Tuesday, October 18, 2011

Paradigma



“Jika kamu tidak keluar dari kotak di mana kamu dibesarkan, kamu tidak akan dapat memahami betapa besar dan luasnya dunia ini.”

“Hadapi fakta seperti anak kecil, siapkan diri Anda untuk melepas gagasan-gagasan yang terkandung di dalamnya, ikuti dengan rendah hati ke mana saja alam membimbing Anda, atau Anda tidak akan belajar apa pun.”
Thomas Huxley


Saya kerap bingung jika ditanya oleh orang yang belum mengalaminya, apakah Latihan Kejiwaan itu dan pengalaman seperti apa yang disajikannya. Apalagi jika orang yang bertanya masih dikungkung oleh paradigma-paradigma mapannya tentang apa yang dinamakan spiritualitas: bahwa spiritualitas merupakan olah rohani yang digerakkan oleh keimanan kepada Tuhan dan dipandu oleh ajaran agama tertentu.


Mencoba memahami Latihan Kejiwaan dengan paradigma agama yang dianut oleh pelaku atau orang yang ingin tahu tentangnya tidak akan pernah berhasil—bukannya memperoleh pemahaman, kita malah akan teraduk-aduk dalam pusaran ketidakmengertian yang memusingkan. Pendek kata, memahami Latihan Kejiwaan haruslah dengan paradigma yang diperoleh dari Latihan itu sendiri. Tidak perlu dicari ekuivalensi (padanan) darinya dalam paradigma-paradigma agama atau jalan spiritual yang telah ada sebelumnya.


Manusia sering—jika tidak bisa dikatakan selalu—mengungkung atau mengikatkan dirinya dengan paradigma, yaitu sudut pandang yang diperolehnya dari pengalaman dalam perkataan dan perbuatan, pikiran dan perasaan pada suatu masa, yang sebetulnya akan menyesatkannya jika ia menggunakan paradigma yang sama dalam memahami suatu pengalaman yang berbeda atau baru. Apalagi bila paradigma tersebut membuatnya nyaman.


Mungkin Anda tahu tentang kisah aforisma “Cangkir Pengetahuan Zen” yang acap disampaikan kepada mereka yang ingin mempelajari filsafat Zen. Seorang sarjana mendatangi guru Zen dan menyatakan ingin belajar padanya. Sebelum menyatakan kesanggupannya, sang guru menuangkan teh ke dalam cangkir yang ia taruh di hadapan si sarjana. Sang guru terus menuang sampai cangkir itu penuh dan isinya meluber.


“Stop! Apa yang Anda lakukan?” seru si sarjana, keheranan. “Cangkir itu sudah penuh. Mengapa Anda terus menuangkan teh ke dalamnya?”


Sang guru pun memberitahunya. “Ini pelajaran pertama Zen. Kalau kamu ingin mengetahui tentang Zen, kamu harus mengosongkan cangkir pikiranmu dulu dari pengetahuan-pengetahuan lamamu. Kalau tidak, maka yang kusampaikan nantinya tidak ada gunanya, karena hanya akan meluber ke mana-mana.”


Mau tahu apa itu jalan yang sesat? Itulah jalan yang sama sekali baru, belum pernah dilewati (a road less traveled), yang kita harapkan dapat melaluinya dengan tuntunan paradigma-paradigma yang telah menghuni diri kita selama ini. Paradigma lama bukanlah peta yang akurat yang dapat menuntun kita melewati wilayah jelajah yang baru, karena persoalan-persoalan yang bakal menghadang bukanlah yang pernah dikenal sebelumnya. Dalam hal ini, diperlukan kreativitas kita dalam mengatasi hambatan-hambatan yang ada.


Mengapa banyak ide hebat hanya berhenti pada wacana? Sebabnya, para penggagas telanjur menghakimi ide-ide tersebut dengan paradigma-paradigma lama mereka. Itulah sebabnya, menjadi kreatif saja tidak cukup; Anda juga perlu berani bertindak kreatif, berani melakukan terobosan, tidak membiarkan paradigma-paradigma karatan menghalangi langkah Anda!


Di dunia profesional saya—komunikasi pemasaran dan korporat, tidak sedikit praktisi yang susah maju. Penyebabnya, tidak lain dan tidak bukan adalah keengganan mereka melepaskan diri dari paradigma yang telah mereka anut selama ini. Mereka mengira merek perlu aturan baku untuk berkembang, yang jika dilanggar akan menghambat prosesnya. Akibatnya, muncullah pemikiran-pemikiran yang template (klise), mengulang strategi pengembangan merek yang sama untuk satu kategori produk yang sejenis.


Paradigma cenderung menyesatkan, dan ujung-ujungnya juga mencelakai. Tidak percaya? Teliti saja diri Anda; bukan tidak mungkin hidup Anda saat ini sedang dijungkirbalikkan oleh paradigma kesuksesan yang diciptakan oleh orang lain, dan dipercaya sebagai kebenaran mutlak oleh publik. Kesuksesan tidak jarang dimaknai sebagai sebuah pencapaian (achievement) yang ditandai oleh kemajuan finansial, jabatan tinggi di perusahaan atau dunia politik, dan lain-lain yang serba sekala (tangible) nan gemilang.


Paradigma kesuksesan (seharusnya) bersifat pribadi, berbeda dari orang yang satu ke yang lain, karena masing-masing orang punya cara hidup dan pendekatan yang berbeda dalam mengukur kesuksesannya. Kawan saya pernah berujar bahwa kesuksesan baginya adalah apabila ia dapat bangun pagi dan punya banyak waktu untuk menghirup udara pagi yang bersih dan mengusap wajahnya dengan embun yang menempel pada dedaunan. Mungkin bagi kita harapan kawan saya itu sepele saja, dan sebenarnya sangat mudah dilakukan. Nyatanya tidak, karena ia harus bangun pagi demi menghindari kemacetan agar ia dapat sampai di kantor tepat waktu, sedangkan pada akhir pekan ia sudah terlalu lelah untuk bisa bangun pagi!


Pergeseran paradigma (paradigm shift) merupakan jalan keluar dari kungkungan paradigma lama. Pergeseran paradigma dianggap sebagai perubahan dalam cara berpikir dan bertindak yang sudah mapan, sehingga hal itu sering diperlakukan sebagai tindakan yang revolusioner, suatu transformasi, semacam metamorfosis, yang digerakkan oleh agen-agen perubahan. Namun, jangan salah: Perubahan pasti terjadi! Permasalahan lama akan berlalu dan kita akan dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang baru. Hindari penanganan hidup dan permasalahan kehidupan Anda yang baru dengan paradigma yang lama, yang buntutnya malah mencelakai Anda.Ó




Lantai 7 Citylofts Sudirman, Karet Tengsin, Jakarta Pusat, 18 Oktober 2011

Saturday, October 8, 2011

The Miracle That is in You

You sent me an energy
An element of this remarkability I cannot see,
but it miraculously moves me
and enables me to comprehend
the peace you provide to our love at hand
No other man could explain it through,
the miracle that is in you,
for no man does not have the eyes
only angels have it wise

There, I open my arms wide
every time you fall or lose the fight
In the depth of my love you always win,
for only there suffering is thin
And with you there, I am constantly alive with the energy
that only you could provide me
The energy that enables me to go through,
seeing the miracle that is in you...


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, South Jakarta, October 9, 2011, 4:12 p.m. Western Indonesia Standard Time

Monday, October 3, 2011

Produk Gagal

“Kegagalan disebabkan oleh tidak suksesnya kita mensyukuri satu fase kesuksesan yang telah kita peroleh.”

~Anonim

 

SATU Oktober 2011 lalu, saya menghadiri acara reuni dan halal bihalal alumni Angkatan 1986 Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FP-IPS) IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Negeri Jakarta, bertempat di Rumah Makan Cibiuk, Gandaria, Jakarta Selatan. Meski dianggap alumnus, saya hanya sempat dua semester kuliah di IKIP Jakarta, karena saya kemudian pindah ke Jurusan Sejarah Fakultas Sastra (FS; sekarang menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, FIB) Universitas Indonesia.

Salah seorang alumnus sengaja datang jauh-jauh dari Tegal demi reuni tersebut. Seperti kebanyakan dari mantan teman kuliahnya, ia menjadi guru, mengajar mata pelajaran IPS di sebuah sekolah menengah kejuruan di Kota Tegal. Mengetahui bahwa profesi yang saya, dan juga sebagian kecil teman kuliahnya di IKIP Jakarta, tekuni selepas kuliah sama sekali jauh dari bidang ilmu kesejarahan maupun keguruan dan kependidikan, teman saya itu bergurau bahwa kami itu termasuk golongan produk gagal, lantaran tidak sejalan dengan tujuan pendidikan kami.

Tetapi teman saya itu bercerita bahwa setamat kuliah di IKIP ia pun tidak serta-merta menjadi guru, melainkan sempat bekerja di Singapura atas ajakan kakaknya. Ia bekerja di perusahaan ekspedisi muatan kapal laut (EMKL), yang untuk itu ia sempat pula mengunjungi beberapa negara di Asia. “Negara-negara yang sebelumnya hanya aku tahu dari buku saat itu aku mengalaminya langsung,” kisah teman itu.

Saya mencoba membawa dia pada kesadaran bahwa masa lalunya justru merupakan bekal bagi kehidupannya sekarang. Dengan pernah mengunjungi sejumlah negara dalam kapasitasnya sebagai staf perusahaan EMKL, kini sebagai guru IPS, yang antara lain mencakup pelajaran Geografi, ia dapat lebih fasih menceritakan tentang masyarakat dan budaya suatu negara.

“Jadi,” kata saya dengan penekanan namun tetap diiringi tawa untuk memberi kesan bahwa saya sama sekali tidak tersinggung dengan predikat “produk gagal” yang ia berikan pada saya, “sebenarnya tidak ada yang namanya ‘produk gagal’. Tuhan sudah mengatur perjalanan kita; kita menjadi apa, mengalami apa, itu semua sudah ada dalam rencanaNya.”

Teman saya membenarkan apa yang barusan saya ucapkan, karena ia belakangan, setelah menekuni pekerjaannya sekarang, dapat memetik hikmah dari pengalamannya bekerja di bidang yang lain dahulu, padahal ia kuliah di IKIP Jakarta dalam rangka mewujudkan cita-citanya sebagai guru.

Anda, saya—kita semua—diperjalankan dalam hidup ini, baik secara sadar maupun tidak. Pengalaman saya bertutur, sebagian cita-cita kita sebenarnya tak pernah gagal terwujud, melainkan “diperbaiki” agar kualitas dari apa yang ingin kita capai menjadi lebih baik.

Saat reuni kemarin, setelah mendengarkan penuturan teman saya dari Tegal itu, saya langsung teringat pada Steve Jobs, yang lantaran gagal dalam kuliahnya lantas iseng belajar kaligrafi, yang sepuluh tahun kemudian menjadi berguna ketika perusahaannya, Apple Inc., menelurkan komputer Macintosh yang pertama, yang dikenal sebagai komputer dengan jenis-jenis font yang indah. Setelah membaca kisah Jobs, mungkin di antara Anda ada yang berpikiran untuk segera berhenti kuliah dan berwirausaha saja sebagaimana pendiri Apple Inc. itu. Eits, tunggu dulu, apakah itu benar-benar jalan Anda?  

Meski selepas kuliah di Jurusan Sejarah FSUI saya menjadi praktisi periklanan, bukan berarti saya produk gagal atau kuliah saya sia-sia. Salah seorang pimpinan perusahaan yang pernah dan sering menggunakan jasa saya di bidang penulisan naskah materi komunikasi pemasaran dan korporat memberikan referensi sebagai berikut: “Belum pernah saya menemukan seorang copywriter yang pemikiran dan gaya penulisannya demikian terstruktur, rapi, jernih dalam konsep, mudah dibaca dan sangat komunikatif seperti Anto Dwiastoro.” Di mana lagi saya mempelajari model penulisan seperti itu jika bukan di Jurusan Sejarah FSUI?

Creative director (CD) saya di salah satu biro iklan multinasional di mana saya pernah bekerja mereferensikan saya sebagai seorang pemikir strategis yang berguna untuk pengembangan bisnis. “Jarang sekali saya menjumpai copywriter yang juga strategic thinker,” tulis sang CD di rapor appraisal saya yang diberlakukan setahun sekali di biro iklan tersebut. Dalam kaitan itu, saya diuntungkan oleh kesempatan yang saya peroleh ketika untuk menulis skripsi di Jurusan Sejarah FSUI saya mendalami ilmu strategi militer. Padahal waktu itu tak sedikit teman saya yang mencemooh hobi saya mempelajari strategi militer: “Ngapain belajar strategi? Emangnya mau perang lu?”

Saya tidak pernah membayangkan diri saya menjadi praktisi periklanan. Saya punya segudang cita-cita, tetapi berkarir di industri komunikasi tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Namun, manusia merencanakan, Tuhan pula yang menentukan. Menjawab tawaran dari dosen pembimbing skripsi saya untuk menggantikannya sebagai pengajar sejarah militer di FSUI—yang waktu itu merupakan program kerja sama UI dengan Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), saya mengisi formulir untuk mengikuti program wajib militer (wamil) bagi sarjana strata satu. Namun apa daya, loket untuk penerimaan kembali formulir yang telah diisi dan ditandatangani beserta berkas-berkas pelengkapnya sedang tutup ketika saya datangi. Akibatnya, saya terpaksa duduk menunggu di depan loket. Tiba-tiba saya dihampiri seorang dosen dari jurusan lain yang mengenal saya. Saya ditawari kerja di sebuah biro iklan papan atas yang mencari sarjana sejarah untuk penulisan buku dalam rangka ulang tahun ke-25 biro iklan tersebut.

Singkat cerita, saya diterima bekerja di biro iklan itu. Karena belum tersedia ruangan, maka untuk sementara saya ditempatkan di perpustakaan, yang menyimpan ribuan buku mengenai industri komunikasi merek. Sederet buku bertema copywriting dan advertising saya lahap selama berkantor di perpustakaan itu, yang akhirnya menumbuhkan minat saya pada penulisan naskah iklan dan kreativitas penciptaan iklan. Kalau dirunut kembali ke masa lalu, hanya gara-gara loket pendaftaran wamil di kampus UI tutup saya malah tecebur ke dunia periklanan, yang menjadi karir saya selama tujuh belas tahun belakangan ini!

Jangan terpaku pada masa lalu, kata orang bijak. Benar, tetapi luangkanlah waktu sejenak untuk mengingatnya, menyusuri fase demi fase kehidupan yang pernah kita lalui dalam perjalanan menuju masa sekarang. Dengan mengingat masa lalu, utamanya hal-hal yang membawa kita kepada keadaan sekarang, membuat kita senantiasa bersyukur atas apa saja telah menimpa kita, baik maupun buruk.

Yang dimaksud orang bijak itu dengan jangan terpaku pada masa lalu adalah agar jangan sampai kita menyesali masa lalu kita, sehingga masa sekarang diisi semata dengan meratapinya. Nasi memang sudah menjadi bubur, tetapi bubur pun bukan produk gagal, karena bila kita syukuri dengan membubuhinya irisan daging ayam goreng, cakwe, seledri, kacang kedelai, kerupuk, kuah kaldu dan kecap ia menjadi bubur ayam yang lezat! Kalau sudah begini, adakah yang namanya “produk gagal”?Ó2011

 

Apartemen Citylofts Lantai 7, Jl. KH Mas Mansyur, Jakarta Pusat, 3 Oktober 2011

Sunday, October 2, 2011

Identifikasi

TAHUN 1996, saya mengundurkan diri sebagai karyawan sebuah biro iklan multinasional papan atas Indonesia yang berbasis di Jakarta. Dengan identifikasi “mantan copywriter Lintas” saya berani melamar ke duapuluhan biro iklan di Jakarta, dan berdasarkan identifikasi itu pula 16 di antaranya memanggil saya untuk diwawancara. Sebagai “lengan periklanannya Unilever, Lintas (Lever International Advertising Services) waktu itu didaulat sebagai universitasnya insan periklanan, yang bahkan karyawan yang dipecat sekalipun berpeluang besar untuk ditangkap agensi-agensi bergengsi lainnya.

Salah satu pihak yang menghubungi saya adalah pengarah kreatif eksekutif (executive creative director/ECD) sebuah biro iklan multinasional. Sang ECD, ketika mewawancarai saya, menepis tawaran saya untuk memperlihatkan portofolio karya iklan yang pernah saya buat bersama tim kreatif Lintas. “Tidak perlu, saya sudah tahulah kualitas Anda sebagai jebolan Lintas!” kata sang ECD dalam aksen Aussie yang kental.

Awalnya, saya memang bangga menyandang identifikasi “mantan copywriter Lintas, tetapi lama kelamaan kok terasa mengganggu, tidak membebaskan malah membebani, karena orang jadinya berekspektasi lebih dari saya, melampaui kemampuan saya yang sebenarnya. Akhirnya, saya bertekad bahwa saya harus dikenal dan diterima sebagai diri sendiri, tanpa embel-embel apa pun. Rasanya, lebih membanggakan dan membahagiakan jika orang-orang menyambut saya sebagai teman mereka lantaran saya adalah saya, bukan saya dengan identifikasi tertentu.

Idealisme seperti itu agaknya sulit dikembangkan, karena saya berada di lingkungan di mana identifikasi jauh lebih penting dari apa pun. Sepertinya, tanpa identifikasi kita tidak punya eksistensi. Dengan pengalaman 17 tahun (tahun 2011, ketika saya menulis artikel ini) menangani merek dan pemerekan (branding), saya dapat memastikan bahwa itu benar adanya. Menurut Dan Ariely, penulis Predictably Irrational: The Hidden Forces That Shape Our Decisions (2010), kita selalu mengira keputusan-keputusan yang kita ambil adalah berdasarkan alasan-alasan yang masuk akal, padahal tidak selalu begitu. Hampir selalu ada alasan yang “bukan aslinya Anda” ketika Anda memilih merek yang satu dan bukan merek yang lain, atau memilih apa pun dalam hidup Anda, termasuk suami/istri, pacar, sekolah, pekerjaan, rumah, mobil dan lain sebagainya. Menurut Ariely, kita selalu mengidentifikasi diri dengan sesuatu di saat ini atau di masa lalu, yang pada gilirannya mempengaruhi pilihan-pilihan kita.

Kita cenderung senang dan bangga diidentifikasi sebagai bagian dari sesuatu, walaupun tak jarang sesuatu itu semu. Adik saya tadinya bangga sebagai pengguna Nokia E63. Belakangan, ia muncul di hadapan saya dengan Blackberry Bold dan Samsung Galaxy Mini, sedangkan Nokia E63-nya ia pensiunkan. Pengalaman saya di dunia branding membuat saya sudah menduga jawaban adik saya, waktu saya tanya mengapa ia mengganti Nokia E63-nya dengan BB dan Galaxy Mini: Identifikasi sebagai bagian dari komunitas pengguna BB dan telepon seluler (ponsel) layar sentuh lebih membanggakan daripada idealisme untuk bertahan sebagai dirinya sendiri yang sebenarnya lebih suka pakai Nokia E63.

Padahal bila dicermati lebih jauh, landasan bagi identfikasi itu bersifat “holografis (terlihat tetapi sejatinya tidak ada). Coba deh, tanyakan para pengguna BB mengapa mereka menggunakan BB (atau tanyakan pada diri Anda sendiri, jika Anda kebetulan menggunakan BB). “Ada Blackberry Messenger-nya sih, jadi gampang dalam berkomunikasi. Gratis pula!” jawab rata-rata dari mereka.

Gampang berkomunikasi dengan siapa? Dengan sesama pengguna BB tentu saja, bukan dengan pengguna merek ponsel pintar lainnya atau ponsel apa pun, tetapi justru itulah persepsi yang sengaja ingin ditanamkan di benak konsumen oleh pemasar merek bersangkutan. Tampaknya mereka amat berhasil dalam melakukannya. Strateginya simpel saja: Para pengguna BB dipengaruhi sedemikian rupa lewat upaya branding untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari komunitas yang eksklusif, yang bila tidak tergabung di dalamnya mereka dianggap bukan warga dunia virtual (netizen) yang hebat! Mereka juga diminta untuk mengajak sebanyak mungkin teman atau relasi mereka untuk bergabung dengan mereka di komunitas tersebut—tak jarang dengan taruhan hubungan pertemanan bakal berakhir bila ajakan mereka ditepis.

Hebat benar nih industri komunikasi merek, puji Tuhan! Berarti profesi saya di bidang branding bakal semakin dibutuhkan di masa depan…

Spiritualitas dalam Kemasan

IDENTIFIKASI telah pula merambah ke dunia spiritual yang tadinya bebas dari yang serba semu seperti itu. Spiritualitas baru bisa diklaim sebagai “hakikat” (kebenaran mutlak) justru ketika padanya tidak dilekatkan identifikasi macam apa pun. Ironisnya, justru klaim-klaim hakikat berasal dari organisasi-organisasi spiritual, yang untuk keperluan identifikasi merasa perlu diorganisasikan, diberi nama merek (brandname), ditata dan distruktur sedemikian rupa, sehingga sebenarnya sifat hakikat dari spiritualitas menjadi kabur.

John Naisbitt bilang, “Spirituality yes, organized religion no—spiritualitas ya, agama yang terorganisasi tidak,” ketika abad ke-21 merangkul dunia, yang waktu itu diramalkan akan mengalami perubahan radikal dengan berakhirnya agama-agama yang terorganisasi lantaran umatnya memilih jalan spiritual yang tidak dikekang kewajiban dan kepatuhan apa pun. Bagi masyarakat Barat, agama dipandang sebagai suatu gerakan yang terorganisasi, memiliki landasan yang terstruktur, teratur rapi, yang jika dilanggar akan menyebabkan si pelanggar celaka, sedangkan spiritualitas dipandang merupakan wilayah yang bebas nilai, bersifat open-source (bisa diakses siapa saja tanpa batasan) karena sumbernya bisa apa saja—tidak melulu pengalaman ketuhanan.

Sejatinya, spiritualitas memang tidak terorganisasi lantaran spiritualitas merupakan produk dari pengalaman pribadi masing-masing pejalan. Tetapi kini, bertentangan dengan ramalan Naisbitt di atas, tendensi yang tampak adalah spiritualitas yang terorganisasi, yang karena orang Barat tetap beranggapan bahwa hanya agama yang memiliki sifat terorganisasi maka tendensi spiritualitas demikian dicap experiential religiosity atau keberagamaan yang didasari oleh pengalaman pribadi dengan yang transenden (Tuhan, realitas tertinggi, Rahasia, Unsur ke-11, atau apa pun namanya).

Dewasa ini, karena manusia butuh identifikasi, organisasi-organisasi spiritual bermunculan dengan mengusung ajaran (sebenarnya sih nasihat, tetapi derajatnya dinaikkan menjadi ajaran untuk menghargai) para pendirinya. Dalam berbagai segi, organized spirituality ini tak ubahnya organized religion, dengan struktur kekuasaan yang mengendalikan jalannya organisasi, serta sistem kependetaan dan nilai-nilai yang menata pertumbuhan spiritual anggota.

Di sektor spiritualitas yang terorganisasi ini, sama seperti agama dalam perkembangannya jauh setelah penerima wahyu meninggal, Tuhan tidak lagi Maha Kuasa lantaran dikuasai oleh organisasi dan penguasa di dalamnya. Orang-orang di dalam organisasi ini mengatur kapan sesuatu merupakan kehendak Tuhan dan kapan yang bukan! Kini, bukan cuma ada AMDK (air mineral dalam kemasan), tetapi juga ada SDK, spiritualitas dalam kemasan—spiritualitas yang dijual dalam kemasan macam-macam warna dan selera, dan masing-masing merek mengklaim dirinya lebih baik daripada yang lain-lainnya, tak ubahnya consumer goods.

Menaksir Cinta

ILMU psikologi membedakan antara naksir (infatuation) dan cinta (love): Yang tersebut pertama adalah perasaan suka pada seseorang yang dilandasi identifikasi-identifikasi tertentu, seperti wajahnya tampan/cantik, senyumnya memukau, baik hati, bicaranya bermutu, tulisannya menginspirasi, jenius, hobinya sama, dan lain-lain. Sedangkan “cinta” timbul tanpa perlu identifikasi apa-apa—suka saja! Dengan wawasan ini, saya kira Anda bisa mulai menaksir cinta Anda kepada sesuatu atau seseorang, apakah bebas identifikasi atau tidak.

Saya sangat suka menulis, dan sampai sekarang saya belum menemukan alasan yang tepat untuk menjelaskan kepada orang lain mengapa saya menyukainya. Dahulu, semasa sekolah di Negeri Belanda, saya memang jago dalam pelajaran mengarang sampai guru-guru saya berdecak kagum, tetapi saya kira itu bukan alasan yang tepat untuk menjelaskan mengapa sekarang saya sangat suka menulis, sebab saat itu hingga tamat kuliah saya memandang menjadi penulis bukanlah apa yang saya cita-citakan (lagi-lagi lantaran identifikasi mengenai kehidupan penulis yang kurang menjanjikan secara ekonomi).

Hidup pada hakikatnya tidak memerlukan identifikasi, karena manusia pun dilahirkan tanpa embel-embel apa pun. Bila Anda dapat mengerahkan perasaan dan pemikiran, perkataan dan perbuatan untuk diri sendiri maupun untuk kepentingan umum tanpa identifikasi apa-apa, Anda telah melampaui kemelekatan, terbebas dari penderitaan, dan mencapai keabadian.©2011

 

Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 2 Oktober 2011