Wednesday, September 19, 2012

Korelasi


“Setiap orang bisa melihat-lihat mode di butik atau sejarah di museum. Orang yang kreatif melihat-lihat sejarah dan mode di bandara.”
—Robert Wieder


Keponakan saya, anak perempuan berusia delapan tahun dan duduk di kelas 3 sekolah dasar, suatu hari datang bersama ibunya ke rumah saya, di mana saya sedang duduk di belakang meja makan, menikmati sore yang indah bertemankan segelas Ovaltine panas. Di atas meja makan terdapat sebuah sukun rebus dan semangkuk bubuk kedelai berasa pedas yang sebelumnya digunakan sebagai bumbu untuk ketan.

Sukun rebus itu menjadi perhatian keponakan saya, karena itulah pertama kalinya ia melihatnya dan mengetahui bahwa di dunia ini ada buah semacam itu. Ibunya memotong satu bagian kecil agar keponakan saya dapat mencicipinya, namun ia tidak berkenan. Ibunya membujuknya agar ia menyukainya, dengan mengatakan bahwa rasanya gurih dan manis. Karena keponakan saya tetap tidak mau, ibunya pun menyerah dan membiarkan potongan sukun itu di piring kecil di hadapan anaknya.

Lalu, saya perhatikan suatu gejala yang seringkali saya jumpai pada anak-anak yang kreatif nan jenius. Kedua bola mata keponakan saya bergerak dari buah sukun ke mangkuk berisi bubuk kedelai pedas. Begitu seterusnya, bolak-balik selama beberapa saat. Saya yakin, benak si anak sedang berusaha menciptakan korelasi (keterhubungan) yang selaras di antara kedua benda yang dianggap bertentangan itu.

Dugaan saya benar: keponakan saya mengambil potongan buah sukun rebus di piring kecil di depannya dan menyendok bubuk kedelai pedas yang lantas ia bubuhi pada buah sukun itu. Ibunya, yang rupanya tidak sejenius anaknya, hanya melongo dan berkomentar, “Ada-ada aja kamu, Cha. Itu kan bumbu untuk ketan, mosok dicampur dengan sukun?!”

Keponakan saya tidak menggubris ibunya; sukun berbumbu kedelai pedas itu pun meluncur ke mulutnya dan seketika wajahnya berbinar-binar sebagaimana orang yang merasakan lezatnya makanan. Dalam hitungan menit, setengah dari buah sukun, yang tadinya bernasib nahas lantaran tidak ada yang mau memakannya, habis dilahap keponakan saya dengan nikmatnya.

Saya bersyukur, dunia ini masih punya persediaan orang-orang jenius dan kreatif yang selalu melihat korelasi di antara hal-hal yang berbeda satu sama lain, namun menjadi selaras lantaran tindakan tersebut. Dengan demikian, tidak ada yang tidak berguna dalam hidup ini. Tuhan menciptakan segala sesuatunya untuk suatu maksud dan tujuan yang baik!

Sufi Perusahaan
Perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk diselaraskan, sehingga antara hal-hal yang berbeda tercipta harmonisasi lewat tindakan saling melengkapi, sehingga muncullah sikap saling memahami. Tak mengherankan, jika dikatakan bahwa perbedaan itu merupakan rahmat, karena sejatinya di dalam perbedaan itu terdapat kasih-sayang Tuhan kepada makhlukNya.

Beberapa teman saya yang muslim, misalnya, akhirnya berhasil merasakan kekhusyukan dalam salat sejak mereka melihat korelasi antara meditasi ajaran Buddhisme Zen dan sembahyang a la Islam—dan mempraktikkannya. Selain itu, mereka juga mampu merengkuh kesalingpahaman dengan relasi mereka yang berbeda agama, yang merupakan landasan bagi terciptanya toleransi antar-umat beragama di lingkungan mereka. Alangkah dangkal pemikiran mereka yang menyebut korelasi semacam ini ‘percampuran (mixing) yang membahayakan kelangsungan keberagamaan umat’.


Dahulu, pada masa yang telah lama berlalu, spiritualitas hanya merupakan ranah para pencari diri sejati atau Tuhan yang biasanya hanya dilakoni di tempat-tempat yang jauh dari keramaian, seperti hutan, gua atau gunung, atau di rumah-rumah ibadah. Di abad ke-21, yang disebut John Naisbitt dalam bukunya Megatrends 2000 sebagai Abad Spiritual, manusia justru harus berhadapan dengan arus nilai-nilai yang cenderung memacu perolehan materi, yang akhirnya mendorong para pakar manajemen bisnis untuk mulai melihat korelasi antara bisnis dan spiritualitas.


Di Abad Spiritual inilah mengemuka istilah ‘sufi perusahaan’ (corporate sufi), yaitu pribadi-pribadi di perusahaan yang memahami diri mereka sebagai makhluk spiritual yang jiwanya memerlukan makanan di tempat kerja; mengenai pengalaman akan rasa bertujuan dan bermakna dalam pekerjaannya, dan juga tentang mengalami perasaan saling terhubung dengan orang lain dan komunitasnya di dan di luar tempat kerjanya.


Tren yang marak sejak dunia bergeser ke abad ke-21 ini melahirkan apa yang dijuluki CEO Microsoft, Bill Gates, sebagai ‘kapitalisme kreatif’ (creative capitalism), yaitu aksi tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR). Lewat program-program CSR mereka, organisasi-organisasi bisnis kini menyalurkan sekian persen dari keuntungan bisnis mereka untuk membangun komunitas (community development) di mana perusahaan mereka berada dan yang menerima dampak dari operasi perusahaan mereka. Untuk dapat bertahan dan sukses di abad ke-21, para pelaku bisnis yakin bahwa hanya organisasi pembelajar (learning organizations) yang mau mempertanyakan dan menguji alasan bagi eksistensinya maupun metode operasinya.


Beberapa perusahaan besar, seperti Proctor and Gamble, 3M Corporation, Motorola, dan Wal-Mart, memberikan bantuan bagi karyawannya untuk menguji visi pribadi dan nilai-nilai hidupnya, dan peduli sumber daya manusia. Ini berarti bahwa mereka telah menerapkan spiritualitas lewat tema-tema tersebut. The Body Shop dan Harley-Davidson berhasil mengorelasikan secara selaras motif keuntungan bisnis dengan nilai-nilai tanggung jawab sosial dan pekerjaan yang bermakna.



Kreativitas untuk Sintas
Abaikan perusahaan-perusahaan besar; Anda sebagai pribadi pun dapat tumbuh dan berkembang dalam hidup dan kehidupan Anda apabila Anda mampu melihat korelasi yang selaras dalam perbedaan segala sesuatu. Kemampuan untuk melihat korelasi antara hal-hal yang berbeda merupakan tolok ukur kreativitas Anda untuk sintas di tengah kehidupan dunia yang kian kompetitif sekaligus rapuh ini.

Saya beri contoh berdasarkan pengalaman profesional saya: Dahulu, dunia finansial berseberangan bak bumi dan langit dengan dunia sastra. Ketika akhirnya praktisi keuangan melihat korelasi antara bidangnya dengan bidang sastra (menulis)—atau sebaliknya, penulis menekuni bidang keuangan dan bisnis—sebagai dampak dari keterbukaan yang dituntut publik terhadap korporasi bisnis, muncullah yang namanya penulis laporan tahunan (annual report), yang rupanya amat dibutuhkan, namun pada saat bersamaan ketersediaannya amat langka! Bisa Anda bayangkan, betapa kompetitif ‘harga di kepala’ saya dewasa ini selaku penulis materi komunikasi pemasaran dan korporat, yang antara lain mencakup laporan tahunan dan laporan keberlanjutan (sustainability report).


Korelasi menghasilkan terobosan-terobosan di berbagai bidang. Dalam bidang pemasaran, tulis Ippho Santosa dalam Marketing is Bullshit: Meledakkan Profit dengan Kreativitas dan Otak Kanan (2009), terobosan perlu agar konsumen tidak bosan. Di Banyuwangi ada jajanan khas yang dinamai rujak soto, yaitu menciptakan korelasi yang selaras antara rujak cingur dari Surabaya dengan soto daging Madura, yang pada gilirannya mampu menimbulkan pengalaman kuliner yang dahsyat bagi para penyuka jajanan tradisional.


Roger von Oech dalam bukunya, Whack—Pukulan untuk Merangsang Kreativitas dan Ide Baru (2008), menyebut tindakan mengorelasi antara bidang yang satu dengan yang lain sebagai ‘pembuahan silang’, dan mencontohkan, antara lain, terciptanya alat KB oleh seorang dokter kandungan yang berkorelasi dengan dokter gigi, khususnya dalam membuat bentuk dan cetakan!


Jadi, correlate before too late (lakukan korelasi sebelum terlambat)!©




Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 25 September 2011 


No comments: