Tetapi berbeda dengan kaum fundamentalis agama yang bersikap kaku dan baku dalam menerapkan ajaran-ajaran agama mereka, Dawkins mengaku bahwa ia akan berubah pikiran bila ternyata Darwin keliru, atau bila kemudian muncul bukti-bukti yang cukup kuat tentang eksistensi Tuhan.

Teori evolusi Darwin adalah pijakan Dawkins, walau pada beberapa sisi teori tersebut mengandung kelemahan. Dengan gampangnya Profesor Harun Yahya dari Turki menantang dengan pertanyaannya, "Bila manusia memang berevolusi dari kera, kenapa sekarang kera masih ada?" Sebagai tangkisan, Darwin mengemukakan bahwa evolusi disemarakkan oleh seleksi alam (survival of the fittest); tidak semua jenis kera berevolusi menjadi manusia; hanya yang unggul, yang mampu menyisihkan jenis-jenis kera yang bernasib untuk selamanya menjadi kera.

Dawkins mengetengahkan 'kausalitas' sebagai contoh bagi penjabaran mengenai evolusi. Korek api ada karena ada rokok; rokok ada karena saya ingin; saya ingin karena melihat warung rokok; dan seterusnya. Dawkins selalu berhenti pada 'dan seterusnya'. Saya rasa, dia takkan sanggup membayangkan apa sebab dari segala sebab di balik penciptaan alam semesta. Kaum kreasionis (termasuk para agamawan) dengan gampangnya menisbikan ilmu pengetahuan, menandaskan, "Semua diciptakan oleh Tuhan."

Bagi Dawkins, agama adalah kesia-siaan (wasteful). Dan kesia-siaan ini, diherankan Dawkins, bisa begitu menguasai perikehidupan manusia selama berabad-abad. Begitu banyak nyawa melayang demi kesia-siaan ini. Orang rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk melaksanakan ritual-ritual yang tidak bermakna, tetapi ogah-ogahan ketika diharapkan kepeduliannya pada sesama manusia yang menderita. Dalam hal ini, saya sependapat dengan Dawkins. Bagaimanapun, berkenaan dengan kesia-siaan, saya menertawakan 'kecerobohan' Dawkins: Sebagai pakar biologi dengan spesialisasi perilaku hewan (animal behavior), bukankah seharusnya dia meluangkan banyak waktu, pemikiran dan kata-kata untuk membawa masyarakat kepada pengenalan terhadap dunia hewan, ketimbang merecoki 'kegembiraan' orang melalui kepercayaan kepada Tuhan. Ah, Dr. Dawkins is also being wasteful!

Jadi, kita harus bagaimana? Yaa, kosong saja. Suwung. Jangan merasa bahwa dengan menyebut "Allah, Allah" dalam sembahyang, kita sudah yang paling benar, mengingat nama 'Allah' sendiri merupakan meme. Kalau Anda telah membaca sejarah Tuhan, maka dalam pencarianNya, terungkap bahwa nama Allah berasal dari kepercayaan masyarakat di daerah aliran Sungai Nil untuk berterima kasih akan rezeki yang mereka dapatkan dari tanah yang subur; mereka mencari-cari kepada siapa mereka harus berterima kasih kalau bukan kepada Sang Pencipta -- yang mereka sebut El, dan datanglah istilah 'Allah' setelah melewati proses asimilasi selama berabad-abad pada rangkaian rumpun bahasa Semit (Ibrani, Aramaik, Arab).

Secara tidak langsung (di luar maksud sang penulisnya), The God Delusion telah mengajarkan kepada saya untuk menghamba kepada Tuhan yang bukan meme, yaitu Tuhan yang bisa dikerangka dan dirangkai dengan ulasan kata-kata dan olah pikiran, melainkan -- barangkali -- hanya dirasakan.© 



Jakarta, 24 November 2008

Tuesday, November 18, 2008

Rahasia Kegagalan

"Berserah diri kadang berarti berhenti mencoba mengerti dan merasa nyaman kendati pun tidak tahu. Di samping itu, berserah diri bisa juga berarti transisi di dalam dari penolakan menuju penerimaan, dari 'tidak' menjadi 'ya'."
--Eckhart Tolle, Stillness Speaks (London: Hodder & Stoughton, 2003)



Hari Sabtu, 2 Agustus 2008 lalu, saya beserta istri jalan-jalan ke Mal Pondok Indah. Tempat favorit saya—bukan hanya di MPI, tetapi di semua pusat perbelanjaan—adalah toko buku. Kami pun ke Gramedia. ‘Pulau-pulau’ (terjemahan pribadi saya untuk islands, yaitu displai atau meja peraga untuk promosi produk-produk yang diperdagangkan toko yang letaknya di tengah, di antara rak-rak) memamerkan banyak buku bersubyek pengembangan diri yang umumnya berkepala ‘rahasia sukses’. Sekejap, saya teringat pada buku Gede Prama, The Art of Success Mastery—Dari Keindahan untuk Kesuksesan (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004) yang nangkring di rak buku saya. Buku tersebut pemberian dua mahasiswi yang magang di departemen kreatif yang saya kepalai, karena menurut mereka buku tersebut banyak menjelaskan hal-hal yang sebelumnya sudah mereka dengar dari mulut saya.

Lalu, pada hari Selasa, 5 Agustus 2008, saya baca iklan kolom di harian Kompas, halaman 27, yang berbunyi sebagai berikut: “Temukan Rahasia Sukses membangun BISNIS dalam waktu 4 Jam!” Saya tersenyum waktu membacanya, sementara suara batin saya berseru, "Aaarrgh! Kenapa sih nggak ngajarin rahasia kegagalan? Kenapa sih nggak ada yang berani merilis bukunya dengan judul The Art of Failure Mastery—Seni Memahami Kegagalan?

Sehari setelah jalan-jalan di MPI itu, saya ke bertemu dengan tiga orang yang baru menempuh jalan spiritual. Mungkin karena penjelasan yang mereka terima dari pemandu mereka lebih banyak bermuatan yang ‘enak-enak’ saja, sehingga mereka mengira dengan berspiritualitas mereka akan terhindar dari—yang dimaknai oleh akal pikir sebagai—‘kegagalan’ dalam hidup.

Banyak lembaga pelatihan pengembangan diri maupun jalan spiritual 'memperdagangkan' kesuksesan, mungkin agar lebih marketable, namun sesungguhnya bila Anda memahami rahasia kegagalan, sukses atau gagal, ya, nggak ngaruh, nggak ngefek. Setelah membaca kisah hidup dan karier pendiri Apple Inc., Steve Jobs, saya jadi mengerti tentang hubungan sebab-akibat yang saling berhubungan (pattica sammupada istilah Buddhisme-nya). Saya sudah sering menceritakan tentang pengalaman Steve Jobs, karena kisahnya amat mengilhami saya.

Steve Jobs telah melalui pelbagai pengalaman getir dalam hidupnya, yang membawanya menjadi seperti sekarang ini. Pada acara wisuda di sebuah universitas di AS, Jobs mengharapkan agar para wisudawan tidak melulu melihat ke depan—karena toh belum jelas. Menurutnya, kesediaan untuk menengok ke belakang akan membuat kita selalu bersyukur. Dia memberi kiat connecting the dots (menghubungkan titik-titik) amtara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya di masa lalu. Keterhubungan titik-titik itu akan memberi kita pengertian bahwa segala sesuatu dalam hidup masing-masing merupakan suatu rancangan yang sudah 'dimaksudkan dari sononye'. Saudara Subud saya menamakannya ‘God’s design’. Gagal, sakit, celaka, berhasil, sehat, terhindar dari musibah, dan lain-lain unsur yang saling berlawanan itu sifatnya hanya sementara dan merupakan ‘bagian dari permainan’ (part of the game) yang mengusung diri kita kepada keadaan sekarang ini.

“Tanpa pernah drop out dari kuliah,” kata Steve Jobs, “mungkin saya tidak pernah berpikir untuk kursus kaligrafi.” Nah, tanpa bekal ilmu kaligrafi itu mungkin Anda sekarang tak bisa menikmati tampilan huruf-huruf yang indah pada layar komputer Anda. Sebab, 10 tahun kemudian ketika Jobs dan Steve Woz menciptakan generasi pertama komputer Apple Macintosh, ciptaan mereka itu merupakan komputer pertama di dunia yang menggunakan font!

Jobs pernah dipecat dari Apple, perusahaan yang notabene dirintis olehnya. Tetapi berkat dipecat itulah ia mendirikan Pixar, perusahaan yang menciptakan Toys Story, film animasi 3-D pertama di dunia. Pixar berkembang pesat dan menguntungkan, sehingga sahamnya akhirnya dibeli oleh Apple Inc., dan Jobs bisa kembali duduk di puncak perusahaan yang dibidaninya dahulu itu. “Jika dahulu saya tidak dipecat dari Apple,” kisah Jobs, “mungkin ceritanya jadi lain.”

Jobs juga pernah didiagnosis terkena kanker pankreas pada saat usianya baru 33 tahun dan dokter memperkirakan hidupnya bakal segera berakhir. Dengan tenangnya, Jobs memberitahu keluarganya, mewasiatkan pembagian warisan, dan kemudian ia bertekad untuk melakukan sesuatu yang luar biasa, sehingga ketika ia mati ia meninggalkan sesuatu yang bernilai bagi mereka yang masih hidup.

Ia mengabaikan penyakitnya dan terus saja bekerja seolah tidak terjadi apa-apa demi mewujudkan prestasi terbaiknya. Perusahaan-perusahaan yang digawanginya tumbuh besar dan jadi hebat selama ‘periode penantian datangnya maut’ itu. Suatu ketika, saat melakukan pemeriksaan medis berkala terhadap penyakit yang diderita Jobs, para dokter menangis. Mereka menemukan keajaiban: kanker pankreas yang diderita Jobs ternyata tergolong langka dan dapat disembuhkan lewat operasi. Jobs akhirnya sembuh total, berbarengan dengan terwujudnya apa yang pernah ditekadkannya!

Muhammad Subuh menyebut rancangan Tuhan itu sebagai 'konstruksi hidup'. Itu yang saya paparkan pada ketiga (kemudian, ketika obrolan jadi kian seru, meningkat jadi lima) orang tersebut di atas. Sebuah bangunan (konstruksi) rumah tinggal, misalnya, memiliki struktur tiang dan pondasi, dinding, ruang tamu, ruang makan, kamar tidur, kamar mandi, teras, atap, jendela, pintu. Semua memiliki fungsi. Bahkan pajangan mungil saja ada tujuan fungsionalnya, yaitu memperindah atau memperkaya atmosfer ruangan.

Seperti itu pula halnya dengan hidup kita. Peristiwa demi peristiwa dan unsur-unsur-yang-saling-berlawanan datang silih berganti. Semua ada maksud dan tujuannya. Yang satu ada karena sesuatu sebelumnya. Masing-masing kita punya rancangan sendiri-sendiri. Kalau Anda bisa menerima suatu realita sebagai privilese Anda seorang, kata Sang Buddha, berarti Anda berhasil menjadi diri sendiri. Anda tidak lagi hidup berdasarkan penilaian-penilaian orang lain, walaupun itu suami/istri, anak atau guru Anda sendiri. Bikkhu Utammo dari Vihara Samaggi Jaya, Blitar—Jawa Timur, yang rekaman audio ceramahnya saya unduh dari Internet, mengatakan bahwa sukses itu tidak ditandai oleh banyaknya harta dan jabatan, melainkan oleh kemampuan pribadi untuk menerima kenyataan hidup.

Pada diri orang yang mampu menerima kenyataan, sukses atau gagal menjadi tidak relevan—ia akan terus mengikhtiarkan yang terbaik bagi dirinya. Pada kedua unsur terdapat sifat kesementaraan yang perannya masing-masing adalah saling menopang. Memaksakan diri sukses—menurut tataran akal pikir, yaitu banyak harta dan jabatan—lewat jalan pintas yang menyalahi rancanganNya, malah mengacaukan hubungan sebab-akibat yang berlaku atas yang bersangkutan. Peluang-peluang yang jauh lebih indah, dan yang siap menghampirinya, malah terpuruk.

Kepahaman ini terproses di benak saya ketika saya lewati begitu saja pulau-pulau di Gramedia Mal Pondok Indah. Di rak berlabel ‘Pengembangan Diri’ pada bagian lain toko buku tersebut saya jumpai buku karya Rhonda Byrnes, The Secret (versi Bahasa Indonesia). Tangan saya menyentuh kulit buku tersebut tetapi tidak terdorong untuk membukanya, karena suara batin saya berkata, “It’s not a Secret anymore—bukan rahasia lagi, ah!”

Semua motivator pengembangan diri mengumandangkan rahasia kesuksesan dalam pelatihan yang mereka tawarkan kepada Anda, karena di tengah masyarakat yang frustrasi kata ‘gagal’ ibarat virus Ebola—mematikan tetapi sulit diatasi. Tetapi sesungguhnya Anda tidak dapat membongkar rahasia kesuksesan tanpa terlebih dahulu mengupas udang di balik batu bernama kegagalan.©


Jakarta, 19 November 2008

Ihwal Memulai

Waktu saya masih tinggal di Surabaya, ada seorang kawan yang bertanya pada seseorang yang sudah sepuh, bagaimana caranya berserah diri. Sebelum orang tua tersebut sempat menjawab, saya menyeletuk, ceplas-ceplos—entah dari mana dorongan itu datang, "Yaa, sampeyan berserah diri aja!" Si orang tua mengangguk-angguk sambil mengatakan, "Nah gitu tuh caranya." Saat itu, saya sendiri sebenarnya belum bersentuhan dengan pengalaman spiritual dan juga tidak tahu bagaimana caranya berserah diri.

Sepotong kisah pengalaman pribadi saya itu terlintas di benak saya baru-baru ini ketika dalam obrolan santai dengan sejumlah kawan, bertopik kewirausahaan, terlontar pernyataan klasik, "Kita nggak tau gimana mulainya!" Saya lantas berpikir, well, that's it! Tidak usah lagi deh lokakarya atau pelatihan. Langsung saja praktik!

Jawaban untuk setiap ihwal memulai, apa pun, sebenarnya terletak pada praktik, tindakan nyata (real-life experience). "Bagaimana memulai makan?" Ya, makanlah. "Bagaimana memulai wirausaha?" Ya, wirausahalah. Entar juga ngerti sendiri. Pengalaman saya menuturkan, segala sesuatu yang dipicu oleh rencana begini-begitu (tanpa kejelasan kapan melaksanakannya) jadinya malah amburadul. "A plan is nothing; planning is everything," kata Dwight D. Eisenhower, jendral bintang lima yang pernah jadi presiden AS itu. Jangan memulai suatu pekerjaan dengan rencana bertarget. Jalani saja pekerjaannya, nanti Anda akan tahu sendiri apa yang dibutuhkan untuk pekerjaan Anda itu.

Ihwal memulai seolah menjadi momok yang cukup mengganggu bagi sebagian besar orang. Ternyata senjata pamungkas untuk memberantas momok tersebut simpel saja: Keberanian. Kita harus berani, bahkan bila perlu keluar dari pakem, breaking the rules untuk hal-hal yang membawa kebermanfaatan. Ketika saya masih jadi trainee copywriter—tahun 1994—pada sebuah biro iklan multinasional di Jakarta, saya berpedoman pada kitab sucinya para copywriter, yaitu bukunya Alastair Crompton, The Craft of Copywriting, yang antara lain mencantumkan Sepuluh Aturan Perak mengenai iklan yang hebat. Saya sekarang sudah lupa sebagian besar dari aturan-aturan itu gara-gara adanya Satu Aturan Emas yang dikemukakan Crompton: "Lupakan semua aturan!" Tetapi saya tidak serta-merta mempraktikkan Aturan Emas itu, karena saya menceburkan diri ke penulisan naskah iklan memang karena ingin belajar hal-hal baru, yang tidak saya peroleh di bangku kuliah. Ketika sudah saya kuasai kesepuluh aturan perak itu dan menjadi skilled copywriter, barulah saya langgar semua aturan, yang malah membuat saya jadi professional copywriter.

Bisnis Apple Inc. jadi besar karena sikap eksentrik pendirinya, Steve Jobs, yang suka melanggar aturan. Berkat breaking the rules, komputer pertama bikinan Apple langsung jadi hit karena karakteristik user-friendly-nya dan merupakan komputer pertama di dunia yang menggunakan font. Filosofi melanggar aturan terlambangkan pada logo Apple: sebuah apel dengan bekas gigitan, yang ternyata diilhami kisah Alkitab, di mana diceritakan Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga gara-gara melanggar aturan Tuhan yang melarang mereka makan buah tertentu (apel?).

Kreatif saja tidak cukup. Kita juga harus berani untuk kreatif. Dunia ini tampaknya belum bisa sepenuhnya menerima kehadiran orang kreatif, sehingga 'keberanian' untuk kreatif pun senantiasa ditekankan para fasilitator pelatihan wirausaha. Semasa saya masih kelas 4 sekolah dasar di Negeri Belanda, sejumlah murid, termasuk saya, dimasukkan ke kelas khusus dua kali seminggu untuk bimbingan dan penyuluhan dari beberapa pedagog. Semua murid kelas khusus itu punya ciri-ciri yang mirip dengan saya: suka melamun (day-dreaming), introvert, suka berbuat tidak sesuai perintah guru, lamban dalam pelajaran-pelajaran matematis-logis, asyik dengan diri sendiri, tidak suka dengan pelajaran-pelajaran sekolah, dan punya hobi nyeleneh. Sikap orang tua kami pun mirip: sedih (ibu saya menangis karena dengan dirujuknya saya ke psikolog, beliau anggap saya sudah tidak waras), kehilangan harapan akan masa depan yang cerah bagi anaknya, dan bertindak lebih keras dalam mendidik. Barangkali karena perlakuan-perlakuan semacam inilah membuat banyak orang tidak berani untuk kreatif. Tahun 2005, saya mendapat e-mail dari salah seorang teman sesama 'alumni kelas khusus' itu yang antara lain mengabari bahwa dia dan 'alumni kelas khusus' lainnya kini lebih sukses dalam karier ketimbang mereka yang dahulunya 'murid waras'. “Kita berhasil mengatasi rintangan-rintangan dalam hidup kita. Aku sangat senang karena kamu juga melakoni (hidupmu) secara luar biasa,” tulis teman saya itu.

Setiap kali saya bertemu orang yang ingin berwirausaha, kebanyakan mereka tidak memperhitungkan merek, tetapi yang dipersoalkan adalah sulitnya mendapatkan modal. Membangun dan mengelola merek yang saya maksud itu bukan hanya terkait dengan produk/jasa yang kita pasarkan, tetapi juga, yang lebih penting, merek diri kita. Saudara Subud sepuh saya yang sudah sepuh pernah bilang ke saya dan tiga rekan kerja saya, "Kalian kalau kerja jangan cari duit. Carilah nilai." Maksudnya, setiap pekerjaan yang kita lakukan seyogianya menambah nilai kualitas keahlian dan profesionalisme kita di mata prospek pembeli produk/pengguna jasa kita.

Pendiri Subud, Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo, menyampaikan hal yang sama—dengan kata-kata yang berbeda—dalam ceramah beliau kepada anggota Subud di Cilandak, 28 Maret 1976! Ceramah yang dicuplik buku Human Enterprise dalam kaitan dengan 'reputasi' itu menuturkan (dalam terjemahan saya):

"Meskipun Saudara punya uang—misalnya seratus juta, dua ratus juta, tiga ratus juta—kalau Saudara tidak punya nama yang baik di dunia ini, maka Saudara tidak bernilai satu sen pun."

Ceramah Muhammad Subuh inilah salah satu kekuatan pendorong bagi saya untuk menanggalkan predikat 'orang gajian' dan memutuskan untuk menjadi 'freelancer 100%'. Saya jelas tidak punya modal uang yang memenuhi syarat untuk membuka usaha, dan meminjam uang pada orang-orang yang tidak sevisi dan tidak 'setuntunan' saya rasa malah akan menghambat tumbuh-kembang saya. Saya melakukan perenungan mendalam, menelusuri perjalanan karier dan hidup yang telah saya lalui, menghubungkan titik-titik (connecting the dots) dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya yang saya alami sepanjang usia dewasa saya. Tergambarlah secara virtual suatu peta tuntunan dari masa lalu, masa kini dan masa depan saya. Wow! Dari situlah saya ketiban pedang sakti CREATIVE (Connection, Responsibility, Exposure, Ahead of time, Travel, Information-hunger, Vocal, Engagement) saya. Naah, ini dia modal saya untuk berwirausaha sebagai agen bebas, haleluya! Saya lalu memulainya saja. Apa kiatnya? Ya, mulai saja...

Nah, sekarang, bagi Anda yang selalu bingung dengan ihwal memulai apa pun, barangkali bisa membantu saya dahulu, yang selalu bingung dengan ihwal mengakhiri apa pun, termasuk tulisan ini.©



Jakarta, 19 November 2008

Sunday, November 16, 2008

Taman Bermain

"Adalah jiwa kanak-kanak di dalam diri manusia yang menjadi sumber bagi keunikan dan kreativitasnya, dan taman bermain adalah lingkungan optimal untuk menggali semua kemampuannya. "
-- Eric Hoffer (1902-1983), dalam The True Believer: Thoughts on the Nature of Mass Movements, 1951


Bertahun-tahun yang lalu, saya menemukan sebuah iklan di buku album iklan pemenang penghargaan (award-winning ads) yang sempat membuat saya syok. Namun bertahun-tahun kemudian, ketika pengalaman dan pemahaman batiniah saya kian kaya, saya tersenyum mengingat hal itu. Saya lupa, iklan itu disponsori oleh lembaga apa, tetapi pesan yang dikomunikasikannya membangkitkan permenungan. Kepala naskah (headline)nya -- dalam bahasa Inggris -- berbunyi: "Dibutuhkan tiga nama untuk membuat anak-anak ini bertikai di antara mereka sendiri." Visualisasi iklan tersebut menggambarkan tiga anak berwajah lugu duduk berdempetan tanpa masalah, sedangkan pada masing-masing anak dilekatkan nama nabi-nabi dari tiga agama besar dunia -- Muhammad, Yesus, dan Abraham!

Sangat mengejutkan dan kelewat vulgar memang. Tetapi kalau kita masing-masing mendinginkan kepala, meredam emosi, atau sekalian saja menenteramkan rasa diri, kita akan dapat membuktikan pada lembaga yang menyeponsori iklan tersebut bahwa apa yang diiklankannya tidak benar. Apalagi ditambah dengan kita membaca (kembali) buku-buku sejarah agama, kita akan tahu bahwa antara Nabi Muhammad SAW dengan umatnya Yesus dan Abraham -- yang berasal dari satu rumpun dan satu garis keturunan -- tidak pernah terjadi pertikaian, kecuali yang diakibatkan oleh fitnah dari pihak di luar kaum mereka. (Hadis yang menyatakan bahwa Yahudi dan Nasrani adalah kafir ternyata berstatus maudhu', meragukan; hadis itu diciptakan secara sepihak, bernuansa politis, oleh kaum Majusi Persia yang menyembah berhala ketika berperang melawan bani Israil dan kaum Nasrani.)

Ketiga rasul Allah itu pun terkenal suka mendoakan musuh-musuh mereka agar Tuhan mengampuni dosa-dosanya. Nabi Muhammad terluka pada mulut beliau akibat lemparan batu seorang kafir dalam Perang Tabuk. Melihat hal itu, Umar ibn Khattab berseru kepada Nabi, "Kutuklah orang itu, wahai Rasul Allah!" Tetapi Nabi Muhammad malah menegur Umar, "Aku diutus Allah bukan untuk mengutuk manusia!" Lalu Nabi Muhammad mengangkat kedua tangannya dan berdoa, "Ya Allah, ampunilah orang itu karena ia tidak mengerti." Jika Anda orang Islam* yang masih suka merecoki keyakinan orang lain, sepatutnya Anda malu ketika membaca kisah keteladanan Rasulullah ini.

Betapa pun vulgarnya iklan tersebut di atas, saya mengagumi pendalaman materi yang dilakukan oleh tim kreatifnya. Mereka tampaknya mempelajari dunia anak-anak. Richard Dawkins dalam bukunya yang mengguncang kemapanan lembaga-lembaga agama, The God Delusion (2007), menulis bahwa tidak ada yang namanya 'anak Kristen', 'anak Islam', dan 'anak Yahudi'; yang ada hanyalah 'anak dari orang tua yang beragama Kristen', dan seterusnya. Anak-anak adalah makhluk yang suci, tak ternoda, begitu mereka dilahirkan. Orang tua merekalah yang melekatkan macam-macam atribut pada diri mereka. Bagi anak-anak, dunia tempat mereka hidup adalah sebuah taman bermain (playground). Layaknya taman bermain, yang ada hanya kegembiraan, kedamaian, dan pembelajaran.

Saya terkenang pada masa kanak-kanak saya di Negeri Belanda. Pada waktu itu, saya punya dua orang sahabat -- teman-teman sepermainan yang membagi kegembiraan mereka bersama saya di taman bermain dekat lingkungan tempat tinggal kami. Yang satu bernama Peter de Bruin, anak dari orang tua yang beragama Kristen. (Kelak ketika dewasa, Peter memilih menjadi atheis, tetapi toh kami tetap berteman baik dan tetap berhubungan lewat e-mail.) Yang lain, Ruud Verweij, keturunan Yahudi. Namanya anak-anak, ya kami juga suka berantem, gara-gara memperebutkan kelereng, gara-gara merasa dicurangi waktu balap lari sepulang sekolah, dan hal-hal sepele lainnya. Namun permusuhan tidak berlangsung lama; esoknya, di sekolah dan sepulang sekolah, kami bermain lagi dalam suasana kegembiraan dan kedamaian.

Ruud tidak satu sekolah lagi dengan saya dan Peter ketika kelas 3 SD, karena ia tidak naik kelas, sehingga ia pindah sekolah. Apakah persahabatan kami berakhir? Tidak -- kami masih terus bertemu di taman bermain yang sama. Bahkan Ruud ikut les renang bareng saya di pusat olahraga dekat rumah kami; kami mendaftar bersama, berenang bersama, bahkan pernah sama-sama disetrap instruktur renang kami, karena menggoda anak-anak perempuan yang juga sedang les renang.

Kebersamaan saya, Peter dan Ruud tidak pernah sedikit pun terusik oleh atribut-atribut agama yang dilekatkan pada diri kami, yang di dunia orang dewasa justru menjadi sumber pertentangan paling dahsyat, sampai merenggut nyawa. Pada suatu waktu, ketika saya mengunjungi apartemen di mana Ruud tinggal bersama ayah-ibunya, nenek dan kakaknya, ia menanyakan apa agama saya, semata karena ingin tahu saja (khas anak-anak, bukan?). "Islam?" ucapnya dengan kening berkerut, lalu bertanya pada ibunya, "Apakah Islam?" Sang ibu menjawab, "Islam itu Mohamedaan."

Melihat anaknya masih dilanda kebingungan, Bu Verweij menyuruh Ruud membuka ensiklopedia yang bertengger di lemari buku di ruang tamu apartemen mereka yang sempit itu. Ruud membaca keras-keras dan agak terbata-bata, "Mohamedaan adalah sebutan untuk para pengikut Muhammad, seorang nabi dari negeri yang kini bernama Saudi Arabia bla-bla-bla." Ruud mengangguk-angguk, menutup kitab babon ensiklopedia itu dan kami kemudian bermain seperti biasa. Sesimpel itu. Kalau kami orang dewasa, yang membabi-buta dalam beragama, tanpa bekal kesalingpahaman, mungkin bukan pergi nongkrong bareng yang kami lakukan, melainkan saling baku hantam! Tetapi alhamdulillah, bahkan ketika kami dewasa, jiwa kanak-kanak masih terus hidup di dalam diri kami. (Walaupun tidak sesering Peter, hingga kini Ruud masih kontak dengan saya via e-mail.)

Saya tidak sependapat dengan Richard Dawkins (The God Delusion. Houghton Mifflin, 2006) dan Sam Harris (The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason. W.W. Norton & Company, 2004) serta para penulis lain yang berlatarbelakang atheisme, yang menganggap agama sebagai kesia-siaan, sumber malapetaka bagi peradaban manusia. Agama tidak buta, karena ia adalah pedoman hidup kita. Sistem yang diajarkan agama, bila dipahami secara kontemporer dan kontekstual, adalah suatu 'jalan' menuju ke Tuhan. Yang membutakan umat beragama bukanlah ajaran agamanya, melainkan fanatismenya dalam beragama. Tanpa disadari, fanatisme sering membutakan kita sehingga kita menyembah agama tersebut, bukannya Tuhan. Yang disembah adalah atribut-atribut dan materi-materi yang berupa simbol-simbol. (Di tingkat fanatisme, bahkan seorang atheis sama saja dengan umat beragama. Pelopor psikologi agama, William James, dalam Perjumpaan Dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius Manusia, Cet. I (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 98, menulis: "Para penentang doktrin [agama] yang paling keras menunjukkan perilaku yang, jika dilihat dari sisi psikologis, tidak bisa dibedakan dari semangat keagamaan.")

Dahulu, pernah ada kasus menyangkut sepatu Big Boss yang garis-garis pada bagian solnya menyerupai aksara Arab untuk 'Allah'. Itu saja sudah menimbulkan keributan di kalangan umat Islam negeri ini. Coba Anda renungkan, deh, tulisan itukah sejatinya Allah, Penguasa Alam Semesta? -- ah, betapa nistanya kedudukan Tuhan bila Anda mengiyakan. Nabi Ibrahim pernah menganggap bulan itulah Tuhannya, tetapi karena bulan kemudian sirna, beliau meragukan anggapannya sendiri. Karena Nabi Ibrahim tidak mau menyembah tuhan yang sewaktu-waktu bisa hilang, saya pun ogah -- saya tidak mau menyembah Allah yang berupa tulisan (Arab) yang sewaktu-waktu bisa dihapus. Saya maunya menghamba kepada Tuhan Yang Maha Ada terus-menerus, Yang Maha Tidak Terusik oleh kasus penyerupaan tulisan Arab pada sol sepatu atau sampul albumnya grup musik Dewa.

Kitab-kitab suci agama-agama wahyu menggarisbawahi bahwa dunia ini memang hanya sebuah taman bermain yang penuh kegembiraan -- walau kita dihampiri kesusahan sekalipun, kedamaian -- meski terdapat perbedaan, tetapi perbedaan adalah rahmatNya, dan pembelajaran -- untuk mengenal diri, mengenal Tuhan, dan untuk sampai pada pemahaman bahwa jalan apa pun yang kita tempuh semuanya menuju kepadaNya! Ketetapan Tuhan bahwa dunia tempat kita hidup adalah taman bermain memang bukan main.©


*) Terdapat perbedaan mendasar antara sebutan 'orang Islam' dan 'Muslim'. Yang pertama mengacu pada orang yang menunaikan ajaran agama Islam secara taklid (ikut-ikutan orang lain), sedangkan yang tersebut terakhir adalah sebutan hakiki bagi orang yang sudah mampu berserah diri kepada Kehendak Tuhan secara sabar, ikhlas, dan tawakal, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad (dan nabi-nabi sebelum beliau). Seorang Muslim menjalankan agamanya secara tahqiq (sadar lahir-batin mengikuti tuntunan Tuhan).



Jakarta, 17 November 2008

Menjelajahi Dunia Tanpa Batas

"Anda punya pikiran seperti perpustakaan, bukan gudang. Ada dunia di luar sana. Jadilah seorang penyapu jalanan, tukang pukul, matador, dan Anda akan memperoleh lebih banyak informasi daripada yang Anda butuhkan."
-- Neil French tentang ketidakmengertiannya atas orang-orang yang langsung bekerja di periklanan setelah tamat kuliah, dalam Jim Aitchison, Cutting Edge Commercials: 138.


Seorang saudara Subud saya suatu ketika memberi saya sebuah PDA (personal digital assistant). Karena sudah lama saya penasaran pada benda itu, saya menghabiskan waktu beberapa hari untuk menjelajahi fitur-fiturnya. Minat saya pada PDA itu ternyata tidak bertahan selama rasa penasaran saya. Lalu ada kawan yang usul agar menunya ditambah dengan gambar/foto, musik, dan permainan. Saya mengikuti usulnya, tetapi itu pun tidak membantu hasrat saya untuk menjelajahi dunia tanpa batas, sampai saya mengkhayalkan PDA atau telepon seluler atau komputer yang fitur-fiturnya bisa berganti dengan sendirinya dengan sesuatu yang baru setiap hari. Sadar bahwa itu mustahil, kecuali dengan meng-install perangkat lunak baru yang juga belum tentu bisa dilakukan setiap hari, maka saya menyimpulkan bahwa perangkat gadget itu, ya, sekadar benda yang memberi kepuasan sesaat.

Tahun 1999, ketika saya tengah diliputi penasaran akan internet, saya diterima bekerja sebagai editor pada sebuah lembaga swadaya masyarakat. Sesuai fungsi saya selaku editor, tugas saya adalah menjelajahi internet, 8 jam per hari, 5 hari dalam seminggu, mencari perkembangan-perkembangan baru di bidang sosial dan ekonomi untuk selanjutnya dibuatkan artikel. Di waktu luang, saya mencari hal-hal lainnya. Internet berhasil memuaskan rasa penasaran saya sekaligus memupuskan greget saya. Internet memang menyediakan informasi A sampai Z, tetapi tidak segalanya! Daya imajinasi saya melampaui dunia maya yang ternyata masih memiliki keterbatasan.

Dunia tanpa batas yang begitu ingin saya jelajahi rupanya bukan terdapat pada benda-benda elektronik yang dicap 'adi-canggih' itu, yang menjadi aksesori vital manusia millenium hingga kehilangan esensi dirinya. Bagi manusia modern saat ini, kehilangan/tidak memiliki perangkat pelengkap tersebut berarti kiamat. Hah?!

Saya tidak menafikan kegunaan PDA, ponsel, kamera digital, komputer dan internet. Di Abad Informasi ini, teknologi-teknologi itu memang memudahkan hidup kita. Namun saya menyayangkan jika semua itu malah menghambat tumbuh-kembangnya kreativitas kita. Semua teknologi adalah produk dari kreativitas manusia, tetapi produknya sendiri tidak bisa diandalkan untuk memberi kita ide-ide kreatif.

Salah seorang creative director yang menjadi narasumber bagi buku Jim Aitchison, Cutting Edge Commercials (2002), punya kebiasaan menempelkan pada komputer-komputer di departemen kreatif yang dikepalainya stiker bertuliskan: "Benda ini tidak bisa memberi Anda ide!" Ia mendorong semua awak kreatif untuk menemukan ide dengan menjelajahi 'dunia di luar sana'. Ya, hidup ini menawarkan berbagai aspek yang amat dinamis jika saja kita mau melakoninya dan menerima tantangan-tantangannya sebagaimana adanya. Melakoni hidup berbekal kreativitas bahkan lebih mengasyikkan dan menyehatkan jiwa kita. Arthur J. Cropley dalam "Definitions of Creativity" (Encyclopedia of Creativity, vol. 1: 512), berpendapat bahwa kreativitas dipandang dapat mendorong kita melakukan penyesuaian yang positif terhadap kehidupan.

Bagi saya, kreativitas menyingkirkan segala hambatan. Yang tidak mungkin menjadi mungkin, paling tidak dalam ruang imajinasi saya. Enam tahun kuliah di jurusan sejarah tidak menghalangi saya untuk menjadi praktisi periklanan. Empat belas tahun melanglang di dunia periklanan tidak menghambat saya untuk tampil sebagai pembicara dalam seminar pengembangan diri. Walaupun pada dasarnya saya beragama Islam, hal itu tidak merintangi saya untuk membaca dan memperoleh pemahaman dari Alkitab, Zabur, Taurat, Tipitaka, serta menekuni amalan Buddhisme. Sebelum Anda mengerutkan kening, lantas meragukan keislaman saya, coba deh telusuri buku Jamal Badi dan Mustapha Tajdin, Islamic Creative Thinking -- Berpikir Kreatif Berdasarkan Metode Qurani (Bandung: Mizan, 2007), yang mengemukakan sejumlah ayat yang intinya membenarkan umat Islam untuk ber-ijtihad (berusaha keras) melalui jalan yang kreatif, jika tidak ditemukan solusinya di dalam Al Qur'an dan Hadis.

Dunia tidaklah selebar daun kelor. Karena itu, meski saya aktif berspiritualitas, yang sering dianggap urusan akhirat, saya tetap manusia normal yang punya kegemaran duniawi. Anda hanya akan menemukan sedikit sekali literatur bertopik spiritualitas dan keagamaan di rak buku saya, dibandingkan koleksi buku militer dan film perang. Dan meski saya mengoleksi film perang, film drama percintaan Sleepless in Seattle yang dibintangi Tom Hanks dan Meg Ryan justru menjadi film yang membuat saya rela menontonnya berulang kali. Dunia yang kita diami ini akan terasa ketiadaan batasnya jika kita berani 'banting setir' tinimbang 'mempertahankan jalur'. Dan hidup pun serasa abadi bila kita mau meraup pilihan-pilihan yang disediakannya.

Harian Kompas, 20 April 2008, menurunkan di halaman 29-nya kisah mengenai orang-orang yang berani berbalik arah: seorang asisten manajer di Toyota Motor Corporation memutuskan untuk menekuni bisnis pakaian dan selimut; seorang general manager di Astra Graphia keluar dari tempatnya bekerja dan mengembangkan usaha pengobatan herbal, sekaligus untuk menyiapkan masa pensiunnya; seorang meninggalkan pekerjaannya di perusahaan asing dan membangun usaha perikanan di Bali; dan seorang lagi mengembangkan bisnis perjalanan petualangan setelah melepas jabatannya di Aquarius. Dengan latar belakang visi yang mulia, yaitu menciptakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang, jelas orang-orang ini bermental wirausaha, yang ingin memberdayakan hidup mereka semaksimal mungkin. Dan sudah pasti mereka kreatif! Mereka mungkin juga berpikir, "Ada dunia di luar sana, kenapa aku harus mengekang diri dengan kemapanan?"

Daya imajinasi dan wawasan merupakan dua bahan baku utama bagi penumbuh-kembangan kreativitas. Kebanyakan kita tidak memperoleh privilese untuk berkhayal ketika masih kanak-kanak, karena berkhayal umumnya dianggap sebagai hal yang sia-sia. Orang tua saya amat mengkhawatirkan kesukaan saya berkhayal. Rapor saya ketika masih sekolah dasar di Negeri Belanda dahulu sering dibubuhi catatan 'dag-dromen' (berkhayal), seakan berkhayal itu sejenis penyakit yang mesti diberantas. Saya ingat kata-kata ibu saya waktu itu menyangkut kesukaan saya berkhayal: "Mau jadi apa kamu nanti?" Jika saat ini waktu bisa diputar kembali ke masa itu, saya akan sujud sungkem kepada beliau, mohon maaf, dan memberitahu, " Ma, berkat berkhayal saya sukses sebagai creative director dan saya selalu menemukan ide-ide brilian dari situ. Ide-ide yang membuat saya sanggup bertahan di tengah krisis kehidupan setelah Mama kembali ke pangkuan Allah."

Sewaktu saya masih duduk di kelas 4 sekolah dasar Belanda, guru seringkali membacakan kisah-kisah dari buku fiksi. Guru tidak pernah menuntaskan pembacaannya, tetapi menugasi murid-muridnya untuk membuat karangan yang diawali dengan pertanyaan si guru: "Kalau kamu jadi tokoh utama dalam kisah ini, kira-kira apa yang akan kamu lakukan?" atau "Kalau kamu penulis ceritanya, bagaimana kamu akan mengakhiri kisah ini?" Jawabannya terserah pada masing-masing murid. Yang dinilai oleh guru bukan kemampuan menulis murid, melainkan seberapa kreatif jawaban yang diberikannya. Pelajaran itu melatih murid untuk senantiasa berpikir dan bertindak secara berbeda atau melihat permasalahan dari sudut pandang yang berbeda.

Dalam pelajaran menggambar, guru juga pernah menerapkan pendekatan ini. Suatu ketika, guru menggambar kepala seorang raja yang bermahkota. Para murid diminta menirukannya. Selesai menggambar kepala raja, si guru tiba-tiba meninggalkan kelas, karena, katanya, ia harus menghadap kepala sekolah. Ditinggal cukup lama oleh guru tanpa penugasan apa pun, timbul keusilan saya untuk menambahkan gambar bingkai di sekeliling kepala si raja serta memberi ornamen-ornamen. Murid yang duduk di sebelah saya menggambar raja itu lengkap dengan badannya dan memegang tongkat scepter kerajaan. Murid lainnya membuat si raja duduk di atas singgasana. Secara keseluruhan, hanya segelintir murid yang 'seusil' saya. Ketika guru kembali ke kelas dan melihat apa yang telah saya dan segelintir murid lakukan, ia malah memuji kami sebagai anak-anak yang kreatif. Murid-murid yang tidak berbuat apa-apa selagi guru pergi dikritik sebagai 'tidak punya inisiatif'!

Berdasarkan pengalaman saya di atas, ide-ide kreatif muncul dari pertanyaan "Bagaimana kalau...?" atau pernyataan "Kalau aku jadi dia, maka..." Seperti juga ketika melamar untuk posisi penulis naskah iklan di biro iklan Lintas Indonesia (kini Lowe) pada tahun 1995, saya juga disodori tes tertulis, yang antara lain mencantumkan pertanyaan: "Iklan apa yang tidak Anda sukai? Jika Anda menjadi kreator iklannya, apa yang akan Anda lakukan untuk membuatnya lebih baik?" Memandang diri saya sendiri yang pada dasarnya suka memprotes segala sesuatu yang di mata saya kurang sempurna, dan sering tidak sejalan dengan pendapat kebanyakan orang, barangkali itulah pemicu kemampuan berpikir kreatif pada diri saya. Menurut B. McLaren, dalam artikelnya, "Dark Side of Creativity," yang termuat di Encyclopedia of Creativity, vol. 1, kreativitas muncul dari kerinduan akan kesempurnaan yang tak terealisasikan dalam pengertiannya yang mutlak. Ia mengandung ketidakpuasan terhadap hal-hal sebagaimana adanya, dan semangat memperbaikinya untuk 'memuliakan' atau bahkan untuk membebaskannya dari kekangan kondisi yang sekarang berlaku, atau untuk menyelaraskan dunia aktual dengan dunia ideal.

Wawasan juga berperan penting dalam mengembangkan kreativitas. Wawasan tidak hanya didapat dari buku. Tapi -- bahkan lebih penting -- juga melalui interaksi kita dengan lingkungan. Creative director saya dahulu, seorang wanita eksentrik asal Selandia Baru, menganjurkan agar saya memperluas cakrawala dengan bergaul dengan berbagai kalangan, mendengarkan segala jenis musik, menonton semua film, membaca semua jenis buku, menulis tentang topik apa saja dengan mengabaikan aturan-aturan redaksional.

Dari sini, tertangkap kesan bahwa kreativitas menafikan batas-batas, termasuk aturan-aturan yang mengekang. Kekangan seakan mengabaikan kenyataan bahwa tidak ada yang lebih baik dari yang sudah ada. Orang kreatif bukan mengabaikan; mereka hanya tidak mengindahkan aturan-aturan yang dibuat orang lain, tetapi mereka, sebaliknya, berpegang teguh pada prinsip-prinsip pribadi serta mengikuti ke mana pun imajinasi membawa mereka. Mereka menyadari konsekuensinya, dan karena orang kreatif umumnya punya harga diri setinggi langit dan rada narsistis, mereka cenderung membiarkan diri menanggung kesalahannya sendiri ketimbang mengakui kekeliruannya pada orang lain. Toh, di dalam menumbuhkembangkan kreativitas, kesalahan/kegagalan adalah bagian dari proses pembelajarannya. Untuk menjadi benar/berhasil kita tidak boleh takut salah/gagal. Orang yang tidak kreatif susah untuk menerima prinsip ini, sehingga dalam kacamata mereka, orang kreatif dituding anti-kemapanan. Padahal, bagaimana kita bisa mapan jika sejatinya dunia ini tanpa batas dan terus berubah?[]



Jakarta, 17 November 2008