Monday, March 21, 2022

Kuncinya Hanya Menyerah

NAMA “Arifin” yang kini saya sandang merupakan nama jiwa saya yang diberikan oleh Ibu Siti Rahayu Wiryohudoyo. Email atas nama Ibu Rahayu yang memberi tahu saya mengenai nama tersebut saya terima pada 12 Maret 2018.              

Atas saran seorang pembantu pelatih berkebangsaan Amerika yang tinggal di Florida, Amerika Serikat, saya melakukan testing sendirian, untuk menguji bagaimana pengaruh nama itu bagi hidup dan Latihan saya. Pertanyaannya adalah: Bagaimana Latihan saya selama ini? Bagaimana seharusnya Latihannya “Arifin”?

Saya menerima bahwa nama Arifin yang telah disandangkan pada diri saya telah mempengaruhi Latihan saya sedemikian rupa. Saya rasa, barangkali itulah guna dan keuntungan dari memakai nama Subud.

Testingnya tampaknya telah membuat jiwa saya selalu menghidupkan “Arifin” dalam diri saya, dan secara bertahap menyingkirkan diri lama saya.

Pembantu pelatih Subud Florida, yang menyarankan saya menguji pengaruh perubahan nama saya, pada 13 Maret 2022 lalu, dalam mengomentari postingan saya di grup Facebook “Subud Around the World” memberi tahu saya bahwa makna “Arifin” bukanlah sekadar “orang yang bijaksana”, melainkan “orang yang mengenal Tuhan”.

Sejak menyandang nama Arifin, saya telah bertekad untuk berpikir dan merasakan serta berkata dan berbuat hanya bila bimbingan yang saya terima menghendakinya. Seringnya hal ini menyebalkan bagi sebagian orang, sehingga tidak mengherankan jika tidak sedikit anggota Subud yang menolak melakukan apa yang diperintahkan oleh bimbingan yang mereka terima.

Bimbingan Tuhan, sejauh yang saya alami, tidaklah selalu sejalan dengan yang kita inginkan. Kita ingin yang baik, yang mudah, yang tidak menimbulkan kekhawatiran pada diri kita maupun orang lain. Kita sudah terlalu sering didoktrin mengenai nilai-nilai moral buatan manusia, sehingga kita merasa kita bisa mengarahkan Tuhan untuk memberi kita sejalan dengan apa yang ditentukan oleh nilai-nilai itu. Kita lupa bahwa kita ciptaanNya, bukan sebaliknya, sehingga bisa seenaknya mengatur-atur kehendakNya.

Pada 18 Maret 2022 lalu, saya bangun pada pukul 03.18 WIB untuk melakukan salat Tahajud. Usai salat Tahajud dua rakaat dan berzikir serta melakukan salat Witir satu rakaat, saya tiba-tiba menerima pemahaman bahwa sejatinya kita tidak perlu berusaha, apalagi sampai rasa diri kita tertekan, dalam mendapatkan apa yang kita inginkan. Kuncinya, hanya menyerah saja. Saat menyerah itulah Tuhan membimbing kita dalam segala gerak yang tidak terpengaruh nafsu hati dan akal pikir.

Saya lantas teringat pada pesan almarhum Pak Haji Deddie Pandji, pembantu pelatih senior Subud Bandung, ketika saya berkunjung ke rumah beliau di Cilengkrang, Bandung, pada 14 Februari 2021, dimana saya curhat kepada beliau bahwa saya ingin kaya-raya. Beliau mengatakan bahwa keinginan menjadi kaya tidak diharamkan di Subud. “Mas Arifin tinggal minta ke Tuhan. Tapi setelah itu, lupakan. Mas Arifin cukup menyerah saja. Jangan lantas merasa setiap dapat proyek itulah yang akan membuat Mas Arifin kaya. Sebab kalau begitu, ketika Tuhan mengabulkan permintaan Mas Arifin, Mas Arifin akan menjadi sombong dan merasa kekayaan itu adalah hasil usaha Mas Arifin sendiri,” jelas beliau.

Inilah bedanya dengan ajaran agama. Agama mengajarkan “berusaha dahulu, baru menyerahkan kepada Tuhan”. Subud menjumbuhkan “berusaha sambil menyerah”.

Penerimaan saya pada 18 Maret itu menjawab pertanyaan saya selama ini, mengapa apa pun yang saya upayakan untuk kemajuan perusahaan saya tidak pernah menghasilkan apa pun. Yang terjadi malah saya mendapatkan proyek-proyek dari pihak-pihak yang tidak pernah saya sasar dalam promosi layanan yang ditawarkan perusahaan saya. Di situlah, saya percaya kebenaran dari apa yang pernah disampaikan almarhum Pak Haji Deddie Pandji.

Lha, siang hari pada 18 Maret itu, saya ditelepon oleh pembantu pelatih Subud Surabaya, Mas Heru namanya. Ia menyampaikan hal yang sama, seolah menegaskan bahwa penerimaan saya benar. Kuncinya hanya menyerah. Let go, let God!

Mas Heru juga mengatakan ke saya bahwa ia merasa saya telah mengalami transformasi yang signifikan sejak saya melakukan Latihan sebagai seorang Arifin. Saya tidak menyadarinya; selalu orang lain yang dapat melihat perubahan pada diri kita.©2022


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 21 Maret 2022 

Thursday, March 17, 2022

Kalau Bisa Sulit, Mengapa Harus Mudah?

SAYA bertanya-tanya, siapa sih yang mulai menggagas bahwa pencapaian suatu cita-cita harus dengan usaha yang keras? Apakah itu hukum alam atau kelakuan seseorang yang iseng ngerjain teman atau saudaranya? Saya rasa, kok keinginan apa pun yang kita punya bisa terwujud tanpa perlu ada usaha keras dari pihak kita sendiri. Saya rasa, duduk berpangku tangan dapat “menarik” sesuatu yang kita inginkan agar mendekat ke kita.

Saya melihat pola-pola di dunia ini bahwa sebagian orang suka mempersulit segala sesuatu, yang pada gilirannya akan memberi mereka otoritas, yang dengan itu mereka akan menjadi referensi bagi publik dan dihormati setinggi-tingginya. Mereka hanya butuh popularitas (yang tujuannya tak lain dan tak bukan adalah uang), dan popularitas hanya dimiliki oleh golongan “segelintir” (the few). Agar tidak ada atau berkurang persaingannya, maka sesuatu yang seharusnya mudah harus dibuat sulit. “Kalau bisa sulit, mengapa harus mudah?” demikian prinsip orang-orang yang menyedihkan ini.

Dalam suatu sharing moment, pada 17 Agustus 2017, bertempat di kafe milik seorang saudara Subud di Jl. Caringin Barat, Jakarta Selatan, saya berbagi pengalaman dan pengetahuan yang saya peroleh selama 23 tahun berkiprah di bidang branding kepada saudara-saudara Subud yang berminat. Hadir di antara para peserta satu saudara Subud yang (menurut pengakuannya) memiliki pengalaman pula dalam periklanan sebagaimana saya.

Dalam kesempatan serius tapi santai itu, ditemani steik, camilan, kopi dan aneka minuman segar, saya menyampaikan topik menyangkut ekuitas merek (brand equity), yaitu modal yang harus dimiliki untuk membangun merek (brand building atau branding). Pengalaman selama ini telah mengajarkan saya dan rekan saya sesama praktisi branding berlatarbelakang copywriter (kelak dia juga masuk Subud), bahwa para ahli teori komunikasi dan bisnis telah mempersulit apa yang seharusnya mudah dalam hal membangun merek.

Bersama rekan ini, bertahun-tahun lalu ketika kami bekerja di sebuah biro iklan papan atas di Surabaya, Jawa Timur, kami menyederhanakan teori ekuitas merek menjadi sesuatu yang akan mudah dipahami oleh orang awam atau para pemula. Kami rumuskan teorinya dengan suatu akronim yang terkesan iseng: NAKAL.

NAKAL itu singkatan dari Nama (bahwa produk yang akan dibangun mereknya harus memiliki nama yang mudah diingat dan diucapkan), Awareness (bahwa produk harus disadari eksistensinya oleh calon konsumen), Kualitas yang dipersepsikan (bahwa produk harus memiliki keistimewaan yang membuatnya berbeda dari pesaingnya), Asosiasi (agar produk mudah diingat oleh konsumen, ia harus diasosiasikan/dikaitkan dengan sesuatu yang merupakan tren massal), dan Loyalitas (bahwa produk harus mempertahankan kesetiaan konsumen terhadapnya).

Di tiap aspek dari NAKAL, saya beri contoh-contoh nyata dari kehidupan manusia, tidak melulu terkait dengan pemasaran produk. Bahkan, menurut saya, branding adalah cerminan hidup manusia sejak lahir hingga menjadi dewasa, sehingga dalam seminar-seminar branding yang saya berikan, saya selalu mengajak peserta untuk bercermin pada perjalanan hidupnya sendiri.

Di sesi tanya-jawab, saudara Subud yang merasa berpengalaman dan lebih ahli dari saya menyanggah saya dan seolah menegaskan kepada para peserta, “Nggak segampang itu ya! Ada tahap-tahap yang rumit. Kamu harus riset, harus ini, harus itu. Branding bukan hal yang mudah!” (Ketika sharing moment itu selesai, di parkiran motor, saudara Subud itu berbisik ke saya, memperingatkan saya agar jangan memberi gambaran ke para peserta bahwa branding itu mudah.)

Pada saat itu, saya langsung merasa, itu orang sedang mempertahankan otoritasnya. Ia tidak mau bidang keahliannya dianggap mudah hingga semua orang bisa mengaksesnya, dan dengan begitu ia tidak lagi memiliki otoritas. Hal itu wajar; dalam pemasaran, kita memang harus berjuang agar produk kita “keluar dari kerumunan”, harus unggul di atas yang lain, harus menjadi satu-satunya yang dicari.

Hal ini juga berlaku dalam bidang-bidang kehidupan lainnya. Agama, misalnya, meski nabi yang mengajarkannya telah sering mengatakan bahwa agama yang dibawanya adalah “mudah” (hanya perlu berbuat baik dan jujur), tak pelak oleh para pengikutnya di generasi yang pertama dan berikutnya dipersulit dengan ajaran-ajaran dan ritual-ritual yang tidak murni berasal dari nabi yang membawa agama tersebut pada awalnya.

Dengan ajaran yang dipersulit, agama tersebut menjadi terbatas aksesnya, sehingga golongan yang dapat mengaksesnya akan memiliki otoritas hingga aras yang membuat mereka berkuasa melampaui kekuasaan Tuhan. Inilah yang menjelaskan, setidaknya bagi saya, mengapa agama acap bersentuhan erat dengan politik—karena ada oknum yang bernafsu akan kekuasaan sekaligus dianggap saleh!

Satu saudara Subud, yang pernah magang di biro iklan tempat saya menjadi freelance copywriter, bertanya ke saya, apakah dengan royal berbagi pengetahuan berdasarkan pengalaman saya kepada banyak orang, tanpa bayaran, saya tidak takut kehilangan otoritas dalam bidang saya?

Saya katakan kepadanya bahwa saya sepenuhnya berserah diri kepada Otoritas Tertinggi, yang maha mengatur rezeki bagi hambaNya. Saya katakan juga kepadanya bahwa pengetahuan saya justru bertambah dengan sering-sering membaginya, karena saya menyadari bangsa Indonesia tengah dicengkeram keadaan “darurat membaca”, sehingga mereka yang rajin membaca, mencari informasi dan rajin membaginya kepada orang lain akan terus dipandang sebagai otoritas di bidangnya. Inilah rahasia sukses saya: Berbagilah, maka Anda akan menerima lebih banyak.©2022

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 18 Maret 2022 

Wednesday, March 16, 2022

Kirab ke 14 Hall Subud

Berdasarkan komunikasi saya dengan Erwan Abadi, pembantu pelatih Subud Ranting Sukabumi.


SELAMA 12 hari, berangkat pada 1 Februari 2022, bertepatan dengan HUT ke-75 Subud Indonesia, dua helper dan satu anggota baru dari Cabang Jakarta Selatan, Ranting Sukabumi dan Cabang Bogor berkeliling dengan mobil ke 14 group Subud di Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Barat. Termasuk ke rumah Bapak di Kalisari, Semarang, dan ke kampung kelahiran Bapak di Kedungjati, sekitar 30 menit perjalanan bermobil dari Semarang. Salah satu helper-nya adalah Harris Roberts. Saya tidak ikut, karena sedang banyak pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan selama itu. 

Berkeliling ke grup-grup di berbagai daerah di Indonesia sudah menjadi tradisi sejak masa Bapak. Bapak mewajibkan para helper baru untuk “kirab” (berkeliling) dari satu grup ke grup lainnya. Dalam kirab, seperti yang dilakukan Pak Harris dan Mas Erwan (helper Subud Ranting Sukabumi, Jawa Barat), kita bertemu dengan para anggota, melakukan Latihan bersama, testing (hanya bila ada permintaan semacam itu dari anggota), dan gathering kejiwaan.

Seperti yang diceritakan Mas Erwan ke saya, mereka mendatangi setiap grup tanpa membawa kepentingan dari sisi mereka, tidak mau mengubah perilaku anggota di suatu grup (meskipun sedang ada konflik antar anggota di suatu grup), dan hanya menampung aspirasi dari anggota serta membantu baik helper setempat maupun para anggotanya dalam menemukan jawaban-jawaban atas berbagai hal terkait Latihan dan urusan pengurus grup.

Kirab ini biasanya bersifat aksidental, tidak direncanakan jauh hari sebelumnya, atau bersifat spontan. Saya pernah mengoordinasi 20 anggota dan pembantu pelatih untuk melakukan kunjungan ke lima grup di Jawa Tengah (Ranting Ungaran, Cabang Semarang, Ranting Kedungjati, Cabang Surakarta, dan Cabang Purwokerto) dengan persiapan hanya beberapa hari. Sampai sekarang saya masih takjub atas pengalaman itu.

Saya bertanya ke baik Mas Erwan maupun Pak Harris, apa pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan (frequently asked questions/FAQ) yang diajukan oleh anggota di tiap grup yang mereka kunjungi. Rupanya, FAQ-nya adalah tentang jenis-jenis daya, tentang hubungan Subud dengan agama, dan hal-hal “klenik”, namun tidak ada yang menanyakan ataupun sharing tentang bagaimana Latihan dapat mempengaruhi cara anggota menjalani kehidupan sehari-hari. Memang banyak anggota baru di tiap grup, yang masih “meraba-raba” apa itu Subud dan Latihan Kejiwaan, namun mereka malu atau segan bertanya kepada pembantu pelatih atau anggota yang sudah lama. Pak Harris menyarankan kepada mereka yang mungkin segan bertanya kepadanya, agar menanyakannya ke saya via WhatsApp.

Final leg dari perjalanan kejiwaan tiga anggota Subud dari tiga grup (Jakarta Selatan, Bogor dan Sukabumi) ini adalah di Cuko Coffee & Eatery, sebuah kafe milik sepasang suami-istri yang adalah anggota Jakarta Selatan, beralamat di Jl. Kebagusan Raya Gang Asem. Di kafe ini, Pak Harris meluapkan kepuasan dan kegembiraannya karena telah menuntaskan kirab yang dianjurkan Bapak, sampai ia berdansa dengan semangat dan tidak lelah untuk mendampingi para anggota yang datang ke kafe tersebut untuk Latihan.©2022


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 13 Februari 2022 

Monday, March 14, 2022

Berbuat Sesuatu

TANGGAL 15 Februari 2022 lalu, saat lagi asik menonton televisi, tiba-tiba saya disergap rasa kantuk yang teramat sangat, disusul demam. Tidak ada batuk (kecuali akibat kebanyakan merokok di kafe milik saudara Subud Jakarta Selatan pada 12 Februari 2022), tapi pilek. Istri saya langsung memvonis saya terkena Covid-19 varian Omicron – sesuatu yang sejak awal pandemi tidak saya percayai; Latihan Kejiwaan mengarahkan perhatian saya terhadap pola-pola tertentu, yang sulit saya jelaskan secara runut, tapi itulah dasar dari ketidakpercayaan saya.

Karena itulah, saya harus menjalani isolasi mandiri (isoman) selama dua minggu. Istri saya tidak mau ambil risiko, karena ada anak kecil (anak saya) di rumah, sehingga meskipun masa dua minggu isoman itu sudah terlewati saya masih harus membatasi kegiatan-kegiatan saya yang melibatkan kerumunan.

Lantaran menjadi “tahanan rumah”, yang termasuk menghindarkan saya dari Latihan bersama rutin tiap Selasa malam di Cuko Coffee & Eatery – kafe milik saudara Subud di Jl. Kebagusan, Pasarminggu, dan Kamis malam di Wisma Subud Cilandak, saya menjadi amat bosan. Bermedia sosial lewat ponsel cerdas saya menjadi salah satu hiburan saya, selain mendengarkan MP3 Gambang Bapak dan ceramah-ceramah Bapak. Latihan Kejiwaan saya lakukan di kamar isolasi saya “bersama” alam semesta pada hari-hari Latihan yang reguler di Cabang Surabaya, cabang asal saya, yaitu Senin dan Kamis.

Pada 7 Maret, saya merasa sangat bosan dengan kenyataan saya terkurung dan terbelenggu oleh pembatasan kegiatan oleh istri saya. Saya lalu curhat kepada Jiwa saya, “Kalau di rumah terus dan tidak ada teman bicara dari kalangan saudara Subud, bagaimana saya bisa memperoleh pengalaman kejiwaan?”

Saya menerima kemudian bahwa saya harus salat lima waktu, salat sunah sebelum salat Subuh dan sesudah salat Magrib, serta salat Tahajud di sepertiga malam. Saya tentu saja mendebat Jiwa saya: Kalau untuk menyembah Tuhan saya emoh melalui salat, karena salat hanya untuk orang yang beragama Islam.

Dijawab oleh si Jiwa: “Salat bukan untuk menyembah Tuhan, melainkan untuk terjalinnya hubungan saya dengan diri sendiri. Menyembah Tuhan hanya bisa, dan satu-satunya, melalui Latihan Kejiwaan. Hakikat salat, yaitu untuk berhubungan dengan diri sendiri, bisa dicapai bila tidak menjadikan salat sebagai kewajiban, melainkan sebagai kebutuhan. Salat yang khusyuk didapat oleh mereka yang menjadikan salat sebagai kebutuhan. Dan sejatinya salat adalah untuk semua umat manusia, tidak pandang apa agamanya, karena salat sebagai kebutuhan merupakan hak semua orang.”

Si Jiwa juga memberi tahu saya bahwa pengalaman-pengalaman kejiwaan akan saya dapatkan bila saya salat sebagai kebutuhan.

Sejak hari itu, saya pun menunaikan salat lima waktu, salat sunah sebelum salat Subuh dan sesudah salat Magrib serta salat Tahajud di sepertiga malam. Karena saya (atau Jiwa saya) membutuhkannya. Dan, benar saja, begitu banyak pengalaman dan pemahaman kejiwaan yang saya peroleh dari salat-salat itu. Semuanya terasa khusyuk!

Karena sifatnya kebutuhan, semua salat yang saya lakukan selalu diiringi perasaan sabar, tawakal dan ikhlas. Dengan perasaan sabar, tawakal dan ikhlas, masuklah Latihan, mengisi gerak salat saya. Puji Tuhan!

Ketika pada 12 Maret 2022, malam, saya ceritakan pengalaman ini kepada Pak Harris Roberts, pembantu pelatih senior Subud Jakarta Selatan, di Cuko Coffee & Eatery, beliau berkomentar bahwa untuk memanifestasikan penerimaan Latihan Kejiwaan kita memang harus berbuat sesuatu. Jika malas-malasan, jiwa kita akan tertidur, akan menjadi tumpul dan hidup pun akan terasa membosankan. Jadi, kita harus berbuat sesuatu untuk membuat Latihan kita lebih berarti dalam hidup di dunia ini.©2022


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 13 Maret 2022