Monday, September 29, 2008

Jurus Kera Sakti


"Tujuan dari pendidikan adalah mengganti pikiran yang kosong dengan pikiran yang terbuka." -- Malcolm Forbes (1919-1990), dalam majalah Forbes.


Pada malam hari, tanggal 27 September 2008 lalu, saya menonton satu program di National Geographic Channel (NGC) yang berjudul Human Ape. Mengira bahwa itu sekadar program informasi biasa tentang jenis-jenis kera yang sedikit banyak mirip manusia, saya disuguhi tontonan yang luar biasa mengenai karakter kera yang dalam beberapa segi bahkan melebihi manusia. Selama menonton, berulangkali saya menggeleng-gelengkan kepala, mengagumi kebisaan kera dan kemampuan NGC menggali itu semua -- dan karenanya membuat saya semakin memfavoriti National Geographic. Ketika program tersebut selesai tayang, saya membayangkan bilamana pendidikan di Indonesia dilatari jurus kera sakti. Barangkali orang Indonesia akan memiliki lebih banyak peluang untuk sintas (survive) dalam krisis multidimensi sekarang ini.

Betapa tidak, pada Human Ape saya menyaksikan bagaimana dalam menghadapi sejumlah masalah, kemampuan kera berkesan lebih kreatif daripada manusia. Contohnya, ketika peneliti menaruh kacang di dasar tabung pipa yang membuat makhluk berlengan dan berjari tidak bisa menjangkaunya, seorang anak manusia berusia 3 tahun gagal menemukan solusi untuk mengeluarkan kacang tersebut. Anak lainnya, berumur 8 tahun, bisa mengeluarkan kacang dari tabung itu setelah terlebih dahulu mengisi tabung dengan air yang kemudian mendorong kacang sampai ke permukaan tabung, sehingga anak itu dapat menggapainya.

Ketika tantangan 'kacang dalam tabung' itu diujicoba pada seekor orangutan, makhluk bertampang dungu itu langsung menyodorkan mulutnya ke keran, memenuhinya dengan air yang lantas dimuntahkannya ke dalam tabung hingga kacang terdorong ke permukaan tabung, persis cara anak umur 8 tahun tadi. Anak orangutan yang berumur 3 tahun bisa meniru tingkah induknya, walaupun baru sekali lihat. Dalam uji 'kacang dalam tabung' tersebut, anak manusia kalah dari anak kera!

Dalam kesempatan lain, seorang peneliti menunjukkan kepada seorang anak manusia suatu prosedur perolehan makanan dari sebuah kotak hitam terbuat dari mika. Pertama, si peneliti mengetuk bagian atas kotak dengan sebuah tongkat kecil, lalu menggeser sebuah silinder yang menghalangi sebuah lubang di bagian atas kotak, menyodok-nyodok lubang tersebut dengan tongkat tadi, lalu menyodok-nyodok lubang di bagian tengah kotak hingga diperoleh makanan yang menempel pada ujung tongkat. Si anak menirukannya, persis seperti yang dilakukan si peneliti.

Berikutnya, uji-coba yang sama diterapkan pada seekor simpanse. Dalam hal ini, simpanse tak ubahnya anak manusia tadi. Tetapi ketika hal yang sama diaplikasi dengan menggunakan kotak yang tembus pandang, yang memperlihatkan bahwa serangkaian prosedur tadi sesungguhnya tidak relevan -- karena lubang di bagian atas kotak tidak terhubung ke mana pun, sedangkan silinder mesti digeser dahulu juga hanya pajangan -- sejumlah anak manusia tetap meniru apa yang ditunjukkan oleh si peneliti, sedangkan si simpanse langsung menyodokkan tongkat ke lubang yang ada makanannya -- di bagian tengah kotak. Luar biasa!

Manusia, yang selama ini dipersepsi sebagai makhluk mulia di sis Tuhan berkat akal pikir dan budi pekertinya, ternyata berkecenderungan meniru daripada bersikap kreatif. Bahkan manusia tak jarang meniru perilaku hewan. Dalam program NGC yang lain, saya beroleh informasi bahwa 'tablet arang' carbo activatus Norit, yang ampuh mengatasi keracunan makanan, rupanya diilhami oleh tingkah monyet di hutan Amazon yang suka memunguti arang bekas bakaran di perkampungan suku-suku setempat serta memakannya. Penelitian laboratorium melahirkan fakta bahwa arang yang dimakan monyet itu menetralisasi racun yang terkandung dalam sejenis buah ceri yang ia makan sebelumnya. Saya pun bertanya-tanya, "Siapa gerangan yang mengajari monyet-monyet itu, ya?"

Dalam tindakan meniru tidak ada upaya mengatasi persoalan secara berbeda -- yang menjadi ciri khas dari pemecahan masalah secara kreatif. Yang ada hanyalah 'hitam di atas putih', alias menjiplak. Masalahnya, hidup ini, juga karakter manusianya, tidak hitam-putih. Jika segala sesuatunya diperlakukan sama -- yang menjadi ciri dari sikap plagiasi -- banyak persoalan hidup ini yang tidak bisa diselesaikan secara memuaskan, atau bahkan tak bisa diatasi sama sekali.

Jika keadaan sosial-ekonomi bangsa ini terus kerepotan, menurut hemat saya dikarenakan pendidikan formalnya masih berpijak pada 'guru', yang digugu dan ditiru. Bukannya 'juru' (keahlian pribadi) yang menjuju (mengarahkan/membidik) dengan sudut pandang yang baru. Pendidikan di negeri ini masih bermuatan cara berpikir vertikal, bukannya lateral. Melihat dari sudut pandang yang baru memungkinkan kita seperti kerasukan jurus kera sakti: mengatasi tantangan hidup dengan cara yang berbeda, yang tak terduga. Bedanya dengan kera, manusia punya tujuan hidup. Tetapi bagaimana kita dapat mencapainya bila kita kesulitan mengatasi berbagai rintangan yang menghadang?

"Meniru adalah keliru," ucap Muhammad Subuh, pendiri Subud. Meniru berarti menafikan hakikat bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatunya dalam keanekaragaman. Meniru berarti menjerumuskan esensi kemanusiaan kita -- sebab, sifat berbeda tetapi satu menunjukkan sifat Illahi. Meniru menghambat termanifestasikannya potensi-potensi berlimpah yang sesungguhnya kita miliki -- yang demikian hebatnya, sehingga kenyataan ini mengklarifikasi Omni-FactorTM (faktor ke-maha-bisa-an) dalam diri kita.

Oleh karena itu, budaya Subud tidak bercirikan tiru-meniru, melainkan 'mengikuti tuntunan rasa diri' kita masing-masing. Dengan kata lain, berbudaya Subud adalah 'menjadi diri sendiri', tidak meniru perkataan dan perbuatan, pikiran dan perasaan orang lain, yang belum tentu cocok bagi kepribadian kita. Model pendidikan berbudaya Subud-lah yang kiranya tepat bagi masyarakat agar dapat terus tumbuh dan berkembang, mendobrak belenggu krisis multidimensi.

"Apa arti sebenarnya dari pendidikan di Indonesia? Ke mana Anda akan dibawanya?" tulis Harumi Supit dalam artikelnya, "A Window on Formal Education," di majalah Kabar vol. II Issue 13, 2007, halaman 64. Di aras dasar, pendidikan memberi kita kompetensi baca dan aritmetika dasar. Tetapi pendidikan, menurut Harumi, tidak menjamin seseorang dapat memperoleh pekerjaan. Di Indonesia, katanya, pekerjaan kerap bergantung pada banyaknya koneksi yang dimiliki seseorang. Ada banyak pengangguran, baik yang berpendidikan maupun yang tidak.

Menurut pakar pendidikan, Prof. Dr. Winarno Surakhmad, kualitas pendidikan selama Reformasi kembali menurun, setelah melewati dua periode yang dicirikan oleh arah dan kohesi yang tidak jelas, selama masa Orde Lama dan Orde Baru. Kini para pejabat di Departemen Pendidikan Nasional masih belum tahu apa yang mesti mereka perbaiki, kata mantan anggota Komisi Reformasi Pendidikan itu. Profesor Winarno sangat yakin bahwa anggaran saja tidak bisa langsung menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi sistem pendidikan kita. Yang bisa memperbaiki sistem pendidikan adalah konsep yang bagus; anggaran hanya untuk mempercepat implementasinya.

Idealnya, pendidikan diarahkan menuju pencapaian human excellence dan, karena itu, mesti diiringi atmosfer pembelajaran berkelanjutan, agar dalam prosesnya peserta dapat terus tumbuh dan berkembang. Lembaga pendidikan yang sudah atau akan dibentuk pada saat ini haruslah memiliki visi, misi dan value sebagai center of human excellence. Caranya, mungkin, dengan mengadopsi jurus kera sakti (menghidupkan sikap kreatif yang berdaya guna) di atas, atau dengan senantiasa mencamkan pada diri masing-masing bahwa hidup ini ibarat hutan belantara yang untuk menaklukkannya diperlukan kreativitas, kelincahan, dan fleksibilitas dalam mengantisipasi perubahan.[0]

Sunday, September 21, 2008

Cerita di Belakang Panggung

Karakter Jaques dalam karya William Shakespeare berjudul As You Like It (Act II, Scene VII, lines 139-166) mengutarakan frasa “dunia ini panggung sandiwara”. Monolog ini mengumpamakan dunia ini sebagai sebuah panggung sandiwara dan kehidupan manusia seperti sebuah sandiwara, dan menerangkan tentang tujuh tingkatan usia manusia, yang terkadang disebut sebagai ‘tujuh usia manusia’: bayi, anak sekolah, pecinta, prajurit, keadilan, pantaloon, dan masa kanak-kanak kedua, ‘tanpa gigi, tanpa mata, tanpa rasa, tanpa semuanya’. Maksud Shakespeare adalah bahwa dunia ini tidak lain adalah panggung teater dan manusia adalah aktornya. Sejak lahir manusia memasuki dunia teater dan terus berakting sesuai dengan usia mereka, hingga pada usia tua mereka ketika episode yang terakhir dimainkan. Layaknya sebuah pertunjukan sandiwara, ada yang namanya – yang kadang bahkan lebih menarik daripada serangkaian adegan yang dipentaskan – ‘cerita di belakang panggung’ (behind the stage).

Sejumlah guru dan psikolog spiritual (mereka yang disebut sebagai ‘murid-murid dari William James’, pelopor psikologi spiritual) berpendapat bahwa tingkat kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) tidak mungkin bisa diukur, karena sifat pengalaman dan pemahaman spiritual sendiri sangat esoteris (hanya dipahami oleh orang yang mengalami). Kebenaran batiniah, karena itu, sering disebut sebagai ‘kebenaran subyektif’ – sebagai lawan dari kebenaran mutlak, yakni segala sesuatu yang (diyakini) berasal dari Tuhan. Namun, para guru dan psikolog spiritual itu juga berpendapat bahwa spiritualitas kita dapat kita ukur sendiri, berdasarkan pemahaman kita akan makna dari setiap peristiwa atau keadaan yang kita alami dalam hidup ini.

Makna apa yang perlu dipahami? Terserah kebijaksanaan pribadi Anda. Dengan, paling sedikit, mengetahui saja bahwa setiap peristiwa atau keadaan yang kita alami di sepanjang perjalanan hidup kita memiliki ‘cerita di belakang panggung’-nya masing-masing, kita bakal lebih bisa menikmati (baca: memaknai) hidup ini.

Setiap peristiwa atau keadaan tidak berdiri sendiri. Ia merupakan riak dari peristiwa atau keadaan lain sebelumnya. Hati yang bersih dari buruk sangka menghidupkan indra keenam – mata dan telinga batin – kita agar kita mampu menengarai kandungan hikmah-hikmah yang dibawa peristiwa atau keadaan tertentu. Kemampuan ini membuat kita bisa senantiasa bersyukur.

Berkaitan dengan ini, saya punya pengalaman tersendiri. Ketika masih berstatus trainee copywriter pada sebuah biro iklan multinasional di Jakarta, yang diperingkat sebagai biro iklan No. 1 di negeri ini, saya dimentori oleh seorang senior copywriter perempuan yang, menurut penilaian pribadi saya, bersikap egosentris dan arogan. Saya diperlakukan olehnya tak ubahnya jongos bodoh yang tidak berharga. Pada saat itu, yang menghuni hati saya hanya rasa benci dan sumpah serapah. Ketidaksukaan saya pada mentor saya itu memuncak tatkala saya berpartisipasi dalam lokakarya team-building yang diadakan oleh biro iklan tersebut untuk sejumlah karyawannya.

Dalam kesempatan itu, saya lontarkan baik kepada fasilitator lokakarya maupun yang bersangkutan bahwa saya tidak suka diperlakukan secara yang diperbuat si mentor. Namun, saking emosinya, saya ternyata melontarkannya dengan pilihan kata-kata yang keliru, sehingga menimbulkan pertengkaran berbuntut permusuhan di tengah momentum yang sesungguhnya dimaksudkan untuk membangun kerja sama tim yang lebih kompak itu. Sebagai ungkapan sakit hatinya, mentor saya itu memperingatkan agar saya tidak berlagak pintar, karena dibandingkan dia saya belum ada apa-apanya. “Gue udah menang Citra Pariwara dua kali, sedang lu belum apa-apa,” ujarnya sengit. Permusuhan tersebut berlanjut hingga waktu-waktu mendatang, bahkan mempengaruhi kerja tim kami. Akhirnya, saya pun menanggung akibatnya: manajemen meminta saya mengundurkan diri dari biro iklan tersebut.

Sedikit pun saya tidak mau berusaha untuk menjernihkan pikiran serta membersihkan hati setelah kejadian itu. Yang ada hanyalah sakit hati dan terus-menerus menyalahkan keadaan, sehingga selama tahun-tahun berikutnya saya menjadi copywriter yang bernafsu menggapai kejayaan dengan dilatari oleh dendam belaka serta hasrat untuk mengalahkan si mentor dalam bidang periklanan, khususnya penulisan naskah iklan. Tanpa saya sadari, saya telah membiarkan roh si mentor arogan itu mengganduli diri saya. Dengan kata lain, saya tidak menjadi diri saya sendiri.

Memang, dalam perjalanan waktu saya kian piawai dalam hal copywriting, namun latar dendam yang mengiringi karier saya membuat saya tidak bisa bersyukur atas semua yang saya peroleh. Keberhasilan karier yang melesat tinggi juga membuat hati saya inginnya selalu berada di tempat yang tinggi: saya menjadi mudah tersinggung, serta gila hormat dan sanjungan. Padahal, ketika saya dahulu diminta mengundurkan diri, saya bertekad untuk tidak berkelakuan seperti mentor saya itu.

Saat saya mulai menapakkan kaki di jalan spiritual secara bertahap saya mulai bisa memaknai setiap peristiwa atau keadaan yang pernah saya lalui sepanjang kehidupan dewasa saya – yang sebelum itu selalu saya sesali dan membuat saya sempat membenci Tuhan. Sebagai prasyarat, pertama-tama saya harus bersikap rendah hati (humble), merasa diri kecil tak berarti di hadapan Tuhan Yang Maha Besar! Saudara saya di jalan spiritual mengatakan bahwa dalam momentum ini kita harus admit (mengakui diri tak berdaya) dan submit (berserah diri kepada Tuhan; menyerahkan segala sesuatunya, termasuk diri dan keakuan kita kepada Tuhan).

Bagi saya yang sejak kecil tidak pernah diajarkan, baik oleh orang tua maupun guru agama, untuk memberdayakan sisi rohani (spiritual) dari agama yang saya anut, menjadi rendah hati memerlukan upaya yang keras dan menguras energi, bila Tuhan tidak turut campur. Nyatanya, Tuhan selalu memberi pertolongan, namun, biasanya, dari pihak kitanya yang cenderung tidak mau mengikuti tuntunanNya. Akibatnya, kekuasaan Tuhan tidak bisa bekerja dengan baik atas diri kita. Seorang bijak mengatakan, “Tuhan tidak ada di mana-mana. Ia ada hanya jika Anda membiarkanNya masuk (ke dalam ruang batin Anda).” Orang bijak itu sesungguhnya memperjelas kebenaran bahwa Tuhan itu ada dan hidup, tetapi hanya jika kita meyakini dan taat pada tuntunanNya.

Berikutnya, saya harus memaafkan dan melupakan (forgive and forget). Sai Baba, seorang guru spiritual mashur asal India, mengatakan, “Ada dua hal yang harus kita lupakan dalam hidup ini, (yaitu) melupakan kebaikan kita pada orang lain dan melupakan kesalahan orang lain pada diri kita.” Dalam kasus saya, ‘penerimaan jiwa’ ini saya rasakan amat berat. Saya sempat berpikir, “Bagaimana mungkin saya bisa memaafkan dan melupakan perbuatan keji mentor saya dulu itu?!” Lalu teringat oleh saya ungkapan bijak dari masa lalu: Memaafkan orang lain membuatmu bisa berdamai dengan diri sendiri. Berdamai seperti apa? Memangnya kita sedang berperang melawan diri sendiri?

Semua manusia, tak terkecuali utusan Tuhan sekali pun, senantiasa menghadapi kondisi perang batin yang tak berkesudahan. Sifat malaikati yang patuh dan sifat setaniah yang pembangkang dalam diri kita selalu bertarung memperebutkan hegemoni. Itu adalah hal yang sangat manusiawi; yang satu menghidupi yang lain. Dan setan secara kodrati tidak bisa (dan tidak boleh) sepenuhnya diberantas, karena hakikatnya setan merepresentasi nafsu kita; ia adalah daya yang mendorong kita untuk berikhtiar guna memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan dan bahkan mental-spiritual kita. Bayangkan saja, apa jadinya hidup kita bila kita tidak memiliki nafsu sama sekali. Sama saja kita sudah mati!

Berperang melawan diri sendiri merupakan hal yang adikodrati, yang melaluinya kita dapat mengenal kemuliaan dan keluhuran Tuhan. Nabi Muhammad pun bersabda, bahwa jihad (perjuangan) terbesar adalah melawan diri sendiri. Berdamai dengan diri sendiri berarti menghargai diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Di belakang panggung, saya, akhirnya, menyambung rasa dengan Sutradara pertunjukan sandiwara berjudul “Hidup” ini. OlehNya dituturkan kepada saya cerita mengenai adegan di mana seorang senior copywriter egosentris dan arogan memperlakukan saya bak jongos bodoh ketika saya masih berstatus trainee copywriter. Menurut arahanNya, dia ditampilkan agar sekarang saya bisa menjadi copywriter tangguh yang mampu berlaku tegar dalam situasi-situasi yang tidak menyenangkan berkenaan dengan profesi saya serta mampu bersikap rendah hati saat kejayaan menghampiri saya. Saat itulah – dan itu baru-baru ini – saya baru bisa memaknai secuil peristiwa dalam hidup saya itu sebagai sesuatu yang berharga. Saya pun mempersembahkan tepuk tangan sambil berdiri sebagai penghormatan atas karya adiluhung sang Sutradara dari deretan kursi penonton di dalam gedung teater dunia nan megah.©

Sunday, September 14, 2008

Visi Dunia Kerja

Ini sebuah pengalaman pribadi. Suatu ketika, pada pertengahan tahun 1990an, saya berkunjung ke bekas almamater saya, sebuah perguruan tinggi negeri di kawasan pinggir selatan kota Jakarta. Saya menjumpai sejumput mahasiswa berkerumun di kantin fakultas. Mereka tengah membicarakan isu-isu lokal populis dan keresahan. Kedatangan saya bukan disambut dengan kebanggaan, karena salah seorang alumnus fakultas ini cukup sukses berkarier.

"Degradasi intelektual!" Itulah reaksi spontan mereka, ketika saya menjawab pertanyaan, di mana saya bekerja dan apakah pekerjaan saya. Sesaat saya tercenung. Inikah dunia mahasiswa Indonesia era 1990an? Reaksi spontan mereka tak ubahnya sikap-sikap radikalisme mahasiswa terhadap gaya hidup kapitalisme. Saya dipandang tak lebih dari seorang kapitalis yang menyusahkan.

Pengalaman 'mengesankan' ini memancing saya untuk mengamati lebih jauh. Sebelum saya lanjutkan, saya ingin tegaskan, dengan segala pertimbangan latar belakang akademis saya, yakni seorang sarjana ilmu sejarah, serta bidang pekerjaan yang saya tekuni sekarang, seorang penulis naskah iklan (copywriter) pada biro iklan: intelektualitas saya sama sekali tidak mengalami degradasi!

Kembali saya bernostalgia masa-masa kuliah saya selama dua belas semester. Perjalanan itu relatif mulus. Setiap jam kuliah, saya lahap teori-teori tanpa kejelasan aplikasi. Pemahaman dan penalaran dibangun, diperkuat sedemikian rupa. Semuanya tanpa didasari visi: mau diapakan ajaran-ajaran ini?

Mahasiswa. Sebuah predikat mulia pada zaman Revolusi '45-'49 hingga akhir 1990an. Apalagi mahasiswa yang terjun tujuh puluh lima persen dalam organisasi-organisasi pergerakan, dan dua puluh lima persen sisa waktunya diluangkan untuk duduk di bangku kuliah. "Gerakan mahasiswa perlu basis," demikian diteriakkan corong-corong gerakan mahasiswa saat saya masih 'makan' bangku kuliah. Kalau tidak disokong partner-partner di piramida politik nasional, mau tak mau mahasiswa mesti berpijak pada kemampuan intelektualitasnya. Dan itu hanya bisa dibangun jika mahasiswa bersangkutan mau bela-belain duduk berjam-jam di perpustakaan atau dengan seksama mendengarkan penjelasan dosennya.

Saya bukan aktivis gerakan mahasiswa, meskipun saya suka juga dengan rumpian bertema sosial, frustrasi, dan radikalisme dari mulut rekan-rekan sesama mahasiswa. Bagaimanapun, sosok-sosok naif seperti saya ini terkadang terkungkung kodrat duniawi, bahwasanya mahasiswa adalah mediator kekuatan rakyat; fenomena yang terus berkesinambungan di Indonesia sejak masa Pergerakan -- bahkan rapat Dr. Soetomo pun dianggap gerakan mahasiswa.

Gerakan mahasiswa bukanlah dampak dari kevakuman. Letupan emosional mahasiswa justru relevan dengan ketidakstabilan sosial-politik, ketidakpuasan dan frustrasi rakyat. Selama ketidakpuasan dan frustrasi hanya terbatas pada para mahasiswa, maka stabilitas keadaan tidak terancam bahaya. Ancaman justru terletak pada kemampuan mahasiswa menemukan partner-partner di lapisan menengah dan atas dari piramida politik nasional.

Itulah salah satu teori yang keluar dari mulut salah seorang dosen saya.

Saya belajar ilmu sejarah di universitas, bukan komunikasi. Baik kuliah yang saya terima secara formal maupun pendidikan nonformal di bawah rindangnya pepohonan taman kampus bersama para aktivis gerakan tak satu pun menanamkan skill pada saya untuk menekuni bidang pekerjaan saya sekarang ini -- yang konon merupakan lahan nyari duit-nya sarjana komunikasi. Satu-satunya yang secara tidak langsung mendukung adalah bahwasanya orang yang belajar ilmu sejarah harus mengerti bagaimana menulis yang baik dan benar. Sejarah bukan cuma sepenggal masa lampau yang berhenti pada penelitian serta kepahaman sang sejarawan. Sejarah mesti pula disampaikan, dikomunikasikan, tidak saja di hadapan sidang penguji skripsi, namun juga disuarakan pada khalayak luas.

Saya memahami keheranan yunior-yunior saya -- yang cenderung menutupinya dengan sikap antipati -- mengapa saya, seorang sarjana sastra bidang sejarah, lantas melangkahkan kaki ke dunia kerja yang sungguh bertentangan dengan ilmu yang saya pelajari selama enam tahun di perguruan tinggi. Begitu pula, saya memahami 'keterbatasan nalar' manajer sumber daya manusia biro iklan multinasional yang merekrut saya. "Apa hubungan ilmu Anda dengan iklan? Tolong jelaskan," ujarnya dengan berkerut kening.

Lagi-lagi, ini sebuah pengalaman pribadi. Pada bulan November 1995, saya memperoleh kesempatan membanggakan: saya tampil sebagai salah seorang panelis acara talkshow di Anteve. Bersama saya, tampil dua panelis lainnya yang istimewa. Di antara kami ada kesamaan. Kami bertiga menekuni pekerjaan yang sangat jauh dari latar belakang kesarjanaan kami; dua panelis lainnya masing-masing adalah sarjana teknik nuklir jebolan UGM yang berputar haluan menjadi manajer teknik sebuah perusahaan taksi (pasti Anda tak heran, kalau taksi-taksi di Indonesia sudah mengaplikasi bahan bakar nuklir), dan seorang senior saya di jurusan sejarah yang berprofesi instruktur pendakian gunung yang oleh sebuah tabloid olahraga dipredikatkan sebagai salah seorang pendaki gunung terbaik Indonesia.

Bukan hanya para panelisnya, scriptwriter dan pengarah acara tersebut juga merupakan sosok-sosok yang kesarjanaannya bertolak belakang dengan pekerjaannya. Masing-masing adalah sarjana sejarah dan sarjana hubungan internasional.

Talkshow tersebut mendapat reaksi-reaksi pro dan kontra dari para partisipan sekaligus penonton. Reaksi spontan dari salah seorang partisipan terhadap saya adalah, "Sia-sia dong Anda kuliah enam tahun, kalau akhirnya ilmu Anda nggak kepakai sama sekali." Saya punya jawaban sekaligus pertanyaan jitu untuk itu. Pertama, saya kuliah untuk memperluas wawasan saya. Klise memang. Kedua, sudahkah sistem pendidikan tinggi kita demikian sempurna, sehingga mampu mempersiapkan mahasiswanya untuk melangkahkan kaki ke bidang pekerjaan yang sesuai minatnya? Paling tidak, apakah visi dunia kerja sudah ditanamkan sejak dini pada mahasiswa?

Yang saya amati selama saya 'bernasib naas' menjadi mahasiswa di era akhir 1980an adalah bahwa mahasiswa kita kurang diperlakukan sebagai orang per orang, melainkan lebih sebagai satu kesatuan. Kalau, misalnya, enam puluh persen mahasiswa dalam satu angkatan memperoleh predikat memuaskan, semata-mata karena mereka mampu menyelesaikan minimal dua puluh satuan kredit semester (SKS) -- eh, masih ada nggak sih SKS? -- yang bersifat wajib fakultas (MKDU, mata kuliah dasar umum) atau mata kuliah keahlian (MKK) dalam satu semester, maka sisa empat puluh persen yang sebetulnya punya kemampuan pribadi -- tetapi kebanyakan berstatus mata kuliah pilihan -- dipaksa menyejajarkan diri dengan persentase yang tersebut pertama.

Tepat hingga batas akhir dua belas semester saya kuliah di almamater saya, sebuah PTN yang tidak dibebani segala iuran SKS, cicilan gedung dan ujian negara. Saya tersangkut di benang kebijakan SKS selama enam tahun masa perkuliahan saya. Saya hanya punya satu senjata rahasia, yakni kemampuan pribadi yang sanggup membentuk kepribadian ilmiah sekaligus mematok visi saya terhadap dunia kerja, yang bakal saya jalani begitu saya melangkahkan kaki keluar gerbang universitas, menenteng ijazah sarjana dan transkrip nilai, yang entah menjadi perhatian sang manajer SDM biro iklan yang merekrut saya atau tidak.

Saya punya kemampuan pribadi yang tak pernah terjangkau dosen-dosen saya maupun kebijakan SKS. Saya seorang sarjana ilmu sejarah, tetapi bukan sejarawan. Teknik menulis yang saya peroleh di jurusan sejarah bukan demi mengonstruksi historiografi yang bakal memperkaya khasanah sejarah. Pekerjaan saya adalah menulis untuk mengomunikasikan pesan-pesan produk dan layanan kepada calon konsumen. Ya, saya seorang copywriter, yang berbekal ilmu sejarah semata-mata demi memperluas wawasan saya.

Tulisan ini tidak punya kesimpulan. Dan tidak dimaksudkan untuk menuding siapa pun. Semata-mata hanya untuk mereka yang tengah seksama mengikuti perkuliahan dan mereka yang bergelut antara kuliah dan romantika gerakan mahasiswa untuk tidak cuma mencekoki diri dengan idealisme paham-paham dan idealisme intelektualitas tanpa aplikasi. Saya akan bangga, kalau di antara yunior-yunior saya yang pernah 'mengesankan' saya dapat menekuni pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya. Bagi mereka yang 'keluar jalur', saya tandaskan lagi, bahwa itu bukan gejala degradasi intelektual. Malah sebaliknya, itu menunjukkan Anda siap mengantisipasi perkembangan zaman berbekal ilmu yang Anda miliki.[]

Bukan Pahlawan Kesiangan


"Seringnya, pertempuran terbesar seorang pahlawan justru tidak pernah Anda saksikan; karena pertempuran itu terjadi di dalam dirinya."
-- Kevin Smith, My Boring Ass Life, 04-18-06



Pada 25 Juli 2008 lalu, saya menghadiri undangan seminar tentang Mr. Ahmad Subardjo, menteri luar negeri pertama Republik Indonesia. Oleh karena itu, seminar pun digelar di salah satu ruang pertemuan di kompleks Departemen Luar Negeri, Pejambon, Jakarta Pusat. Tampil sebagai pembicara, Prof. Dr. Susanto Zuhdi, SS, M.Hum, gurubesar ilmu sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya-Universitas Indonesia (FIB-UI). Seorang pejabat dari Departemen Sosial yang mengurusi 'kepahlawanan' juga ditampilkan. Kenapa? Karena seminar tersebut diadakan dalam rangka mengusulkan agar salah seorang tokoh di balik aktivitas Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda pada zaman pergerakan itu sebagai pahlawan nasional.

Profesor Susanto Zuhdi mengemukakan bahwa dalam konteks rekonstruksi sejarah tidak ada yang namanya 'pahlawan' dan 'tindak kepahlawanan'. Hal itu disebabkan oleh karena sejarah harus tampil obyektif. Dalam hal ini, sejarah Indonesia tidak boleh Indonesia-sentris, tidak boleh pula Neerlando-sentris: seorang pelaku sejarah bisa saja dianggap sebagai pahlawan oleh bangsa Indonesia, sedangkan dari sudut pandang Belanda ia dianggap penjahat. Skripsi saya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI (sekarang FIB-UI) mencantumkan terminologi 'Agresi Belanda Kedua', padahal dari sudut pandang Belanda, serangan pasukannya ke Yogyakarta, sebagai ibukota RI, pada 19 Desember 1948 itu bukan merupakan 'agresi militer', melainkan 'aksi polisionil', karena yang dihadapi dianggapnya bukan kekuatan militer RI, tetapi 'ekstremis Republiken', alias 'bandit'. Jika ingin menerapkan obyektivitas -- yang tidak merugikan salah satu pihak -- istilah yang tepat dalam hal ini adalah 'Aksi Militer Belanda', karena baik agresi maupun aksi polisionil merupakan suatu bentuk aksi militer.

Kita memperingati Hari Pahlawan pada tanggal 10 November setiap tahunnya. Banyak hal terlintas di benak kita ketika memperingati hari itu. Mulai dari kenangan generasi tua akan perjuangan arek-arek Surabaya pada 10 November 1945 yang begitu heroiknya, sehingga ibukota provinsi Jawa Timur itu dijuluki Kota Pahlawan. Sampai pengetahuan generasi sekarang pada sederet nama pahlawan yang diajarkan di bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi -- Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Bung Tomo, Panglima Soedirman, dan lain-lain. Apa pun jawaban yang terlontar, yang pasti semua tertuju pada pahlawan dan kepahlawanan.

Lalu, apakah pahlawan? Kesadaran kolektif yang ada dalam masyarakat kita sekarang cenderung menempatkan pahlawan hanya ada pada masa lampau Indonesia. Kita sepertinya sudah terlanjur mengidentifikasi masa lampau Indonesia sebagai era 'perjuangan', 'pengorbanan jiwa' dan 'bersatu merebut kemerdekaan dari tangan penjajah'.

Dalam semua penekanan mengenai predikat pahlawan dan perjuangan (atau kepahlawanan), kita mulai kehilangan jejak tentang arti 'pahlawan'. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cetakan IX, 1997), kata 'pahlawan' diartikan sebagai 'orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran' atau 'pejuang yang gagah berani'. Pendekatan 'keberanian lahiriah' amat kental dalam pengartian ini --pendekatan khas militerisme. Namun pemaknaan seperti inilah yang sekarang umum diterima masyarakat kita, sehingga hampir tidak ada upaya untuk memberi makna baru pada kata ini.

Sejauh mencakup pengertian perjuangan, arti sebenarnya dari kata 'pahlawan' lebih berkaitan dengan semangat daripada pengorbanan. Mereka yang tidak melihat bahwa sosok pahlawan mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi dan mencapai disiplin untuk melakukan hal itu, tidak akan mengerti makna sebenarnya dari kata tersebut. Dan 'si pahlawan' yang tidak memiliki hal-hal tersebut di balik api yang menggelora di dadanya sama sekali bukanlah pahlawan yang sebenarnya -- melainkan tak lebih dari pahlawan kesiangan.

Dengan adanya pemaknaan seperti yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia serta anggapan masyarakat yang menyempitkan eksistensi pahlawan semata-mata sebagai produk Tempo Doeloe, seakan-akan sudah baku bahwa pahlawan dan kepahlawanan bukan lagi wacana yang bisa diterima untuk bersepadan dengan kondisi zaman sekarang.

Kesalahan terbesarnya, barangkali, terletak pada kesalahkaprahan bahwasanya pahlawan dan kepahlawanan adalah wacana yang senantiasa bersifat kontekstual -- tidak ada Pahlawan Kemerdekaan, bila pada 1945-1949 tidak ada Perang Kemerdekaan; tidak ada Pahlawan Revolusi, jika tidak ada revolusi. Mengapa konteks harus selalu menyertai eksistensi pahlawan dan kepahlawanan, walaupun sebenarnya tidak harus ada?

Wacana pahlawan dan kepahlawanan seharusnya mengaburkan garis pemisah antara pelaku aktif yang 'ditakdirkan' menjadi pahlawan dengan penyaksi pasif yang hidup di lingkungannya pada zaman si pelaku aktif melakukan tindak kepahlawanannya. Dengan kata lain, semua orang yang hidup dalam masa itu akan mendapatkan hak sebutan pahlawan yang patut dikenang dan dihargai. Upaya jukstaposisi dalam hal ini amat kentara.

Cukup banyak orang yang percaya dengan jukstaposisi ini, terbukti bahwa novel North and South-nya John Jakes menyatakan pahlawan dan kepahlawanan menjadi hak sebutan semua orang yang hidup pada masanya begitu buku sejarah mulai ditulis. Jakes memberi penghargaan kepada orang-orang Amerika yang berjuang di bawah bendera Amerika Serikat maupun Konfederasi selama Perang Saudara Amerika (1861-1865), pejuang atau rakyat awam, sebagai pahlawan dan tindakan mereka dalam perang itu sebagai aksi kepahlawanan. Jakes juga mencoba menegaskan, bahwa perang/perjuangan selalu melahirkan pahlawan dan kepahlawanan, tetapi pahlawan dan tindakan kepahlawanan (heroic acts) tidak harus berawal dari peperangan. Sebuah pengungkapan yang teramat berani -- bila tidak dapat dikatakan fair -- dari Jakes, mengingat bahwa mereka yang setia pada Konfederasi justru dicap pengkhianat bangsa dalam penulisan sejarah resmi (official history) Amerika.

Di sini tampak bahwa wacana pahlawan dan kepahlawanan yang selama ini bersifat kontekstual, yang hampir selalu diterapkan dalam penulisan sejarah nasional kita, sesungguhnya bisa dibubuhi karakter relativitas. Kenyataannya, dalam sejarah Indonesia konstruksi kepahlawanan yang berkonteks tidak harus selalu terjadi. Bukankah R.A. Kartini 'sekadar' mengungkapkan buah pikirannya tentang kemajuan wanita Indonesia (baca: pribumi) dari balik tembok istana sang bupati, sementara zaman di mana beliau hidup belum berkonteks gerakan emansipasi wanita? Toh, ia menjadi simbol kepahlawanan wanita Indonesia.

Contoh Kartini atau sejumlah nama yang tidak begitu beruntung dicantumkan dalam lembaran sejarah Indonesia memberi gambaran bahwa cita-cita 'calon pahlawan' tadinya begitu sederhana: memikirkan kaum atau bangsanya, atau, tidak dapat disangkal, juga kepentingan pribadinya. Dengan merujuk pada kata 'perjuangan' (kepahlawanan) yang populer, yaitu 'semangat', tidak pernah ada keinginan para pahlawan untuk menjadi pahlawan kesiangan -- yang bertindak tanpa keteguhan hati, keikhlasan, disiplin dan kerja keras.

Di era globalisasi ini, sudah saatnya dikikis kesadaran kolektif bahwasanya pahlawan dan kepahlawanan merupakan wacana Tempo Doeloe; yang senantiasa memiliki jalinan kontekstual dengan zamannya; zaman yang kaya akan momentum-momentum atau tema-tema sosial yang layak diperjuangkan.

Pahlawan dan kepahlawanan seharusnya bersifat fleksibel seiring waktu yang terus berputar serta bersifat bebas nilai. Tidak lagi terbelenggu hal-hal abstrak macam 'semangat membela kebenaran dan kehormatan bangsa dengan pengorbanan jiwa' seperti pada masa yang didominasi pada pejuang gagah berani.

Tanpa mengecilkan jasa pahlawan-pahlawan yang namanya sudah terukir dalam buku-buku sejarah kita, bila diupayakan suatu jukstaposisi, tentu pahlawan-pahlawan yang lahir dari konteks Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, misalnya, bukan hanya Bung Tomo yang membakar semangat juang di kota itu, atau si pemuda yang merobek bendera Belanda di Hotel Oranje pada 19 September 1945; atau Ruslan Abdulgani; atau para pelajar yang tergabung dalam TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Melainkan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Langsung atau tidak langsung, pelaku atau penyaksi. Ada sesuatu yang lebih dari pergeseran makna ini daripada sekadar mengakui peran semua orang dalam suatu peristiwa -- seperti yang dilakukan dalam penulisan sejarah yang obyektif.

Lalu, di mana pemaknaan baru pahlawan dan kepahlawanan akan mendapatkan tempat di zaman sekarang ini?

Yang jelas, kita cerap dalam hati dan pikiran kita, bahwa kita tengah berada dalam suatu zaman, di mana pahlawan dan kepahlawanan tetap mendapat tempat yang layak dan seharusnya menjadi kehendak kuat semua orang. Ini, barangkali, akan merupakan perwujudan secara konkret dari idealisme pahlawan dan kepahlawanan dalam makna barunya di suatu zaman yang nyaris menutup mata terhadap eksistensinya. Bahwa para 'calon pahlawan' modern haruslah bukan pahlawan kesiangan, melainkan mereka yang memiliki impuls-impuls untuk keteguhan hati, keikhlasan, disiplin dan kerja keras di bidang dan lingkungannya masing-masing demi kemajuan.[]


Thursday, September 11, 2008

Dunia Paradoks


Budaya Jawa membawa kita ke dunia paradoks (pernyataan yang seolah-olah berlawanan dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran). Ikhtiar yang keras hadir bersama ojo ngoyo (jangan memaksa diri terlalu keras). Ketentraman menjadi sempurna hanya jika Anda dapat merangkul hiruk-pikuk kehidupan pada saat yang sama. Muhammad Subuh, yang merepresentasi seorang Jawa yang tipikal, melakukan enterprise sambil menerima Latihan Kejiwaan!

Semua ini mengingatkan saya pada konsep ‘melakoni hidup secara meditatif’, seperti yang dijelaskan oleh Siddhartha Gautama. Meditasi (bhavana), seperti yang dipraktikkan oleh Sang Buddha, kebanyakan tidak menggambarkan sebagaimana orang modern bermeditasi – duduk secara khusus, mata terpejam dan berfokus pada napas atau mendaraskan amitabha Buddha berulang-ulang.

Terlalu sering kita berhadapan dengan fakta bahwa jika kita berusaha untuk menyandingkan semua unsur yang saling berlawanan hidup kita pun akan menjadi bermakna. Satu unsur tampaknya ada demi yang lainnya. Disebut apa ‘wanita cantik’ bila tidak ada yang jelek? Disebut apa ‘kebaikan’ jika tidak ada keburukan? Apa gunanya spiritualitas bila tidak ada ritual – dalam maknanya yang luas, bukan hanya siklus dari tatacara-tatacara yang tidak jelas juntrungannya?

Perpadanan dua unsur yang saling berlawanan (opposite forces) yang populer sebagai prinsip yin-yang ini memang nyata ada di alam semesta, masuk akal serta memiliki manfaat terapan yang menguntungkan kita. Panas-dingin, siang-malam, pria-wanita, tua-muda, kaya-miskin, baik-buruk; semua senantiasa berjalan seiring dan harus begitu. Mistikus dan penyair sufistik asal Turki yang termashur di dunia, Jalaluddin Rumi, menyatakan, “Karena ada siang dan malamlah makanya ada hari.” Eksistensi Setan perlu dikemukakan, sebab, jika tidak, kita pun tak akan pernah dan tak perlu memohon perlindungan kepada Tuhan dari godaan Setan yang terkutuk. Dan Tuhan pun bakal kehilangan wibawa dan, akhirnya, kehadiranNya tidak kita perlukan lagi. Yang satu ada karena sebab yang (ditimbulkan oleh) lainnya. Harmonisasi di antara keduanya melahirkan fenomena bernama ‘kehidupan’.

Aplikasi praktis dari prinsip yin-yang ternyata sangat simpel dan amat berguna bagi kehidupan kita. Intinya, jangan sampai porsi yang satu melebihi yang lainnya, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan. Contohnya, bekerja itu baik dan bermanfaat karena melalui kerja kita dapat memenuhi kebutuhan hidup kita. Tetapi, jika kita bekerja secara berlebihan, sehingga menjurus ke workaholic, efeknya tidak bagus bagi kesehatan kita, keharmonisan keluarga, bahkan arah gerak kita pun melenceng dari misi sejati kerja, yaitu memenuhi kebutuhan (need) dan memuaskan keinginan (want). Bagaimana kita bisa menikmati hasil kerja kita jika waktu untuk itu saja tersita untuk bekerja, bekerja dan bekerja?

Saya pernah membaca dalam sebuah artikel di sebuah majalah kesehatan dan gaya hidup, bahwa menjadi vegetarian dapat menopang gaya hidup sehat, namun jika dilakukan secara ekstrem bisa menimbulkan efek yang justru merugikan, tidak saja secara jasmani tetapi juga secara rohani. Ajaran tasawuf klasik menekankan bahwa sifat-sifat seseorang dipengaruhi oleh apa yang dikonsumsinya. Jika kebanyakan daging, menurut ajaran itu, kita bakal berwatak hewani – pemarah, meletup-letup sekaligus penuh semangat juang. Bila kelebihan sayur/unsur tumbuhan, kita pun akan menjadi seperti tanaman: lemah-gemulai sekaligus plin-plan bak tanaman yang melambai-lambai ke sana ke mari bila tertiup angin. Kenyataan ini saya jumpai pada orang-orang yang mempraktikkan vegetarian secara ekstrem.

Semula beroleh pengetahuan dari jalan spiritual, saya kemudian mendapatkan konfirmasi ilmiahnya dari saluran National Geographic Channel (dalam seri tentang rahim) bahwasanya manusia itu merupakan implementasi dari keseimbangan antara hewani dan nabati. Riset laboratorium selama bertahun-tahun berhasil mengungkap bahwa 98% DNA manusia berasal dari hewan (anjing) dan tanaman (bunga daffodil), sedangkan unsur manusianya hanya 15%! Terbayang oleh saya, bila persentase DNA anjing dalam tubuh saya melampaui yang lain-lainnya, mungkin saat ini Anda tidak bisa membaca tulisan ini, karena Anda sibuk menghindar dari kejaran anjing galak ber-tag ‘Anto’.

Dalam beribadah religius saja – yang selalu diutamakan oleh mereka yang taat – kita mesti menjaga keseimbangan. Secara umum (berlaku untuk agama apa pun), ibadah terbagi menjadi dua: ibadah ritualistik/syari’ah dan ibadah yang berbasis laku kehidupan/mu’amalah. Keduanya, seyogianya, mesti berjalan seimbang, yang satu menopang yang lainnya, dan jumbuh. Beberapa agama mengalami hambatan untuk maju secara sosial dan ekonomi, yang setelah diteliti rupanya dikarenakan umat agama-agama tersebut lebih mengutamakan sisi ritualnya. Saya pernah mendengarkan sebuah program interaktif di radio yang membahas kenapa kaum muslim banyak yang tidak berkembang sosial-ekonominya. Sang narasumber mengatakan, “Abis, antara dagang dan ibadah dipisahkan sih. Emangnya Tuhan cuman ada waktu salat? Banyak orang Islam lupa kalau kerja pun ibadah. Kata Nabi Muhammad kan gitu.”

Pada banyak jalan spiritual – yang biasanya mengurangi, bahkan meniadakan ritual – pun kecenderungan mempertentangkan (bukan malah menjumbuhkan) dua unsur yang saling berlawanan terjadi. Hakikat dipisahkan dari syari’at dan tarekat, seakan semua itu merupakan tangga menuju tingkat yang lebih tinggi dalam pengamalan dan pengalaman religius seseorang. Orang yang merasa sudah di aras (level) hakikat menganggap syari’at dan tarekat tidak perlu lagi. Kecenderungan ini sudah berlangsung sejak awal berakhirnya ‘era nabi-nabi’, sehingga Imam Malik r.a. pun menandaskan, “Syari’at tanpa hakikat adalah zindik (menjurus ke kafir). Hakikat tanpa syari’at adalah fasik (tidak bermanfaat).” Ya-iyalah, hakikat itu kan (artinya) kebenaran; lha kok bisa tahu bilamana sesuatu itu benar bila tidak pernah mempraktikkan (tarekat) gagasan (syari’at)-nya?

Sekuens syari’at-tarekat-hakikat-makrifat merupakan istilah akademis yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali, yang pada masanya berlaku pada semua agama wahyu. Maksud al-Ghazali sebenarnya adalah untuk mengklasifikasi kitab-kitab ajaran klasik yang beredar saat itu (ca. 200 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad) ketika ia tengah menyusun mahakaryanya, Ihya’ Ulum ad-Din, dan bukan untuk menggolongkan tingkat (maqam) religiusitas seseorang. Dalam perjalanan waktu, barulah kaum Sufi Persia memperlakukan klasifikasi itu sebagai indikator keberagamaan. Padahal semasa nabi-nabi, istilah-istilah ini tidak dikenal dan tidak pula diteorikan; semua sudah jumbuh, saling melingkupi, di dalam laku kehidupan para nabi.

Pada 30 Agustus 2008 lalu, saya dan dua saudara Subud saya tampil dalam diskusi interaktif dengan para dosen dari Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta, bertempat di kampus UMJ di Ciputat, Tangerang. Diskusi diadakan selain untuk menyambut bulan Ramadhan juga untuk mengujicoba program pelatihan mentalitas wirausaha yang diciptakan oleh saudara Subud saya yang hari itu tampil sebagai pemrasaran diskusi. Banyak dari kalangan dosen bingung, kok kewirausahaan – yang di benak kebanyakan kita terkait melulu dengan bisnis – bawa-bawa teologi segala. Banyak dari mereka rupanya tidak menyadari bahwa Tuhan pun punya peran dalam enterprise. Lha, kalau tidak punya peran buat apa kita berdoa memohon pertolonganNya saat bisnis kita bangkrut?!

Pada kesempatan itu, saya minta waktu untuk menceritakan pengalaman saya tentang betapa terbantukannya saya dalam pekerjaan saya yang sarat dengan aktivitas beride dan berkarya jika saya menentramkan diri, mengakui kekurangan saya dan berserah diri kepadaNya. Ide yang datang bagaikan kucuran air dari pancuran di tengah sejuknya udara pegunungan. Dahulu, sebelum berlatih kejiwaan Subud, setiap kali menerima order pekerjaan membuat iklan, saya perlu brainstorming berhari-hari, menghabiskan berbungkus-bungkus rokok dan, kadang, nongkrong di kafe sambil menenggak alkohol. Sudah begitu, belum tentu pula idenya nongol. Kini, setelah berlatih kejiwaan, ide yang muncul terkadang, menurut pikiran saya, terlalu biasa dan corny, tetapi perasaan saya (yang cenderung intuitif) menganggapnya ‘pas’; sehingga saya pun berpihak kepada perasaan. Pengalaman saya bertutur, bahwa semua ide yang saya rasakan pas, walaupun corny, selalu berhasil memenuhi harapan klien!

Dalam diskusi di FAI-UMJ itu secara implisit juga mengungkapkan bahwa spiritualitas tidak mesti diekspresikan melalui amalan-amalan mistis (pengasingan diri/asketisme, bertirakat, bertepekur di rumah-rumah ibadah, atau mendaraskan nama Tuhan berkali-kali), tetapi, yang jauh lebih bermanfaat lagi, bisa pula dihidupkan melalui tindakan-tindakan sehari-hari yang menguntungkan diri sendiri maupun orang lain. Kata ‘ibadah’ berasal dari bahasa Arab abadda, yang kemudian terserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘abdi’. Artinya, dalam ibadah, kita seharusnya menumbuhkan sikap mengabdi atau melayani, yaitu melayani (baca: mewujudkan) kekuasaan Tuhan di dalam diri kita melalui pelayanan yang tulus kepada sesama kita.©

Friday, September 5, 2008

The Other Voice


A couple of months ago, I asked my graphic designer friend, who has lately also put his oar into Web design due to his client’s demand, to design a Website for an institution where I am committed to. I don’t know whether it’s because his taste for art is still rather low or his technical know-how in Web design is yet not broad enough, the outcome did not please me or other people to whom I had shown his design.

I was eventually bemused, because the institution got to have a Website soon to communicate its vision and mission to the public, while on the other hand it’s not easy to find a reliable Web designer who is simultaneously inexpensive. On one evening, on my way home from Latihan at the Sudirman Group (S. Widjojo Centre), I, who was concentrating on the road as I was driving a motor-cycle, unexpectedly heard a voice inside me. The voice was exceptionally clear, although the road was crowded with the sound of vehicles. The voice only ‘talked’ briefly: “Why don’t you examine the Web designed by your friend.”

Arriving home, I quickly switched the computer on and inserted the compact disc that contains the Web designed by my friend. The voice yet again whispered, “Don’t open it yet. Look at the file type first.” I am one of those people who is rather incomprehensible with technology. In Indonesia, people like me are called gaptek (acronym of ‘gagap teknologi ‘, literally ‘technologically stuttered’); I only use a computer for browsing the Internet, writing with Microsoft Word and drawing with Paint as well as playing games. I am seldom titillated to surf over all possibilities offered by other software. But, then, ‘the other voice’ demanded me to check the file type of my friend’s Web design. I only caught sight of three .psd-type files which for someone who is rather ‘technologically stuttered’ like me didn’t mean anything, but the voice kept asking me to look, observe, and examine. Suddenly the voice asserted – maybe because it considered me a slow learner – that the three files are Photoshop documents!

Something flared up within me, which was not easy to express how it felt. Maybe it’s like an ecstasy, or orgasm. The point is, back then I jumped off the chair and bounced up and down with pleasure. After I sat back down before the computer, I clicked one of the files, which opened up in Photoshop. I scrutinized the program’s entire menu, but it was hard to figure out how my friend could design a Website with Photoshop CS2. I whined, and then mumbled, “O God, what did I miss?” Just then, ‘the other voice’ directed me to the History window (which I understand what it’s for at that point in time), which recorded what steps had been taken by my friend when he designed the homepage, and by which I could refer them to the toolbar and arrange the sequences of the process.

After that night, I put across my wish to borrow tutorials for Web designing software – Macromedia Freehand MX, Flash 8, and Photoshop CS2 – to several designer friends of mine. No one ever complied with my wish, due to reasons which only made me assume that they were worried about me becoming their most treacherous competitor in the Web design business. One friend even talked turkey, “Mas Anto, don’t you dare to grab hold of our domain.” Now, here are people worrying about somebody who wants to learn for a good reason…

But on the face of it, God didn’t let my effort to end just like that. A certain Subud brother, who also wanted that the institution’s Website could be implemented soon, supported me financially to buy the books I needed. My wife and my sister went to buy them. They also mistakenly bought a tutorial for Adobe Fireworks CS3, a program not yet installed to my computer. But, shortly after that, I was like heavenly blessed to obtain the software and also Dreamweaver so effortlessly, which made my designer friends more worried after I told them! “What?! They're Web design software, right? Do you plan to be a Web designer?” asked one, suspiciously.

That’s a story about Web design. The other story for which I would like to tell you is about a CDMA cell-phone which I got from my wife recently. From the time when it was bought to a week later, the battery got off quicker – only in one day, while I hardly ever use the cell-phone to make calls as well as for sending short messages. Three days ago, the cell-phone was completely in a low-battery condition, but as it was already late at night my wife switched it off. I charged the battery the following morning, still switched off. It was only at the next day that I was readily aware that the battery was still full. I looked for any information about that in the manual, but found nothing that explains the indication, while the vendor who was called up by my wife said, “I expect you to understand, Ma’am, it’s a bargain basement priced cell-phone. A CDMA, Ma’am – its batteries don’t last long.”

On my way to the creative boutique where I exert myself as freelance copywriter, driving my motor-cycle over the swarming Semanggi viaduct in Central Jakarta, ‘the other voice’ abruptly sounded within me, which taught the dim-witted person that I am that “next time you want to charge your CDMA battery, switch it off first.” That way, my CDMA cell-phone didn’t get off for as long as four consecutive days, despite the fact that during the course of the period I had used it to send short message texts and received lengthy calls. (If I ever tell this to the vendor he may regret the fact that he had sold it cheaply.)

Those experiences are related to technology, a subject I’m not fully common with. But how could I eventually manage to understand and master it? It’s thanks to ‘the other voice’ I had mentioned earlier. We all have it. It’s generally called ‘inner voice’ or, as Buddha Gautama puts it, ‘the voice from the heart’. A. Reza Arasteh wrote in his book, Growth to Selfhood: a Sufi Contribution (1998), all human beings have at least once in their entire life listened to their inner voice and followed its guidance. I won’t thrash out herein, what or who is actually behind ‘the other voice’, because I would ultimately end up in ‘conceiving God’ which, to me, is ridiculous.

In the initial Karate Kid movie (1985), Sensei Miyagi (Pat Morita) asked his young pupil in karate, Daniel Larusso (Ralph Macchio), to arrange a bonsai. Daniel didn’t grasp on how to do it, as it was even the first time he ever came to grips with a bonsai. Sensei Miyagi said, “Just follow what comes from your inside.”

“How would I know which is right?” asked Daniel, unadorned.

“What comes from the inside is always right!” said Sensei Miyagi, assertively.

This teacher-student discourse sounded back in my head ever since Karate Kid was again screened by HBO recently. I was impressed by Sensei Miyagi’s expression, especially for the reason that I had and am frequently subjected to inner voices since I was a kid. When I was little until I got into high school, I was extremely introverted; therefore, I really enjoy the moments where I am apt to confer with myself. ‘The other voice from inside me’ has become my sounding board in my solitude. ‘The other voice’ has repeatedly given me congenial solutions, even in matters for which I don’t have the familiarity of.

I am often criticized (even derided) by some Subud brothers in Jakarta in relation to my articles that I shared out through the Internet like the one you are reading now. My articles are condemned as ‘products of the nafsu and the mind’. I would stand up for myself as much as I could, but mostly I submit it to God – as the criticisms and the derisions might be a divine ordeal for me. On the contrary, there are also those who go into raptures over me and I am subsequently considered ‘an expert in literature’. Their consideration discommoded me, as it was ‘the other voice’ all this time which dictated me in every word I wrote. There are several Subud brothers, including those who are close to me, who asked for me to write on certain subjects surrounding the Subud Brotherhood of Indonesia, whether it’s constructive or off-putting. I was never successful in doing it, no matter how hard I tried, because it appears that ‘the other voice’ cannot be instructed to do as I wish; conversely, the voice will usually tell me to do something else – some things that are more positive to me.

In interacting with clients, which is part of the dynamics of my profession as a copywriter, listening to ‘the other voice’ facilitated me a lot, especially when I got puzzled about what clients really want. One time, there was a client who didn’t know exactly what would be put to the front in the company profile. He was at a complete loss, let alone me! But when I was home, absorbed in thought by my own, ‘the other voice’ enthusiastically told me that “your client wishes to put forward his company’s unique service as the main theme of the company profile!” The client could in no way refrain himself from expressing his satisfaction toward the creative concept for the company profile, particularly the copywriting, which, on the word of my client, had successfully unraveled his aspiration that was initially difficult to express: Setting out the company’s unique service!

So as to record ‘the other voice’ clearly and explicably, you don’t particularly have to do the Subud Latihan, nor join any Sufi thariqat nor lead an ascetic life for a certain time in places far off the crowd – all these are even futile unless you are settled to know yourself. And it has also nothing to do with innate qualities. It needs only our willingness to be patient, sincere and confident (I prefer to use ‘confident’ rather than ‘faith’ as the latter suggest religious observance) when we calm ourselves. Here, calming oneself is not by way of parking oneself quietly, doing nothing. Many misunderstood the concept of meditation. The meditation (dhyana) as taught by Buddha Gautama turns out to mean ‘performing everything consciously’ – much in the vein of Bapak’s suggestion for Subud members to do enterprise, that is to say concentrating our mind towards what we are doing, muffling our frenetic desires and wandering thoughts, so there still exist ample room for the buzzing of ‘the other voice’.©