Friday, December 31, 2021

Arifin Dwi Slamet’s Quotes – 2021

SABAR adalah Selalu Antusias dan Berani Andalkan Rasa.” (Arifin Dwiastoro, 5 Januari 2021)

Yang bagi manusia adalah bencana, bagi Tuhan adalah rencana.” (Arifin Dwiastoro, 16 Januari 2021)

Dengan memahami dirimu sendiri barulah kamu bisa memahami orang lain.” (Arifin Dwiastoro, 17 Januari 2021)

Dua hal yang akan kamu alami jika tidak pernah memulai: Kamu tidak akan pernah berhasil dan terus berpikir yang belum tentu terjadi.” (Arifin Dwiastoro, 6 Februari 2021)

While the term ‘have sex’ sounds rude, ‘make love’ is exaggerating. Love exists by itself, by God’s will. He created it. As human beings, we don’t have the power to make it.” (Arifin Dwiastoro, 14 February 2021)

Saya bertindak berani bukan karena nekat, tapi karena saya percaya mukjizat.” (Arifin Dwiastoro, 24 Februari 2021) 

“Wanita yang tidak asyik diajak mengobrol, tidak nyambung bila berdiskusi atau tidak menyimak perkataan kita, tidak asyik diajak bercinta.” (Arifin Dwiastoro, 5 Maret 2021)

“Untuk kita tumbuh dan berkembang secara emosional dan spiritual, tak jarang anasir-anasir yang menghalangi, betapa pun baiknya, harus disingkirkan.” (Arifin Dwiastoro, 19 Maret 2021)

“Sekalinya kita dapat gambaran besarnya dari segala sesuatu dalam hidup ini, baik maupun buruk, kita takkan lagi sanggup bercerita kepada siapa pun, tidak akan mengeluh, meratap, berdoa minta ini-itu. Kita hanya bisa memujiNya, mensyukuri segala yang telah kita lalui.” (Arifin Dwiastoro, 20 Maret 2021)

“Tidak usah mengajari anakmu, tapi berilah contoh dari dirimu sendiri. Anakmu bisa menemukan jalan keluar dari rahim ibunya apakah berkat ajaranmu?” (Arifin Dwiastoro, 5 April 2021)

“Silakan percaya pada kebenaran apa pun, tapi jangan merasa terusik lalu marah bila orang lain tidak percaya pada apa yang Anda yakini. Marah itu tanda bahwa Anda tidak sepenuhnya yakin pada kebenaran itu.” (Arifin Dwiastoro, 12 Mei 2021)

“Bila kamu membenci seseorang dalam kadar yang sama sejak pertama kali kamu membencinya, niscaya kamu takkan pernah dewasa secara mental dan spiritual.” (Arifin Dwiastoro, 7 Juni 2021)

“Tidak penting berapa banyak pekerjaan yang pernah Anda lakukan. Yang penting adalah seberapa banyak Anda berubah (tumbuh dan berkembang) melalui setiap pekerjaan.” (Colin L. Powell—yang kemudian menjelaskan mengapa baginya portfolio pekerjaan tidak ada artinya!) 

“Memikirkan bagaimana orang bersikap dan berperilaku terhadap sesuatu adalah bagian dari pekerjaan saya di branding. Nama ilmunya: memetika. Saya terus mencari tahu mengapa orang-orang sepertinya dengan mudah tergiring untuk bangga dirinya telah divaksin, sama halnya orang bangga jika dirinya memiliki brand eksklusif, seperti merek mobil mewah, komputer canggih, atau berlibur ke pulau eksotik. Dengan begitu, saya bisa menggali banyak ide untuk menyusun strategi yang dapat mengarahkan orang untuk mencoba produk, jasa/gagasan yang sejatinya tidak ada nilainya.” (Arifin Dwi Slamet, 29 Agustus 2021)

“Ilmu pengetahuan itu di ranah makhluk. Manusia merasa dia telah menggali apa yang tidak diketahuinya, dan dia cap temuan itu sebagai ‘pengetahuan’. Alat galinya adalah ilmu. Padahal semua itu bukan rahasia, karena jiwa manusia sudah tahu semua.” (Arifin Dwi Slamet, 12 September 2021)

“Yang menarik dari masalah adalah situasi yang memaksa untuk menemukan solusi untuk mengatasinya. Solusi itu juga dapat diaplikasikan pada masalah-masalah lain yang berbeda sifatnya dari masalah yang telah menimbulkan solusi tersebut.” (Arifin Dwi Slamet, 13 September 2021)

“Jika kamu sedih, menangislah. Jika kamu bahagia, tertawalah. Lakukan apa yang tepat bagimu, sesuai kondisimu di suatu waktu. Jika hal-hal sederhana ini tidak bisa kamu lakukan, berarti kamu belum menjadi manusia. Sedih, bahagia, marah, jatuh cinta, dan-lain emosi adalah manusiawi.” (Arifin Dwi Slamet, 18 September 2021)

“Kebanyakan orang sulit menjadi diri sendiri karena tidak percaya pada diri diri sendiri. Dan percaya pada diri sendiri itu sulit karena sudah bertahun-tahun ditanamkan meme oleh pengajaran dari segala penjuru.” (Arifin Dwi Slamet, 26 September 2021)

“Budaya Timur kita pakai Rasa, sedangkan budaya Barat memuja Raga. Sejak kapan Rasa menyembah Raga? Maaf ya, saya bangga jadi Indonesia!” (Arifin Dwi Slamet, 26 September 2021)

“’Tuhan’ bukanlah sebuah kata yang dengannya manusia mengenalNya, melainkan segala sesuatu yang kita pikirkan dan rasakan, yang kita lakukan atau tidak lakukan.” (Arifin Dwi Slamet, 8 Oktober 2021)

“Prestasi dalam pekerjaan, proyek besar bernilai miliaran, lulus kuliah dengan predikat cumlaude dan pencapaian-pencapaian lainnya bersifat mendapat, yang memberi kesenangan sesaat, Kebahagiaan abadi ada di dalam memberi.” (Arifin Dwi Slamet, 16 Oktober 2021)

“Kata-kata sendiri tidak berdosa. Yang berdosa adalah pikiran orang yang menerimanya sebagai lebih dari sekadar kata-kata.” (Arifin Dwi Slamet, 14 November 2021) 

“Hidup tanpa sejarah adalah seperti tanaman tanpa akar—tidak dapat tumbuh dan berkembang.” (Arifin Dwi Slamet, 11 Desember 2021)

“Mengapa kaum muslim merasa terganggu dengan apa yang diyakini umat agama lain sebagai kebenaran? Itu menunjukkan umat Islam lemah dalam keyakinan mereka sendiri.” (Arifin Dwi Slamet, 27 Desember 2021)©2021

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 31 Desember 2021

Friday, December 10, 2021

Membaca Sejarah

PERKUMPULAN Persaudaraan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (PPK Subud) sebagai organisasi memang baru lahir pada 1 Februari 1947. Belum terlalu tua, dibandingkan perkumpulan-perkumpulan spiritual besar lainnya di dunia, yang bahkan sudah ada sebelum abad pertengahan (dalam sejarah Eropa berlangsung dari abad ke-5 hingga ke-15). Meskipun demikian, PPK Subud memiliki sejarah, sebuah linimasa riwayat kaya cerita yang bukan omong kosong, alias pengalaman nyata dari pendirinya dan generasi pertama—yang menerima Latihan Kejiwaan sebelum organisasi PPK Subud berdiri.

Yang mengetahui segala sesuatu tentang Latihan Kejiwaan hanya Bapak, panggilan para anggota Subud yang dialamatkan, sebagai bentuk hormat dan cinta, kepada Raden Mas Mohammad Soeboeh Soemohadiwidjojo (22 Juni 1901-23 Juni 1987). Karena beliaulah yang pertama kali menerimanya melalui suatu pengalaman gaib. Walaupun tentang hal ini telah berkali-kali Bapak ceritakan, baik di otobiografi beliau maupun ceramah-ceramah beliau, gambaran sejatinya Latihan Kejiwaan belumlah menyeluruh bagi para anggota. Sehingga tak mengherankan bila generasi pasca Bapak mendapatkan penafsiran-penafsiran belaka mengenai Latihan Kejiwaan.

Bapak sendiri juga berulang kali menganjurkan “Latihan saja!” kepada para anggota, agar mereka berangsur-angsur mengerti apakah sejatinya Latihan Kejiwaan menurut kapasitas pengertian masing-masing. Sifat Latihan itu sendiri memang sangat luas, melampaui cakrawala pengetahuan akal pikir manusia. Yang dipahami seseorang pada suatu ketika akan berbeda pada masa yang berikutnya. Namun, perlu diketahui asasnya; dengan membaca sejarah turunnya wahyu Latihan Kejiwaan dapat diketahui mengapa Bapak menerimanya. Setidaknya, hal itu dapat menjadi tolok ukur bagi kita sekarang.

Tidak ada keharusan apa pun di Subud, termasuk mendengarkan rekaman audio/video atau membaca transkripsi ceramah Bapak. Tapi, kalau saya, saya berusaha menggali sebanyak-banyaknya informasi mengenai asal-usul Subud dan Latihan Kejiwaannya, melalui berbagai literatur. Karena bagi saya, dengan mengetahui asal usul sesuatu atau seseorang, bahkan diri kita sendiri, saya menjadi tahu ke mana kehidupan ini mengarah.

Saya menyadari betapa pentingnya membaca sejarah sejak masuk Subud. Membaca di sini bisa berarti “menggunakan mata lahir untuk menelusuri tulisan dalam sebuah naskah” atau “menggunakan mata batin untuk merefleksi diri terhadap orang dan peristiwa” (dalam bahasa Jawa disebut “niteni”) atau kedua-duanya. Walaupun saya pribadi merupakan seorang sarjana strata satu dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, kepedulian saya pada sejarah saya sendiri dipicu dan dipacu oleh kenyataan bahwa Latihan Kejiwaan memperkenalkan saya pada semua hal yang telah diwarisi leluhur saya, mulai dari orang tua saya sampai ke lapisan-lapisan di atas mereka.

Selain itu, saya juga dapat mengetahui apa maksud Bapak sebenarnya dengan sejumlah aspek dari Latihan Kejiwaan. Ada satu mekanisme di Subud yang disebut “testing”, yaitu merasakan baik atau buruknya, manfaat atau mudaratnya, suatu pemikiran atau perkataan, perbuatan atau perasaan. Sebagian pembantu pelatih bersikeras bahwa testing hanya boleh dilakukan dengan didampingi pembantu pelatih dan hanya bila anggota memiliki suatu keperluan—biasanya berupa masalah yang tidak mampu diatasi anggota dengan mengandalkan akal pikir semata.

Melalui memoar Varindra Vittachi dan Husein Rofé, contohnya, yang mengisahkan awal mula Subud, saya menemukan penjelasan asal usul kata “testing”. Pencetus kata itu sendiri adalah John Bennett, pemimpin Gurdjieff di Coombe Springs, Inggris, yang seorang poliglot (mampu menguasai banyak bahasa asing). Sebagai penerjemah Bapak ketika Bapak mengunjungi pertama kalinya Inggris pada tahun 1957, Bennett tidak menemukan padanan istilah yang tepat dalam bahasa Inggris untuk apa yang Bapak katakan sebagai “merasakan diri”, dan spontan menerjemahkannya sebagai “to test yourself” (menguji diri sendiri).

Husein Rofé menulis dalam The Path of Subud bahwa Bapak kerap mengatakan “terima” (receive) untuk apa yang kelak disebut sebagai “testing”. Kedua praktik tersebut, merasakan diri dan terima, telah dibiasakan ke saya oleh pembantu pelatih di PPK Subud Cabang Surabaya yang telaten mendampingi saya sejak saya dibuka. Kedua praktik tersebut telah menjadi otomatis bagi saya, tidak perlu ritual khusus dengan pendampingan pembantu pelatih. Karena, kata Bapak, anggota pada dasarnya harus mandiri, tidak bergantung pada Bapak, Ibu Rahayu atau pembantu pelatih.

Secara kejiwaan maupun dalam kehidupan sehari-hari kita, kita harus terus-menerus membaca sejarah. Sejarah itu penting bagi kita. Karena hidup tanpa sejarah adalah seperti tanaman tanpa akar—tidak dapat tumbuh dan berkembang.©2021

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 11 Desember 2021 

Thursday, December 9, 2021

Sama

“Sebab memang bagi seseorang yang belum mengalami kepuasan di dalam kejiwaan mudah sekali menyamakan ini dengan lainnya, karena lainnya banyak juga yang menampakkan di dalam latihannya serupa dengan kita.”

—Mohammad Soeboeh, Eindhoven, Belanda, 11 Oktober 1957

                          

BEBERAPA bulan lalu, seorang berkebangsaan Melayu yang tinggal di Malaysia menghubungi saya via Telegram. Ia mendapat informasi nomor kontak saya dari satu saudari Subud di Malaysia – seorang wanita Inggris beragama Islam yang sudah menjadi warganegara Malaysia.

Orang Melayu Malaysia itu ingin dapat mengandidat di Subud, tetapi masalahnya sulit mengakses Subud di Malaysia, yang center-nya hanya ada di Kuala Lumpur, yang cukup dekat dengan tempat tinggalnya di Subang Jaya, Selangor, tetapi karena sedang lockdown ia tak dapat bepergian. Selain itu, warga muslim Malaysia dilarang ikut Subud atau perkumpulan-perkumpulan yang dipandang pemerintah sana merupakan sekte atau bagian dari sebuah jalan yang “tidak sejalan” dengan agama Islam.

Dalam obrolan kami, terungkap bahwa ia seorang praktisi qigong, yang sudah cukup lama menekuni sistem kuno dari Tiongkok yang bermanfaat untuk menjaga atau meningkatkan kondisi kesehatan dengan cara mengintegrasikan sikap tubuh, teknik pernafasan dan pemfokusan pikiran itu. Ia menyatakan bahwa, menurutnya, Latihan Kejiwaan, sama dengan sistem Tiongkok yang dianutnya itu.

Saya pun merasakan bimbingan untuk merespons pernyataannya – dalam bahasa Inggris: “Kalau qigong sama dengan Latihan Kejiwaan, mengapa Anda masih ingin Latihan Kejiwaan?”

Si pria Malaysia itu lama tidak menjawab, sehingga saya rasa ia kena skakmat dengan jawaban saya, yang saya sendiri tidak menduganya. Tetapi ia tetap memberi jawaban, dan jawabannya adalah bahwa qigong tidak memiliki aspek spiritual. Dari jawaban itu, saya jadi tahu bahwa ia tampaknya kurang memahami apakah itu “spiritualitas”. Berdasarkan pengalaman saya ketika mempelajari taichi dan meditasi, sebelum saya ikut Subud, “seharusnya” qigong juga merupakan teknik pengembangan spiritualitas, di samping untuk kesehatan. Karena dalam pengertian saya, seseorang yang secara spiritual baik, baik pula kualitas kesehatannya.

Menyama-nyamakan sesuatu yang kita miliki atau bahkan diri kita sendiri dengan apa yang dipunyai atau diri orang lain menunjukkan ketiadaan integritas kita. Bila kita memiliki integritas diri yang tinggi, orang-orang di sekitar kita dapat melihatnya melalui tindakan, kata-kata, keputusan, metode yang kita lakukan, serta hasil yang kita dapatkan. Kita menjadi pribadi yang utuh dan konsisten, sehingga di mana pun dan apa pun kondisinya, diri kita hanya ada satu. Kita menjadi tidak sama dengan orang lain. Di Subud, saya belajar melalui bimbingan kekuasaan Tuhan, untuk menjadi diri sendiri, yaitu menjadi pribadi yang konsisten sepanjang waktu, tidak ikut-ikutan atau meniru gaya hidup orang lain.

Saya pernah beberapa kali ditanya sejumlah orang yang ingin mengetahui tentang Subud. Rata-rata merasa “galau” dengan pernyataan – entah dari mana mereka mendengar atau di mana mereka membacanya – bahwa Subud adalah jalan yang paling benar. Lagi-lagi, saya terbimbing untuk menjawab sebagai berikut: “Kalau Anda merasa Subud adalah jalan yang paling benar, silakan masuk Subud. Kalau Anda tidak merasa begitu, ya tidak usah masuk Subud. Simpel saja kan?!”

Nah, kebanyakan yang bertanya itu minta pendapat saya sendiri bagaimana. Saya menjawab, “Pendapat saya tidak penting. Yang penting itu pendapat Anda sendiri. Jadilah diri sendiri, yakinilah apa yang menurut Anda benar. Hiduplah dengan keyakinan Anda, bukan dengan apa yang menurut orang lain benar.”

Menurut saya, mengapa kita perlu berbeda adalah karena Tuhan menciptakan makhlukNya juga berbeda-beda. Masing-masing orang dibekali sistem hidup yang hanya untuk dirinya. Sistem kesintasan (survival system) yang berlaku bagi satu orang tidak selalu bisa digunakan oleh orang lainnya. Bagi saya, Latihan Kejiwaanlah yang baik dan tepat, namun belum tentu bagi orang lain, meskipun nilai-nilai prinsipal dari susila, budhi, dan dharma mungkin bersifat universal dan baik bagi semua umat manusia.©2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 10 Desember 2021

Monday, December 6, 2021

Jepang Menyerang Pearl Harbor Dengan Petunjuk Dari Amerika


Memperingati 80 Tahun serangan pesawat-pesawat pembom Angkatan Laut Jepang atas pangkalan Armada Pasifik Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, 7 Desember 1941-2021.😔


TIDAK banyak orang mengetahui, bahwa Angkatan Laut Amerika Serikat telah dua kali menggelar latihan perang dengan skenario serangan pesawat pembom musuh atas pangkalan mereka di Hawaii. Saat dua kali latihan penyerangan pangkalan itu digelar, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang membuat catatan. Mata-mata Jepang di Oahu, Hawaii, menyaksikan pesawat-pesawat Amerika menyerang pulau itu dari atas Koolau Range, dan mereka mengirim informasi itu ke Jepang. Sembilan tahun kemudian, para penyerang datang dari Jepang, dan mereka menjatuhkan bom sungguhan.

Pada bulan Februari 1932, perdebatan tentang masa depan kekuatan udara dalam pertempuran modern masih berlangsung. Laksamana Muda Harry Ervin Yarnell (1875-1959) sangat percaya pada kekuatan udara, dan dia mulai membuktikan arti pentingnya kepada Angkatan Laut Amerika Serikat.

Pada Februari 1932, Yarnell memelopori taktik kapal induk dalam latihan yang disebut Latihan Gabungan Besar Angkatan Darat/Angkatan Laut 4 (Army/Navy Grand Joint Exercise 4). Laksamana Muda Yarnell memimpin armada kapal induk dalam upaya untuk menunjukkan bahwa Hawaii rentan terhadap kekuatan udara angkatan laut. Harapan mereka yang mempertahankan pangkalan adalah bahwa Yarnell akan menyerang dengan kapal tempur (battleship), tetapi dia malah meninggalkan kapal tempurnya dan melanjutkan hanya dengan kapal induk ke utara Hawaii di mana kemungkinannya kecil dia akan terdeteksi.

Angkatan Laut AS memiliki tiga kapal induk pada saat itu, tetapi mengecilkan nilai strategis kapal-kapal itu. Kapal tempur masih menjadi primadona dalam perencanaan perang angkatan laut, karena peperangan laut dianggap paling menantang dan keras di laut, sementara penerbangan angkatan laut hanya mendapat peran patroli dan pengintaian.

Yarnell menyusun rencana yang akan menunjukkan apa yang bisa dilakukan pesawat terbang untuk mendukung misi-misi angkatan laut di mana pun. Ketika Pearl Harbor memulai latihan pertahanan tahunannya, Yarnell dan pesawat-pesawatnya berperan sebagai agresor. Dia memilih Minggu pagi, 7 Februari 1932, untuk melancarkan kejutannya dan menyerang pangkalan angkatan laut di pagi hari untuk melumpuhkan pertahanan pangkalan yang tidak siap.

Berlayar hanya dengan dua kapal induk, yaitu USS Saratoga dan USS Lexington, serta beberapa kapal perusak kawal, satuan tugas Yarnell mendekati Oahu dalam kabut tebal dan di tengah malam. 152 pesawatnya diluncurkan tepat sebelum fajar. Ketika matahari terbit, pesawat-pesawat itu muncul di atas pangkalan dari Koolau Range, menyerang pesawat-pesawat yang parkir di darat dan membombardir kapal-kapal yang bersandar di dermaga.

Rencana sang laksamana berjalan lancar tanpa hambatan atau korban. Pangkalan itu sendiri dipenuhi dengan peluru-peluru suar kosong dan karung tepung, senjata pilihan untuk pesawat penyerang. Ini adalah pertama kalinya Pearl Harbor kalah dalam permainan perang tahunan ini.

Lapangan-lapangan terbang angkatan daratlah yang pertama dilumpuhkan, kemudian disusul dengan serangan atas Battleship Row (pengelompokan delapan kapal tempur yang bersandar di dermaga pelabuhan Pearl Harbor), dengan hantaman berkali-kali mengenai kapal-kapal angkatan laut. Para wasit latihan perang Angkatan Laut AS menyatakan serangan tersebut sangat sukses, yang membuat Yarnell sangat yakin bahwa pertahanan Hawaii lemah terhadap serangan mendadak dari udara.

Ini seharusnya menjadi peringatan bagi Angkatan Laut AS – dan Pearl Harbor khususnya. Sebaliknya, Markas Besar Angkatan Laut AS malah meneriakkan kecaman dan menyatakan latihan itu ilegal, serta menyatakan pula bahwa mereka akan benar-benar waspada dan siaga jika Amerika benar-benar sedang berperang. Dikatakan juga bahwa armadanya Yarnell akan diketahui dan mengalami kerusakan atau hancur jika melakukan serangan seperti itu.

Begitulah seterusnya sampai tahun 1938, ketika latihan tahunan diadakan lagi tahun itu. Kali ini, Laksamana Ernest King memimpin kekuatan lawan. Yarnell mengamati gerakan King dengan cermat.

King membawa satu kapal induk dan kapal-kapal perusak kawalnya pada rute dan waktu yang sama. Sama seperti pada latihan yang pertama, pesawat penyerang datang dari Koolau Range dan benar-benar menghancurkan armada di Pearl Harbor. Dan seperti serangan pada latihan yang pertama, Markas Besar Angkatan Laut AS mengklaim taktik itu tidak adil dan memveto hasilnya. Tidak ada yang berubah.

Tidak seperti Angkatan Laut AS, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang memperhatikan latihan yang pertama. Mereka menyaksikan serangan tahun 1932 itu dan mempelajarinya dengan cermat. Laksamana Jepang, Isoroku Yamamoto, juga percaya pada kekuatan udara angkatan laut dan menyusun Angkatan Laut Jepang dengan fokus pada kapal induk.

Ketika tiba saatnya bagi Jepang untuk menyerang Amerika Serikat, Jepang tahu bahwa perang jangka panjang dengan negara adidaya industri yang potensial itu bukanlah perang yang bisa dimenangkannya. Tetapi Jepang berharap bahwa dengan melumpuhkan Armada Pasifik AS, hal itu dapat menjauhkan Amerika dari perang yang permanen.

Jepang menyerang Pearl Harbor pada 7 Desember 1941 dengan menggunakan banyak rencana yang sama yang digunakan Yarnell hanya sembilan tahun sebelumnya; hanya saja Jepang mengerahkan enam kapal induk dan 353 pesawat, banyak di antaranya menghantam pelabuhan dari Koolau Range. Itu terjadi ketika Jepang meluncurkan serangan serentak ke Filipina, Guam, Pulau Wake, Malaya, Singapura, dan Hong Kong.

Serangan Yamamoto memang jauh dari sempurna; ia kehilangan 29 pesawat dan 64 awaknya. Tetapi Jepang setidaknya berhasil menunda atau menghambat respons segera Amerika terhadap aksi militer Jepang di Pasifik.©2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Desember 2021