Saturday, February 26, 2022

Berani Bertindak

BERMULA pada 31 Desember 2021 lalu, ketika satu saudara Subud (sebut saja namanya A) menelepon saya selama hampir dua jam. Mengenai satu anggota berkebangsaan Amerika yang menjadi helper di grup Subud luar negeri dan pekerjaannya sebagai dosen membuatnya sering pergi pulang luar negeri-Indonesia, karena dia mengajar juga di sebuah perguruan tinggi swasta di kota Yogya.

Sebagai konsultan bagi seorang kepala pemerintahan di sebuah negara berpenduduk mayoritas muslim, membuat BC (inisial bukan nama sebenarnya) dibatasi gerak-geriknya sedangkan dia muslim yang aktif di Subud, sementara Subud di negara tersebut terpinggirkan—muslim di negara tersebut dilarang menjadi anggota Subud, sehingga BC terpaksa sembunyi-sembunyi kalau mau Latihan di grup Subud di negara tersebut. Karena itu, tiap kali ke Indonesia dan dapat Latihan di hall baginya adalah surga.

Pada 31 Desember itu, A bercerita kalau BC keliaran tidak jelas, luntang-lantung seperti gembel gila dan linglung. BC sedang berada di Yogya, sejak Maret 2021. Tetangga kosnya BC, seorang mahasiswa, pun berupaya membantunya. BC bilang dia hanya kenal A di Indonesia dan mempunyai nomor ponselnya. Si mahasiswa pun menelepon A dan menceritakan keadaan si bule Amerika itu. A kebingungan, kepada siapa dia harus minta bantuan untuk mengurus BC sementara. Dia hubungi Komisaris Wilayah 5 PPK Subud Indonesia yang menaungi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Pak D, tapi Pak D menolak mengurus BC, entah apa sebabnya.

A kehabisan akal, karena dia tidak kenal orang-orang Subud di Yogya, kecuali yang tua-tua, tapi mereka tidak aktif ke hall dan A tidak memiliki nomor-nomor kontak mereka. A lalu ingat saya, karena saya di Cilandak dikenal sebagai “kurator anggota Subud”. Dalam pembicaraan via telepon WhatsApp 31 Desember lalu itu, saya usul supaya A menghubungi E, helper dan caretaker Wisma Subud Kulonprogo, barangkali BC bisa dititipkan dulu di Hall Kulonprogo. A merasa itu ide yang bagus, sehingga dia minta nomor kontaknya E.

Saya pikir masalahnya sudah selesai di situ. Ternyata tidak. A hanya memberitahu BC bahwa ia kemungkinan bisa tinggal sementara di Wisma Subud Kulonprogo. BC bingung karena dia tidak kenal orang-orang Subud Kulonprogo. A pun tidak kenal. Lalu, tiba-tiba awal Januari lalu BC muncul di Wisma Subud Cilandak, dan tinggal di Guesthouse. Pak FG, sebagai sesama warga Amerika yang tinggal di dalam kompleks Wisma Subud Cilandak, pun mendampinginya. Pak FG membenarkan bahwa BC datang ke Cilandak dalam keadaan linglung. Tapi dia kembali sadar setelah disalami Pak FG sambil berzikir. Dan ingatannya kembali jernih setelah diajak Pak FG jalan kaki keliling kompleks Wisma Subud Cilandak.

Selama tinggal di Guesthouse, BC curhat ke Pak FG bahwa dia tidak betah di Cilandak karena diperlakukan tidak baik oleh Yayasan. Dia ingin segera ke Kulonprogo, suatu tempat yang notabene belum pernah dia datangi tapi menurut rasa dirinya Kulonprogo itu sesuai harapannya. BC ingin tinggal di tempat yang dekat dengan hall Latihan dan orang-orang Subudnya baik padanya.

Diceritakan oleh Pak FG tentang keadaan BC sejak ke Cilandak, saya pun tanya ke A apakah dia sudah berkoordinasi dengan E. Ternyata belum, dengan alasan dia sibuk dengan urusan dengan pihak imigrasi yang mau mendeportasi bule Rungan Sari. Dongkol juga saya padanya, lha ada anggota yang butuh segera dibantu, kok bisa-bisanya si A menunda-nunda. Sudah begitu, A menggampangkan masalahnya dengan menyuruh BC mencari sendiri lokasi Wisma Subud Kulonprogo di Google Maps atau menghubungi saya, yang belum dikenal oleh BC.

Akhirnya, saya WhatsApp E, menanyakan kemungkinan Wisma Subud Kulonprogo menampung anggota asing yang sedang krisis (menurut A, BC sedang krisis berat karena kelakuannya di masa lalu, suka main perempuan, suka menggoda para PRT di kompleks Wisma Subud Cilandak). E menjawab, bisa. Dan ajaibnya, dalam Latihannya, E mendapat dorongan untuk menyegerakan penyelesaian pembangunan rumah yang terletak sekitar 400 meter dari Hall Kulonprogo.

“Saya tadinya heran, kenapa harus segera selesaikan rumah itu. Rupanya mau ketempatan saudara Subud,” kata E ke saya. Dia memang pernah cerita ke saya, ketika 26-28 Januari 2018 saya ke Kulonprogo dalam rangka menghadiri pernikahannya saudari Subud di Magelang, bahwa dia berencana membangun rumah singgah bagi saudara-saudara Subud yang berkunjung ke Kulonprogo.

Kabar baik itu saya sampaikan ke Pak FG. Pak FG pun segera mengoordinasi para saudara sejiwa yang tergabung dalam geng Teras Timur untuk memuluskan pemindahan BC ke Kulonprogo. Adalah HI—inisial bukan nama sebenarnya, juragan sebuah kafe di Pasarminggu, Jakarta Selatan, yang mengontak perusahaan travel, dan kemudian, karena BC mau naik pesawat saja, memesankan tiket Super Jet Air untuk keberangkatan 27 Januari. Beruntungnya BC, lokasi Hall Kulonprogo dekat dengan Stasiun Wates, terminal bus AKAP maupun bandara baru Yogyakarta, jadi tidak masalah bagi E untuk menjemput.

Tanggal 26 Januari, sore, saya telepon Mbak J, pembantu pelatih wanita Cabang Kulonprogo dan KLM (Ketua Cabang Kulonprogo) untuk menginformasikan tentang niat BC tinggal di lingkungan Subud Kulonprogo. Mbak J terkenal sigap kalau mengurus penyambutan saudara-saudara Subud yang berkunjung ke Kulonprogo. Dewan pembantu pelatih dan pengurus Cabang Kulonprogo menyambut baik keinginan BC tinggal di Kulonprogo.

Sore, 27 Januari, BC meluncur ke Bandara Soekarno-Hatta. Penerbangannya jam 15.30 WIB. Jam 22.30, Pak FG WhatsApp saya, mengabari bahwa “paket” sudah tiba di Kulonprogo, dijemput E beserta istri dan anaknya (karena tidak bisa bahasa Inggris, E mengajak putranya yang bisa bahasa Inggris sedikit) di Yogyakarta International Airport.

Pesan moral dari pengalaman ini adalah: Kalau mau bertindak tanpa ragu dan berupaya mencari solusi, maka bimbinganNya pun bekerja, memudahkan segalanya. Puji Tuhan.©2022



Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 Januari 2022 

Dipercaya Bisa

SAYA merasa aneh tiap kali membaca artikel di media massa yang mengetengahkan obat tradisional atau jamu atau makanan/minuman tertentu yang berfungsi sebagai suplemen. Pasalnya, penulis artikel selalu menyisipkan kalimat “dipercaya bisa” terkait khasiat obat tradisional atau jamu tersebut. Seolah tidak berani memastikan bahwa obat tradisional tersebut memang berefek baik bagi kesehatan atau penyembuhan sakit.

Contohnya, seperti baru-baru ini saya googling tentang khasiat Qust Al Hindi, yang terdapat di antara sejumlah suplemen kesehatan bantuan sebuah organisasi massa, yang saya terima tatkala istri saya dinyatakan positif Covid-19 tahun 2021 lalu. Beberapa artikel yang mengulas tentang Qust Al Hindi, semuanya menyatakan “dipercaya bisa menyembuhkan pasien Covid-19”. Jangankan obat tradisional, obat medis kimiawi saja belum ada yang bisa dianggap sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit yang ditimbulkan SARS-CoV-2.

Berbeda dengan tulisan yang mengangkat tema obat kimia yang digunakan dalam kedokteran modern. Dengan adanya rekomendasi dokter atau lembaga medis, penulis tidak mencantumkan “dipercaya bisa”, seakan obat kimia memang dijamin bisa menyembuhkan.

Percaya adalah suatu sikap yang berdampak baik maupun buruk bagi kita. Sekalinya kita percaya sesuatu itu baik maka dampaknya akan baik. Sebaliknya, jika percaya sesuatu itu buruk maka akan berakibat buruk.

Kepercayaan (bahasa Inggris: belief) adalah suatu sikap yang kita tunjukkan saat kita merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa diri kita telah mencapai kebenaran. Karena kepercayaan merupakan suatu sikap, maka kepercayaan kita tidak selalu benar atau kepercayaan semata bukanlah jaminan kebenaran. Contoh: Pada suatu masa, manusia pernah mempercayai bahwa bumi merupakan pusat tata surya, namun belakangan disadari bahwa kepercayaan itu keliru.

Sikap percaya dibangun oleh informasi yang bertubi-tubi disampaikan ke kita. Pikiran kita sedemikian rupa sehingga mudah mempercayai kebenaran sesuatu yang informasi mengenainya dikomunikasikan begitu gencar dan berulang-ulang. Itulah yang disebut meme (dibaca: mim). Menurut teori memetika, sebuah gagasan yang tidak benar bisa saja diyakini sebagai kebenaran mutlak bila banyak orang yang mempercayainya dan dikomunikasikan berulang-ulang selama periode waktu yang panjang.

Dalam kejiwaan, pikiran tidak menjadi acuan utama untuk percaya. Rasalah yang utama. Saya mengalaminya sendiri, betapa bergantung sepenuhnya pada pikiran malah memberi saya celaka. Kecuali pikiran yang memang terbimbing oleh jiwa. Pikiran selalu mengganggu kemurnian rasa dengan penilaian-penilaian (judgment) yang belum tentu benar, sedangkan rasa yang murni selalu benar. Jadi, berpikirlah tapi biarkan jiwa yang memimpin.

Kebenaran melalui rasa seringnya memang tidak bisa disampaikan, apalagi dipublikkan. Sifatnya esoteris (berasal dari kata Yunani kuno esōterikós yang berarti suatu hal yang diajarkan atau dapat dimengerti oleh sekelompok orang tertentu dan khusus, dapat juga berarti suatu hal yang susah untuk dipahami). Seorang saudara Subud bercerita ke saya, bahwa para helper usia lanjut di cabang asalnya tidak ada yang percaya bahwa Covid-19 itu benar-benar ada. Mereka, karena itu, juga menghindari media massa dan sosial yang membombardir publik dengan aneka informasi seputar Covid-19.

Selain karena alasan gagap teknologi sehingga mereka tidak dapat mengakses media sosial, juga karena menyadari betapa pikiran mudah terpengaruh oleh informasi apa pun, yang belum tentu benar, yang dapat membuat seseorang benar-benar terkena penyakit yang tengah digaungkan. Dan nyatanya, para helper sepuh tersebut tidak ada yang pernah menderita Covid-19.

Yang (tidak) dipercaya oleh para helper usia lanjut tersebut bersifat esoteris, yaitu hanya terbatas di kalangan mereka, dan tidak dipublikasikan karena toh sulit dipahami oleh masyarakat umum—yang telanjur terlena oleh bombardir informasi mengenai Covid-19. Satu-satunya cara untuk memahami tindakan mereka atau apa yang mereka percayai atau tidak percayai adalah dengan berada pada frekuensi yang sama dengan mereka, yaitu menyambungkan rasa kita dengan rasa mereka. Karena rasa tidak dipercaya bisa, melainkan bisa dipercaya.
©2022


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 26 Februari 2022 

Wednesday, February 2, 2022

Masuk Susah, Keluar Juga Susah

Artikel asli diposting di laman Facebook Arifin Dwi Slamet dalam rangka Dies Natalis ke-72 Universitas Indonesia, 2 Februari 2022.



KETIKA saya tahun 1987 lolos Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) untuk kedua kalinya, dan diterima di Jurusan Sejarah FSUI (Sipenmaru pertama saya, tahun 1986, saya diterima di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS IKIP Negeri Jakarta), beberapa tetangga di kompleks rumah orang tua saya di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, menggunjingkan diri saya. Pasalnya, saya bukan murid terbaik di sekolah dasar dan menengah; di SMA kelas 3 saya bahkan menempati ranking ke-32 di kelas berisi 32 siswa.

Bagaimana mungkin saya bisa diterima menjadi mahasiswa Universitas Indonesia (UI)? Mereka tidak melihat bahwa saya menghabiskan enam jam per hari selama tiga bulan dengan ngendon di kamar saya, menghadapi buku-buku pelajaran yang diujikan di Sipenmaru. Mereka tidak melihat saya dan ibu saya tiap dini hari bangun dari tidur nyenyak untuk salat tahajud dan hajat. Tekad saya sangat kuat waktu itu untuk bisa kuliah di UI.

Ada tetangga yang mengira, masuk Jurusan Sejarah atau jurusan-jurusan lainnya di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/FIB) UI itu gampang, tidak seperti masuk Fakultas Kedokteran, Teknik, atau Ekonomi, sehingga ia berpendapat bahwa saya, si murid ranking 32 ini, memilih “sembarang jurusan, yang penting UI”. Karena anggapan inilah, ia mendorong anaknya untuk mengikuti jejak saya, kuliah di Jurusan Sejarah FSUI.

“Si Anto aja bisa masuk UI, kamu juga bisa,” kata ibu saya menirukan ucapan tetangga itu, seolah berkata “Anto yang bego di SMA aja bisa masuk UI.” Saya harap-harap cemas, semoga anaknya gagal dalam Ujian Masuk Perguruan Tinggi (UMPTN, pengganti Sipenmaru), agar saya dapat membuktikan bahwa masuk UI tidaklah mudah. Dan ternyata, anak tetangga itu memang tidak lolos UMPTN. Kabarnya, persaingan masuk Jurusan Sejarah FSUI pada saat itu sangat tinggi. Menurut data UMPTN tahun 1989, 30 kursi Jurusan Sejarah FSUI diperebutkan 17.000 peserta UMPTN.

 

Selama kuliah, saya dua kali terancam drop out (DO), bukan karena secara ekonomi orang tua saya tidak mampu, melainkan karena nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) saya di bawah rata-rata. Saya “salah bergaul”, berteman dengan mahasiswa-mahasiswa yang otaknya pada dasarnya encer, sehingga meskipun suka nongkrong nilai mereka rata-rata A. Tapi dua sahabat saya saat itu terus menyemangati saya: Mereka mendampingi saya belajar dalam suasana nongkrong ditemani kopi, rokok dan cerita fantasi seksual dengan cewek-cewek tertentu di kampus.

Alhasil, saya sintas melalui proses belajar selama 12 semester di Jurusan Sejarah FSUI. Meski tampak santai dan sering bolos, proses itu saya lalui tidak jarang dengan menangis dan berdarah-darah. Masuk UI susah (paling tidak, dulu, ketika seleksinya hanya melalui UMPTN dan Penelusuran Minat dan Kemampuan/PMDK), keluarnya lebih susah lagi.

Sebagai Angkatan 1987, saya merupakan angkatan pertama yang menempati Kampus Baru UI Depok, yang diresmikan Presiden Soeharto pada bulan September 1987. Saat itu, saya merasakan kemegahan reputasi UI, sehingga bagi saya akan sangat memalukan bila saya harus DO karena nilai jeblok. Lulus ujian skripsi pada 7 Juli 1993 dan diwisuda sarjana di Balairung UI Depok pada 28 Agustus 1993, saya boleh berbangga menjadi alumnus UI, almamaterku setia berjasa.

Selamat Dies Natalis ke-72 Universitas Indonesia, 2 Februari 2022!©2022

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 2 Februari 2022