Saturday, March 26, 2011

Pujian Yang Menidurkan, Kritik Yang Membangunkan


“Ada empat jenis pembunuhan: kejahatan, pemaafan, pembenaran dan pujian.”

—Ambrose Gwinett Bierce



Percaya atau tidak, senjata paling ampuh untuk menundukkan lawan adalah pujian. Saya pernah punya beberapa musuh—bukan karena saya memusuhi mereka, melainkan sebaliknya mereka yang memusuhi saya, lantaran saya kelewat blak-blakan melontarkan sinisme terhadap perilaku mereka. Di milis, mereka menjelek-jelekkan saya, dan terus-terang saya merasa sakit hati.


Sampai suatu saat, seorang saudara Subud saya menasihati, bahwa hal semacam itu sesungguhnya melatih pengertian saya; bahwa hal itu akan banyak membantu dalam meneguhkan kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan saya dalam berserah diri. Tidak mudah memang, tetapi karena itulah saya mesti berlatih terus dengan menerima hantaman kritik-kritik yang tidak jarang bersifat tidak konstruktif.


Bila kita melakukan sesuatu yang unik, orang-orang akan menyerang kita. Motivasi diri tergantung pada ‘ketebalan muka’ kita; daya tahan kita meski dikritik habis-habisan. Tetapi yang sama pentingnya adalah kemampuan untuk membuat pujian tidak menidurkan kita pula. Karena, pujian dan kritikan adalah sekadar bayangan cermin dari masing-masing.


Agar dapat menghadapi kritik dengan tepat, kita juga perlu menghadapi pujian dengan tepat. Jika seseorang memuji Anda secara berlebihan untuk suatu keberhasilan yang tidak terlalu berarti, Anda perlu menginternalisasinya dengan cara yang sama dengan cara Anda menginternalisasi ejekan yang pedas. Orang yang mudah tersanjung karena pujian biasanya juga mudah dikritik.


Pada akhirnya, hanya Anda sendiri yang dapat mengarahkan hidup Anda. Jika Anda membiarkan diri Anda disesatkan oleh kritikan atau pujian, Anda takkan bisa mencapai tujuan Anda.


Suatu ketika, saya mendapat pemahaman bahwa justru pujianlah yang menidurkan, sedangkan kritik malah membangunkan kesadaran diri kita. Pemahaman itu saya peroleh ketika suatu kali saya kembali dihadapkan pada kritik dan kecaman yang cukup mengguncang harga diri saya. Bukannya terpancing amarah, saya malah memuji para pengeritik dan pengecam saya sedemikian bombastis. Akhirnya, mereka malah tertidur pulas: mereka berbalik memuji kesabaran saya, berubah menjadi sahabat dan sering mendukung gagasan-gagasan saya yang saya lontarkan di forum di mana kami saling melontarkan pemikiran dan kritikan.


Sejak saat itu, dalam berbagai kesempatan, saya selalu menerapkan pendekatan itu, utamanya dalam meredakan ketegangan-ketegangan yang mengemuka dalam hubungan pertemanan atau kekerabatan. Ada baiknya kita berlaku laksana pohon atau tanaman, sebagaimana para pendekar yudo atau aikido, keduanya seni bela diri asal Jepang.


Pencipta yudo, Kano Jigoro, mendapat ilham untuk menciptakan seni bela diri yang telah mendunia itu setelah mengamati bagaimana salju yang menumpuk di ujung ranting sebuah pohon dapat dengan mudahnya diruntuhkan ketika ranting semakin menekuk. Kano mendapat pemahaman tentang bagaimana menaklukkan lawan tanpa tenaga, atau memanfaatkan tenaga lawannya.


Seni bela diri aikido yang diciptakan oleh Morihei Ueshiba amat dipengaruhi oleh falsafah cinta dan kasih sayang, utamanya kepada mereka yang ingin menyakiti orang lain. Aikido mengemukakan falsafah ini dalam tekanannya pada penguasaan seni bela diri sehingga pendekar dapat menerima serangan dan mengembalikannya tanpa melukai si penyerang. Idealnya, baik yang diserang maupun penyerang tidak menderita luka.


Berdasarkan prinsip tersebut di ataslah hendaknya kita memperlakukan orang-orang yang tidak menyukai kita atau suka menyerang kita dengan kritikan atau kecaman, yang boleh jadi tidak konstruktif, dengan kasih sayang yang direpresentasi dengan pujian yang ‘menidurkan’. Sebaliknya, dalam hal diri kita, tak apa kita mendapat kritikan terus-menerus, bahkan mensyukurinya, lantaran kritik cenderung membangunkan kesadaran kita dan seyogianya menjadi energi pendorong kita untuk terus melangkah maju.(AD)



Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 26 Maret 2011

Sunday, March 6, 2011

Gadis Kecilku



Mendengar suaramu bertutur tenang

tentang lagak kehidupan kamu yang berjuang,

membuatku ingin menyeka air mata,

karena tak sanggup aku menangkap kata ‘derita’


Nyata tak ada kata itu dalam kamusmu,

Senang-susah hanyalah perjalanan semu, katamu

Mutiaranya yang berlaku, menuntun dalam sepi

dirimu yang berbalut asa orang dewasa

Walau di mataku, kau tetap gadis kecilku


Kau, gadis kecilku

Dengan semangat besar ingin merengkuh dunia

Sebesar cintaku padamu, wahai gadis kecilku…

Cilandak, Jakarta Selatan, 4 Maret 2011

Batuk Tetangga

“Tidak ada kebijaksanaan tanpa seni mengabaikan bantahan.”

Joseph De Maistre



Salah seorang kawan saya sangat mudah terusik oleh apa yang dikatakan orang lain tentang dirinya. Ia mudah terusik oleh pendapat, opini, kritik, dugaan atau pandangan, yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan dirinya. Bila dipuji ia melambung, bila dikritik ia marah tak terkira, bahkan tak jarang sampai putus hubungan apabila yang mengeritik itu relasinya atau kerabatnya. Ia bersedia bersitegang seumur hidup dengan siapa saja yang dianggapnya tidak sependapat dengan dirinya atau menjatuhkan gengsinya di mata teman-temannya.


Jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter ia geluti, tetapi ia tak sanggup menanggung komentar-komentar negatif terhadap status atau tweet dirinya. Bukannya mengabaikan, menyingkirkan para penyinggungnya, atau tidak membuka media sosial untuk sementara waktu, ia malah membiarkan dirinya larut dalam pertentangan-pertentangan berkelanjutan yang timbul akibat menanggapi komentar-komentar miring itu.


Entah apa sebutan bagi orang semacam dirinya. Dan ia tidak sendiri; masih banyak lainnya di dunia ini, dengan emosi tak terkendali, gila hormat atau sanjungan. Saudara Subud saya secara sederhana menyebutnya ‘orang kurang kerjaan’. “Kalau orang nggak ada kerjaan, tetangga batuk aja bikin dia terusik. Coba kalau ada kerjaan, pasti dia nggak nanggepin.”


Tidak sesederhana itu memang, walaupun cara mengatasinya cukup sederhana. Sang Buddha menganjurkan untuk, pertama-tama, menyadarinya. Menyadari diri (mengapa terusik dan mengapa harus terusik) dan menyadari yang-bukan-diri (yang di luar diri). Dan ini bisa dilakukan oleh siapa saja, baik dia banyak kerjaan maupun kurang kerjaan. Saya kadang juga masih bisa terusik oleh kritikan, utamanya yang ditujukan pada hasil pekerjaan saya. Itu yang dinamakan power syndrome.


Ego saya, yang terpaku pada lama dan banyaknya pengalaman bekerja saya di bidang komunikasi merek, yang memicu dan membakarnya, membuat saya tidak bisa menerima kritikan. Saya memadamkan kebakaran itu dengan kesadaran bahwa yang mengeritik tohadalah klien saya, yang notabene lebih memahami produknya dibanding saya maupun yang membayar saya, sehingga dia ‘berhak’ memperlakukan saya sesuai nilai nominal yang dibayarkannya.


Selama masih dapat dianggap wajar, saya akan mengabaikan tanggapan macam apa pun. Tetapi bila sudah di luar batas kewajaran, dan cenderung merugikan saya secara bisnis, tentunya saya menerapkan integritas profesional saya: tidak membiarkan diri terusik penghargaan materi yang bakal saya peroleh dari klien tertentu!


Batuk tetangga tadi tidak akan mengusik kita apabila kita simply mengabaikannya. Bila batuk tetangga saja tidak bisa kita abaikan, entah bagaimana jadinya dengan hal-hal yang jauh lebih serius daripada itu. Relasi saya memiliki kecenderungan ini. Tidak terbayangkan betapa lelahnya menjadi dirinya. Tetangga mendapat promosi jabatan, maka ia pun mempromosikan dirinya di lingkungan tempat tinggalnya seolah ia telah mencapai jabatan lebih tinggi dari tetangganya itu. Tetangganya berlibur ke Singapura, maka ia pun sesumbar ke seantero kompleks bahwa ia akan berlibur ke Hawaii.


Merendahkan hati, believe me, adalah lebih nyaman dan membahagiakan ketimbang terusik oleh segala sesuatu yang-bukan-diri. Untuk bisa sampai di aras hati itu, mulailah dari mengabaikan hal-hal simpel yang tidak membawa manfaat, seperti batuk tetangga.Ó



Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 3 Maret 2011