Friday, October 16, 2020

Berani Tampil

KAMIS, 15 Oktober 2020, lalu, saya mengomentari postingan seorang teman di akun Facebook-nya tentang Public Speaking, tentang banyaknya orang yang begitu takut ketika harus bicara di depan umum, dan doa dari Muhammad PBUH untuk mengatasi rasa takut itu. Komentar saya berupa pemaparan sebuah pengalaman pribadi pada tahun 2003 yang berujung dengan saya masuk Subud...

Di bangku sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, saya paling takut disuruh nyanyi atau berbicara depan kelas. Salah satu alasan saya pindah dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta, UNJ) ke Universitas Indonesia pada tahun 1987 adalah kekhawatiran saya akan keharusan saya menjadi guru yang tugasnya adalah mengajar di depan kelas. Matakuliah wajib di IKIP yang ada praktik mengajarnya saya bolosi berkali-kali.                                                                                                       

Saya mulai harus menekan ketakutan saya setelah bekerja di dunia periklanan di mana saya harus sering mempresentasikan ide di depan klien. Momen itu selalu saya lalui dengan kikuk dan gemetar sehingga penyampaian saya buruk, dan saya pun dicecar pertanyaan-pertanyaan klien yang seringnya tidak bisa saya jawab.

Pengalaman pertama presentasi lancar saya adalah pada bulan September 2003, di kantor lembaga amil zakat, infak dan sedekah nasional (LAZNAS) Provinsi Jawa Timur, yaitu Yayasan Dana Sosial al-Falah (YDSF), dengan mempresentasikan konsep dari delapan iklan cetak LAZNAS tersebut untuk kampanye iklan selama bulan Ramadan tahun 2003. Mitra saya yang juga pembantu pelatih Subud Cabang Surabaya menenangkan saya: “Kamu serahkan aja semua kepada Tuhan.” Saya hanya disuruh memejamkan mata dan menenangkan diri sejenak, di mana saat itu saya menerima vibrasi dan sensasi setrum di sekujur badan saya. Berangsur-angsur namun cepat, pikiran saya pun mulai jernih. Tiba-tiba, saya merasa ada suatu eksistensi maha besar duduk di sebelah saya, seperti merangkul saya dan menyemangati saya: “Tenanglah, Aku bersamamu. Sekarang, lakukan presentasimu.”

Saat saya melakukan presentasi, saya melihat bagaimana mulut dan gestur tubuh saya berada di luar kendali saya. Ucapan saya lancar, tak terpikir, mengalir begitu saja. Di akhir presentasi saya, wajah klien tampak bersinar, matanya berbinar dan berucap singkat, "Pak, saya approve semua konsep iklannya!" Mitra saya sampai terbengong-bengong, pasalnya dia belum pernah mengalami suatu pekerjaan di-Acc klien di meja rapat pada presentasi pertama!

Meninggalkan kantor YDSF, mitra saya mengajak saya makan bakso di seberang kantor klien. Dia tanya apa yang barusan saya alami. Saya benar-benar terpesona dengan pengalaman itu. Mitra saya berkata, “Itulah yang aku selalu alami lewat Latihan Kejiwaan Subud.”

Kampanye iklan YDSF selama bulan Ramadan tahun 2003 itu pun berdampak dahsyat: LAZNAS itu berhasil menghimpun dana dari zakat, infak dan sedekah senilai Rp1,8 miliar pada malam takbiran dan yang datang menyetorkan uang bukan hanya muslim tapi banyak juga yang non muslim. Mitra saya bertanya ke seorang wanita Tionghoa tua yang membawa Rp100 juta dalam tas kresek, kenapa ia terdorong menyedekahkan uangnya ke YDSF. Si wanita beragama Konghucu itu mengatakan bahwa perasaannya sangat tersentuh oleh iklan-iklannya (yang saya buat juga dengan bimbingan dari Sumber Gaib tersebut). Sekitar dua minggu setelah Lebaran tahun 2003, saya pun masuk Subud. Kesaksian saya akan kebesaranNya sudah lebih dari cukup. Dan sejak itu, bermodal bimbinganNya, saya tidak pernah takut lagi tampil bicara depan umum.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 17 Oktober 2020

Wednesday, September 16, 2020

A BRIDGE TOO FAR: Operasi Market Garden 17-26 September 1944

ARTIKEL pertama saya yang pernah dimuat di media massa cetak berjudul “A Bridge Too Far”, pada tahun 1992. Artikel itu dimuat di majalah Teknologi & Strategi Militer (TSM) terbitan Penerbit Sinar Harapan, dan mengulas tentang Operasi Market Garden pada 17 hingga 26 September 1944. Judul artikel itu saya petik dari film produksi tahun 1977 besutan sutradara kenamaan Richard Attenborough, dan dibintangi aktor-aktor kawakan seperti James Caan, Michael Caine, Sean Connery, Gene Hackman, Anthony Hopkins, Ryan O’Neal, dan Robert Redford.

“Market Garden” adalah nama sandi operasi militer berupa aksi lintas udara (airborne) atau penerjunan pasukan payung serta pendaratan pasukan yang diangkut dengan pesawat layang (gliderborne) Sekutu di Negeri Belanda, yang dicatat dalam Guinness Book of World Records sebagai “invasi lintas udara terbesar dalam sejarah militer” (the largest airborne invasion in military history).

Mewakili ambisi Jenderal Inggris, Bernard L. Montgomery, untuk segera mengakhiri Perang Dunia II di Eropa, dengan menaklukkan jantung Jerman melalui “gerakan kipas” (fan-like movement) atau peningkaran (envelopment) lewat penciptaan posisi sayap (flanks) di Negeri Belanda, Market Garden digelar pada 17 September 1944, dengan mendaratkan pasukan payung berkekuatan lebih dari 40.000 prajurit ke koridor Eindhoven-Nijmegen-Arnhem. Berujung tombak dua divisi lintas udara Amerika Serikat (82nd dan 101st) dan satu divisi lintas udara Inggris (1st), pendaratan dari langit ini juga melibatkan unit-unit kecil dari Kanada, Belanda, dan Polandia.

Pasukan Sekutu menghadapi perlawanan yang keras dari pasukan Jerman yang didukung tank dan kendaraan tempur lapis baja lainnya—hal mana tidak dipunyai pasukan Sekutu, mengingat operasi lintas udara harus serba ringan dalam logistik pendukung tempurnya. Pasukan lapis baja Sekutu bergerak lewat darat, mengakses wilayah Belanda dari Belgia, namun karena menghadapi gempuran hebat dari tentara Jerman bersenjatakan meriam anti tank, dukungan lapis baja terlambat memberi bantuan tembakan dan perlindungan kepada satuan-satuan lintas udara yang telah mendarat.

Misi yang diemban Operasi Market Garden adalah merebut dan menguasai jembatan-jembatan di koridor Eindhoven-Nijmegen-Arnhem sebagai bakal jalur logistik Sekutu ketika menyerang Jerman di jantungnya. Perencanaan dan persiapan yang tergesa-gesa, ketiadaan dukungan udara, artileri, dan lapis baja yang memadai merupakan penyebab utama dari kegagalan Operasi Market Garden—sebuah pelajaran berharga yang dijadikan pedoman dalam operasi-operasi militer yang menggunakan lintas udara pasca Perang Dunia Kedua.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 17 September 2020

Peta medan tempur Operasi Market Garden.


Jembatan John Frost di Arnhem, Negeri Belanda, kini. Diperjuangkan mati-matian untuk direbut dari tangan tentara Jerman oleh 745 prajurit lintas udara Inggris yang dipimpin Letnan-Kolonel John Frost selama Operasi Market Garden 17-26 September 1944, jembatan ini diganti dengan yang baru setelah yang lama hancur dalam pertempuran tersebut. Dalam pertempuran tidak seimbang itu, pasukan di bawah komando Frost yang bersenjata ringan harus menghadapi pasukan lapis baja Jerman dari II SS Panzerkorps. Setelah empat hari bertahan, Frost dan sekitar 100 prajuritnya yang tersisa menyerah. Kegigihan Frost dan anak buahnya membuat jembatan barunya dinamai “John Frost” (John Frostbrug).


Pasukan dari Batalyon Parasut ke-2 Inggris, “The Red Devils”, di bawah komando Letnan-Kolonel Frost, yang bertahan di sebuah bangunan rumah bertingkat di ujung utara Jembatan Arnhem. Tampak seorang prajurit Jerman mengibarkan kain putih, isyarat gencatan senjata, untuk menawarkan kepada pasukan Inggris agar menyerah.





Monday, September 14, 2020

Integritas Sebagai Orang Subud

 SEMALAM (14 September 2020) hingga dini hari, 15 September 2020, tadi, saya berada di teras rumah Pak Harris Roberts, salah satu pembantu pelatih Subud Cabang Jakarta Selatan yang berkebangsaan Amerika, di kompleks Wisma Subud Cilandak, ditingkahi hujan deras yang menambah keasikan mengobrol. Kopi dan rokok ikut menemani.

Pak Harris mengungkapkan apa yang membuat beliau begitu mencintai Bapak Muhammad Subuh. Yaitu sikap Bapak yang apa adanya, jujur dan tidak menahan diri untuk mengatakan apa yang harus dikatakan. Bapak tidak—meminjam idiom bahasa Inggris yang digunakan Pak Harris—“sell his soul to anyone” (tidak menjual jiwanya kepada siapa pun, artinya tidak membiarkan diri diperbudak kehendak orang lain), sehingga selalu bebas dari kekangan apa pun.

Memang, di akhir ceramah atau obrolan, kisah Pak Harris, Bapak selalu minta atau mohon dimaafkan atas kata-kata beliau yang membuat para pendengar tidak berkenan. Kebanyakan kita tidak berkenan terhadap kenyataan diri kita sendiri, apalagi diungkapkan oleh orang lain.

Mendengar cerita Pak Harris itu, saya merenungkan apa yang sudah lewat, apa yang saya alami: Kita umumnya membiarkan diri terkekang pada aturan (dalam buku Varindra Vittachi, disebutkan Bapak bercerita tentang aturan: Dibuat oleh manusia tapi manusia kemudian menghamba pada aturan dan tidak mampu mengatasinya), pada penilaian orang lain, pada kehendak kita sendiri untuk jaga image (ja’im), serta ketakutan-ketakutan lainnya yang mengada-ada. “Saudara masuk Subud untuk mengenal diri sendiri, menjadi diri sendiri,” kata Pak Harris mengutip Bapak. Kalau para pembantu pelatih dewasa ini membidahkan ucapan Bapak menjadi “untuk menjadi orang baik”.

Tidak sedikit orang yang katanya sudah menerima Latihan Kejiwaan, yang katanya hakikat itu, dalam diskusi terbuka di media apa pun menyatakan “No comment deh”. Bisa jadi karena takut ditantang balik oleh orang yang “tersenggol” oleh komentarnya, atau takut dipandang berbeda dan nyeleneh, atau takut dianggap tidak bersusila, berbudhi dan berdharma. Sikap “no comment” sesungguhnya menandakan bahwa kita tidak memiliki integritas, tidak mampu menjadi diri sendiri.

“Menjadi diri sendiri” tidak ada hubungannya dengan menjadi bebas sekehendak hati. Menjadi diri sendiri, kembali dikutip Pak Harris dari Bapak, datang dengan tanggung jawab. Jadi, bila menyatakan “No comment deh” artinya kita tidak siap bertanggung jawab. Dan perilaku tidak bertanggung jawab sama sekali tidak mencerminkan orang Subud.©2020


Tangerang Selatan, 15 September 2020

Monday, August 31, 2020

Setelah Setahun

Saya di depan rumah milik sendiri yang saya dapatkan
dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa.


HARI ini, 1 September 2020, genap satu tahun saya sekeluarga menempati rumah milik sendiri di kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten. Seorang helper Subud Jakarta Selatan berseloroh ke saya, ketika rumah itu tengah dibangun, “Kamu curang! Orang lain beli rumah dengan usaha sendiri, kamu malah mendapatkannya dengan bimbingan Tuhan.”

Rumah saya ini mungil tapi cukup besar untuk keluarga kecil saya, menyediakan ruang cukup luas untuk Nuansa tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang nyaman. Untuk mendapatkannya, saya dan istri harus melalui proses panjang dan cukup rumit, bermula dari “penerimaan” saya tahun 2018 bahwa saya dan istri harus mulai mencari rumah yang kami miliki sendiri—bukan kontrakan atau rumah peninggalan orang tua kami.

Semula, pilihan kami jatuh pada sebuah rumah Tipe 97 di sebuah klaster baru di kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat. Namun, seberapa pun gigihnya kami berjuang mendapatkan rumah tersebut melalui fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) dari masing-masing dari delapan bank negara dan swasta nasional yang bekerja sama dengan pengembang, selalu jalan buntu yang kami hadapi. Para eksekutif pemasaran yang bekerja untuk pengembang tampaknya tidak membantu kami secara maksimal—belakangan, kami tahu bahwa mereka pegawai tetap dengan gaji bulanan, sehingga bekerja santai, tidak mau mencurahkan energi buat membantu calon pembeli.

Saya nyaris putus asa, tapi kemudian “mendengar” suara diri sendiri agar jangan menyerah, tapi berserah dengan sabar, tawakal, dan ikhlas. Hal itu saya dan istri lakukan. Satu per satu, dinding-dinding yang menghalangi jalan kami mulai roboh, dan terbuka jalan lurus ke arah yang kami harapkan. Entah dapat nomor istri saya dari mana, seorang agen pemasaran perumahan lepas (freelance) mengirim pesan WhatsApp ke istri saya, menawarkan rumah di satu klaster di Cinere. Kami pun menemuinya dan bersamanya meluncur ke lokasi klaster yang sedang dalam tahap pembangunan itu.

Rumahnya asik, berlantai satu, tapi jalan menuju ke lokasi seperti labirin dengan banyak belokan, yang tidak dapat saya hapal dengan mudah. Istri pun sepikiran dengan saya, sehingga ia bertanya kepada si agen pemasaran, apakah ada pilihan lain. Si agen berpikir lama, lalu berkata, “Ada satu klaster yang juga lagi dibangun, Bu. Satu rumah sudah selesai dan sudah ditempati. Ibu dan Bapak bisa lihat lokasinya sekarang, kalau mau.”

Tentu saja kami mau. Kami sudah “kebelet” ingin pindah ke rumah milik sendiri di akhir tahun 2018 atau awal tahun 2019. Selain itu, sewa rumah kontrakan kami di Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, sudah berakhir akhir Juni 2018, tetapi pemiliknya memberi kami batas maksimal hingga akhir Januari 2019. Memiliki rumah sendiri didasari keinginan kami untuk menetap tanpa diusik pemikiran untuk mencari rumah kontrakan lain selama jangka waktu tertentu, untuk kemudian pindah lagi. Hal itu cukup merepotkan! Si agen pun menuntun kami ke kawasan Pondok Cabe, dekat area Lapangan Terbang Pelita Air Service, yang begitu familiar bagi saya. Sebuah lokasi di belakang perumahan penduduk asli Jalan Pondok Cabe III sedang dikembangkan menjadi sebuah klaster yang terdiri dari tujuh rumah (saya lantas mengaitkannya dengan tujuh lingkaran lambang Subud dan tujuh sebagai angka keramat dalam tradisi spiritual universal).

Entah mengapa atau apa, saya dan istri segera merasakan aura atau energi positif bahwa di klaster itulah kami akan membangun rumah milik sendiri. Di tengah proyek konstruksi yang masih berantakan, dan belum memberi gambaran jelas tentang bagaimana lingkungan hunian tersebut jadinya, kami bisa melihat secara gaib bentuknya. Hal itu memberi kami kepastian yang kuat untuk segera mengurus dokumennya, mengajukan permohonan KPR kepada Bank BTN, dibantu oleh si agen yang mau berjuang untuk itu. Teriring keterkejutan kami, kurang sebulan kemudian, si agen menginformasikan bahwa Bank BTN setuju untuk memberi kami KPR. Puji Tuhan!

Selama proses pembangunannya berjalan, saya bersama istri dan Nuansa menunggu dengan sukacita di sebuah rumah kontrakan mungil di Jalan Pondok Cabe III juga, hanya berjarak sekitar 200 meter dari lokasi klaster tersebut. Selama proses pembangunan, secara berkala saya dan istri meninjau lokasi. Berbeda dengan para pembeli lainnya, kami diperlakukan istimewa oleh pengembang. Pengembang memberi kami kebebasan untuk mengarahkannya tentang bagaimana bentuk fasad dan interior rumah idaman kami, suatu privilese yang tidak ia berikan kepada para pembeli lainnya, meskipun mereka membelinya secara tunai.

Kami juga mendengar cerita-cerita ajaib dari para kuli bangunan yang mengerjakan konstruksi rumah kami dan lima rumah lainnya di klaster itu. Mereka merasa suasana sejuk dan nyaman di rumah itu, meskipun belum selesai pembangunannya, sehingga para kuli itu selalu tidur di bangunan rumah yang akan menjadi milik kami. Mungkin itu pula yang dirasakan si helper Subud yang berseloroh ke saya tadi: Rumah kami diberkatiNya!

Pada 1 September 2019, sedari pagi istri saya sudah sibuk mengatur pindahan barang-barang kami ke rumah yang baru. Satu truk berukuran besar memboyong perabotan kami dari rumah kontrakan di Pondok Cabe III serta sebagian lagi dari rumah orang tua saya di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, yang saya titipi barang yang tidak muat di rumah kontrakan baru kami di Pondok Cabe III. Sedari pagi, saya telah membawa Nuansa ke rumah baru kami. Menginjakkan kaki pertama kali di lantai ruang tamu rumah tersebut, Nuansa berseru, “Ini lumah Nuanta, Papoy!”

Saya menahan haru mendengar ucapan putri kecil saya itu. Saya pernah bertekad dan mohon pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa agar saya dapat memberikan yang terbaik kepada Nuansa yang Ia titipi ke kami.

Ajaibnya, pada waktu saya dan Nuansa baru menjejakkan kaki di rumah baru kami, satu helper dari Subud Cabang Pati menelepon saya, menanyakan kabar dan saya sedang apa. Saya ceritakan bahwa saya sedang pindahan rumah. Pesan si helper, agar saya rutin melakukan Latihan Kejiwaan di rumah tersebut, karena menurut rasanya, rumah baru kami itu merupakan wujud kemurahan Tuhan atas diri kami. Setelah setahun, saya dapat memastikan bahwa ucapan si helper benar adanya.©2020


Tangerang Selatan, 1 September 2020

Sunday, August 23, 2020

Terpapar Sinar Matahari yang Sejuk



HARI Sabtu, 22 Agustus 2020, saya bersepeda motor sendirian ke Bogor, ke rumah adik saya di Bumi Indraprasta II. Saya ke sana untuk membantu adik membereskan koleksi buku anak-anaknya, dan untuk mengambil buku-buku bacaan kanak-kanak bekas pakai anak-anaknya yang diserahkan adik saya ke Nuansa.

Bukan hanya membersihkan lemari buku tersebut yang telah berdebu, saya juga mengelap satu per satu bukunya yang juga telah berselimut debu, dengan tisu basah. Saya mengerjakannya di bagian atap rumah adik saya yang datar. Mulai bekerja sejak jam 9.00, matahari yang perlahan meninggi membuat suasana di atap itu panas; saya sekalian berjemur, yang telah menjadi kebiasaan banyak orang sejak pandemi COVID-19 merebak.

Ajaibnya, keringat saya tidak deras dan badan saya berasa sejuk. Sinar matahari yang mengenai anggota badan saya yang terbuka juga tidak berasa panas. Yang saya rasa cukup aneh adalah kenyataan bahwa saya menikmati benar momen itu. Perasaan sukacita meruyak, membuat saya tak lelah sedikit pun saat bekerja. Saya juga mendendangkan sejumlah lagu lokal maupun internasional, yang dalam keadaan “biasa” saya tidak bisa melagukannya, bahkan tidak tahu liriknya.

Salah satu lagu yang saya dendangkan sambil bekerja adalah Looking Through the Eyes of Love yang dipopulerkan Melissa Manchester untuk soundtrack film Ice Castles (1978).

Please, don’t let this feeling end
It might not come again
And I want to remember
How it feels to touch you
How I feel so much since I found you
Looking through the eyes of love...”

Adik saya, yang mendengarkan sambil lalu, merasa janggal mendengar saya menyanyikan lagu tersebut, karena lagu itu menurutnya bukan jenis yang saya suka.

Why are you singing that song?” tanya adik saya sambil menerima buku-buku yang telah saya lap bersih.

Why not?” jawab saya.

Well, that’s not your kind of song, as far as I know,” kata adik saya. Kami memang kerap berdialog dalam bahasa Inggris atau Belanda.

Says who?" kata saya. Tapi saya membenarkan anggapan adik saya. Lagu itu keluar begitu saja dari mulut saya, jadi saya kemudian bilang ke adik saya, “Keluar begitu saja dari dalam saya, jadi ya saya nyanyiin.”

By the way, kamu nggak kepanasan? Kamu kok juga nggak keringetan?” tanya adik saya kemudian. Saya juga merasa aneh, pasalnya saya terpapar sinar matahari yang terik, tapi badan saya terasa sejuk. Saat itulah, saya tersadar, saya menerima Latihan Kejiwaan. Pantas saja, kerjanya terasa asik, sejuk dan penuh inspirasi.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 24 Agustus 2020

Tuesday, August 4, 2020

106

Pintu Ruang 106 Wisma Indonesia



Fasad rumah bernomor 106 di Jl. Margodadi III Surabaya



HAMPIR dua bulan belakangan ini, saya melakukan Latihan Kejiwaan bersama 11 saudara sejiwa di Wisma Indonesia Ruang 106, kompleks Wisma Subud Cilandak, Jl. RS Fatmawati No. 52, Jakarta Selatan (dibagi dua-tiga shift). Sebuah ruangan berukuran 6 x 7 meter—tidak sebesar dan seluas Hall Latihan Cilandak yang mampu menampung +500 orang. Tapi kami berdua belas menggunakannya (dan merawat serta melakukan perbaikan-perbaikan fisik dengan dana yang disumbangkan oleh salah satu dari kami), karena hingga kini Hall Latihan ditutup dengan alasan protokol anti Covid-19.

Ajaibnya, meskipun tidak luas, masing-masing dari kami merasakan energi kuat yang dipancarkan ruangan tersebut, entah karena apa. Ajaibnya lagi, nomor ruangannya—106—sama dengan nomor rumah di Jl. Margodadi III, Surabaya, yang pernah saya sewa sebagai tempat tinggal saya dan istri dari tahun 2004 hingga 2006, dan sekarang telah bertransformasi menjadi tempat Latihan Kejiwaan dari Kelompok Subud Surabaya Barat, yang juga memberi rasa akan energi kuat yang menenteramkan.

Ada apa di balik angka 106? Saya tidak tahu. Satu saudara Subud yang juga aktif berlatih kejiwaan di R. 106 Wisma Indonesia secara bercanda menjawab: “1+0+6 = 7... melambangkan tujuh lapis langit dan tujuh lingkaran lambang Subud.”©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 4 Agustus 2020

Thursday, July 30, 2020

Catatan Covidul Adha 1441 H./2020


SAYA berhenti makan daging kambing sejak tahun 1982, setelah menyaksikan penyembelihannya pada Hari Raya Idul Adha tahun itu.

Sebelumnya saya doyan daging kambing. Tapi daging sapi dan ayam pun saya jauhi bila saya menyaksikan penyembelihannya. Caranya seringkali tidak manusiawi (inhumane); mungkin karena begitu banyaknya, sehingga penjagal berlaku layaknya mesin yang tidak punya emosi.

Yang paling dianjurkan adalah penjagal harus dalam keadaan rasa diri yang tenang, berserah diri dengan perasaan ikhlas dan tawakal. Saya pernah menyaksikan penjagal seperti itu, yang secara ajaib membuat si hewan pun "pasrah" mempersiapkan dirinya untuk disembelih.

Bagaimanapun, saya masih mengonsumsi daging sapi, ayam, bebek, dan ikan—dalam kadar yang tidak melampaui batas. Buddha Gautama pun masih makan daging hewan; yang beliau larang adalah menyiksa hewan untuk kesenangan/hiburan belaka.

Setiap kali saya (terpaksa) menyaksikan penyembelihan hewan yang dilakukan secara tidak manusiawi, saya teringat pada iklan layanan masyarakat dalam buku The New York Festivals 1995 ini.



GPR 3, Tangerang Selatan, 31 Juli 2020

Friday, July 24, 2020

Berkoneksi Dengan Inti Terdalam


MAKAN merupakan kegiatan yang menyenangkan. Terlebih bila suasana hati kita sedang senang. Bagi saya, yang membuat suasana hati jadi senang adalah pengalaman dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Esa, dalam situasi yang tidak menyenangkan sekalipun. Seperti kemarin siang (Jumat, 24 Juli 2020).

Kemarin siang, tiba-tiba rumah saya disantroni seorang freelancer yang, lantaran termakan nafsu daya rendahnya sendiri, menuntut bayaran yang melampaui seharusnya. Dengan tampang beringas, dia siap meledakkan amarahnya dan menghantam saya dan istri. Saya terkejut melihat matanya merah seperti orang baru mengisap ganja dan wajahnya lebih gelap daripada biasanya.

Si freelancer sudah saya bayar honornya beberapa bulan lewat, dengan potongan yang tidak signifikan, karena secara sepihak dia telah membatalkan tanggung jawabnya atas dua pekerjaan yang sedang berlangsung, sementara saya dikejar tenggat waktu dari klien-klien. Akibat perbuatan tidak profesionalnya, saya dirugikan secara moril dan materi: Saya mendapat keluhan dari klien dan saya harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk mendapatkan pengganti si freelancer—yang merupakan pekerjaan tidak mudah, karena selain aspek teknis, chemistry juga penting.

Saya dan istri hanya menenangkan diri saat si freelancer yang sedang “spaneng” menyemprot kami dengan kata-kata tak pantas, yang menunjukkan ketidakdewasaannya (usia sekitar empat puluhan awal, sudah menikah dan memiliki anak usia 2,5 tahun). Di balik dada saya hanya menggema suara diri: “Tuhan, Tuhan, Tuhan” terus-terusan, dan “Ayo, praktikkan sabar, tawakal, ikhlasnya”—yang dapat saya jangkau tanpa usaha sama sekali. Dia nyerocos terus, dengan suara keras, yang saya rasakan merupakan cara spontan dia untuk menutupi kesalahannya, serta kualitas pribadinya yang rendah untuk mendapatkan apa yang dia kehendaki: Uang lebih banyak!

Sebaliknya, dia berbicara seolah saya dan istri yang salah sehingga dia menuntut uang dari kami. Dia bilang bahwa uang tidak ia pentingkan, hanya jawaban pasti bahwa dia akan dibayar atau tidak; kalau tidak pun, dia tidak apa-apa. “Tapi karena Mas dan Mbak tidak menjawab telpon dan pesan-pesan WhatsApp saya, saya kan jadi spaneng. Akhirnya, ya saya minta uang!”

Saya setuju untuk memberi yang dia mau, meski dia sudah merugikan saya secara moril dan materi. Karena saya yakin, “Gusti Allah ora sare” (Tuhan tidak tidur). Ajaibnya, sejak dia datang dengan tiba-tiba ke rumah saya hingga dia pergi (tanpa minta maaf dan tidak pula bilang terima kasih), saya hanya merasakan kedamaian luar biasa, lerem luar-dalam, setelah saya berkoneksi dengan Inti Terdalam. Istri pun mengalami hal yang sama. Mengiringi kepergiannya, saya hanya berucap pelan, “Hati-hati di jalan, ya.”

Dengan ke-lerem-an kami, baik saya maupun istri dapat dengan cepat melupakan kejadian itu. Terlebih setelah satu saudara Subud yang melakoni usaha kuliner meminta saya menjadi tester atas rasa baru dari sajiannya. Kiriman makanan darinya (yang berkesanrasa Jepang) via ojek daring melengkapi rasa syukur saya dan istri atas apa yang telah kami lalui kemarin. Puji Tuhan!©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 24 Juli 2020

Thursday, July 23, 2020

Pengajian Semasa SMP


SEMASA sekolah menengah pertama (SMP), saya bersama Aprilsyah, anak asuh orang tua saya, diikutkan pengajian mingguan di rumah warga satu kompleks tempat tinggal kami. Saya sejak pertama kali mengenal yang namanya pengajian sebenarnya sudah emoh—saya paling malas belajar agama yang kebanyakan teori, tanpa aplikasi. Tapi pengajian semasa SMP itu menggugah saya, yang mengubah pandangan saya terhadap agama, dan mengarahkan saya ke perjalanan ruhani dengan tanya-jawab batin yang tak berkesudahan, namun asik.

Pengajian itu diikuti sepuluh anak sebaya saya, diajar seorang ustad yang sudah sepuh dan mumpuni ilmu agamanya. Namanya anak SMP, tentu sukanya bercanda dan bermain, tidak sepenuhnya menaruh perhatian pada pelajaran. Namun, adakalanya, saya memperhatikan dan tergugah. Yang paling saya ingat adalah pelajaran di mana sang ustad menyampaikan: “Belajar agama tidak cukup hanya ilmu yakin, hanya yakin dengan apa yang diajarkan tanpa kenyataan. Kamu juga harus ainul yakin, yaitu dengan mengalaminya. Dan, yang paling penting adalah haqul yakin, keyakinan yang diperkokoh oleh kesaksian akan kebenaran Allah.”

Di pengajian semasa SMP saya, ustadnya membacakan satu surah Alquran, ayat demi ayat, dan kami, para murid, mengikuti bacaan beliau dengan mengulanginya. Lalu, ustad menjelaskan korelasi suatu ayat dengan keteladanan Nabi Muhammad dan para sahabat dan/atau kisah-kisah sehari-hari sebagai contoh. Ada suatu kesegaran baru di pikiran dan hati saya tiap kali menghadiri pengajian tersebut. Apakah hari gini masih ada ustad yang seperti ustad pengajian semasa SMP saya? Saya belum menemukan.

Sebelum memulai pengajian, para peserta yang hadir menjelang asar lantas salat Asar berjamaah, yang diimami sang ustad. Pada satu kesempatan salat Asar berjamaah, saya dan Aprilsyah, karena badan kami lebih tinggi daripada rekan-rekan kami di pengajian itu, berada di saf paling belakang. Hal itu membuat kami sering iseng menggoda rekan-rekan kami di saf di depan kami dan bercanda di antara kami sendiri.

Usai salat, dengan nada halus tak mengandung amarah, ustad berkata kepada saya dan Aprilsyah, “Jangan mencampuradukkan salat dengan main-main, ya. Kalau mau salat ya salat saja, kalau mau main main saja. Pilih salah satu.”

Giliran salat Magrib berjamaah, saya dan Aprilsyah bersantai saja di teras rumah tempat pengajian diselenggarakan, sementara rekan-rekan kami mempersiapkan diri mereka untuk salat. Selama salat Magrib berlangsung, saya dan Aprilsyah tetap bercanda di teras. Ustad kemudian menegur kami, “Mau main-main saja?”

“Iya, Pak Ustad. Enak main aja,” kata saya, cuek. Ustad tersenyum, dan meninggalkan kami, tanpa memberi petuah panjang lebar, apalagi memperingatkan tentang surga dan neraka.

Ketika sudah di perguruan tinggi, saya berpapasan dengan sang ustad di jalan di dekat rumah orang tua saya. Terjadilah obrolan yang hangat, diisi kenangan akan pengajian semasa sekolah menengah pertama. Ustad mengatakan ke saya, “Saya sudah tahu dulu itu, kalau kamu tipe pencari kebenaran, nggak mau brenti di ilmu yakin saja. Makanya, saya biarkan kamu dan saudaramu bermain, waktu teman-temanmu salat Magrib.”

Ah, saya jadi kangen pengajian semasa SMP, dengan ustad yang arif dan bijaksana seperti KH Chaeruddin Bakri, Lc.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 24 Juli 2020

Wednesday, July 22, 2020

Pak Baskom Jualan Klepon


KUE klepon “tidak Islami” belakangan lagi ramai dibicarakan. Saya jadi teringat ketika menjadi senior copywriter di sebuah biro iklan berskala kecil di Jakarta Selatan, Lingkom Ad (PT Lingkar Komunikasi), tahun 1997, saya diminta menulis naskah (script) untuk iklan radio (radio commercial/radiocomm) buat PT Mitra Global Telekomunikasi Indonesia (MGTI), perusahaan yang merepresentasi Telkom Jawa Tengah-DIY, yang berkantor pusat di Semarang, Jawa Tengah.

Lewat radiocomm tersebut, MGTI mempromosikan pemasangan 400.000 sambungan telepon baru di seluruh provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Radiocomm-nya bersetting dialog Petruk dengan Semar, di mana Petruk yang lugu, rada bego, dengan bersemangat bercerita ke Semar bahwa Pak Baskom jualan klepon. Semar yang ragu dengan informasi dari Petruk lantas pergi mencari tahu dan sesaat kemudian balik sambil menegur Petruk yang karena malas belajar jadi kurang ter-update: “Sinau, Truk, sinau! Bukan Pak Baskom jualan klepon, tapi Telkom jualan telpon!”

Hingga akhir dari radiocomm berdurasi 60 detik itu, dengan lugu Petruk masih bersemangat mau beli klepon ke Pak Baskom.

Untuk diketahui, iklan radio tersebut berbahasa Jawa campur Indonesia (terutama pada saat announcer-nya menginformasikan tentang prosedur bagi pelanggan baru). Sepupu saya di Purwokerto dengan bangga bercerita ke teman-temannya, yang lagi sharing di antara mereka tentang iklan radio yang rupanya berhasil memancing perhatian pendengar itu: “Itu copywriter-nya kakak sepupuku. Dia nggak bisa bahasa Jawa lho!”

Ketika dipresentasikan oleh Direktur Lingkom Ad di kantor MGTI Semarang, satu loyang klepon dibawa serta untuk memberi pengetahuan baru pada general manager-nya MGTI yang orang bule bahwa kue klepon dalam konsep kreatif iklan radio itu memang benar-benar ada. Sang GM disuguhi klepon tersebut dan diajari cara memakannya, yaitu dengan sekali santap karena isinya akan muncrat pada gigitan pertama. Bagi si bule, pengalaman makan klepon itu rupanya benar-benar berkesan, sehingga ia tidak ragu untuk langsung meng-approve konsep kreatif iklan radio berjudul “Pak Baskom Jualan Klepon” itu.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 23 Juli 2020

Wednesday, July 15, 2020

Kadar Pengertian


ADA satu kisah tentang kehidupan Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa as-sallām yang selalu saya ingat, karena sungguh menginspirasi saya. Alkisah, dalam Perang Tabuk, pada 630 M, Muhammad terkena lemparan batu ke mulutnya hingga berdarah. Umar ibn Khattab pun berkata kepada Muhammad agar mengutuk si pelempar batu, tetapi Muhammad berkata, “Aku diutus Tuhan bukan untuk mengutuk manusia. Mari kita doakan dia, karena dia tidak mengerti.”

Dahulu, saya tergolong orang yang suka sekali memusuhi orang-orang karena perilaku mereka yang tidak dapat saya toleransi—terutama karena tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang saya anut. Perilaku saya dahulu itu persis sama dengan sikap dan perilaku kaum agama tertentu di Indonesia yang memusuhi umat agama-agama lain, hanya karena berbeda keyakinan, berbeda tata cara, dan/atau bahkan karena berbeda nama dan sifat-sifat tuhannya. Padahal, sikap dan perilaku ini tidak perlu ada, jika saja kita meresapi apa yang dicontohkan oleh Muhammad.

Pengertian tidak berlaku umum—setiap orang memiliki waktu, inteligensi, dan pengalaman masing-masing untuk dapat mengerti sesuatu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “pengertian” berarti (1) gambaran atau pengetahuan tentang sesuatu di dalam pikiran, pemahaman; dan (2) kesanggupan inteligensi atau kecerdasan untuk menangkap makna suatu situasi atau perbuatan. Dari arti ini dapat kita lihat bahwa pengertian tidak bisa serta-merta diharapkan dari semua orang pada waktu yang sama; setiap orang membutuhkan proses—melalui pengalaman pembelajaran—untuk sampai pada pengertian tentang sesuatu. Proses ini pada satu orang berbeda durasinya dengan orang lainnya; ada yang cepat dan ada yang membutuhkan waktu yang lama.

Pada 12 Juli 2020 lalu, saya membuat suatu eksperimen untuk mengetahui kadar pengertian orang: Saya memposting sebuah artikel di linimasa Facebook saya (dan juga di blogspot ini), yang saya juduli “Pelaut Berkulit Hitam yang Memberikan Segalanya”; artikel itu mengungkapkan tiga hal, yaitu tentang bakal diluncurkannya kapal induk raksasa terbaru Angkatan Laut Amerika Serikat (AL AS) pada 2028 mendatang, tentang tradisi penamaan kapal induk milik AL AS, dan tentang tamtama AL AS bernama Doris Miller yang mendapat medali tertinggi AL AS karena aksi heroiknya selama serangan pesawat pembom Jepang atas Pearl Harbor. Reaksi pembaca bervariasi, masing-masing dipengaruhi oleh kadar pengertiannya. Ada yang mempersepsikan artikel itu adalah tentang sejarah hidup Doris Miller, ada yang menganggapnya tentang serangan ke Pearl Harbor. Saya terkejut, karena tidak ada yang mengomentari perihal kapal induk raksasa itu.

Karena sifat pengertian tidak sama pada semua orang, alangkah tidak fair bila kita memberi perlakuan buruk pada orang lain hanya karena dia tidak mengerti perkataan atau perbuatan kita. Karena itu pula, sejatinya tidak ada orang yang bodoh atau pintar. Hanya “mengerti” dan “tidak mengerti”.

Jika Anda menjumpai orang yang tidak mengerti, doakan saja semoga Tuhan memurahinya dengan pengertian, persis seperti yang dilakukan Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa as-sallām terhadap orang yang telah melukai mulut beliau dengan batu yang dilemparkannya.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 15 Juli 2020

Saturday, July 11, 2020

Pelaut Berkulit Hitam yang Memberikan Segalanya


Foto Doris “Dorie” Miller tepat setelah menerima penyematan medali Navy Cross oleh Laksamana Chester W. Nimitz, di atas kapal USS Enterprise (CV-6) di Pearl Harbor, 27 Mei 1942. Medali diberikan untuk aksi kepahlawanannya di atas kapal USS West Virginia (BB-48) selama Serangan Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. 

ANGKATAN Laut Amerika (United States Navy) pada 20 Januari 2020 lalu mengumumkan untuk memberi nama kapal induk kelas Gerald R. Ford keempatnya dengan nama pahlawan Pearl Harbor, Doris Miller. USS Doris Miller diharapkan akan mulai beroperasi pada awal tahun 2032. Dalam film “Pearl Harbor” tahun 2001, yang disutradarai Michael Bay, Miller diperankan aktor Cuba Gooding, Jr.

Angkatan Laut Amerika membuat pengumuman tentang nama kapal induk tersebut pada Hari Martin Luther King di sebuah upacara di Pangkalan Gabungan Pearl Harbor-Hickam, Hawaii. Sekilas penamaan itu biasa saja, tetapi sebenarnya ini menjadi hal baru dari sejarah panjang penamaan kapal induk negara tersebut.

Lantas siapa Doris Miller dan mengapa bisa disebut sebagai langkah dramatis penamaan kapal induk?

Doris “Dorie” Miller adalah seorang tamtama US Navy berpangkat Cook Third Class (Koki Kelas Tiga). Sebagai warga negara Amerika Serikat berkulit hitam, Miller mendapat perlakuan diskriminatif dalam organisasi militer pada masa itu, dengan mendapat hak dan kedudukan yang tidak adil. Pada masa itu, anggota US Navy yang berkulit hitam tidak dilatih untuk memegang senjata; mereka hanya berhak memegang tongkat sapu, kain pel, dan sutil.

Warga Amerika keturunan Afrika ini menerima medali tanda jasa tertinggi Angkatan Laut Amerika Serikat, yaitu Navy Cross, atas tindakannya selama serangan Jepang atas Pearl Harbor dengan membantu memindahkan tentara yang terluka ke tempat yang aman dan menembakkan senapan mesin untuk mempertahankan kapal tempatnya bertugas dari serangan pesawat pembom Jepang.

Doris Miller lahir di Waco, Texas, pada 23 Oktober 1919. Ia mendaftar di Angkatan Laut Amerika Serikat dan bertugas di kapal amunisi USS Pyro dan kapal tempur (battleship) USS Nevada. Pada pagi hari, tanggal 7 Desember 1941, Miller berada di USS West Virginia untuk mengumpulkan cucian.

Kapal tempur USS West Virginia dalam serangan Jepang pada hari Minggu pagi itu mengalami kerusakan parah oleh dua bom dan lima torpedo. Kapal di mana Miller bertugas itu tenggelam di Pearl Harbor, menewaskan 130 prajurit dan melukai 52 lainnya. Kapal kemudian diperbaiki, ditingkatkan kemampuannya, dan bertugas kembali di seluruh kampanye Pasifik selama Perang Dunia II, hingga Jepang menyerah pada 1945.

Penamaan USS Doris Miller sangat berbeda dari tradisi penamaan kapal induk Angkatan Laut Amerika. Awalnya, Amerika memberi nama kapal induknya dengan pertempuran besar era Perang Revolusi seperti USS Yorktown (CV-10; kapal induk bernama sama (CV-5) tenggelam dalam Pertempuran Midway, 4 Juni 1942), USS Enterprise (CVN-65; kapal induk bernama sama (CV-6) bertugas selama Perang Dunia II), USS Saratoga (CV-60; kapal induk bernama sama (CV-3) aktif dalam Perang Dunia II), dan USS Lexington (CV-16; kapal induk bernama sama (CV-2) tenggelam dalam Pertempuran Laut Koral, 8 Mei 1942). Sejumlah pertempuran Perang Dunia II antara 1941 dan 1945 juga dijadikan nama kapal-kapal induk US Navy, seperti USS Midway (CV-41).

Setelah itu, terjadi perubahan, dengan menggunakan nama tokoh-tokoh penting US Navy, seperti Laksamana bintang lima (Fleet Admiral) Chester Nimitz (CVN-68), dan juga nama para presiden Amerika Serikat, seperti USS George Washington (CVN-73), USS Abraham Lincoln (CVN-72), USS Theodore Roosevelt (CVN-71), USS Harry S. Truman (CVN-75), USS Dwight D. Eisenhower (CVN-69), USS John F. Kennedy (CVN-79), USS Gerald R. Ford (CVN-78), USS Ronald Reagan (CVN-76), dan USS George HW Bush (CVN-77). Selain itu, juga menggunakan nama para politisi yang pro Angkatan Laut, seperti USS John C. Stennis (CVN-74) dan USS Carl Vinson (CVN-70).

USS Doris Miller (CVN-81) bisa disebut sebagai awal dari proses de-politisasi penamaan kapal dan juga menghormati personel kelas tamtama. Sebelum US Navy, Angkatan Darat Amerika Serikat juga sudah memulai menamai kendaraan lapis bajanya dengan nama Stryker untuk menghormati Prajurit Satu Stuart S. Stryker, penerima tanda jasa tertinggi militer Amerika Serikat, Medal of Honor, yang gugur dalam Perang Dunia II, dan Kopral Robert F. Stryker, peraih Medal of Honor yang gugur dalam Perang Vietnam (meskipun bernama sama, kedua prajurit ini tidak memiliki hubungan keluarga).


USS Gerald R. Ford (CVN-78) adalah kapal induk pertama di kelasnya yang berdinas di Angkatan Laut Amerika Serikat sejak 22 Juli 2017. Kapal induk ini menyandang nama Presiden Amerika Serikat ke-38, Gerald R. Ford, yang berdinas di angkatan laut selama Perang Dunia II, termasuk bertugas tempur di atas kapal induk ringan USS Monterey (CL-78) di Palagan Pasifik.

Penamaan USS Doris Miller untuk sebuah kapal induk bertenaga nuklir juga untuk menghormati pengabdian warga negara Amerika keturunan Afrika di Angkatan Laut Amerika Serikat. Pada Januari 2019, tercatat sekitar 65.000 warga Amerika keturunan Afrika berdinas di US Navy.

USS Doris Miller, seperti kapal-kapal induk lain di kelas Gerald R. Ford, akan menjadi salah satu kapal induk terbesar (super carrier) yang pernah dibangun. Doris Miller akan membawa 80 pesawat tempur dan akan diawaki oleh 6.000 pelaut. USS Doris Miller dijadwalkan akan dikirim ke Angkatan Laut Amerika pada tahun 2032, sebagai penghargaan yang pantas untuk pelaut berkulit hitam yang memberikan segalanya bagi bangsa dan negaranya.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 12 Juli 2020

Friday, July 10, 2020

Manusia Medsos



SATU kawan saya, sebut saja namanya Sailan, seolah memiliki kepribadian ganda. Seorang kawan lainnya, wanita, dalam chatnya ke saya menyatakan ketidaksukaannya pada Sailan, yang dinilainya tidak punya etika, keras kepala (dalam konteks negatif), menyebalkan, dan suka sekali menantang orang lain, terutama yang secara usia lebih tua daripada si Sailan. Perilaku si Sailan dimonitor si kawan wanita itu melalui beberapa WhatsApp Group (WAG) di mana mereka berdua menjadi membernya.

Ya, saya pun menilai perilaku si Sailan di WAG sebagai orang yang sebaiknya dijauhi jika Anda tidak ingin sakit kepala membaca postingan padat kata-kata yang membuat banyak orang baper. Tapi di kenyataan sehari-hari, Sailan adalah pribadi yang agak pemalu, rendah diri, yang gaya bicaranya seperti orang yang baru belajar bahasa. Nada bicaranya penuh ragu, dan berpikirnya juga rada lamban. Singkat kata, si Sailan dalam kesehariannya berbeda 180 derajat dari yang dikenal banyak kawan kami mengenainya.

Saya memperkirakan, bahwa karena di belakang gawai atau komputer dia memiliki lebih banyak waktu untuk berpikir, lebih banyak peluang untuk merencanakan apa yang akan dia katakan. Hal tersebut tidak dia dapatkan dalam interaksi lahiriah dengan orang lain. Entah sengaja atau keceplosan, via WhatsApp jalur pribadi Sailan pernah blak-blakan ke saya bahwa dia mengutip sumber lain untuk memperkuat argumentasinya per kata-kata dalam komunikasinya dengan orang “di seberang” jalur jejaring sosialnya. Dia bahkan menjadikan sejumlah video tutorial self-help di Youtube sebagai acuan bagi perbaikan perilakunya.

Agar tidak berlarut-larut ketidaksukaannya pada Sailan, saya menyarankan kepada si kawan wanita di atas supaya berinteraksi dengan Sailan di luar media sosial. Manusia-manusia medsos, seperti si Sailan, adalah pribadi-pribadi yang tidak sepenuhnya asli saat menghadapi gawai atau komputer mereka, karena lawan interaksinya mereka pandang hanya sebagai mesin yang tidak punya perasaan, hingga mereka merasa dapat merisak (bullying) lawan interaksinya semau hati mereka. Sebaliknya, kesejatian mereka mengemuka dalam interaksi fisik saat bertatap muka.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 10 Juli 2020

Thursday, July 9, 2020

Pengaruh Pekerjaan

SEJAK tahun 2012, saya menjadi konsultan komunikasi untuk proyek pembuatan buku mengenai lima peraih PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan) Emas dari Kementerian Lingkungan Hidup (mulai tahun 2015 menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).

Awalnya, secara tak sadar, saya tiba-tiba memiliki kepedulian pada pelestarian lingkungan, mulai dari hal-hal kecil, seperti mematikan lampu bila tidak digunakan, menutup keran air bila tidak dipakai, membuang sampah pada tempatnya, dan mudah trenyuh melihat pohon-pohon ditebangi. Dan, tentu saja, dalam waktu relatif singkat saya mengerti proses-proses kerja pengelolaan lingkungan dari diskusi-diskusi dengan para insinyur lingkungan yang mewakili kelima perusahaan peraih PROPER Emas itu.

Hal ini bukan sesuatu yang mengejutkan bagi saya. Sejak menerima Latihan Kejiwaan, saya terbimbing untuk me-niteni bagaimana “energi” dari pekerjaan-pekerjaan yang saya tangani sebagai konsultan komunikasi dan branding mempengaruhi diri saya, mengisi diri saya dengan pengetahuan mendalam mengenai seluk-beluk bisnis atau bidang yang ditekuni organisasi dari klien-klien saya. Apakah hal itu baik atau buruk? Saya tidak terlalu memikirkan pengaruhnya. Yang jelas, yang saya dapatkan berdampak baik bagi klien-klien saya, karena dengan demikian mereka dapat mengandalkan saya (dan tim LI9HT) untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan benar.

Saya tidak mengkhawatirkan pengaruh pekerjaan itu, karena saya yakin—dan juga dipastikan dalam ceramah Bapak Subuh—adanya zat kekuasaan Tuhan dalam diri saya, yang membentengi saya dari dampak negatif atau buruk yang mungkin diberikan oleh segala gerak hidup saya. Bagaimanapun, adalah kekuasaan Tuhan pula yang membimbing pikiran dan perasaan, perkataan dan perbuatan saya sejak menekuni Latihan Kejiwaan. Saya saksikan sendiri bagaimana mulut dan pikiran saya bekerja otomatis, setiap kali diri saya tenang, saat tampil memerankan pekerjaan saya sebagai konsultan; bagaimana jari jemari saya bergerak di papan kunci komputer saat menulis; dan bagaimana keadaan diri saya saat menyikapi respons klien-klien terhadap pekerjaan saya dan tim LI9HT.

Apa pun pengaruh yang saya terima dari semua pekerjaan yang saya tangani, bagaimanapun, Latihan Kejiwaan yang telah mengisi diri saya membersihkannya secara bertahap, mengatur mana yang boleh tinggal dan mana yang tidak boleh terus melekat pada diri saya. Positifnya, saya jadi mengalami perubahan kebisaan-kebisaan saya secara dinamis, sehingga sebagai profesional dan pebisnis saya tidak berjalan di tempat. Puji Tuhan!©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 9 Juli 2020

Tuesday, July 7, 2020

Kesombongan Spiritual

SEMASA masih aktif berlatih kejiwaan di Wisma Subud Surabaya, Jalan Manyar Rejo 18-22, Surabaya, Jawa Timur, pada tahun 2004, saya pernah mengalami kejadian yang kocak. Saat itu, saya baru selesai melakukan Latihan Kejiwaan di hallnya dan bergabung dengan para anggota dan pembantu pelatih di teras timur bangunan hall Latihan.

Sebelum dan sesudah Latihan, para anggota pria Subud Cabang Surabaya biasa duduk secara lesehan di teras yang dialasi tikar. Saat itu, saya duduk di seberang satu pembantu pelatih, seorang pria tua yang gemar merokok Djisamsoe. Beliau menawarkan saya rokoknya, yang saya sambut dengan senang hati—karena saya tidak punya rokok, sedangkan saya malas jika harus pergi keluar lingkungan Wisma Subud Surabaya untuk membeli rokok.

Sang pembantu pelatih, di balik kepulan asap rokoknya, berkata, “Tadi waktu Latihan, Dik Anto ketemu Yesus ya?” Beliau mengacu pada penerimaan di Latihan saya tadi di dalam hall, di mana saya merentangkan lengan kanan saya ke atas sementara tangan kiri saya saya letakkan di dada kanan. Dengan postur seperti itu saya berjalan keliling ruangan hall sambil berucap berulang kali “Yesus gembalaku!”

Dengan lugu, terutama karena saya saat itu masih baru di Subud, saya menjawab, “Nggak, Pak.”

Seorang pembantu pelatih sepuh lainnya, yang duduk di sebelah si pembantu pelatih yang bertanya ke saya, berkata, “Dia belum sampailah di situ… masih baru.”

Saya menandai ada nada kesombongan dalam ucapan si pembantu pelatih itu. Pembantu pelatih Djisamsoe yang membuka obrolan tadi itu berkata, “Saya pernah ketemu Yesus dalam Latihan, Dik.”

Saya memandang beliau dengan sebal. Sombong sekali! Terbersitlah sebuah ide konyol di benak saya. Saya menatap beliau sambil tertawa dan berkata, “Saya pernah ketemu Bapak dalam Latihan, Pak. Bapak bilang ke saya: ‘Nak, jangan percaya PP sebelum Nak mengalaminya sendiri.’.”

Si pembantu pelatih tua itu hanya mengepulkan asap rokok dan tidak berkomentar lagi. Selanjutnya beliau menoleh ke sebelah beliau dan mengobrol dengan orang yang duduk di sebelah beliau. Saudara Subud di sebelah saya berbisik, Sampeyan nekat ah, ngerjain PP!

Lain lagi pengalaman saya saat berkunjung ke Subud Cabang Batang, Jawa Tengah, pada bulan Februari 2006, bersama tiga pembantu pelatih yang tergabung dalam Forum Komunikasi Anggota Subud serta satu anggota biasa. Mereka semua tercatat sebagai pembantu pelatih dan anggota Cabang Jakarta Selatan. Selama perjalanan dengan menumpang KA Argo Bromo Anggrek dari Stasiun Gambir ke Stasiun Pekalongan, saya bercerita kepada kawan-kawan seperjalanan saya tentang buku karya Master Sheng-yen, seorang guru Zen asal Taiwan (kelahiran Republik Rakyat Tiongkok), berjudul Zen: Tiada Penderitaan (Penerbit Suwung, 2004) yang sedang saya baca. Antara lain tentang adanya perintah Buddha Gautama kepada para pengikutnya, agar membunuhnya apabila para pengikutnya masih melihat kehadiran diri Gautama dalam semadi mereka.

Saat sarasehan malam harinya di hall Latihan Cabang Batang, ada satu anggota setempat yang mengungkapkan kepada salah satu pembantu pelatih dari Jakarta Selatan itu, Pak Djoko namanya, “Saya sering bertemu Yang Mulia Bapak dalam Latihan saya, Pak. Apa artinya ya?”

Saya merasakan kondisi diri si anggota terisi kesombongan, merasa dirinya istimewa karena didatangi Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo. Dengan santai, Pak Djoko menuturkan, “Tadi di kereta, Mas Anto ini cerita ke saya kalau dia lagi baca sebuah buku tentang Zen. Penulisnya mencantumkan cerita di mana Sang Buddha mengatakan, ‘Kalau kamu dalam semadimu masih melihat aku, maka bunuhlah aku!’ Jadi, Anda bunuh saja Bapak kalau masih suka datang saat Anda Latihan!”

Seluruh hadirin tergelak, sedangkan si anggota yang menceritakan pengalamannya didatangi Bapak Subuh dalam Latihannya hanya terpana, juga malu.

Kesombongan spiritual istilahnya. Hal ini biasa terjadi dalam semua komunitas spiritual, tidak hanya di Subud. Bahkan di agama-agama juga terjadi kesombongan seperti ini, bahkan pada orang-orang yang dipandang “tinggi” ilmunya. “Belum sampai” adalah kalimat yang biasa diucapkan seorang anggota atau pembantu pelatih Subud kepada anggota lain yang dia anggap belum menyamai pemahamannya. Ungkapan itu tidak jarang membuat seorang anggota merasa tersinggung, baper, lantas marah dan memutuskan tidak mau lagi aktif di Subud.

Latihan Kejiwaan merepresentasi proses pembelajaran berkelanjutan (continuous learning process), di mana “sampai” tidaklah relevan. Pengalaman merupakan bagian dari proses tersebut, dan sifatnya hanya sementara alias icip-icip. Pengalaman hari ini tidak akan sama dengan pengalaman di hari-hari berikutnya, dan semua pengalaman itu hanya merupakan media pembelajaran seorang anggota, untuk pada akhirnya dapat memahami atau memaknai peristiwa-peristiwa yang mengisi hidupnya. “Sampai” di saat ini hanya untuk saat ini; berikutnya, proses pembelajaran seseorang masih akan berlanjut. Jika Anda adalah anggota Subud dan merasa “sudah sampai”, dan dengan itu dengan sombongnya Anda menganggap orang lain “belum sampai”, sesungguhnya Andalah yang belum sampai. Belum sampai pada pengertian sejatinya.

Lagipula, pengalaman tidak dapat ditiru; tidak ada anggota Subud yang pengalamannya sama persis dengan saudara sejiwanya. Jangankan di Subud atau di jalan spiritual pada umumnya, di kehidupan duniawi saja, suatu solusi yang telah terbukti sukses dalam praktiknya tidak serta-merta dapat diterapkan sama persis untuk menyelesaikan masalah lainnya, meskipun masalahnya mirip. Penceritaan pengalaman, sebagaimana yang sedang saya lakukan ini, bukan suatu ajaran atau desain yang dapat ditiru, melainkan—diharapkan—menjadi pembangkit inspirasi atau “alat bantu” bagi orang lain untuk memaknai hidupnya sendiri.

Kesombongan spiritual memberi kita satu hal: Kita akan berhenti mengalami tumbuh-kembang kejiwaan sebagaimana yang diharapkan. Kita stuck di situ saja, di pemahaman sementara, seperti pengemudi mobil yang terlena di rest area sebuah jalan tol sehingga ia tidak akan pernah sampai di tujuan sebenarnya.

Pemahaman saya, Tuhan itu Maha Luas dan Maha Tidak Berbatas. Hidup mewakili keluasan dan ketakterbatasanNya, sehingga kita senantiasa dituntut menanggalkan kesombongan dan terus menjelajahi segala kemungkinan yang Tuhan sediakan untuk kita. Karena itu, tidak ada gunanya bersombong ria dengan apa pun yang kita alami dalam proses pembelajaran berkelanjutan ini.Ó2020



GPR 3, Tangerang Selatan, 8 Juli 2020