Friday, December 31, 2021

Arifin Dwi Slamet’s Quotes – 2021

SABAR adalah Selalu Antusias dan Berani Andalkan Rasa.” (Arifin Dwiastoro, 5 Januari 2021)

Yang bagi manusia adalah bencana, bagi Tuhan adalah rencana.” (Arifin Dwiastoro, 16 Januari 2021)

Dengan memahami dirimu sendiri barulah kamu bisa memahami orang lain.” (Arifin Dwiastoro, 17 Januari 2021)

Dua hal yang akan kamu alami jika tidak pernah memulai: Kamu tidak akan pernah berhasil dan terus berpikir yang belum tentu terjadi.” (Arifin Dwiastoro, 6 Februari 2021)

While the term ‘have sex’ sounds rude, ‘make love’ is exaggerating. Love exists by itself, by God’s will. He created it. As human beings, we don’t have the power to make it.” (Arifin Dwiastoro, 14 February 2021)

Saya bertindak berani bukan karena nekat, tapi karena saya percaya mukjizat.” (Arifin Dwiastoro, 24 Februari 2021) 

“Wanita yang tidak asyik diajak mengobrol, tidak nyambung bila berdiskusi atau tidak menyimak perkataan kita, tidak asyik diajak bercinta.” (Arifin Dwiastoro, 5 Maret 2021)

“Untuk kita tumbuh dan berkembang secara emosional dan spiritual, tak jarang anasir-anasir yang menghalangi, betapa pun baiknya, harus disingkirkan.” (Arifin Dwiastoro, 19 Maret 2021)

“Sekalinya kita dapat gambaran besarnya dari segala sesuatu dalam hidup ini, baik maupun buruk, kita takkan lagi sanggup bercerita kepada siapa pun, tidak akan mengeluh, meratap, berdoa minta ini-itu. Kita hanya bisa memujiNya, mensyukuri segala yang telah kita lalui.” (Arifin Dwiastoro, 20 Maret 2021)

“Tidak usah mengajari anakmu, tapi berilah contoh dari dirimu sendiri. Anakmu bisa menemukan jalan keluar dari rahim ibunya apakah berkat ajaranmu?” (Arifin Dwiastoro, 5 April 2021)

“Silakan percaya pada kebenaran apa pun, tapi jangan merasa terusik lalu marah bila orang lain tidak percaya pada apa yang Anda yakini. Marah itu tanda bahwa Anda tidak sepenuhnya yakin pada kebenaran itu.” (Arifin Dwiastoro, 12 Mei 2021)

“Bila kamu membenci seseorang dalam kadar yang sama sejak pertama kali kamu membencinya, niscaya kamu takkan pernah dewasa secara mental dan spiritual.” (Arifin Dwiastoro, 7 Juni 2021)

“Tidak penting berapa banyak pekerjaan yang pernah Anda lakukan. Yang penting adalah seberapa banyak Anda berubah (tumbuh dan berkembang) melalui setiap pekerjaan.” (Colin L. Powell—yang kemudian menjelaskan mengapa baginya portfolio pekerjaan tidak ada artinya!) 

“Memikirkan bagaimana orang bersikap dan berperilaku terhadap sesuatu adalah bagian dari pekerjaan saya di branding. Nama ilmunya: memetika. Saya terus mencari tahu mengapa orang-orang sepertinya dengan mudah tergiring untuk bangga dirinya telah divaksin, sama halnya orang bangga jika dirinya memiliki brand eksklusif, seperti merek mobil mewah, komputer canggih, atau berlibur ke pulau eksotik. Dengan begitu, saya bisa menggali banyak ide untuk menyusun strategi yang dapat mengarahkan orang untuk mencoba produk, jasa/gagasan yang sejatinya tidak ada nilainya.” (Arifin Dwi Slamet, 29 Agustus 2021)

“Ilmu pengetahuan itu di ranah makhluk. Manusia merasa dia telah menggali apa yang tidak diketahuinya, dan dia cap temuan itu sebagai ‘pengetahuan’. Alat galinya adalah ilmu. Padahal semua itu bukan rahasia, karena jiwa manusia sudah tahu semua.” (Arifin Dwi Slamet, 12 September 2021)

“Yang menarik dari masalah adalah situasi yang memaksa untuk menemukan solusi untuk mengatasinya. Solusi itu juga dapat diaplikasikan pada masalah-masalah lain yang berbeda sifatnya dari masalah yang telah menimbulkan solusi tersebut.” (Arifin Dwi Slamet, 13 September 2021)

“Jika kamu sedih, menangislah. Jika kamu bahagia, tertawalah. Lakukan apa yang tepat bagimu, sesuai kondisimu di suatu waktu. Jika hal-hal sederhana ini tidak bisa kamu lakukan, berarti kamu belum menjadi manusia. Sedih, bahagia, marah, jatuh cinta, dan-lain emosi adalah manusiawi.” (Arifin Dwi Slamet, 18 September 2021)

“Kebanyakan orang sulit menjadi diri sendiri karena tidak percaya pada diri diri sendiri. Dan percaya pada diri sendiri itu sulit karena sudah bertahun-tahun ditanamkan meme oleh pengajaran dari segala penjuru.” (Arifin Dwi Slamet, 26 September 2021)

“Budaya Timur kita pakai Rasa, sedangkan budaya Barat memuja Raga. Sejak kapan Rasa menyembah Raga? Maaf ya, saya bangga jadi Indonesia!” (Arifin Dwi Slamet, 26 September 2021)

“’Tuhan’ bukanlah sebuah kata yang dengannya manusia mengenalNya, melainkan segala sesuatu yang kita pikirkan dan rasakan, yang kita lakukan atau tidak lakukan.” (Arifin Dwi Slamet, 8 Oktober 2021)

“Prestasi dalam pekerjaan, proyek besar bernilai miliaran, lulus kuliah dengan predikat cumlaude dan pencapaian-pencapaian lainnya bersifat mendapat, yang memberi kesenangan sesaat, Kebahagiaan abadi ada di dalam memberi.” (Arifin Dwi Slamet, 16 Oktober 2021)

“Kata-kata sendiri tidak berdosa. Yang berdosa adalah pikiran orang yang menerimanya sebagai lebih dari sekadar kata-kata.” (Arifin Dwi Slamet, 14 November 2021) 

“Hidup tanpa sejarah adalah seperti tanaman tanpa akar—tidak dapat tumbuh dan berkembang.” (Arifin Dwi Slamet, 11 Desember 2021)

“Mengapa kaum muslim merasa terganggu dengan apa yang diyakini umat agama lain sebagai kebenaran? Itu menunjukkan umat Islam lemah dalam keyakinan mereka sendiri.” (Arifin Dwi Slamet, 27 Desember 2021)©2021

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 31 Desember 2021

Friday, December 10, 2021

Membaca Sejarah

PERKUMPULAN Persaudaraan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (PPK Subud) sebagai organisasi memang baru lahir pada 1 Februari 1947. Belum terlalu tua, dibandingkan perkumpulan-perkumpulan spiritual besar lainnya di dunia, yang bahkan sudah ada sebelum abad pertengahan (dalam sejarah Eropa berlangsung dari abad ke-5 hingga ke-15). Meskipun demikian, PPK Subud memiliki sejarah, sebuah linimasa riwayat kaya cerita yang bukan omong kosong, alias pengalaman nyata dari pendirinya dan generasi pertama—yang menerima Latihan Kejiwaan sebelum organisasi PPK Subud berdiri.

Yang mengetahui segala sesuatu tentang Latihan Kejiwaan hanya Bapak, panggilan para anggota Subud yang dialamatkan, sebagai bentuk hormat dan cinta, kepada Raden Mas Mohammad Soeboeh Soemohadiwidjojo (22 Juni 1901-23 Juni 1987). Karena beliaulah yang pertama kali menerimanya melalui suatu pengalaman gaib. Walaupun tentang hal ini telah berkali-kali Bapak ceritakan, baik di otobiografi beliau maupun ceramah-ceramah beliau, gambaran sejatinya Latihan Kejiwaan belumlah menyeluruh bagi para anggota. Sehingga tak mengherankan bila generasi pasca Bapak mendapatkan penafsiran-penafsiran belaka mengenai Latihan Kejiwaan.

Bapak sendiri juga berulang kali menganjurkan “Latihan saja!” kepada para anggota, agar mereka berangsur-angsur mengerti apakah sejatinya Latihan Kejiwaan menurut kapasitas pengertian masing-masing. Sifat Latihan itu sendiri memang sangat luas, melampaui cakrawala pengetahuan akal pikir manusia. Yang dipahami seseorang pada suatu ketika akan berbeda pada masa yang berikutnya. Namun, perlu diketahui asasnya; dengan membaca sejarah turunnya wahyu Latihan Kejiwaan dapat diketahui mengapa Bapak menerimanya. Setidaknya, hal itu dapat menjadi tolok ukur bagi kita sekarang.

Tidak ada keharusan apa pun di Subud, termasuk mendengarkan rekaman audio/video atau membaca transkripsi ceramah Bapak. Tapi, kalau saya, saya berusaha menggali sebanyak-banyaknya informasi mengenai asal-usul Subud dan Latihan Kejiwaannya, melalui berbagai literatur. Karena bagi saya, dengan mengetahui asal usul sesuatu atau seseorang, bahkan diri kita sendiri, saya menjadi tahu ke mana kehidupan ini mengarah.

Saya menyadari betapa pentingnya membaca sejarah sejak masuk Subud. Membaca di sini bisa berarti “menggunakan mata lahir untuk menelusuri tulisan dalam sebuah naskah” atau “menggunakan mata batin untuk merefleksi diri terhadap orang dan peristiwa” (dalam bahasa Jawa disebut “niteni”) atau kedua-duanya. Walaupun saya pribadi merupakan seorang sarjana strata satu dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, kepedulian saya pada sejarah saya sendiri dipicu dan dipacu oleh kenyataan bahwa Latihan Kejiwaan memperkenalkan saya pada semua hal yang telah diwarisi leluhur saya, mulai dari orang tua saya sampai ke lapisan-lapisan di atas mereka.

Selain itu, saya juga dapat mengetahui apa maksud Bapak sebenarnya dengan sejumlah aspek dari Latihan Kejiwaan. Ada satu mekanisme di Subud yang disebut “testing”, yaitu merasakan baik atau buruknya, manfaat atau mudaratnya, suatu pemikiran atau perkataan, perbuatan atau perasaan. Sebagian pembantu pelatih bersikeras bahwa testing hanya boleh dilakukan dengan didampingi pembantu pelatih dan hanya bila anggota memiliki suatu keperluan—biasanya berupa masalah yang tidak mampu diatasi anggota dengan mengandalkan akal pikir semata.

Melalui memoar Varindra Vittachi dan Husein Rofé, contohnya, yang mengisahkan awal mula Subud, saya menemukan penjelasan asal usul kata “testing”. Pencetus kata itu sendiri adalah John Bennett, pemimpin Gurdjieff di Coombe Springs, Inggris, yang seorang poliglot (mampu menguasai banyak bahasa asing). Sebagai penerjemah Bapak ketika Bapak mengunjungi pertama kalinya Inggris pada tahun 1957, Bennett tidak menemukan padanan istilah yang tepat dalam bahasa Inggris untuk apa yang Bapak katakan sebagai “merasakan diri”, dan spontan menerjemahkannya sebagai “to test yourself” (menguji diri sendiri).

Husein Rofé menulis dalam The Path of Subud bahwa Bapak kerap mengatakan “terima” (receive) untuk apa yang kelak disebut sebagai “testing”. Kedua praktik tersebut, merasakan diri dan terima, telah dibiasakan ke saya oleh pembantu pelatih di PPK Subud Cabang Surabaya yang telaten mendampingi saya sejak saya dibuka. Kedua praktik tersebut telah menjadi otomatis bagi saya, tidak perlu ritual khusus dengan pendampingan pembantu pelatih. Karena, kata Bapak, anggota pada dasarnya harus mandiri, tidak bergantung pada Bapak, Ibu Rahayu atau pembantu pelatih.

Secara kejiwaan maupun dalam kehidupan sehari-hari kita, kita harus terus-menerus membaca sejarah. Sejarah itu penting bagi kita. Karena hidup tanpa sejarah adalah seperti tanaman tanpa akar—tidak dapat tumbuh dan berkembang.©2021

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 11 Desember 2021 

Thursday, December 9, 2021

Sama

“Sebab memang bagi seseorang yang belum mengalami kepuasan di dalam kejiwaan mudah sekali menyamakan ini dengan lainnya, karena lainnya banyak juga yang menampakkan di dalam latihannya serupa dengan kita.”

—Mohammad Soeboeh, Eindhoven, Belanda, 11 Oktober 1957

                          

BEBERAPA bulan lalu, seorang berkebangsaan Melayu yang tinggal di Malaysia menghubungi saya via Telegram. Ia mendapat informasi nomor kontak saya dari satu saudari Subud di Malaysia – seorang wanita Inggris beragama Islam yang sudah menjadi warganegara Malaysia.

Orang Melayu Malaysia itu ingin dapat mengandidat di Subud, tetapi masalahnya sulit mengakses Subud di Malaysia, yang center-nya hanya ada di Kuala Lumpur, yang cukup dekat dengan tempat tinggalnya di Subang Jaya, Selangor, tetapi karena sedang lockdown ia tak dapat bepergian. Selain itu, warga muslim Malaysia dilarang ikut Subud atau perkumpulan-perkumpulan yang dipandang pemerintah sana merupakan sekte atau bagian dari sebuah jalan yang “tidak sejalan” dengan agama Islam.

Dalam obrolan kami, terungkap bahwa ia seorang praktisi qigong, yang sudah cukup lama menekuni sistem kuno dari Tiongkok yang bermanfaat untuk menjaga atau meningkatkan kondisi kesehatan dengan cara mengintegrasikan sikap tubuh, teknik pernafasan dan pemfokusan pikiran itu. Ia menyatakan bahwa, menurutnya, Latihan Kejiwaan, sama dengan sistem Tiongkok yang dianutnya itu.

Saya pun merasakan bimbingan untuk merespons pernyataannya – dalam bahasa Inggris: “Kalau qigong sama dengan Latihan Kejiwaan, mengapa Anda masih ingin Latihan Kejiwaan?”

Si pria Malaysia itu lama tidak menjawab, sehingga saya rasa ia kena skakmat dengan jawaban saya, yang saya sendiri tidak menduganya. Tetapi ia tetap memberi jawaban, dan jawabannya adalah bahwa qigong tidak memiliki aspek spiritual. Dari jawaban itu, saya jadi tahu bahwa ia tampaknya kurang memahami apakah itu “spiritualitas”. Berdasarkan pengalaman saya ketika mempelajari taichi dan meditasi, sebelum saya ikut Subud, “seharusnya” qigong juga merupakan teknik pengembangan spiritualitas, di samping untuk kesehatan. Karena dalam pengertian saya, seseorang yang secara spiritual baik, baik pula kualitas kesehatannya.

Menyama-nyamakan sesuatu yang kita miliki atau bahkan diri kita sendiri dengan apa yang dipunyai atau diri orang lain menunjukkan ketiadaan integritas kita. Bila kita memiliki integritas diri yang tinggi, orang-orang di sekitar kita dapat melihatnya melalui tindakan, kata-kata, keputusan, metode yang kita lakukan, serta hasil yang kita dapatkan. Kita menjadi pribadi yang utuh dan konsisten, sehingga di mana pun dan apa pun kondisinya, diri kita hanya ada satu. Kita menjadi tidak sama dengan orang lain. Di Subud, saya belajar melalui bimbingan kekuasaan Tuhan, untuk menjadi diri sendiri, yaitu menjadi pribadi yang konsisten sepanjang waktu, tidak ikut-ikutan atau meniru gaya hidup orang lain.

Saya pernah beberapa kali ditanya sejumlah orang yang ingin mengetahui tentang Subud. Rata-rata merasa “galau” dengan pernyataan – entah dari mana mereka mendengar atau di mana mereka membacanya – bahwa Subud adalah jalan yang paling benar. Lagi-lagi, saya terbimbing untuk menjawab sebagai berikut: “Kalau Anda merasa Subud adalah jalan yang paling benar, silakan masuk Subud. Kalau Anda tidak merasa begitu, ya tidak usah masuk Subud. Simpel saja kan?!”

Nah, kebanyakan yang bertanya itu minta pendapat saya sendiri bagaimana. Saya menjawab, “Pendapat saya tidak penting. Yang penting itu pendapat Anda sendiri. Jadilah diri sendiri, yakinilah apa yang menurut Anda benar. Hiduplah dengan keyakinan Anda, bukan dengan apa yang menurut orang lain benar.”

Menurut saya, mengapa kita perlu berbeda adalah karena Tuhan menciptakan makhlukNya juga berbeda-beda. Masing-masing orang dibekali sistem hidup yang hanya untuk dirinya. Sistem kesintasan (survival system) yang berlaku bagi satu orang tidak selalu bisa digunakan oleh orang lainnya. Bagi saya, Latihan Kejiwaanlah yang baik dan tepat, namun belum tentu bagi orang lain, meskipun nilai-nilai prinsipal dari susila, budhi, dan dharma mungkin bersifat universal dan baik bagi semua umat manusia.©2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 10 Desember 2021

Monday, December 6, 2021

Jepang Menyerang Pearl Harbor Dengan Petunjuk Dari Amerika


Memperingati 80 Tahun serangan pesawat-pesawat pembom Angkatan Laut Jepang atas pangkalan Armada Pasifik Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, 7 Desember 1941-2021.😔


TIDAK banyak orang mengetahui, bahwa Angkatan Laut Amerika Serikat telah dua kali menggelar latihan perang dengan skenario serangan pesawat pembom musuh atas pangkalan mereka di Hawaii. Saat dua kali latihan penyerangan pangkalan itu digelar, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang membuat catatan. Mata-mata Jepang di Oahu, Hawaii, menyaksikan pesawat-pesawat Amerika menyerang pulau itu dari atas Koolau Range, dan mereka mengirim informasi itu ke Jepang. Sembilan tahun kemudian, para penyerang datang dari Jepang, dan mereka menjatuhkan bom sungguhan.

Pada bulan Februari 1932, perdebatan tentang masa depan kekuatan udara dalam pertempuran modern masih berlangsung. Laksamana Muda Harry Ervin Yarnell (1875-1959) sangat percaya pada kekuatan udara, dan dia mulai membuktikan arti pentingnya kepada Angkatan Laut Amerika Serikat.

Pada Februari 1932, Yarnell memelopori taktik kapal induk dalam latihan yang disebut Latihan Gabungan Besar Angkatan Darat/Angkatan Laut 4 (Army/Navy Grand Joint Exercise 4). Laksamana Muda Yarnell memimpin armada kapal induk dalam upaya untuk menunjukkan bahwa Hawaii rentan terhadap kekuatan udara angkatan laut. Harapan mereka yang mempertahankan pangkalan adalah bahwa Yarnell akan menyerang dengan kapal tempur (battleship), tetapi dia malah meninggalkan kapal tempurnya dan melanjutkan hanya dengan kapal induk ke utara Hawaii di mana kemungkinannya kecil dia akan terdeteksi.

Angkatan Laut AS memiliki tiga kapal induk pada saat itu, tetapi mengecilkan nilai strategis kapal-kapal itu. Kapal tempur masih menjadi primadona dalam perencanaan perang angkatan laut, karena peperangan laut dianggap paling menantang dan keras di laut, sementara penerbangan angkatan laut hanya mendapat peran patroli dan pengintaian.

Yarnell menyusun rencana yang akan menunjukkan apa yang bisa dilakukan pesawat terbang untuk mendukung misi-misi angkatan laut di mana pun. Ketika Pearl Harbor memulai latihan pertahanan tahunannya, Yarnell dan pesawat-pesawatnya berperan sebagai agresor. Dia memilih Minggu pagi, 7 Februari 1932, untuk melancarkan kejutannya dan menyerang pangkalan angkatan laut di pagi hari untuk melumpuhkan pertahanan pangkalan yang tidak siap.

Berlayar hanya dengan dua kapal induk, yaitu USS Saratoga dan USS Lexington, serta beberapa kapal perusak kawal, satuan tugas Yarnell mendekati Oahu dalam kabut tebal dan di tengah malam. 152 pesawatnya diluncurkan tepat sebelum fajar. Ketika matahari terbit, pesawat-pesawat itu muncul di atas pangkalan dari Koolau Range, menyerang pesawat-pesawat yang parkir di darat dan membombardir kapal-kapal yang bersandar di dermaga.

Rencana sang laksamana berjalan lancar tanpa hambatan atau korban. Pangkalan itu sendiri dipenuhi dengan peluru-peluru suar kosong dan karung tepung, senjata pilihan untuk pesawat penyerang. Ini adalah pertama kalinya Pearl Harbor kalah dalam permainan perang tahunan ini.

Lapangan-lapangan terbang angkatan daratlah yang pertama dilumpuhkan, kemudian disusul dengan serangan atas Battleship Row (pengelompokan delapan kapal tempur yang bersandar di dermaga pelabuhan Pearl Harbor), dengan hantaman berkali-kali mengenai kapal-kapal angkatan laut. Para wasit latihan perang Angkatan Laut AS menyatakan serangan tersebut sangat sukses, yang membuat Yarnell sangat yakin bahwa pertahanan Hawaii lemah terhadap serangan mendadak dari udara.

Ini seharusnya menjadi peringatan bagi Angkatan Laut AS – dan Pearl Harbor khususnya. Sebaliknya, Markas Besar Angkatan Laut AS malah meneriakkan kecaman dan menyatakan latihan itu ilegal, serta menyatakan pula bahwa mereka akan benar-benar waspada dan siaga jika Amerika benar-benar sedang berperang. Dikatakan juga bahwa armadanya Yarnell akan diketahui dan mengalami kerusakan atau hancur jika melakukan serangan seperti itu.

Begitulah seterusnya sampai tahun 1938, ketika latihan tahunan diadakan lagi tahun itu. Kali ini, Laksamana Ernest King memimpin kekuatan lawan. Yarnell mengamati gerakan King dengan cermat.

King membawa satu kapal induk dan kapal-kapal perusak kawalnya pada rute dan waktu yang sama. Sama seperti pada latihan yang pertama, pesawat penyerang datang dari Koolau Range dan benar-benar menghancurkan armada di Pearl Harbor. Dan seperti serangan pada latihan yang pertama, Markas Besar Angkatan Laut AS mengklaim taktik itu tidak adil dan memveto hasilnya. Tidak ada yang berubah.

Tidak seperti Angkatan Laut AS, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang memperhatikan latihan yang pertama. Mereka menyaksikan serangan tahun 1932 itu dan mempelajarinya dengan cermat. Laksamana Jepang, Isoroku Yamamoto, juga percaya pada kekuatan udara angkatan laut dan menyusun Angkatan Laut Jepang dengan fokus pada kapal induk.

Ketika tiba saatnya bagi Jepang untuk menyerang Amerika Serikat, Jepang tahu bahwa perang jangka panjang dengan negara adidaya industri yang potensial itu bukanlah perang yang bisa dimenangkannya. Tetapi Jepang berharap bahwa dengan melumpuhkan Armada Pasifik AS, hal itu dapat menjauhkan Amerika dari perang yang permanen.

Jepang menyerang Pearl Harbor pada 7 Desember 1941 dengan menggunakan banyak rencana yang sama yang digunakan Yarnell hanya sembilan tahun sebelumnya; hanya saja Jepang mengerahkan enam kapal induk dan 353 pesawat, banyak di antaranya menghantam pelabuhan dari Koolau Range. Itu terjadi ketika Jepang meluncurkan serangan serentak ke Filipina, Guam, Pulau Wake, Malaya, Singapura, dan Hong Kong.

Serangan Yamamoto memang jauh dari sempurna; ia kehilangan 29 pesawat dan 64 awaknya. Tetapi Jepang setidaknya berhasil menunda atau menghambat respons segera Amerika terhadap aksi militer Jepang di Pasifik.©2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Desember 2021

Thursday, October 28, 2021

Lupa Itu Ternyata Bagus

SEBUAH pengalaman unik saya lalui kemarin (28 Oktober 2021). Kemarin siang, saya ada janji untuk bertemu seorang kawan lama, sesama alumnus Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, di sebuah kafe di Yasmin, Bogor, Jawa Barat. Sebelum berangkat, istri saya berpesan ke saya agar sebelum meluncur ke Bogor saya membeli dahulu nasi Padang buat makan siang untuk tukang yang sedang mengerjakan instalasi listrik di rumah saya. Dia pun memberi uangnya, dan saya pun menunggangi motor yang kemudian melaju dari depan rumah saya.

Dalam perjalanan ke Bogor, telepon seluler (ponsel) saya berkali-kali bunyi, menandakan incoming call, tapi karena sedang memacu motor dalam kecepatan normal di jalur Parung-Bogor yang cukup ramai siang kemarin, saya mengabaikannya. Sampai di Jl. KH R. Abdullah bin Nuh, atau orang Bogor menyebutnya Yasmin, saya mampir di warung Mie Ayam Bangka Rasa. Saat lagi asik menikmati semangkuk mie ayam yang cukup lezat itu, ponsel saya kembali berbunyi. Istri saya yang menelepon, dan saya segera angkat. Dia bicara dengan nada ngotot dan marah: “Kamu di mana?! Ditungguin kok nggak pulang-pulang, kasihan tuh tukangnya jam segini belum makan?! Kamu tau kan warung Padangnya?!”

“Ya Tuhaaaann!!! Aku lupaaaaa!!! Aku udah sampai Bogor neeehh!” seru saya, yang membuat penjual mie ayam Bangka itu tiba-tiba menoleh ke saya karena kaget.

Singkat kata, istri langsung menutup teleponnya dan kemudian mengirim pesan WhatsApp yang berbunyi: “Keterlaluan!”

Saya kemudian melanjutkan perjalanan hingga ke kafe Popolo Coffee Yasmin di Jl. Rasamala, Bogor, berbincang-bincang sambil menikmati minuman racikan kafe tersebut yang berbasis kopi. Lalu, kawan saya yang asli Bogor tapi tinggal di Jakarta itu mengajak saya ke restoran masakan Sunda, Leuit Ageung, tidak jauh dari kafe Popolo.

Selama di Leuit Ageung, dimana kami kongkow sampai selepas magrib lantaran sorenya hujan sangat deras dan lama mengguyur Kota Hujan, kawan lama saya ini menceritakan pengalaman interaksinya dengan sejumlah alumnus almamater kami di masa lampau yang tidak terlalu lampau (sudah masuk dekade 2000an) termasuk beberapa interaksi dengan saya. Saya tiba-tiba tersadar bahwa banyak yang dia ceritakan ke saya saya malah tidak ingat sama sekali. Padahal saya biasanya ingat kisah-kisah masa lalu yang melibatkan saya hingga detail. Tiba-tiba pula saya tersadar bahwa saya pernah ngomong ke Pak Harris Roberts, salah satu helper Subud Cabang Jakarta Selatan, belum lama berselang, “Pak, enak ya kalau nggak tau apa-apa atau lupa segalanya. Pastilah bahagia orang yang kayak gitu.”

Karena sudah jam 18.00 ketika kami meninggalkan restoran Leuit Ageung, dan perjalanan kembali ke Jakarta cukup memakan waktu bila bermotor, maka saya memutuskan untuk tidak Latihan Kamis malam di Hall Cilandak, melainkan ke Hall Bogor, yang tidak jauh dari Yasmin.

Di Hall Bogor, saya menceritakan pengalaman unik dimana saya baru ingat untuk beli nasi Padang dahulu buat tukang di rumah, justru ketika saya sudah lebih dari 30 kilometer jauhnya dari rumah saya. Dua saudara Subud Bogor (salah satunya pembantu pelatih) yang mendengarkan cerita saya menyikapinya dengan serius, “Wah, itu bagus, Mas. Secara kejiwaan, itu bagus.”

Saya membatin, “Bagusnya apa? Kenapa?” Baik kedua saudara Subud itu maupun jiwa saya tidak memberi penjelasan mengapa “lupa” itu bagus.

Saat Latihan bersama saudara-saudara Subud Bogor, saya merasakan diri dalam suasana senyap yang kosong, serasa pikiran saya tidak berfungsi, bahkan denyut nadi saya pun serasa berhenti. Tidak ada apa pun, hampa, tidak ada pikiran, tidak ada pengertian. Nothing!

Nah, saat itulah saya tiba-tiba memahami sesuatu: “Orang yang sudah menerima Latihan Kejiwaan itu bisa melakukan apa saja, bahkan keahlian-keahlian yang sebelumnya tidak dia ketahui. Asaaaaaalll... kamu lupakan segala sesuatu yang kamu ketahui, segala teori, segala ajaran atau pelajaran, dan hanya murni menerima bimbingan Tuhan.”

Saya keluar dari Hall Latihan dalam keadaan yang sangat “polos” selama beberapa belas menit; saya bahkan sempat merasa asing dengan tempat saya berada tadi malam. Saya menikmati ketidaktahuan saya, sampai saudara-saudara lainnya keluar dari Hall Latihan.©2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 29 Oktober 2021

Monday, October 25, 2021

Tidak Berpikir Melebihi Seharusnya

TANGGAL 18 Oktober 2021 lalu, pagi jam 06.10 WIB, saya berangkat ke Sukamulya di Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, bersama enam saudara Subud Bogor. Kami bermobil, berangkat dari halaman Wisma Subud Bogor di Jl. KH Sholeh Iskandar.

Ketika sampai depan kaki makam Bapak, saya duduk bersimpuh. Tiba-tiba saya merasa ingin membenturkan kepala ke anak tangga di kaki makam. Saya tahan, lalu terasa dorongan lembut di belakang kepala saya yang membuat kening saya menempel pelan ke anak tangga tersebut. Berasa dingin dan nyaman.

Saya kemudian menerima bahwa bila pikiran saya selalu suci (artinya: hening), secara fisik dan psikologis saya akan baik-baik saja. Saya “mendengar” suara Bapak, yang mengatakan, bahwa bila saya berpikir melebihi seharusnya saya akan dibuat mengantuk berat sampai pingsan atau lupa diri.

Sejak hari itu, tiap kali saya berpikir sedikit lebih dari yang seharusnya saya akan segera merasa sangat mengantuk, seperti dibius. Pada 25 Oktober 2021, sekitar jam 03.40, terjadi lagi. Saya terbangun karena kebelet pipis. Setelah dari kamar mandi, bukannya tidur lagi, saya malah terpikir tentang pertengkaran dengan istri pada malam sebelumnya. Padahal suara batin saya terus-terusan berteriak, “Jangan dipikirin! Serahkan aja ke Tuhan!”

Selama beberapa menit saya duduk di pinggir kasur, memikirkan momen pertengkaran itu. Tiba-tiba, saya merasa pening, lalu rebah lagi di kasur dan wuussshh... saya tidak ingat apa-apa lagi.

Saya membuka mata sekitar jam 06.45, lalu berpikir lagi mengapa saya bisa ketiduran, mengapa saya sampai tidak mendengar alarm HP yang saya setel ke jam 05.00, sehingga saya jadi tidak sempat mencuci pakaian. Saat itulah, saya serasa dibius lagi, karena mikir yang tidak seharusnya. Tapi saya paksakan bangun, yang akibatnya paha saya menyenggol sudut meja dan berkali-kali tangan saya gagal menemukan gagang pintu. Mata saya sulit dibuka, rasanya berat, sehingga saya duduk di tangga (khawatir bila saya teruskan melangkah, bisa-bisa saya terguling dari tangga) dan menenangkan pikiran. Beberapa saat kemudian, kantuknya berangsur-angsur hilang.©2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 Oktober 2021

Saturday, October 23, 2021

Jangan Dimasukkan ke Hati

MEDIA sosial (medsos), menurut saya, baiknya diakses dan ditekuni oleh mereka yang sudah dewasa. Bukan dewasa secara usia ya, tapi lebih pada pola pikir, memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang mumpuni. Sebab, tanpa semua ini, medsos hanya menjadikan kita sakit. Sakit psikologis yang dapat berdampak ke fisik.

Boleh percaya, tidak pun boleh, tapi kata-kata, walau hanya berupa simbol atau goresan tangan, memiliki energi tertentu yang dapat mengayak perasaan pembacanya. Sebagai penulis dan penekun kajian memetika, saya telah lama mengamati fenomena ini. Saya kira, bukan kata-katanya sendiri, melainkan energi itulah yang mempengaruhi perasaan kita saat membaca sebuah tulisan atau mendengar ucapan.

Mimpi saya pada 12 masuk ke 13 September 2021 lalu (baca artikel blog ini: Mimpi Dengan Bapak, yang dipublikasi 27 September 2021), menampilkan Bapak Muhammad Subuh yang mengatakan kepada saya, bahwa dengan tulisan saya dapat menciptakan surga maupun neraka, terserah pilihan saya. Kelak saya memahami bahwa energi dalam tulisan saya dapat memberi kedamaian (surga) atau penderitaan (neraka) bagi pembaca tulisannya. Dan efeknya bukan saja terhadap pembaca, tetapi juga terhadap saya sebagai penulisnya.

Tulisan atau ucapan, bila si penulis atau si pengucap berada dalam keadaan marah atau sedang dirundung emosi negatif, dapat membuat pembaca atau pendengar tak karuan rasanya, tertekan perasaannya, dan lebih buruk lagi bila sampai ia masukkan ke hati. Sakitnya terasa “mematahkan” hati, mengoyak-ngoyak perasaan hingga ke aras yang membuatnya depresi. Inilah sebabnya, mengapa tak sedikit orang yang dirisak (bully) akhirnya memilih bunuh diri.

Perasaan itu membekas bila sampai dimasukkan hati, membuat si pembaca atau pendengar merasa bahwa apa yang dituliskan atau diucapkan kepadanya memang benar. Ini sangat berbahaya! Adalah lebih baik bila kita mengabaikannya.

Bila tidak mampu menghilangkan tulisan atau ucapan tersebut dari pikiran kita, sebagaimana yang saya beberapa kali alami, saya membuang/menghapus tulisan atau ucapan itu dengan melakukan Latihan Kejiwaan untuk membuang “kekotoran” yang mungkin telah menemukan jalannya ke hati saya melalui mata atau telinga. Sebaiknya, kita juga menjauhkan diri dari sumber-sumbernya, dengan istirahat sementara waktu dari medsos atau tidak berinteraksi dengan orang-orang yang negatif. Sejumlah akun medsos memiliki fitur Menghapus Pertemanan, Blokir, Unfollow, Snooze, dan lain-lain fitur yang fungsinya adalah untuk menghalau negativitas dari teman-teman kita.

Selebihnya, serahkan semuanya kepada Tuhan, dengan senantiasa berperasaan sabar, tawakal dan ikhlas. Hanya kekuasaan Tuhan yang dapat mengatasi atau membersihkan anasir-anasir buruk yang sudah telanjur masuk ke hati.©2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 22 Oktober 2021 

Bekerja Secara Alami

 TIDAK ada larangan di Subud. Subud bukan agama, sehingga tidak ada yang harus dilarang atau diperintahkan. Terserah masing-masing orang saja. Mau mixing (mencampurkan bermacam-macam praktik dalam Latihan Kejiwaan) juga boleh kok, karena itu urusan tiap orang dengan dirinya/Tuhannya.

Seperti di Inggris, ada sempalan Subud, AIR (Active Inner Response) namanya. Pendirinya mantan pembantu pelatih Subud Inggris yang dipecat oleh Dewan Pembantu Pelatih Nasional (DPPN) sana karena tuduhan melakukan dan mengajak anggota untuk mixing. Nah, di gedung yang disewa AIR untuk Latihan tersedia tiga ruangan, yang disediakan untuk Latihan eksklusif pria, eksklusif wanita dan untuk mereka yang ingin coba-coba melakukan Latihan bersama pria dan wanita secara dicampur, untuk mencari tahu mengapa Bapak melarang hal itu.

Jadi, di Subud jangan percaya Bapak sebelum mengalami sendiri, apalagi yang beliau sampaikan bukan ajaran, bukan doktrin yang dogmatis. Lakukan untuk tahu mengapa begini, mengapa begitu. Dan jawaban yang diterima pun berlaku untuk satu orang, tidak bisa disamakan untuk semua orang.

Setelah berjalan lima tahun, pendiri AIR melaporkan bahwa tidak ada satu pun anggota pria dan wanita yang merasa ingin Latihan bersama campur pria-wanita! Masing-masing anggota merasakan rasa dirinya terganggu untuk melakukan hal itu bahkan sebelum mereka melakukannya.

Artinya apa? Itulah keajaiban Latihan Kejiwaan, tidak usah dipaksa-paksa; biarkan segala sesuatunya bekerja secara alami.©2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 22 Oktober 2021 

Monday, October 18, 2021

Membersihkan Makam Bapak Subuh di Sukamulya


BERSAMA satu pembantu pelatih dan lima anggota Subud dari Cabang Bogor, saya pergi ke Sukamulya pada 18 Oktober 2021. Pagi hari, pukul 06.10 WIB, diiringi hujan rintik-rintik yang kemudian kian deras, kami bertujuh meninggalkan Hall Latihan Bogor menuju makam Bapak di Sukamulya, Cipanas, di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Hall Latihan Bogor juga terletak di Jawa Barat, tepatnya di Kota Bogor, sekitar 40 km di sebelah selatan Jakarta.

Kami bermobil ke Sukamulya. Selain berziarah, kami juga hendak membersihkan karpet serta pintu kayu jati di muka pendopo makam. Semua itu dalam rangka memperingati hari lahir Bapak dalam kalender Hijriyah, yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal di tahun Dal atau 1901 Masehi, bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang di kalender Masehi jatuh pada tanggal 19 Oktober 2021. Membersihkan makam dari para leluhur merupakan tradisi masyarakat Indonesia, yang dilakukan terutama menjelang Idulfitri atau untuk memperingati hari lahir para leluhur.

Saya mengagumi bunga-bunga yang bermekaran cantik di taman di areal makam. Mereka tampak tersenyum bahagia di bawah siraman air hujan tipis-tipis. Tidak ada tanda-tanda kekeringan di taman itu. Perawat makam, Pak Oman namanya, menyambut kedatangan kami dengan sangat gembira. Menurutnya, cuaca di tempat itu sudah beberapa minggu panas dan kering. Hujan baru turun hari itu, ketika kami datang, sehingga Pak Oman mengaitkan turunnya hujan itu dengan kedatangan kami.

Usai membersihkan makam Bapak, kami sarasehan di teras Hall Latihan Sukamulya, dimana beberapa dari kami bercerita tentang pengalaman kejiwaan mereka, dan kemudian kami Latihan bersama. Sementara itu, hujan terus-menerus turun, menambah sejuk suasana damai yang kami peroleh dari berziarah ke makam Bapak.©2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 18 Oktober 2021

Wednesday, October 13, 2021

Tuhannya Spinoza

[Diterjemahkan dari postingan Ashwin Rajaraman (Subud Chennai) di Facebook Group SUBUD AROUND THE WORLD pada 12 Oktober 2021]


KETIKA Einstein memberi kuliah di universitas-universitas di Amerika Serikat, pertanyaan yang sering diajukan para mahasiswa kepadanya adalah: Anda percaya Tuhan? Dan Einstein selalu menjawab: Saya percaya pada Tuhannya Spinoza.

Baruch de Spinoza adalah filsuf Belanda yang dipandang sebagai salah satu rasionalis terbesar dari filsafat abad ke-17, bersama Descartes.

Inilah yang Spinoza yakini Tuhan akan berkata saat ini:
“Berhentilah berdoa. Yang Aku kehendaki adalah engkau pergi keluar sana dan menikmati hidupmu. Aku ingin engkau menyanyi, bersenang-senang dan nikmati semua yang telah Kuciptakan untukmu. Jangan lagi pergi ke rumah-rumah ibadah yang gelap dan dingin yang engkau bangun sendiri dan mengatakan bahwa itu adalah rumahKu. RumahKu ada di pegunungan, di hutan, sungai, danau, pantai. Di sanalah Aku tinggal dan di sanalah Aku mengungkapkan cintaKu padamu.

Jangan lagi menyalahkanKu atas hidupmu yang menderita, Aku tak pernah mengatakan ada yang salah dengan dirimu atau bahwa engkau seorang pendosa, atau bahwa seksualitasmu adalah hal yang buruk. Seks adalah karunia yang Aku berikan kepadamu dan dengan itu engkau bisa mengungkapkan cintamu, hasratmu, kegembiraanmu. Jadi, jangan salahkan Aku untuk segala sesuatu yang telah mereka buat untuk engkau percayai.

Berhenti membaca kitab-kitab yang dianggap suci yang tidak ada hubungannya denganKu. Jika engkau tidak bisa membacaKu pada terbitnya matahari, di hamparan alam yang indah, pada teman-temanmu, di mata anak-anakmu, engkau tidak akan menemukanKu di kitab mana pun!

Jangan lagi bertanya padaKu, ‘Bisakah Engkau memberitahuku bagaimana melakukan pekerjaanku?’

Jangan lagi takut padaKu. Aku tidak menghakimimu atau mengkritikmu, atau marah padamu, atau terganggu dengan ulahmu. Aku hanya cinta yang murni.

Jangan lagi minta pengampunan, tidak ada yang perlu diampuni. Jika Aku menciptakanmu, Aku mengisimu dengan nafsu, batasan, kesenangan, perasaan, kebutuhan, ketidaksesuaian, kehendak bebas. Bagaimana Aku bisa menyalahkanmu bila engkau merespons sesuatu yang Aku letakkan di dalam dirimu? Bagaimana Aku bisa menghukummu karena engkau menjadi sebagaimana engkau, sedangkan Aku yang menciptakanmu?

Apakah engkau pikir Aku dapat menciptakan suatu tempat untuk membakar semua anak-anakKu yang berkelakuan buruk selamanya? Tuhan macam apa yang akan melakukan hal itu?

Hormati sesamamu dan jangan lakukan apa yang tidak engkau inginkan untuk dirimu sendiri. Yang Aku minta adalah agar engkau memperhatikan hidupmu, bahwa kesadaran adalah pemandumu.

KasihKu, hidup ini bukanlah ujian, bukan perintang, bukan latihan, juga bukan awal dari surga. Hidup ini adalah satu-satunya yang ada di sini dan saat ini dan itulah satu-satunya yang engkau butuhkan.

Aku telah membebaskanmu sepenuhnya, tidak ada hadiah atau hukuman, tidak ada dosa atau pahala, tidak ada yang membawa penanda, tidak ada yang menyimpan catatan. Engkau benar-benar bebas untuk menciptakan surga atau neraka dalam hidupmu.

Aku tidak dapat memberi tahumu apakah ada sesuatu setelah kehidupan ini, tetapi Aku dapat memberi engkau kiat. Hiduplah seolah-olah tidak ada hidup. Seolah-olah ini adalah satu-satunya kesempatanmu untuk menikmati, untuk mencintai, untuk eksis.

Jadi, jika tidak ada apa-apa setelah kehidupan ini, maka engkau akan menikmati kesempatan yang Aku berikan kepadamu. Dan jika ada, yakinlah bahwa Aku tidak akan bertanya apakah engkau berperilaku benar atau salah; Aku akan bertanya: ‘Apakah engkau menyukainya? Apakah engkau bersenang-senang? Apa yang paling engkau nikmati? Apa yang telah engkau pelajari?’

Berhentilah percaya padaKu; percaya adalah berasumsi, menebak, membayangkan. Aku tidak ingin engkau percaya padaKu, Aku ingin engkau percaya pada dirimu sendiri. Aku ingin engkau merasakanKu di dalam dirimu ketika engkau mencium kekasihmu, ketika engkau menidurkan gadis kecilmu, ketika engkau membelai anjingmu, ketika engkau mandi di laut.

Berhentilah memujiKu, apa engkau kira Aku ini Tuhan yang gila pujian?
Aku bosan dipuji. Aku lelah dengan ucapan terima kasih. Merasa bersyukur? Buktikan dengan menjaga diri sendiri, kesehatanmu, hubungan-hubunganmu, dunia. Ekspresikan kegembiraanmu! Begitulah cara memuji Aku.

Berhentilah memperumit hal-hal dan mengulangi seperti halnya burung parkit apa-apa yang telah engkau pelajari tentang Aku.

Untuk apa engkau membutuhkan lebih banyak keajaiban? Begitu banyak penjelasan?

Satu-satunya hal yang pasti adalah bahwa engkau ada di sini, bahwa engkau hidup, bahwa dunia ini penuh dengan keajaiban.”©2021

Tuesday, October 12, 2021

Kebersamaan yang Dirindukan


PADA pagi hari, 2 Oktober 2021, saya, Pak Harris Roberts dan Armansyah Muharram—mereka berdua adalah pembantu pelatih di Kelompok Latihan Tebet, Jakarta Selatan—meninggalkan Hall Subud Cabang Sidoarjo di Jawa Timur untuk kembali ke Jakarta. Bagaimanapun, kami tidak langsung kembali ke Jakarta, melainkan mampir untuk bermalam di Purwokerto, di rumah dari pasangan anggota Subud Purwokerto, yang terletak tepat di sebelah hall Subud Purwokerto yang megah. Perjalanan kami, bermobil dari Sidoarjo ke Purwokerto, memakan waktu delapan jam. Sore harinya, kami tiba di alamat tujuan kami.


Hall Subud Purwokerto di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, diresmikan pada 17 Desember 2005, yang bertepatan dengan acara Musyawarah Wilayah VI PPK Subud Jawa Tengah-Yogyakarta di Baturraden. Berlokasi di sebuah desa berlingkungan asri di kaki Gunung Slamet, gunung terbesar di Pulau Jawa, Hall Subud Purwokerto berdiri di lahan seluas 1.000 meter persegi. Ketika cuacanya cerah, dengan berdiri di depan pintu utama Hall Subud Purwokerto yang mengarah ke timur, kita dapat melihat siluet Gunung Slamet yang menjulang di ufuk utara.


Para anggota sesepuh Subud Purwokerto adalah suami-istri yang rumahnya kami inapi. Mereka pasangan guru besar yang masih aktif mengajar di sebuah universitas negeri di kota kecil itu.


Kami juga sempat ikut Latihan Dunia pada hari Minggu pagi, 3 Oktober, di Hall Subud Purwokerto. Pak Harris juga melakukan testing atas permintaan para anggota setempat, yang sebagian besar adalah anggota baru, dan setelah itu kami semua menikmati makan siang yang lezat, yang diolah oleh para anggota wanita dari cabang tersebut.


Subud Purwokerto telah lama dikenal sebagai salah satu cabang dari PPK Subud Indonesia yang anggota-anggotanya menyambut tamu dengan hangat. Kehangatan dalam kebersamaan yang mereka berikan membuat para anggota dari daerah-daerah lainnya selalu rindu untuk kembali mengunjungi cabang tersebut. Dulu, almarhum Mas Adji sering berkunjung ke Purwokerto, dan beliau merupakan penyumbang dana terbesar untuk pembangunan Hall Subud Purwokerto.

 

Sambutan ramah nan hangat tidak hanya diberikan kepada anggota Subud dari daerah lain, tetapi juga kepada masyarakat desa dimana hall berlokasi. Warga desa dipersilakan menggunakan Hall Subud Purwokerto untuk acara-acara komunal mereka, secara cuma-cuma, sehingga meskipun tidak ada warga desa yang masuk Subud, penerimaan mereka terhadap Subud sangat baik. (Kabarnya, warga desa dilarang ikut Subud oleh kyai desa, karena Subud dipandang tidak sesuai dengan ajaran agama mereka. Lucunya, pasangan suami-istri sesepuh Subud Purwokerto yang saya sebutkan di atas menyediakan ruang tamu rumah mereka untuk kenyamanan si kyai ketika ada pengajian yang digelar di Hall Subud Purwokerto.)

 

Di samping itu, masyarakat desa juga menikmati lapangan desa yang luas, yang sebelumnya dihibahkan oleh salah satu anggota pertama Subud Purwokerto kepada desa, pada tahun 1970an—berlokasi di belakang Hall Subud Purwokerto, ke arah barat.©2021

 

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 12 Oktober 2021

Pembelajaran Tentang Harmoni di Hall Subud Sidoarjo


PADA tanggal 29 September hingga 2 Oktober 2021 lalu, saya bersama dua pembantu pelatih Kelompok Latihan Tebet, Jakarta Selatan, Harris Roberts dan Armansyah Muharram, mengunjungi satu cabang Subud di Sidoarjo, Jawa Timur. Terletak di sebelah selatan kota Surabaya dan berbatasan langsung dengan ibukota provinsi Jawa Timur itu, Sidoarjo memiliki cabang Subud yang cukup tua di Indonesia, dengan anggota tertuanya dibuka pada tahun 1969. Di kabupaten seluas 714,24 kilometer persegi ini terdapat satu cabang dan satu ranting Subud dan keanggotaannya cukup signifikan jumlahnya, dengan sebagian anggota yang teregistrasi di Cabang Surabaya sebenarnya berdomisili di Sidoarjo.

Tak saya sangka, dalam kunjungan bersifat silaturahmi itu saya belajar tentang harmoni dengan lingkungan sekitar di Hall Subud Sidoarjo.

Cabang Sidoarjo baru memiliki hall Latihan sendiri, yang berasa seperti home away from home bagi saya dan Pak Harris—kami berdua menginap di Hall Sidoarjo selama tiga malam, sedangkan Armansyah di hotel, karena dia ke Jawa Timur dalam rangka kerja, sehingga dibiayai kantornya. Mungkin dikarenakan hall tersebut terbuka 24 jam bagi semua anggota. Nyatanya, saya dan Pak Harris juga menyaksikan bagaimana anggota-anggota, perorangan atau beberapa orang sekaligus, datang setiap saat, tidak melulu pada hari-hari Latihan reguler (Senin dan Kamis malam).

Mereka datang kadang hanya untuk menenangkan diri, kadang untuk Latihan, kadang minta testing jika ada pembantu pelatih, tapi seringnya untuk sekadar berbagi cerita pengalaman sehari-hari dengan Latihan Kejiwaan dengan saudara-saudara Subud mereka. Setelah itu, mereka akan meninggalkan tempat itu untuk kembali melakukan apa yang sedang mereka kerjakan sebelum pergi ke hall Latihan.

Ketua Cabangnya saat ini adalah anggota baru, yang dibuka pada Juni 2021 lalu. Mas Amir namanya, seorang Sunda asal Sumedang yang telah hijrah ke Sidoarjo sejak tahun 1995, dan pernah menjadi penghayat Sunda Wiwitan sebelum masuk Islam. Kebetulan dia adalah ketua RT setempat, sehingga menciptakan keterhubungan yang kuat antara Subud Sidoarjo dengan lingkungan di mana hall Latihannya berlokasi. Warga kampung, yang bukan anggota Subud, tidak ragu untuk menikmati keberadaan hall Latihan Sidoarjo dengan ikut nongkrong di sana, sehingga mereka jadi tahu apa sebenarnya Subud itu. Inilah, idealnya, yang seharusnya terjadi di cabang-cabang lainnya di Indonesia, kalau tidak dunia.
©2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 11 Oktober 2021 

Sunday, September 26, 2021

Mimpi Dengan Bapak

MALAM, tanggal 12 masuk 13 September 2021, saya bermimpi melakukan perjalanan ke Grobogan, Jawa Tengah, ke suatu tempat yang tidak bernama tapi fisik bangunan-bangunannya dan lingkungannya membuat batin saya berseru, “Seperti Kedungjati ya?”                  

Sesaat setelah saya membatin begitu, muncul sosok Bapak Subuh. Bapak berjas tanpa dasi dan mengenakan peci. Bapak menunjuk ke saya dan berkata, “Saudara kan penulis. Tulis saja esai bahwa tempat ini surga, maka akan jadi surga. Tempat tidak terlalu penting dibandingkan cerita yang bisa saudara ramu tentang tempat itu.”

Setelah Bapak bilang begitu, mimpi saya berakhir.©2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 13 September 2021 

Monday, September 20, 2021

Pikiran yang Terbimbing

KARENA kehilangan seseorang yang disayanginya, seorang saudara Subud baru-baru ini mengirim pesan WhatsApp ke saya, menanyakan apa yang harus ia lakukan. Ia mengungkapkan bahwa ia sangat bersedih dan saya dapat merasakan kesedihannya.

Seperti biasa, saya merasakan diri dahulu, “menguji” respons seperti apa yang sebaiknya saya sampaikan. Latihan Kejiwaan menuntun saya untuk menjawab berikut ini: “Jangan diingkari kesedihannya, release saja kalau memang sedih. Itu manusiawi.”

Dia menerimanya dengan baik, merasa mendapat dukungan untuk bersedih.

Jika Anda sedih, menangislah. Jika Anda bahagia, tertawalah. Lakukan apa yang tepat bagi Anda, sesuai kondisi Anda di suatu waktu. Jika hal-hal sederhana ini tidak bisa Anda lakukan, berarti Anda belum menjadi manusia. Sedih, bahagia, marah, jatuh cinta, dan-lain emosi adalah manusiawi. Sesimpel itu.

Benarkah? Memang benar, sesimpel itu. Tapi ternyata, banyak orang tidak mampu melakukannya. Mengapa?

Membaca pesan WhatsApp-nya saudara Subud itu, saya jadi prihatin. Saya merasa kasihan pada begitu banyak manusia di sekitar kita yang begitu kacaunya keadaan pikiran mereka sampai hal-hal simpel saja mereka tidak tahu/ingat. Kalau kehidupan kita terlalu dikontrol oleh akal pikir, oleh nilai-nilai yang tumbuh dari akal pikir semata, kita cenderung memiliki pikiran yang tidak terarah atau terbimbing, sehingga sulit menjadi “manusiawi”.

Saya pernah membaca sebuah buku tentang cara mengembangkan kreativitas, dan aspek paling penting yang dianjurkan buku tersebut adalah simplisitas. Anda hanya bisa menghasilkan ide-ide kreatif bila cara berpikir Anda sederhana.

Sebagai praktisi penjenamaan (branding), beride kreatif adalah makanan pokok saya. Bila saya tengok ke belakang, ke saat saya baru membangun karir sebagai copywriter, 26 tahun yang lalu, saya pun pernah berada dalam kondisi pikiran tidak terbimbing, sehingga tidak mampu berpikir simpel. Setelah masuk Subud, dan dimampukan untuk “meneliti diri” (niteni), saya menganalisis proses diri dari berpikir rumit hingga menjadi simpel, dan dampak-dampak yang ditimbulkannya. Dengan pikiran yang kosong/hening, simplisitas justru lebih cepat mengemuka.

Pernah suatu ketika saya menghadapi satu klien saya, yang berkeluh-kesah bahwa dia letih dan kurang tidur. Dia sudah minum berbagai suplemen dan jamu, letihnya tidak hilang juga. Lalu saya memberi saran ke dia, “Pak, kalau capek istirahat. Perbanyak tidurnya.”

Dia tertegun, seperti baru menyadari kebodohannya sendiri. Jawaban saya paling masuk akal dan simpel, namun pikiran tak terarah dari klien saya tidak dapat merumuskan solusi sesederhana itu. Ternyata tidak simpel untuk bisa berpikir simpel, walaupun sebenarnya gampang sekali. Cukup dengan tidak berpikir melampaui seharusnya.©2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 19 September 2021 

Saturday, August 7, 2021

Cara Keras Untuk Berubah

SAYA selalu percaya dan yakin, sejak dibuka di Subud, bahwa perubahan diri tidak perlu kita upayakan, apalagi dengan mengerahkan akal pikir dan nafsu. Perubahan sikap dan perilaku, selama ini, yang saya alami, berjalan sendiri, dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Esa. Cepat atau lambatnya tergantung dari isi diri saya dan seberapa tekun saya dalam melakukan Latihan Kejiwaan.

Di mata istri saya, perilaku saya belum banyak berubah meskipun sudah 17 tahun melakukan Latihan Kejiwaan. Saya masih pemarah, keras kepala, egois, selalu mau benarnya sendiri. Bukannya saya senang dengan perilaku itu, saya malah merasa terbebani. Inilah bedanya saya sebelum dan sesudah menerima Latihan Kejiwaan. Sebelum dibuka dahulu, jauh sebelum saya bersentuhan dengan Subud, bila saya berperilaku buruk hal itu terlupakan oleh saya; saya melakukannya tanpa kesadaran. Sekarang, setelah dibuka, saya langsung tersadar (atau disadarkan oleh jiwa saya) bahwa suatu tindakan atau perkataan saya telah menyakiti orang lain.

Pasti akan muncul pertanyaan dari pembaca, “Lalu, kalau sadar, kenapa masih juga melakukannya?” Ya, saya juga tidak mengerti. Kadang, pengulangan perkataan atau perbuatan buruk saya adalah untuk benar-benar membuat saya jera dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Kadang pula bermakna bahwa saya menjadi kepanjangan tangan Tuhan untuk memperbaiki perilaku seseorang; ada yang segera menyadarinya sehingga memaafkan saya, bahkan berterima kasih kepada saya, tapi ada pula yang tidak mau menerimanya, tidak mau menginsafinya, yang dia mau hanya menghakimi saya, seolah dia yang paling suci.

Setiap kali perkataan atau perbuatan saya menyebabkan kesedihan atau kemarahan istri saya, saya pasti akan memohon kepada Tuhan, juga kepada Yang Mulia Bapak, agar saya dibantu untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Entah sudah berapa ratus kali saya memohon hal itu, tapi tetap saja berulang dan berulang. Sampai suatu ketika...

Pada 27 Juni 2021, istri saya memeriksakan diri ke dokter karena penciuman dan indera perasanya hilang. Sejak beberapa hari sebelumnya, dia memang sudah batuk dan pilek serta kelelahan yang menimbulkan gejala masuk angin. Dia dites swab antigen oleh dokter di klinik 24 jam di dekat rumah kami dan hasilnya menyatakan istri saya positif Covid-19. Baik istri maupun saya langsung lemas. Bukan penyakitnya yang merisaukan, tapi kenyataan bahwa kami harus melalui episode yang sulit.

Istri saya langsung memutuskan untuk melakukan isolasi mandiri (isoman). Saya dan anak saya serta asisten rumah tangga kami harus melakukan tes swab antigen pula. Puji Tuhan, hasilnya negatif, dan itu sekaligus memastikan bahwa saya dan anak saya harus berpisah sementara dari istri saya.

Sebenarnya itu mudah—dia bisa menempati dan mengurung diri di satu kamar tidur di rumah kami, tapi menjadi sulit karena dengan pertimbangan ada anak kami yang masih kecil di rumah. Istri pun terpaksa tidak isoman di rumah sendiri. Dia dibolehkan satu tetangga kami untuk menempati garasi rumahnya yang tidak terpakai. Selang seminggu kemudian, istri saya pindah ke rumah kosong yang pemiliknya pernah mengontrakkan rumah ke kami ketika kami baru pindah ke Pondok Cabe. Pemiliknya mengizinkan istri saya isoman di rumah kosong itu tanpa harus membayar biaya sewa.

Selama istri isoman, saya mengganti perannya sebagai ibu rumah tangga, yang tentunya sulit bagi saya karena saya belum terbiasa. Selama ini, saya terlalu dependen pada istri, sehingga saya tidak belajar banyak tentang mengurus rumah tangga. Yang paling repot adalah mendampingi anak perempuan kami yang dalam usia empat tahun delapan bulan sedang sangat aktif. Dia selalu menuntut ditemani oleh saya, termasuk saat dia tidur. Sedangkan pada saat yang sama saya banyak pekerjaan. Saya sering harus mencari cara bagaimana rapat Zoom saya dengan klien tidak direcoki anak—seringnya tidak berhasil.

Di satu titik dalam periode 19 hari istri saya isoman, jauh dari rumahnya sendiri, yang ditempati saya dan anak kami, satu keponakan perempuan berumur 21 tahun dan satu asisten rumah tangga, saya berkeluh-kesah kepada Tuhan, mengapa kami harus melalui cobaan ini. Saat itu, malam hari, usai saya menidurkan anak saya, di kamar tidur yang biasanya ditempati anak dan istri saya.

Segera setelah saya berkeluh-kesah dalam hati, saya mendapatkan pengertian: “Bukankah kamu selama ini sering memohon kepada Tuhan agar kamu bisa berubah menjadi baik? Dia memberimu cobaan ini karena cara inilah yang bisa mengubahmu. Kamu perlu cara keras untuk berubah, Arifin! Well, sifat ‘keras’ itu sebenarnya menurut akal pikirmu! Kalau kamu berserah diri dengan sabar, tawakal dan ikhlas, sesungguhnya caraNya ini justru dipenuhi kasih sayangNya kepadamu. Cara ini yang cocok buatmu, Arifin. Syukuri saja dan semua akan baik-baik saja bagimu dan bagi keluargamu!”

Saya tertegun di tempat tidur. Perasaan suka cita memenuhi diri, menggetarkan rasa. Singkat cerita, saya menyaksikan diri saya berubah. Pada hari Minggu siang ini, 7 Agustus 2021, sesaat setelah menikmati makan siang dengan menu mie ayam yang saya racik, di ruang tamu, istri saya berkata, “You sekarang sudah banyak berubah. Aku bersyukur karenanya.” Puji Tuhan.©2021

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Agustus 2021