Wednesday, December 30, 2015

Anto Dwiastoro's Quotes 2015


“Membangun hubungan itu sulit. Memelihara hubungan itu sulit. Merusak hubungan itu sangat mudah.” (Anto Dwiastoro, 5 Januari 2015)

Mulat sarira angrasa wani—Melihat diri sendiri harus dengan rasa berani menilai diri sendiri.” (Pitutur Luhur Budaya Jawa)

“Di hadapan Tuhan, kita ini bukan siapa-siapa, tidak tahu apa-apa dan tidak bisa apa-apa.” (Brigadir Jendral TNI (Purn) Soetriman Mangkusoebroto di teras selatan Wisma SUBUD Cilandak, 18 Januari 2015)

Sabeja-bejane wong kang lali, luwih beja wong kang eling klawan waspada—Seberuntung-beruntungnya orang yang lupa diri, masih lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada.” (R. Ng. Ronggowarsito, Serat Kalatida, Bab 8, dalam tembang Sinom)

“Bagi saya, tidak penting seberapa banyak yang kamu capai di masa lalu. Yang penting adalah seberapa banyak kamu berubah sepanjang kurun waktu itu hingga saat ini.” (Colin L. Powell)

“Manusia butuh dicintai. Tetapi dengan mencintai, kita mendistribusi energi positif kita ke lingkungan kita, yang akan membuat hidup kita lebih ringan, bercahaya, dan bebas masalah.” (Anto Dwiastoro, 4 Februari 2015)

“Bila bayi bisa hidup di dan keluar sendiri dari rahim ibunya berkat tuntunan Tuhan itu natural. Kalau hidupnya di dunia mengikuti tuntunan orang tua, guru, pendeta, syekh mursyid, motivator, suami/istri, teman, masyarakat, dan lain-lain yang tergolong ‘sesama manusia’ itu namanya normal. Lebih seringnya penderitaan kita disebabkan oleh keharusan menjadi normal, alih-alih natural.” (Anto Dwiastoro, 11 Februari 2015)

“Bila mencintai Kereta Api itu dosa, maka aku tidak akan pernah mau tobat—If the love for trains were a sin, then I would never want to repent.” (Anto Dwiastoro, 12 Februari 2015)

“Tak ada yang dikutuk untuk menderita seumur hidup, kecuali ia sendiri yang menghendakinya.” (Dr. K. Sri Dhammananda Nayaka Mahathera, "Be Happy: Mengatasi Takut dan Cemas dari Akarnya dan Bahagia Dalam Segala Situasi". Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya, 2004; hlm. 15)

“Sejarah itu dipublikasikan untuk dipelajari agar masa kini lebih baik daripada masa lalu. Tetapi, tidak sedikit yang mempublikasikan sejarah lewat tulisan atau foto untuk sekadar menegaskan senioritas, atau pengalaman panjang yang telah dilalui sesuatu atau seseorang dengan harapan agar tercipta persepsi bahwa sesuatu atau seseorang itu hebat, atau pesan sublim: ‘Jangan main-main lu ama gue. Gue lebih hebat karena gue udah lama di bidang ini daripada lu!’.” (Anto Dwiastoro, 7 Maret 2015)

“Pengalaman, seberapa pun panjangnya, tidak berarti apa-apa bila itu tidak mengubahmu menjadi orang yang lebih baik daripada sebelumnya.” (Anto Dwiastoro, 14 April 2015)

“Benda—ketika di angan ia terasa mewah. Tetapi ketika sudah di tangan ia terasa sampah.” (Anto Dwiastoro, 24 April 2015)

 Pada akhirnya, yang paling penting itu hubungan antar manusianya.” (Anto Dwiastoro, 25 April 2015)

“Seseorang baru bisa dianggap kreatif bila ia mampu menjinakkan kuda liar imajinasi, agar semua orang bisa menungganginya.” (Anto Dwiastoro, 28 April 2015)

Sucikan dirimu melalui perbuatan, bukan perkataan dan penampilan.” (Anto Dwiastoro, 24 Mei 2015)

“Dalam bisnis, paling tidak ada dua jenis risiko: risiko finansial dan risiko sosial. Bisnis-bisnis sepanjang sejarah hanya bisa meminimalisasi risiko finansial, sedangkan risiko sosial-lah yang sejatinya merupakan tantangan terberat. Karena kamu harus mengelola hubungan-hubungan dengan berbagai pemangku kepentingan, yang tidak selalu dapat terjalin dengan baik meski kamu membayar mereka dengan layak. Uang itu simpel karena ia benda, sedangkan manusia itu kompleks karena ia makhluk hidup. Bukti bahwa Daya Materi lebih mudah diatasi daripada Daya Jasmani.” (Anto Dwiastoro, 11 Juli 2015)

“Mencintai Tuhan tidak mungkin kamu lakukan, selain hanya dengan mencintai ciptaanNya! Sungguh di luar kemampuan manusia untuk menjadi kekasih Tuhan, karena kita banyak kekurangannya, sedangkan Dia Maha Sempurna. Seorang kekasih mau melakukan apa saja demi yang dicintainya. Lha, apakah kamu sanggup? Sedangkan diberi kasihNya berupa ujian kesetiaan saja kamu mengeluh. Cintailah semua ciptaanNya, meski tidak berbalas. Hanya dengan begitu cinta kamu padaNya tersalurkan.” (Anto Dwiastoro, 12 Juli 2015)

“Jangan lakukan karena kamu harus. Tetapi lakukan karena kamu perlu.” (Anto Dwiastoro, 25 Juli 2015)

“Kalau kamu ingin perubahan, lakukanlah perubahan. Tidak usah mengkritik atau memaki orang yang menjanjikan perubahan tetapi mengingkarinya. Tidak ada gunanya dan mengotori hatimu saja.” (Anto Dwiastoro, 25 Juli 2015)

“Bayangkan air dalam botol. Kamu mempermasalahkan botolnya. Buntutnya, botol pun pecah dan isinya tumpah. Terbuang percuma. Ketika cuaca panas, kamu kehausan. Apa yang akan kamu tenggak? Botol itu tidak bisa memuaskan dahagamu. Air itu bisa. Lalu, kenapa kamu mempermasalahkan wadahnya, dan bukan isinya?” (Anto Dwiastoro, 1 Agustus 2015)

“Batu saja dapat hancur oleh tetesan air terus-menerus. Maka keteguhan hati seseorang dapat engkau luluhkan dengan kelembutanmu. Ikuti saja tuntunanNya. Berlakulah sabar, ikhlas, dan tawakal selalu dalam semua langkahmu untuk mewujudkan apa yang kamu impikan untuk kamu capai.” (Anto Dwiastoro, 7 September 2015)

“Kalau kita sudah menginsafi kekuasaan Tuhan atas segala sesuatu, bahwa Dia Maha Mengatur, dan segala sesuatu ada atau terjadi atas kehendakNya, lantas apa lagi yang kita persombongkan? Apa lagi yang kita banggakan? Apa lagi yang kita permarahkan atau dendamkan?” (Obrolan dengan saudara SUBUD, Johan Frisman, di teras rumah tempat Latihan Kejiwaan Kelompok Tebet digelar—11 September 2015)

“Ketika kamu sudah berada di posisi terdepan, saatnyalah kamu menengok ke belakang dan melihat kenyataan bahwa berkat kehendak Tuhanlah kamu bisa berada di posisi sekarang. Dengan begitu, kamu bisa merasakan damai dalam posisi di depan atau di belakang.” (Anto Dwiastoro, 12 September 2015)

“Jangan sedih atau kecewa jika orang lain sulit memahami sikap dan perilaku kamu. Manusia itu memang sulit dipahami. Hanya Penciptanya yg memahami ciptaanNya sepenuhnya. Semakin mudah dipahami, maka kamu berhenti jadi manusia.” (Anto Dwiastoro, 1 Oktober 2015)

“Tidak ada Anto baik atau Anto buruk. Yang ada hanya Anto sejati. Jadilah dirimu sendiri.” (Anto Dwiastoro, 5 Oktober 2015)

“Jangan mengatur-atur Tuhan tentang bagaimana Dia mewujudkan doamu. Tetapkan saja satu permintaanmu kepadaNya, selebihnya serahkan padaNya. Jangan berdoa ‘Ya Tuhan, beri aku proyek yang banyak, yang akan memberiku uang yang banyak buat aku beli tiket kereta api mudik ke Surabaya.’ Berdoalah yang simpel dan tidak mengatur-aturNya: ‘Ya Tuhan, aku ingin mudik ke Surabaya.’. Bagaimana Dia akan mewujudkannya untukmu, serahkan saja semuanya kepadaNya.” (Anto Dwiastoro, 6 Oktober 2015)

“Jangan mencintai seseorang terlalu hebat; habis-habisan sampai seluruh energimu terkuras ke orang itu. Sebab kamu akan mudah menjadi munafik. Lihat saja: begitu ia melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang kamu anut, kamu akan membencinya sedemikian rupa sampai kamu lupa bahwa kamu pernah mencintainya sedemikian rupa, dan berharap kamu tidak pernah mengenalnya. Serahkan cintamu pada seseorang kepada Sumber Cinta dan biarkan Dia yang mengatur dan mengendalikan perasaanmu itu.” (Anto Dwiastoro, 7 Oktober 2015)

“Baik belum tentu benar. Buruk belum tentu salah.” (Anto Dwiastoro, 10 Oktober 2015)

“Orang lain akan tampak membosankan bila kamu memandangnya dengan standar nilai-nilai yang kamu anut. Hidup akan terasa lebih ceria dan membahagiakan bila kamu selalu memandang orang lain sebagaimana mereka adanya.” (Anto Dwiastoro, 12 Oktober 2015) 

“Sadarilah bahwa ketika kamu menjumpai seseorang yang perilakunya membuatmu memandangnya dengan kebencian, sesungguhnya dirimulah yang bermuatan energi negatif yang menarik orang itu masuk ke dalam hidupmu.” (Anto Dwiastoro, 22 Oktober 2015)

“Hidup maupun sejarah bukanlah untuk orang-orang yang mencari kesederhanaan dan konsistensi.” (Jared Diamond, dalam Collapse: Runtuhnya Peradaban-peradaban Dunia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), hlm. 467)

“Tantangan terberat dalam mencintai orang lain adalah menjadi diri sendiri.” (Anto Dwiastoro, 23 Oktober 2015)

“Tahukah kamu apa yang menyebabkan banyak orang tidak siap melangkah di jalan spiritual? Mereka tidak siap karena pikiran mereka penuh dengan nilai-nilai yang menjadi landasan bagi mereka untuk menghakimi orang lain atas dasar benar-salah. Alih-alih melihat diri sendiri, mereka melihat orang lain. Spiritualitas tumbuh atas dasar kesejatian diri—menjadi diri sendiri. Mengada apa adanya dan bukan mengada-ada.” (Anto Dwiastoro, 24 Oktober 2015)

 “Tidak usah risau bila ada orang(-orang) yang membenci atau menjauhimu. Tak mungkin seseorang membencimu kecuali ia benar-benar mencintaimu. Itu sudah menjadi hukum alam.” (Anto Dwiastoro, 25 Oktober 2015, pukul 07.44 WIB)

“Kecuali kamu punya kepentingan pribadi, kamu seharusnya tidak bereaksi berlebihan terhadap kritikan maupun pujian orang lain terhadap dirimu.” (Anto Dwiastoro, 25 Oktober 2015, pukul 23.07 WIB)

“Daripada mengobral kata ‘cinta’, lebih baik kamu mengumbar rasa cinta. Kata ada batasnya, sedangkan rasa menafikan ruang dan waktu.” (Anto Dwiastoro, 30 Oktober 2015)

“Hal terbaik dari berserah diri adalah bahwa kamu menjadi tak terkalahkan. Meski hantaman dan serangan menyerangmu dari segala penjuru, takkan menggoyahkanmu. Doa penuh nafsu dari orang-orang takkan mengusikmu. Karena Tuhan telah mengambil alih beban yang kamu serahkan padaNya. Kejayaan selalu berpihak pada mereka yang berserah diri.” (Anto Dwiastoro, 30 Oktober 2015)

“Ekspresi ‘cinta yang membingungkan’ memang membingungkan. ‘Cinta’ itu istilah buatan manusia untuk menamai fenomena rasa Ilahiah yang tak berbatas dan tak terjelaskan dengan kata-kata. Hanya manusia yang membatasi—dan mendapat kesulitan karenanya—bagaimana dan kepada siapa cinta itu harus diberikan.” (Anto Dwiastoro, 31 Oktober 2015)

“Jangan berkompromi dengan kebenaran yang diperoleh dari orang lain atau dari literatur. Sebaik-baik kebenaran adalah yang kamu pelajari dari pengalamanmu sendiri.” (Anto Dwiastoro, 31 Oktober 2015, pukul 16.17 WIB)

“Sebuah pengalaman spiritual akan terdegradasi nilainya bila diceritakan secara lisan atau tulisan. Perbendaharaan kata yang ada dalam bahasa apa pun tak pernah cukup untuk mengungkap letupan rasa yang menyertaimu ketika engkau melalui pengalaman itu.” (Anto Dwiastoro, 1 November 2015, pukul 23.40)

“Bila setiap langkahmu engkau nilai benar-salahnya, baik-buruknya, engkau tidak akan pernah sampai di tujuanmu. Sambutlah setiap langkahmu dengan sukacita, maka engkau dapat mencapai Pencerahan saat ini juga.” (Anto Dwiastoro, 4 November 2015)

“Sebaik-baiknya guru adalah dirimu sendiri. Dirimu mengerti kamu dari A sampai Z, kelemahan dan kekuatanmu, kekurangan dan kelebihanmu, sejatinya engkau dan arah yang engkau tuju. Dia tahu pelajaran apa dan kapan tepatnya harus disampaikan ke kamu. Dan dia mengajak, bukan mengajar kamu.” (Anto Dwiastoro, 4 November 2015, pukul 08.39 WIB)

“Engkau telah merasakannya dan menyadarinya sendiri selama ini bahwa semua karya tulismu sejatinya merupakan senandika. Dari Tuhan, oleh kamu, dan untuk kamu.” (Anto Dwiastoro, 6 November 2015)

Serah diri biar hidup tidak membuatmu resah diri.” (Anto Dwiastoro, 7 November 2015)

Persistensi itu bagus. Lebih bagus lagi tanpa tensi.” (Anto Dwiastoro, 7 November 2015)

“Hidup itu seperti teka-teki silang—kadang mendatar, kadang menurun. Tetapi bila kamu isi hidupmu dengan kebenaran, kamu akan mendapat kejayaan.” (Anto Dwiastoro, 11 November 2015)

“Benar itu milik manusia, Kebenaran milik Tuhan.” (Anto Dwiastoro, 11 November 2015 pukul 08.05)

“Tenangkan dirimu selalu agar riak-riak liar kehidupan mengimbangi gaya gravitasimu.” (Anto Dwiastoro, 11 November 2015 pukul 11.35)

“Tuntunan Tuhan tidak pernah salah. Pikiran kamulah yang salah memaknainya.” (Anto Dwiastoro, 11 November 2015, pukul 21.23 WIB)

“Kalau kamu merasa sembahyangmu terusik oleh keramaian di sekitarmu, jangan salahkan sekitarmu. Tapi, tenangkan pikiran dan hatimu yang ramai oleh segala sesuatu selain Dia.” (Anto Dwiastoro, 15 November 2015)

“Hanya orang bodoh yang memaksakan prasangka buruknya, yang berdasarkan secuil pengetahuan teoritisnya tentang sesuatu, pada mereka yang mengetahui banyak tentang sesuatu itu berdasarkan pengetahuan empiris mereka.” (Anto Dwiastoro, 16 November 2015)

“Waspadalah, kepuasan yang kamu rasakan atas hasil dari perkataan atau perbuatanmu, pikiran atau perasaanmu bisa jadi hanya nafsu yang tanpa kamu sadari menyeretmu ke jurang kenistaan. Bersikap sewajarnya saja, karena toh hasil itu kamu dapatkan atas kehendakNya.” (Anto Dwiastoro, 16 November .2015 pukul 03.32 WIB)

“Luka hanya menunjukkan di mana kita pernah berada, tetapi tidak mengarahkan ke mana kita harus pergi.” (Criminal Minds, FOX, S S010 Eps 12—16 November 2015 pukul 09.10 WIB.)

“Kalau kamu meragukan kemampuan orang lain—bahwa ia bisa berubah dari keadaannya saat ini—maka sesungguhnya kamu meragukan kemampuanmu sendiri. Dan meragukan kemampuanmu sendiri adalah tanda lemahnya imanmu.” (Anto Dwiastoro, 16 November 2015 pukul 16.38 WIB)

“Menjadi dirimu sendiri memudahkanmu menjadi kreatif. Itulah sebabnya ide-ide hebat lahir di toilet. Karena di toilet kamu sendirian dan menjadi dirimu sendiri.” (Anto Dwiastoro, 19 November 2015)

“Orang biasa memperhatikan apa yang diucapkan orang lain dan memetik ucapan itu sebagai pedoman untuk dirinya. Orang luar biasa memperhatikan ucapannya sendiri dan menjadikannya pedoman untuk dirinya sendiri maupun orang lain.” (Anto Dwiastoro, 19 November 2015 pukul 04.51)

“Segala sesuatu memiliki vibrasi. Kamu hanya perlu merasakannya agar kamu berjumbuh dengan segala sesuatu.” (Anto Dwiastoro, 20 November 2015)

“Sampaikan perasaanmu dengan bebas, bukan dengan beban. Perasaan positif—seperti cinta—yang kamu sampaikan kepada seseorang dengan perasaan yang terbebani hanya akan menghilangkan positivitas itu dan merusak dirimu. Jadilah dirimu sendiri dan ungkapkan perasaanmu dengan bebas, tanpa beban. Ketika kamu berserah diri kepadaNya, meski dunia membencimu atas perasaan sejati yang kamu miliki, langkahmu menjadi ringan karena Tuhan membantu memikul bebanmu.” (Anto Dwiastoro, 22 November 2015)

“Ya, semua akan indah pada waktunya. Sudah pasti itu. Hanya saja jam kita kebanyakan jam karet. Waktu kita selalu ketinggalan jauh dari jamnya Tuhan. Dan kebanyakan orang juga hanya membukakan pintu bagi kasih-sayangNya pada waktu-waktu 'ibadah ritual' saja.” (Anto Dwiastoro, 23 November 2015 pukul 15.55)

“Di sini, di hati ini, memenuhinya adalah rinduku padamu
Di sana, di alam semesta, vibrasi Cinta Agung menjangkaumu
Di sini, di saat yang bernilai ini, aku menyalurkan Cinta itu ke arahmu...” (Anto Dwiastoro, 25 November 2015 pukul 05.26)

“Jalan spiritual membuat kita menjadi diri sendiri, bukan menjadi orang beriman atau baik menurut nilai-nilai bikinan manusia berdasarkan gagasan-gagasan memetis. Menjadi orang beriman atau baik merupakan produk sampingan dari laku spiritual. Menjadi diri sendiri berarti hidup secara sadar di saat ini.” (Anto Dwiastoro, 27 November 2015, pukul 06.45 WIB)

“Aku mencintaimu pada setiap napas yang kau tarik. Kau mencintaiku pada setiap napas yang kau embuskan.” (Anto Dwiastoro, 27 November 2015)

“Kalau kamu merasa uang dapat membahagiakanmu, maka ia takkan pernah cukup bagimu. Kamu akan mengikuti ajakannya untuk terus berusaha menambahnya. Tapi kalau kamu merasa cintaNya dapat membahagiakanmu, maka Dia akan melipatgandakannya bagimu setiap kali kamu berserah diri kepadaNya.” (Anto Dwiastoro, 28 November 2015)

“Kalau kamu berkesadaran, ketika kamu menyerang orang lain dengan pukulan atau kata-katamu, maka kamu tahu bahwa sesungguhnya kamu sedang memukuli atau mengata-ngatai dirimu sendiri. Cepat atau lambat itu akan berhimpun menjadi penyakit yang merusak kesehatan lahir dan batinmu. Sebaliknya, ketika kamu mencurahkan cinta kepada orang lain, sejatinya kamu sedang mencintai dirimu sendiri. Tubuhmu bereaksi, memancarkan kesehatan sempurna.” (Anto Dwiastoro, 29 November 2015)

“Kumasuki hatimu dengan setitik terang
Yang dengannya kutulis puisi satu Kata memenuhi alam semesta
Seiring embus napasku panjang menjangkau damai untukmu:
Allah...” (Anto Dwiastoro, 29 November 2015, pukul 12.15 WIB)

“Kita lahir sebagai diri sendiri dan mati sebagai diri sendiri. Mengapa pula hidup sebagai orang lain?” (Anto Dwiastoro, 30 November 2015)

“Cinta itu tidak menyakiti. Yang menyakiti itu hati yang bermuatan nafsu, makanya ketika cinta pergi yang sakit adalah hatimu. Cintai orang lain dengan jiwamu, jangan hatimu. Jiwa tidak pernah sakit, karena ia dalam genggaman tanganNya.” (Anto Dwiastoro, 30 November 2015)

“Satu-satunya cara untuk mampu terus mencintai orang yang telah menyakiti hatimu adalah memaafkannya dengan tulus. Saat itulah, Tuhan mengisi hatimu dengan cintaNya yang kekal.” (Anto Dwiastoro, 2 Desember 2015)

“Ketahuilah, kalau kamu mencintai seseorang dengan pamrih 100%, maka kelak ketika kamu mengakhiri hubungan dengannya kebencianmu padanya akan 100%—dan kebencian itu akan sulit kamu atasi. Kalau kamu mencintai seseorang tanpa pamrih, kedalaman cintamu padanya akan terpelihara bahkan ketika kamu sudah tidak berhubungan lagi dengannya.” (Anto Dwiastoro, 3 Desember 2015)

“Ketahuilah, kebencian itu menularkan sifat-sifat negatif orang yang kamu benci ke dirimu. Kamu akan mencerminkan sikap dan perilaku persis sama dengan dia. Itulah yang menjelaskan, antara lain, mengapa orang yang orang tuanya bercerai akan mengalami perceraian pula dalam perjalanan hidupnya, dan begitu seterusnya sampai keturunannya yang kesekian—semata karena ia membenci salah satu atau kedua orang tuanya lantaran perceraian itu. Itu merupakan hukum Alam yang untuk menghindarinya hanya dibutuhkan satu hal: Jangan membenci sesamamu!” (Anto Dwiastoro, 4 Desember 2015 pukul 23.16 WIB)

“Berpikir dan bertindaklah seperti anak kecil dengan tingkah polosnya. Anak kecil—kecuali yang dimanja orang tuanya—akan menangis sebentar ketika jatuh, tapi akan segera berdiri dan berlari-lari lagi, seolah tidak ada yang perlu ia risaukan. Risau itu ibarat pisau: ia akan mengiris semangatmu sedikit demi sedikit sampai tidak bersisa lagi, sehingga ketika kamu jatuh kamu emoh bangkit lagi. Serahkan risaumu padaNya, daripada kamu mendekapnya terus dan membiarkannya mengiris semangat juangmu.” (Anto Dwiastoro, 5 Desember 2015)

“Kata mereka itu, hidup memberi kita pilihan. Tapi selalu adalah ‘pilih salah satu‘ dari dua atau lebih pilihan—itu hukum bikinan manusia yang berasal dari pikirannya, bukan hukum alam. Kenyataannya, kamu bisa memilih salah dua, salah tiga, salah empat, dan seterusnya. Kalau kamu bingung memilih di antara pilihan-pilihan yang ada, pilihlah semua atau beberapa di antaranya, sesukamulah. Kalau kamu bingung antara memilih spaghetti dan gulai, makan saja spaghetti siram kuah gulai. Itu tidak akan membunuhmu atau membuatmu kelihatan bodoh. Yang bodoh itu adalah ketika kamu merasa ‘tidak ada pilihan’.” (Anto Dwiastoro, 6 Desember 2015)

“Berpikir positif itu bukan cuma terhadap kejadian atau perbuatan negatif orang lain terhadap dirimu. Tapi juga terhadap apa yang kamu makan, terhadap semua aktivitasmu, terhadap semua tindakan-tindakanmu bagi diri sendiri maupun orang lain. Yang kamu makan dengan pikiran positif tidak akan merusak tubuhmu; aktivitas-aktivitasmu tidak akan merugikanmu; dan tindakan-tindakanmu tidak akan mencelakakanmu maupun orang lain yang terhadapnya kamu bertindak.” (Anto Dwiastoro, 9 Desember 2015)

“Dengan bersabar, kamu dapat dengan cepat memahami dan menerima apa-apa yang tadinya tidak dapat kamu pahami dan terima lantaran nafsumu tidak bersabar dalam menilai kenyataan di permukaan dan di bawah permukaan.” (Anto Dwiastoro, 11 Desember 2015, pukul 20.00 WIB)

“Sampaikan kepada Tuhan apa yang kamu cita-citakan. Setelah itu, siapkan mentalmu. Mengapa? Karena seringnya, cara Tuhan mewujudkan apa yang kamu cita-citakan tidak sejalan dengan apa yang kamu bayangkan; yang kalau kamu tidak sabar, kamu akan kecewa padaNya dan meninggalkanNya.” (Anto Dwiastoro, 11 Desember 2015 pukul 21.18 WIB)

“Segala sesuatu dalam hidupmu terjadi bukan tanpa alasan—dan alasannya baik untukmu, walau kamu kadang merasa tersiksa. Setiap kali kamu merasa keburukan orang lain membuatmu menderita dan kamu marah karenanya, camkanlah hal ini: Setan pun adalah ciptaan Tuhan.” (Anto Dwiastoro, 12 Desember 2015)

“SENANDIKA—SENANtiasa DIKaruniai Allah.” (Anto Dwiastoro, 12 Desember 2015)

“Usahakan agar tidak berpikir negatif. Terutama tentang dirimu sendiri.” (Anto Dwiastoro, 14 Desember 2015)

“Jika bagian belakang dihadapkan ke depan, belakang akan menjadi depan. Depan-belakang hanyalah sudut pandangmu. Jadi, setiap kali kamu mengalami kemunduran dalam hidupmu lihatlah ke belakang—hadapkan dirimu ke arah mundurmu. Niscaya kamu akan kembali maju.” (Anto Dwiastoro, 16 Desember 2015)

“Waspadalah terhadap jiwa-jiwa yang sakit di sekitarmu. Sebagian dari mereka berbalut kebaikan atau kesucian. Cegah dirimu dari menilai apa yang ada di permukaan—karena kebenaran hakiki ada di bawah permukaan.” (Anto Dwiastoro, 19 Desember 2015)

“Setiap orang memiliki sisi gelap dalam dirinya. Namun, tersedia senter Illahi bagi kamu untuk menyusuri sisi gelap itu dan menemukan penyebabnya sekaligus mengembalikan terangnya. Baterai senternya adalah penyerahan dirimu dengan sabar, ikhlas, dan tawakal.” (Anto Dwiastoro, 21 Desember 2015)

“Orang kreatif itu tidak dilahirkan. Mereka diciptakan—diciptakan oleh diri mereka sendiri yang tidak kenal kata ‘berhenti’ dalam belajar. Setiap detik bagi mereka adalah momen penciptaan.” (Anto Dwiastoro, 21 Desember 2015)

“Yang berbahaya adalah kata-kata yang gagal mengurai kedalaman maknanya. Bukan oleh sebab kata-kata itu sendiri, melainkan oleh pemahaman yang belum sampai.” (Anto Dwiastoro, 27 Desember 2015)

“Pencerahan itu bukan datang dari orang lain, melainkan dari sampainya jiwamu pada pemahaman atas apa yang disampaikan orang lain. Biar seribu kata disampaikan kepadamu, bila jiwamu belum sampai pada pengertiannya, maka kamu tidak akan tercerahkan. Paling banter, hanya pikiran dan nafsumu yang terpuaskan.” (Anto Dwiastoro, 28 Desember 2015)


Tuesday, December 22, 2015

Life is a Continuous Learning Process

I’ve been on this earth for more than four decades. Being in a city like Jakarta, where there are buildings that measure their age by the millennia, helps put that brief blink of the eye into perspective. But still, it amazes me that I’ve been around that long—I feel like I’ve barely begun.

I’m not usually one to make a big deal about my age, but as always, it has given me an opportunity to reflect. I thought I’d share a handful of lessons I’ve learned—as a helpful guide for myself as well as for those just starting out.

These lessons shine a dim light on the streets I have to navigate ahead of me, though I know I still stumble as much as I had.

1. I always swallow my pride to say I’m sorry. Being too proud to apologize is never worth it—my relationship suffers for no good benefit.

2. Slow down. Rushing is rarely worth it. Life is better enjoyed at a leisurely pace.

3. Goals aren’t as important as we think. I tried working without them for a week. Turned out, I could do amazing things without goals. And I didn’t have to manage them, cutting out on some of the bureaucracy of my life. I’m less stressed without goals, and I’m freer to choose paths I couldn’t have foreseen without them.

4. The moment is all there is. All my worries and plans about the future, all my replaying of things that happened in the past—it’s all in my head, and it just distracted me from fully living right now. I let go of all that, and just focus on what I was doing, right at this moment. In this way, for me any activity can be a Latihan Kejiwaan.

5. I’m not cool, and I’m cool with that. I wasted a lot of energy worrying about being cool. It’s way more fun to forget about that, and just be myself.

6. When I find myself swimming with all the other fishes, I will go the other way. They don’t know where they are going either.

7. I realize, I can’t read all the good books, watch all the good films, go to all the best cities in the world, try all the best restaurants, meet all the great people. But the secret is: Life is better when I don’t try to do everything. I learned to enjoy the slice of life I experience, and life turns out to be wonderful.

8. Mistakes are the best way to learn. I’m not afraid to make them. I just try not to repeat the same ones too often.

9. I have a lot left to learn. If I’ve learned anything, it’s that I know almost nothing, and that I’m often wrong about what I think I know. Life has many lessons left to teach me, and I’m looking forward to them all. 



Kalibata, South Jakarta, December 18, 2015

Thursday, October 22, 2015

Baru Setiap Waktu

Ada kebaruan di wajahmu
Senyum terindah terukir di beludru
Mata menari di pentas rindu
Mulut menyenandung, nada dan irama berpadu
Mendekatkan diri pada Yang Maha Satu
melalui jalinan angka usia yang baru
Berbahagialah, karena dalam iringan menyatu
tahun dan kamu baru setiap waktu...


Kalibata, Jakarta Selatan, 14 Oktober 2015/Tahun Baru Islam 1 Muharam 1437 H.

Friday, October 2, 2015

Jalan Pintas Spiritual--Menulis

SPIRITUALITAS merupakan bagian integral dari keberadaan kita. Ada yang memerlukan jalan tertentu untuk menginsafinya—seperti saya aktif Latihan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (SUBUD), namun ada pula yang mengabaikan makna penting dari berspiritualitas.

Bagi kebanyakan orang, spiritualitas atau mencapai keadaan spiritual merupakan jalan melelahkan yang memerlukan upaya keras yang tak jarang membuat si “pejalan” jenuh dan akhirnya berhenti/mundur. Padahal kenyataannya spiritualitas tidak melulu berisi serangkaian aktivitas yang menguras tenaga dan pikiran sebagaimana yang diperkenalkan di tarekat Sufi/tasawuf. Kalau Anda mau, ada lho JALAN PINTAS SPIRITUAL (spiritual shortcut).

Apa iya ada yang namanya “jalan pintas spiritual”? ADA! Untuk memulainya, kita
perlu mengubah pandangan kita tentang apa artinya melangkah di “jalan spiritual. Cara yang paling produktif untuk memandang spiritualitas bukanlah merupakan jalan pembelajaran, tapi jalan yang meniadakan pembelajaran. Kenapa begitu? Begini, kita tuh sebenarnya nggak pernah benar-benar terputus dari spiritualitas kita. Tanpa sumber energi universal mengalir melalui kita setiap saat, kita akan berhenti menguasai bentuk-bentuk manusia yang terlampau menggunakan akal pikirnya, yang kita sebut “kita” ini. Masalah sebenarnya adalah bahwa kita termakan omong kosong sejarah, budaya, dan pribadi yang membuat keterhubungan spiritual kita tampak seolah merupakan pengalaman terisolasi dan kabur.

Mengetahui bahwa kita selalu terhubung, jalan kita menjadi tidak lagi tentang mencoba untuk menjadi spiritual tetapi tentang membuang sampah yang membuat kita berakar terlalu dalam pada realitas fisik dari keberadaan kita. Karena kita (sebagai masyarakat) memberikan begitu banyak makna pada indra fisik dan pikiran kita, kita cenderung untuk mengisi hidup kita dengan berbagai kesibukan. Bahkan, orang-orang tampaknya menganggap keren ketika Anda memberitahu mereka bahwa Anda “sedang sibuk”. Kecenderungan menjadi stres dan terlalu banyak bekerja ini berarti bahwa sebagian besar dari kita punya waktu yang terbatas untuk berlatih spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari kita. Inilah sebabnya mengapa jalan pintas untuk spiritualitas sangat penting.

Di antara sejumlah jalan pintas spiritual yang ada, saya tawarkan satu ini—karena terkait dengan profesi saya… 

Menulis

SELAIN membaca materi spiritual (yang saya tahu Anda sudah melakukannya), MENULIS merupakan jalan pintas yang kuat untuk mencapai kejernihan mental dan spiritualitas. Menuliskan pikiran-pikiran Anda dapat dilakukan dalam beberapa cara, seperti menulis jurnal/buku harian, menulis bebas, dan lain-lain. Tidak penting gaya penulisan macam apa yang Anda pilih. Bahkan, jika Anda memiliki “hambatan penulis” (writer’s block) ketika Anda duduk untuk memulai maka Anda dapat menulis kata-kata atau kalimat yang sama berulang-ulang sampai waktu Anda habis atau sampai Anda memikirkan sesuatu yang lain untuk dituliskan. Jika Anda tidak terbiasa menulis, atau memiliki kemampuan menulis yang terbatas, maka mulailah dengan tidak lebih dari lima menit berturut-turut disusul oleh istirahat sejenak.

Salah satu waktu terbaik untuk menulis adalah setelah membaca, menonton atau memikirkan sesuatu yang merangsang pemikiran. Kita semua memiliki momen “ah-ha!” itu yang tampaknya mengubah hidup kita, hanya untuk melihat dampaknya memudar seiring waktu (biasanya lebih cepat). Cara yang baik untuk menyimpan informasi yang telah Anda pelajari adalah hanya menuliskan apa yang Anda ingat. Anda dapat menambahkan pikiran dan pengalaman Anda sendiri dan Anda dapat menuliskan apa yang Anda suka dan/atau tidak suka tentang hal itu. Tidak penting apakah Anda menulis tentang sesuatu yang mendalam karena manfaat sebenarnya terletak pada tindakan yang Anda ambil.

Contoh Latihan Menulis Lima Menitan:
  • ·       Awali setiap kalimat dengan menulis, “Aku ingat…”
  • ·       Kalimat-kalimat alternatif yang diawali dengan

o   Sebuah kisah yang aku ceritakan pada diriku sendiri adalah…”
o   Yang benar adalah…”
  • ·       Tulislah tentang pertemanan yang tak terduga.
  • ·       Tulislah tentang air atau api.
  • ·       Mulailah sesi Anda dengan menulis, “Aku sama sekali tidak bisa menulis tentang…”


Spiritualitas merupakan proses pengalaman alih-alih sebuah proses berpikir. Berhasil tidaknya jalan pintas spiritual ini tergantung sepenuhnya pada Anda.©

Thursday, October 1, 2015

Sisi Positif Kepribadian Rentan Fantasi

“RAPOR” pemeriksaan psikologi saya dari psikolog yang dirujuk oleh sekolah dasar di Belanda tahun 1970an menyatakan: “80% dari waktunya sehari-hari dihabiskan AntoDwiastoro di dunia imajinasinya. Bila diarahkan dengan baik, akan membuat ia berkembang menjadi pribadi yang sangat kreatif”. Rapor resmi sekolah dasar di mana saya bersekolah di Den Haag, Belanda, antara tahun 1974 sampai 1978 selalu ada catatan—yang membuat ibu saya sedih: “Suka melamun. Anto seperti hidup di dunia lain!” 

Tahun 1996, ketika menjadi Senior Copywriter di sebuah perusahaan periklanan multinasional Grey Indonesia, Creative Director-nya, yang seorang Australia berlatarbelakang copywriter pemenang Clio Award, penghargaan bergengsi periklanan dunia, bilang ke saya, ketika saya mengajukan surat pengunduran diri, “Suatu malam, saya nggak bisa tidur dan berpikir. Istri saya yang juga creative director di biro iklan AIM Communications, tanya, ‘Neal, apa yang mengganggu pikiranmu?’ Saya bilang ke dia, ‘Ada orang ini di GreyIndonesia—sebagai orang Indonesia, dia kelewat kreatif. Tahukah kamu siapa dia? That’s you, Anto!” 

Saya bercerita kepada Neal Weeks, sang CD di Grey Indonesia, kalau semasa kecil—hingga dewasa—saya divonis psikolog rujukan sekolah “menderita” (nyatanya, saya tidak menderita) FPP atau Fantasy Prone Personality atau Kepribadian Rentan Fantasi. Karena mendapat bimbingan dan arahan yang baik di sekolah, maka saya dan sejumlah rekan sekelas yang juga FPP berkembang menjadi pribadi-pribadi yang kreatif.

Kepribadian Rentan Fantasi atau FPP merupakan disposisi atau ciri kepribadian di mana seseorang mengalami keterlibatan seumur hidup yang luas dan mendalam dalam fantasi. Disposisi ini merupakan upaya, setidaknya sebagian, untuk menggambarkan “imajinasi yang terlalu aktif” atau “hidup dalam dunia mimpi” secara lebih baik. Orang dengan sifat ini (disebut sebagai fantasizer) mungkin mengalami kesulitan dalam membedakan antara fantasi dan kenyataan dan dapat mengalami halusinasi, serta gejala-gejala psikosomatik diri yang dibuatnya sendiri.

Konstruk-konstruk psikologis yang terkait erat dengan FPP termasuk melamun, penyerapan diri (ke dalam fantasi) dan memori eidetik (kemampuan mengingat dengan sangat detil gambar, bunyi, atau benda dalam memori setelah terpapar sepintas dengan gambar/bunyi/benda tersebut). Orang-orang dengan FPP dilaporkan menghabiskan sebagian besar waktu mereka berfantasi, memiliki fantasi-fantasi yang sangat kuat dan tajam, memiliki pengalaman paranormal, serta pengalaman religius yang intens. Orang-orang dengan FPP dilaporkan menghabiskan lebih dari setengah dari waktu mereka berfantasi dalam keadaan terjaga atau melamun dan sering mencampurkan fantasi mereka dengan ingatan mereka yang sebenarnya. Mereka juga melaporkan pengalaman-pengalaman keluar dari tubuh atau “ngraga sukma”.

FPP tidak selamanya berdampak buruk. Bagi sebagian besar orang, melamun merupakan sebuah dunia virtual di mana kita dapat mengerangka masa depan, mengeksplorasi skenario-skenario terburuk atau membayangkan petualangan-petualangan baru tanpa risiko. Melamun dapat membantu kita merancang solusi-solusi kreatif atas permasalahan-permasalahan kita atau memaksa kita, sementara kita sibuk dengan satu tugas, untuk mengingat-ingat tujuan-tujuan penting lainnya. Terlepas dari segala kemungkinan terburuk, dengan dukungan, bimbingan, dan arahan yang baik, orang-orang dengan FPP dapat menjadi pribadi-pribadi yang sangat kreatif, yang akan mendatangkan kebaikan baik bagi mereka sendiri maupun masyarakat.

Kesukaan berimajinasi—yang berkat bimbingan para guru saya di Belanda membuat saya dapat menerima bahwa kenyataan tidak selalu sejalan dengan khayalan—terbukti banyak membantu saya dalam mencintai pekerjaan atau tugas-tugas yang tidak saya sukai. Seperti saat mengepel lantai rumah, saya bayangkan diri saya sedang mengepel dek kapal induk—sesekali saya menengadahkan kepala seolah sedang mengawasi apakah ada pesawat yang akan mendarat; ketika mencuci motor, saya berimajinasi sedang mencuci pesawat atau lokomotif; waktu naik angkot yang penuh dan saya duduk di dekat pintunya, saya berkhayal saya sedang duduk di dalam helikopter yang membawa pasukan ke medan tempur. Ketika mendapat kerjaan menulis buku bertema sejarah, yang mengharuskan saya melakukan penelitian (yang bagi saya merupakan kegiatan yang menjemukan), saya membayangkan diri menjadi Indiana Jones dalam misi pencarian harta karun. Semua jadi terasa menyenangkan—dan tugas-tugas pun terselesaikan dengan baik. Coba deh!© 


Kalibata, Jakarta Selatan, 2 Oktober 2015

Wednesday, September 30, 2015

Green with Envy

Green is one of my all-time favorite colors. I love green—all shades of it! So I guess it figures that God would use my love for green to teach me some serious lessons.

Green is the color of balance and harmony. From a color psychology perspective, it is the great balancer of the heart and the emotions, creating equilibrium between the head and the heart.

From a meaning of colors perspective, green is also the color of growth, the color of spring, of renewal and rebirth. It renews and restores depleted energy. It is the sanctuary away from the stresses of modern living, restoring us back to a sense of wellbeing. This is why there is so much of this relaxing color on the earth, and why we need to keep it that way.

Green is an emotionally positive color, giving us the ability to love and nurture ourselves and others unconditionally. A natural peacemaker, it must avoid the tendency to become a martyr.

I’m not sure which author first used the color green as a symbol for envy in literature. I’m going with Shakespeare. But I can tell you that the green-eyed monster was at the root of many struggles in my psychological walk throughout my teenage years.

The way I see it, there are two ways that envy affects a person’s life: you are either the target of someone’s envy or you are the very embodiment of envy yourself. For me, being the target is the worst! All of my psychological life, I’ve desired to be the person that God asks of me. I strive to exhibit SUBUD-like qualities in my character, in my personality, in my relationships, and in my walk with God. Even as a copywriter with wild imaginations and fantasies, I wanted to have integrity in my friendships, my goal-setting, and in taking care of the physical appearance that God gave me.©1 October 2015

Tuesday, September 29, 2015

Rona Kehidupan

Kesahajaan dan kesederhanaanmu

Laksana daun hijau pupus yang hening
di permukaan air bening

Tak hendak riak-riak menggoda ketenanganmu

Merengkuh kehidupan keji
dengan kelembutan diri tertuntun Ilahi

Terlindungi DzatNya yang meliputi semesta berbaju kasih abadi

Tatkala engkau larut dalam sujud berserah diri...



Pondok Jaya, Jakarta Selatan, 28 September 2015

I Am a Coffee-Writer—Oops—a Copywriter Who Drinks Coffee

A perfect start for my day is to have a cup of hot and fresh coffee. I give a lot of importance to coffee in my daily life. Coffee and tea have a defined space of our diet. Almost 80% of the people in the world have coffee or tea. Most of us are addicted to these drinks. We have them to relax, refresh, relieve, and activate our body. Each of us has our own purpose of having them. These are classified as beverage drinks with a different aroma, that drives one away from the world for a second at least. Most of them prefer to consume a lot of soft drinks whenever they go out. But we know how soft drinks impact on health.

When I am holding a cup of coffee, the warmth radiates through my hands, forearms, and shoulders. The smell wafts through the air from the dark caramel color, almost black. The whole experience is sensual, and helps my sleepy self wake up to greet the day with gratitude and a tranquility that I feel from this warmth. It induces a peaceful demeanor, which invites me to meet God and my own thoughts. In these moments, I review the previous and forthcoming days, reflecting on both the harder and easier parts in order to create my hopes for the new day.

Now, I hang out mostly in coffee shops, where I can enjoy my time with a fresh coffee.***

Friday, September 25, 2015

Palupi (2)

Dari jauh kubaca engkau seperti sebuah buku
yang ceritanya mengalir seperti angin menerpa wajahku

Kata-kata yang tertata, kalimat yang berkerangka
Berjalin kelindan, mengungkap sebuah kisah tentang asa
Menangkup jiwa dan raga dalam sujud serah diri kepada Yang Kuasa

Hening tenteram mengada, menerangi cakrawala
Kala kusebut namamu dalam detak nada:
Palupi, engkaulah sebaris rindu dalam doa
yang kupanjatkan sepanjang masa...



Kalibata, Jakarta Selatan, 23 September 2015