Wednesday, August 30, 2023

Divine Revelations

LAST August 26, I attended the Wagean (Wage Saturday, Bapak’s day of birth according to the Javanese calendar) event at Wisma Barata Pamulang. It is customary for every Wagean to play a video or audio recording of Bapak’s or Ibu Rahayu’s talk at the pendopo (pavilion) of Wisma Barata Pamulang. On that day, a video of Ibu’s talk was shown (I don’t know the date and location, because when I entered the pendopo, the video had already been shown for a few minutes), in which, among other things, Ibu said that when we completely surrender, no longer include the heart and mind, then all our questions will definitely be answered. Ibu also said that if we could get answers like that, then there would be no need for further testing; if we still insist to do a testing, that means we are not completely surrendering to the Almighty.

Listening to what Ibu said, I almost jumped for joy, if I didn’t realize that I was in a room with many other Subud members who were solemnly listening to the talk.

Ibu’s words were corresponding to my kejiwaan experience so far, especially in the last two months, where I was targeted by a couple of male Youth members who stabbed me in the back regarding a female Youth. So, the story goes, a young woman had just joined Subud, and I met her at Wisma Subud Cilandak. My natural way of connecting to people, by being myself, and communicative with lots of chatter, made the young woman comfortable chatting with me.

A new helper who is also my buddy warned me to be careful because he felt that there were several male Youths who were not happy if I was close to this woman. They felt rivaled by me, because the young woman’s attention was distracted from them. And they didn’t like my suppleness in approaching the woman, while they were awkward and shy. I personally had no intention of teasing the woman or that my approach had any sexual intention.

I didn’t ask the helper who they were, but I asked my jiwa instead. My jiwa told me there were several single Youths who had hidden desires for the woman, but two among them were ready to stab me in the back. My jiwa directed me to the two male Youths, whom I knew well and who were always polite in front of me. I said to the helper, “Yes, I know who they are. I’ll prank them, just see. I’ll let them know not to mess around in Subud.”

In the process, I often received during Latihan at Wisma Barata Pamulang the inner guidance in detail of what I should do so that my actions would look smart and smooth, without my two “targets” realizing it. I got the guidance to prove that it was the two of them who were most eager to put me out of their way to get the attention of the young woman. I don’t need to go into details here, but the point is that it was revealed that the two male Youths had incited the young woman to stay away from me, and even hated me to such an extent that when she saw me at Wisma Subud Cilandak she immediately left.

When I shared in a Subud WhatsApp group about a new member blocking my WhatsApp number and avoided meeting me at Wisma Subud, without me knowing what I did wrong, several Subud brothers and sisters said the same thing: “I don't think it was her wish to block your number, Arifin. She was instigated by her Youth friends who have a romantic interest in her.”

“Yes, I know, God revealed it to me long before today,” I said with satisfaction.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 31 Agustus 2023

Saturday, August 26, 2023

Happiness Speeds Up the Passage of Time

PICKING up my six-year old daughter at her elementary school this morning, she then sat on the back of the motorcycle which I then headed towards my house which is about 1 kilometer from the school. On the way back, my daughter talked about the present for her seventh birthday, next October, which she had mentioned many times over the past few months. She wants a pair of inline skates.

“Can I come here (one of the roads we took), Daddy?” she asked. That is, with her inline skates. I said yes casually as it was a wishful chat.

“But you have to be accompanied by me or Mom. You can’t use inline skates yet, can you?” I said.

“Of course, Daddy. You teach me, okay. Or, how about when I’m eight years old? If I’m eight years old, is that okay?" said my daughter, starting to hesitate. She finally decided to cancel asking for inline skates as a present for her seventh birthday.

“Sure,” I said.

“When will I be eight, Daddy?”

“Next year. Still one more year,” I answered, looking straight ahead with a bit sleepy eyes because I haven’t slept since having my pre-dawn meal. I am on a nine-day fast, and today is the eighth.

“It’s taking a long time, isn’t it, Daddy? I have to wait that long,” said my daughter, sounding doubtful about her decision to cancel asking for inline skates as a present for her seventh birthday.

In a relaxed state, without thinking too much, I just said, “Just be patient. Sabar, tawakal, ikhlas, and always be grateful... be grateful for what you have received at this time. With gratitude, you will feel happiness. And if you are happy, even time will seem to pass quickly.”

There, I was stunned. I apparently received an inner guidance in giving advice to my little daughter. And my jiwa tells me that the advice applies to me as well. Praise God!©2023

 

Pondok Cabe, South Tangerang, 26 August 2023

Tuesday, August 22, 2023

Praktik Ilmu Pisah

SAYA berdiskusi beberapa hari yang lalu dengan ketua SES (Subud Enterprise Services) Indonesia yang baru, seorang muda yang awalnya antusias, bersemangat tinggi, dan optimis dapat memperbaiki keadaan di Subud Indonesia dalam hal pelaksanaan enterprise. Dia terpilih melalui testing dalam Kongres Nasional pada Februari 2023. Kini ia tampak lelah, kurang antusias, dan bingung. Saya sudah tahu sebelumnya mengapa ia demikian. Persoalan sangat besar dan telah berakar urat di perkumpulan kita adalah apa yang menghadang optimismenya.

Diskusi yang berlangsung sampai tengah malam itu, di teras bangunan yang menaungi sekretariat SES dan SICA (Subud International Cultural Association) Indonesia di kompleks Wisma Subud Cilandak, membuat kami berdua menyimpulkan bahwa anggota secara kolektif belum memahami sepenuhnya apa itu “enterprise” yang dimaksud Bapak; bahwa itu tindak usaha untuk kehidupan yang memang “tinggal menjalankan saja” tetapi wajib bermodalkan pengetahuan dan pengalaman profesional yang telah dimiliki (artinya, bukan dengan tangan dan otak yang sama sekali kosong), dan berjumbuh dengan bimbingan Latihan Kejiwaan yang telah mengisi diri kita, semua gerak hidup kita. Inilah yang dimaksud Bapak dengan Ilmu Pisah.

(“Ilmu Pisah” dalam Bahasa Indonesia dipadankan dengan “chemistry” dalam terjemahan bahasa Inggris dari ceramah-ceramah Bapak. Saya menduga, terminologi itu Bapak ambil dari kata dalam bahasa Belanda “scheikunde”, yang secara harfiah berarti “ilmu untuk memisahkan”, tetapi secara umum merupakan padanan kata bahasa Belanda untuk “chemistry”. Bapak menggambarkan bekerja samanya jiwa kita dengan hati dan akal pikir kita seperti air dan minyak yang secara zat bersifat berbeda tetapi menyatu dalam satu wadah.)

Jadi, enterprise (Subud) berbeda secara filosofis dengan bisnis belaka. Enterprise menumbuhkan jiwa kita, sedangkan bisnis hanya menumbuhkan profit semata. Nah, di Subud, kedua hal ini dipadukan dalam kiprah kita. Hal ini yang justru menjadi tren dalam 25 tahun terakhir, dengan bisnis-bisnis berskala menengah hingga besar memasukkan aspek “hati” atau spiritualitas dalam kinerja mereka melalui kiprah yang disebut tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 23 Agustus 2023

Friday, August 18, 2023

Mengenal Si Cangkang Telur

 


SEORANG saudari Subud dari Cabang Jakarta Selatan pada 18 Juli 2023 lalu tiba-tiba memblokir nomor WhatsApp saya dan unfollow Instagram saya. Dia anggota baru—baru dua tahun di Subud—sehingga tidak menyadari bahwa tindakannya memutus silaturahmi di lingkungan Subud merupakan sesuatu yang “kebangetan”. Dia memutus semua relasi dengan saya, bahkan menghindar bila bertemu dengan saya atau kabur bila melihat saya ada di ruang dan waktu yang sama dengannya—seperti yang terjadi pada 10 Agustus 2023, ketika saya baru keluar dari Hall Latihan Cilandak dan dia sedang duduk di bangku yang menempel pada dinding teras barat Hall Latihan; begitu melihat saya, ia segera berlalu dari situ, pergi ke teras timur dan duduk di sana (menurut kesaksian satu saudara Subud) sampai saya meninggalkan Hall Latihan.

Alasannya (seperti yang dia ungkapkan ke seorang saudara Subud yang saya mintai tolong untuk meneruskan permintaan maaf saya kepadanya), dia menganggap saya telah “too far” (keterlaluan) dengan pesan WhatsApp saya yang terakhir yang membuat ia memblokir saya, yang berupa candaan saya (saya cantumkan emotikon ketawa di sebelah pesan tersebut untuk mempertegas bahwa itu candaan belaka).

Betapapun dia membenci dan memusuhi saya, saya tetap menyayangi dia dan sama sekali tidak membenci dan memusuhinya, karena dia adalah saudari Subud saya dan, terutama, karena saya tidak mau menodai Latihan Kejiwaan saya dengan menyerap daya-daya rendahnya yang dapat saya serap dari memperlakukannya dengan rasa benci.

Tetapi, saya bertanya kepada Tuhan mengenai dia—mengapa dia bisa bersikap sedemikian rupa bencinya terhadap saya, padahal kami baru saling kenal dan menjadi cukup akrab setelah mengobrol beberapa kali di Wisma Subud Cilandak.

Tuhan menjawab dengan buku ini (lihat foto di atas), yang mengungkapkan tentang orang yang memiliki kepribadian cangkang telur (eggshell personality), suatu kepribadian yang teramat rapuh. Dia bisa bersikap dan berperilaku baik terhadap siapa saja, mudah bergaul, dan ramah, tapi bisa langsung memutus hubungan hanya karena sebuah lelucon ringan yang menyinggung sisi dirinya yang dia tidak ingin diketahui orang lain. Apalagi berakhirnya hubungan yang serius, hal itu bisa membuatnya menyimpan dendam kesumat terhadap kehidupan, sekaligus membuatnya meringkuk dalam wadah telur, sehingga orang lain akan selalu seperti “berjalan di atas kulit telur” (sangat berhati-hati karena khawatir memecahkan cangkangnya) dalam berhubungan atau berkomunikasi dengannya.

Sebuah esai yang tersaji dalam Kibin.com, berjudul “An Evaluation of the Eggshell Personality”, mengungkapkan tiga atribut untuk mengidentifikasi orang dengan kepribadian cangkang telur, tetapi hanya satu dari ketiga atribut ini yang secara tegas mengidentifikasi individu tersebut. Ciri pertama adalah interaksi mereka dengan orang lain di sekitar mereka. Dia bertindak sangat ramah terhadap orang lain dan juga aktif secara sosial. Mereka sama sekali tidak pemalu dan membuka diri seperti buku.

Sifat kedua adalah penampilan mereka. Pada kenyataannya, si Cangkang Telur terlihat seperti orang biasa dan tidak menonjol. Sangat sulit untuk mengidentifikasi si Cangkang Telur dari penampilannya karena tidak ada penampilan khusus untuk kelompok kepribadian ini, tetapi mereka pasti tidak menghiasi diri mereka dengan mode yang menarik perhatian saat mereka berjalan di jalan, seperti pakaian dengan warna-warna neon yang cerah.

Ciri ketiga dan paling kuat yang digunakan untuk mengidentifikasi orang-orang berkepribadian cangkang telur adalah melalui reaksi emosional mereka terhadap situasi sosial. Mereka akan selalu menjadi orang yang paling emosional dalam kelompok sosialnya ketika diberi alasan, entah itu sesuatu yang sederhana seperti lelucon, atau peristiwa yang menyebabkan tekanan emosional yang ekstrem seperti berakhirnya suatu hubungan.

Saya sempat berharap hubungan saya dengan saudari Subud ini akan membaik dengan cepat dan kembali seperti sediakala. Saya mengira dengan saya meminta maaf (yang justru sangat tidak disarankan oleh tiga pembantu pelatih dari Jakarta Selatan dan Bogor), mengakui kesalahan saya (lagi-lagi saya melanggar nasihat seorang pembantu pelatih berkebangsaan Amerika yang tinggal di Wisma Subud Cilandak: “Apologize, but don’t do it with a guilty feeling, because that’s dangerous!” {Minta maaflah, tapi jangan lakukan dengan perasaan bersalah, karena itu berbahaya!}), hubungan kami akan membaik seperti sebelumnya.

Di Subud kita harus mengedepankan jiwa, alih-alih hati. Perasaan bersalah, rasa benci, dan rasa permusuhan bersarang di hati. Jadi, meskipun Anda rajin Latihan tapi membawa rasa benci Anda kepada sesama saudara Subud ke dalamnya, Latihan Anda tidak ada gunanya, malah memperkeras hati, dan, seperti yang dikatakan YM Bapak, Latihan kita akan berbelok ke lain jurusan.

Joe Navarro M.A. dalam artikelnya di portal Psychology Today, berjudul “Eggshell Relationships: Living with the Emotionally Unstable Personality”, memaparkan: “Karena cinta, kepedulian, atau kebutuhan (dalam kasus anak-anak) orang tetap berada dalam hubungan ini dengan berpikir bahwa tindakan kebaikan berikutnya atau hadiah berharga mereka berikutnya akan membuat segalanya menjadi lebih baik. Itu tidak pernah terjadi. Tidak ada kebaikan atau penyesalan yang akan membuat mereka (si Cangkang Telur) berubah. Mereka yang emosinya tidak stabil ini sering kali tidak dapat melihat ada yang salah dengan diri mereka, mereka menyepelekan tindakan mereka, atau mereka mengatakan bahwa Andalah masalahnya, bukan mereka, dan kemudian mereka menyerang Anda. Namun demikian, mereka membutuhkan bantuan.”

Saya hanya bisa mendoakan semoga Tuhan membantu saudari Subud itu, melalui Latihan Kejiwaan yang cukup rajin ia lakukan, dan melalui kesadaran pribadinya bahwa ia memiliki emosi yang tidak stabil sehingga ia tergerak untuk meminta bantuan profesional dari seseorang yang ahli dalam menangani orang-orang seperti itu.

Kini, semua menjadi jelas bagi saya. Saya memetik banyak pelajaran dari pengalaman dengan saudari Subud “cangkang telur” itu—yang hanya berlangsung cukup singkat, hanya satu bulan lebih sedikit. Bagi saya, sangat kontraproduktif untuk terus berelasi dengan saudari Subud ini. Tetapi saya akan tetap menjaga jiwa saya agar jangan sampai terkotori oleh perasaan benci terhadapnya. Puji Tuhan untuk Latihan Kejiwaan Subud.©2023


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 19 Agustus 2023


Monday, August 14, 2023

Bertindak Bebas, Tanpa Beban

TAHUN 2007, almarhumah Ibu Siti Muti’ah Lestiono, mantan sekretaris Ibu Siti Rahayu Wiryohudoyo, yang seorang wanita berkebangsaan Amerika dan tinggal lama di kompleks Wisma Subud Cilandak hingga akhir hayat beliau, mengatakan kepada saya, ketika mengucapkan terima kasih atas bantuan saya menerjemahkan buku memoar Subudnya, yang berjudul Finding the Light: A Personal Account of Discovering the Meaning of Life, “Many people said that the translator lets himself go...” (Banyak orang mengatakan bahwa penerjemahnya bekerja dengan cara yang bebas atau tanpa hambatan.) Menurutnya, semua pembaca merasa puas, ringan dan tercerahkan saat membaca naskah terjemahan yang saya buat.

Let oneself go dapat diartikan secara bebas menjadi “rileks”, bertindak bebas tanpa beban atau tidak menahan diri karena berbagai pertimbangan yang dapat dibayangkan pikiran. Latihan Kejiwaan mensyaratkan kita rileks. Bapak mengatakan dalam ceramah di Los Angeles, Amerika Serikat, 22 Juli 1981 (81 LAX 1), “Saudara-saudara seperti kalau saudara akan menerima dalam lakukan Latihan Kejiwaan, yaitu relax. Arti relax, walaupun itu bahasa Inggris, itu butuh saya terangkan. Arti relax jangan memikirkan sesuatu selain merasakan dirinya sendiri dan percaya sepenuhnya bahwa Tuhan Yang Maha Esa benar-benar ada dan berkuasa.”

Tanpa rileks, baik dalam Latihan Kejiwaan maupun dalam kehidupan sehari-hari, menurut pengalaman saya selama ini, kita sulit mencapai keadaan aktif yang penuh kreativitas, komunikasi yang terbuka (dengan diri sendiri bila dalam Latihan Kejiwaan) dan harmonis, serta kebetahan bagi siapa saja yang hadir di ruang dan waktu yang sama dengan kita. Dalam berkomunikasi baik secara verbal maupun non verbal, relaksasi amat diperlukan. Menjadi spontan dalam pikiran dan perasaan, perkataan dan perbuatan, alih-alih menjadi serba dibatasi oleh perasaan terikat, takut, dikendalikan oleh ilusi.

Berpikir kreatif juga mensyaratkan relaksasi. Dalam proses curah pendapat (brainstorming), yaitu proses penggalian dan pengumpulan ide-ide secara spontan untuk mewujudkan sesuatu, tali kekang harus dilonggarkan, karena hal itu memberi kita peluang untuk menjangkau ranah-ranah yang melampaui keberadaan kita. Dengan relaksasi, yang tak pernah terbayangkan pun akan singgah di otak kita untuk memberitahu kita akan keberadaannya. Sulit untuk memunculkan ide-ide hebat ketika pikiran kita dipenuhi dengan kekhawatiran sehari-hari. Relaksasi akan membantu kita menjernihkan pikiran dari urusan sehari-hari dan stres.

Membiasakan diri untuk lepas dari pengekangan (restrain) dalam sikap dan perilaku kita, terutama dalam interaksi kita dengan orang lain, mengurangi atau bahkan meniadakan potensi konflik, kecuali lawan bicara kita justru kebalikannya dari kita. Kalaupun konflik mengemuka, ya baiknya kita mengalah, dan kembali rileks untuk kepentingan diri kita sendiri, agar tidak hanyut dalam dinamika yang sama sekali tidak produktif.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 14 Agustus 2023

Terbantukan oleh Kekurangan

PADA perhelatan Konsolidasi Pemuda Subud Indonesia, yang berlangsung di sebuah retret Katolik di Bandungan, Kabupaten Ungaran, Jawa Tengah, pada 1-2 September 2007, seorang pembantu pelatih senior dari Subud Denpasar, Bali, yang berjalan melewati meja di ruang makan dimana saya sedang mengobrol dengan beberapa anggota Subud dari sejumlah daerah, menyeletuk sambil menunjuk ke saya, “Hati-hati dengan Anto! Dia itu sangat usil! PP aja dia usilin.”

Saya menyambut celetukan sang pembantu pelatih dengan tertawa. Karena memang benar perkataannya—saya terkenal sangat usil di lingkungan Subud, terutama di cabang asal saya (Surabaya) dan cabang Jakarta Selatan. Korban keusilan saya sudah banyak; ada yang membiarkan, namun ada pula yang sampai memusuhi saya, karena baper.

Sifat usil dapat dipandang baik maupun buruk, tergantung sudut pandang orang yang menjadi korban dari keusilan. Usil adalah “kenakalan yang tidak jahat”, yang dilakukan oleh tua maupun muda, dewasa maupun kanak-kanak. Saya sulit menahan diri untuk tidak usil atau berusaha menghilangkan kebiasaan “buruk” itu. Hal itu disebabkan, terutama, karena lingkungan tempat kerja saya mensyaratkan keusilan.

Saya bekerja di bidang kreatif, sebagai copywriter dan creative director di perusahaan sendiri yang bergerak dalam industri komunikasi pemasaran, korporat dan keberlanjutan (sustainability communication) yang menopang program pengembangan merek (brand-building/branding) dari perusahaan-perusahaan klien-klien saya. Selama hampir 29 tahun karir saya di bidang ini, saya perhatikan makhluk-makhluk kreatif yang satu departemen dengan saya semuanya memiliki keusilan tingkat dewa. Keusilan bagi kami merupakan bumbu sangat penting dalam mengkreasi karya-karya komunikasi yang berbasis konsep kreatif yang sangat kuat. Bukan sesuatu yang aneh jika Anda menjumpai orang-orang yang memiliki profesi sejenis dengan saya yang usilnya (kadang) keterlaluan.

Psikolog anak-anak yang memeriksa saya, ketika saya berstatus murid sekolah dasar di sebuah sekolah umum di Den Haag, Negeri Belanda (1974-1978), mengatakan kepada ibu saya, yang mendampingi saya saat konsultasi, bahwa usil merupakan indikasi bahwa seorang anak itu memiliki kreativitas yang tinggi. Nyatanya, kesukaan saya berbuat usil membantu saya mengembangkan kreativitas saya dalam banyak hal, karena setiap kali saya usil, saya mendapatkan sesuatu atau pengalaman baru. Saya jadi mampu melihat sisi lain dari suatu keadaan dan mencoba menyelesaikan masalah dengan cara saya sendiri. Kemampuan problem solving ini saya peroleh pada saat saya aktif mengerjakan sesuatu.

Jadi, alih-alih saya menyesali kekurangan saya ini (lagipula, orang Subud tidak boleh menyesal!), saya mengubah keusilan sebagai kekuatan saya, yang berguna dalam membantu pekerjaan saya maupun kehidupan saya secara keseluruhan.©2023

  

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 14 Agustus 2023 

Friday, August 4, 2023

Two Elements

TODAY, I went to and from Bogor by motorbike and received continuous Latihan, until even I was able to get rid of my fear, so that even though I was riding at high speed I dared to go through the narrow gaps between other vehicles.                  

On the way home, I received that my jiwa has a feminine element (influence from my mother and three sisters) and a child element—a nature that has long wanted to rebel out and manifest its full potential.

I received that I have to be grateful for the existence of these two elements, because they are the ones that help me live my life in the world, and especially influence the development of my creativity. And those two elements will gradually improve my qualities as a human being.©2023

 

Pondok Cabe, South Tangerang, August 5, 2023

Pamulang

 



KEMARIN (3 Agustus 2023) waktu Jakarta, saat nongkrong bersama satu saudara Subud di sebuah kafe milik seorang pembantu pelatih dari Subud Cabang Jakarta Selatan, yang terletak sekitar 1 km dari Wisma Subud Cilandak, saya ditanya olehnya, mengapa sekarang saya rutin Latihan di Wisma Barata Pamulang. Tujuh bulan belakangan ini saya memang sudah sangat jarang Latihan di Cilandak, dan rutin menghadiri Latihan bersama di Pamulang. Lagipula, secara jarak, rumah saya lebih dekat ke Wisma Barata dibandingkan dengan ke Wisma Subud Cilandak.

“Apakah Mas sedang ada konflik dengan anggota di Cilandak? Atau tersinggung pada anggota Jakarta Selatan?” tanyanya lagi.

“Tidak ada satu pun dari kedua alasan itu,” kata saya. “Entah mengapa, saya merasa digerakkan untuk Latihan di Pamulang.”

Seperti kita ketahui bersama, Wisma Barata Pamulang adalah rumah Bapak setelah meninggalkan Wisma Subud Cilandak. Bapak juga meninggal pada 23 Juni 1987 ketika sudah beralamat di Pamulang. Istilah “pamulang” dalam bahasa Jawa berarti “pengajaran” (pamulangan) atau “latihan”. Dan jauh sebelum rumah Bapak di Desa Pamulang selesai dibangun, Bapak pernah berkata bahwa pendopo rumah yang luas itu kelak dapat digunakan untuk Latihan para anggota Subud.

Saya pribadi memaknai “Pamulang” sebagai “pemulangan”, kata bahasa Indonesia yang padanan bahasa Inggrisnya adalah “return home” atau “repatriation”. Dan memang selama saya Latihan di Pamulang, terutama di ruang utama di bawah mezanin dimana kamar tidur dan ruang kerja Bapak berada, di bagian tengah rumah, saya selalu terdorong untuk “pulang ke diri”, yang menyebabkan Latihan saya selalu kuat, mendalam dan semakin mendalam, dengan penerimaan-penerimaan di luar kehendak saya, yang intinya mendorong saya untuk belajar menerima kehendak Tuhan dengan sabar, tawakal dan ikhlas.

Keadaan bahwa saya mantan anggota Cilandak membuat saya tidak mengenal banyak anggota Pamulang, dan sebaliknya pun mereka tidak mengenal saya. Jadi, sedikit sekali orang yang bisa saya ajak bicara atau menghabiskan waktu menunggu Latihan bersama dengan banyak mengobrol, yang pada gilirannya malah memperkuat akal pikir. Efeknya, saya datang ke Wisma Barata Pamulang seringnya untuk mendapatkan momen mengheningkan diri yang lebih lama hingga waktunya tiba untuk Latihan bersama.

Beberapa saudara Subud di Cilandak mengomentari perubahan signifikan pada diri saya sejak melakukan Latihan di Pamulang; saya terlihat lebih tenang, lebih rendah hati, tidak banyak bicara. Istri saya pun mengatakan bahwa sejak saya Latihan di Pamulang, saya tidak lagi suka marah-marah. Seorang saudari Subud, melalui pesan WhatsApp-nya, berkata bahwa dia melihat saya tidak lagi sombong dan menyebalkan seperti sebelumnya, dan dia dengan leluasa mengutarakan segala kekurangan saya, tanpa saya bereaksi dengan protes atau marah—sebaliknya, saya malah merasakan kasih sayang yang luar biasa terpancar dari kata-katanya.

“Ya, memang, saya dulu persis seperti yang kamu bilang,” jawab saya. “Sejak Latihan di Pamulang, saya semakin jelas dan jernih melihat diri saya.” ©2023

 

Pondok Cabe Ilir, Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan, 4 Agustus 2023


Wednesday, August 2, 2023

Baper

BEBERAPA hari yang lalu, dalam sebuah obrolan via WhatsApp dengan seorang pembantu pelatih dari Subud Cabang Jakarta Selatan, saya menceritakan pengalaman saya dalam beberapa tahun terakhir dengan sejumlah saudara Subud yang memblokir nomor WhatsApp saya karena mereka “baper” dengan apa yang pernah saya sampaikan kepada atau sikap dan perilaku saya di mata mereka. Mereka merasa tidak nyaman untuk terus berhubungan dengan saya.

Jika Anda telah menerima Latihan Kejiwaan, Anda semestinya tidak boleh “baper”, karena itu berarti Anda terpedaya oleh daya-daya rendah—itulah yang saya dan pembantu pelatih itu simpulkan. Kenyataannya memang demikian; “baper” dapat menodai Latihan, membuat Latihan Anda bergerak “ke lain jurusan” dan menghambat pertumbuhan jiwa Anda.

“Baper” adalah sebuah kata dalam kamus milenial Indonesia yang merupakan akronim dari “BAwa PERasaan”. Ada beberapa penggunaan kata “baper”, tergantung konteksnya, antara lain:

·       Jangan baper (don’t take it personally)

·       Baperan (thin-skinned, brittle, tempered)

·       Baper (terbawa suasana oleh lagu, film atau cerita) (feeling into it)

Saya pernah membuat grup WhatsApp (WAG) yang saya namai “Subud 4G—Anti Baper”, yang memiliki lebih dari 70 anggota dari seluruh Indonesia. “4G” adalah singkatan dari Guyub, Gayeng, Guyon, Gila, dan saya memilih nama tersebut karena pada waktu itu 4G, teknologi seluler generasi keempat, sedang tren.

Di mata para anggota senior dan pembantu pelatih, WAG itu paling kacau, paling tidak beretika, paling tidak sopan, mungkin di seluruh dunia Subud. Postingan-postingan bernada kasar bercampur aduk dengan nasihat-nasihat lemah lembut, para anggotanya saling mengejek, saling menyerang, saling melempar lelucon-lelucon jorok, saling menghina, bercekcok tiada akhir selama tahun-tahun pertama keberadaan WAG tersebut. Banyak anggota yang keluar dari WAG itu, tetapi tidak sedikit yang, karena penasaran, justru ingin bergabung. Sejak dibuat pada 2016, kini tinggal 65 partisipannya, dan hanya 20 persen yang masih tetap memposting secara aktif—terutama meme-meme lucu dan berita-berita terkini terkait penistaan agama yang kemudian dikritisi dari sudut pandang Subud.

Alasan utama saya membuat WAG itu adalah karena pada waktu itu saya tengah gencar mempelajari memetika dan bagaimana manusia dapat dipengaruhi sedemikian rupa oleh persepsi mereka sendiri. Saya seorang praktisi pengembangan merek (branding), dimana memetika dan persepsi merupakan ranah kajian saya untuk dapat menciptakan strategi komunikasi merek yang efektif.

Karena saya yang membuatnya, sayalah yang menjadi admin utamanya, dan mengangkat tujuh anggota lainnya sebagai admin. Enam di antaranya adalah pembantu pelatih dari cabang-cabang Subud di seluruh negeri. Sebagai admin, saya mencermati proses Latihan dalam mentransformasi setiap anggota WAG dari “sangat baper” menjadi “tidak baper”. Mereka yang tidak tahan terhadap “perang daya-daya” biasanya karena mereka tidak berpegang teguh pada bimbingan Latihan, suka menyalahkan orang lain atau keadaan, selalu mengedepankan hati dan akal pikiran mereka, atau masih suka melakukan mixing.

Pendekatan WAG Subud 4G membuktikan bahwa Latihan harus dipraktikkan melalui kenyataan hidup yang keras, dan bahwa proses pembersihan rasa diri tidak selalu menyenangkan, seperti yang dibayangkan kebanyakan anggota Subud. Persis yang dikatakan Bapak dalam ceramah di Cilandak, 9 November 1971 (71 TJD 20), “Tiada kebahagiaan tanpa didahului dengan penderitaan walaupun orang yang berbudi pekerti yang utama.”

Dewasa ini, WAG Subud 4G masih eksis, tetapi situasinya lebih ramah dan lebih damai ketimbang ketika pertama kali dibuat. Daya-daya rendah telah dijinakkan dan dikelola menurut kebutuhan dari setiap anggota. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, para anggotanya pun berhubungan dengan baik (kami sering bertatap muka di sebuah kafe milik seorang pembantu pelatih Subud Jakarta Selatan yang juga admin dari WAG tersebut), saling menyayangi dengan tulus, dan semua mengakui bahwa “proses penuh kekerasan” yang mereka lalui di Subud 4G telah menginspirasi mereka untuk dengan tenang dan ikhlas menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan mereka. Puji Tuhan.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 2 Agustus 2023