Thursday, February 25, 2021

Ter(p)ikat Atribut

KEJADIANNYA sendiri sudah lama lewat. Tahun 2018. Tapi kejadian itu menginspirasi saya untuk menulis artikel ini.

Kejadian tersebut membuka mata saya, betapa kita sering, sadar maupun tidak, menempelkan jabatan, peran, profesi, atau anggapan tertentu pada diri kita yang mempengaruhi sikap dan perilaku kita dalam interaksi sosial kita dengan orang lain, yang tidak melulu terkait dengan atribut semu itu. Ternyata, sangat susah tampil sebagai pribadi sejati kita, apa adanya.

Bulan September 2018, saya, bersama rombongan yang terdiri sebagian besar dari anggota Subud yang aktif di Kelompok Subud Tebet dan sisanya adalah anggota-anggota non-Tebet, bersilaturahmi ke Subud Cabang Purwokerto, Jawa Tengah. Para helper Tebet dan non-Tebet juga ikut serta.

Helper Tebet yang rumahnya ketempatan Latihan Kejiwaan anggota Kelompok Tebet tiap hari Jumat malam kebetulan juga pembantu pelatih daerah (PPD) Cabang Jakarta Selatan. Dan satu helper non-Tebet yang turut serta dalam silaturahmi ke Purwokerto tersebut juga sedang mengemban tugas sebagai international helper (IH) Area 1 (Asia-Pasifik).

Apa pun jabatan atau peran yang sedang melekat pada masing-masing kita saat itu, kunjungan ke Cabang Purwokerto saat itu murni silaturahmi, sebuah kebiasaan bagi saya dan tiga helper lainnya—termasuk PPD Jakarta Selatan dan IH Area 1 tersebut—sejak dahulu. Apalagi saya ke Purwokerto sudah sangat biasa, karena dari ibukota Kabupaten Banyumas ini ayah saya berasal. Kakek-nenek saya dari garis ayah juga tinggal hingga meninggal di Purwokerto. Singkat kata, saya dan ketiga helper itu memiliki kedekatan emosional dengan kota dan Subud Cabang Purwokerto yang sudah tertanam sejak lama.

Beberapa saat setelah kami kembali ke Jakarta beredar omongan sumbang dari kalangan helper Cabang Jakarta Selatan, yang mengkritisi bahwa kunjungan ke Purwokerto itu tidak sesuai dengan kapasitas PPD Jakarta Selatan dan IH. “Kenapa PPD Jakarta Selatan kok ngurusi daerah lain di luar Jakarta? Kok IH ngurusi yang bukan wilayah yurisdiksinya?” demikian kabarnya omongan sumbang mereka.

Di lain kesempatan, saya juga menyaksikan seorang mantan pembantu pelatih nasional emoh memenuhi undangan peresmian hall Latihan Subud di tempat yang menurut sang mantan PPN melanggar aturan administratif kewilayahan menurut norma organisasi Subud Indonesia. "Kalau saya hadir, nanti kan dianggap saya setuju dengan keberadaan hall itu." Apakah dia lupa bahwa kehadiran bisa dan seharusnya sebagai pribadi, tidak bawa-bawa atribut? Entahlah.

Itu di Subud. Di luar Subud juga ada dan tampaknya sudah membudaya. Bertahun-tahun lalu, saya menemani kedua orang tua saya berkunjung ke rumah sepupu dari ibu saya yang tinggal di Kompleks TNI Angkatan Laut Pangkalan Jati, Jakarta Selatan. Suami dari sepupu ibu saya ini adalah purnawirawan laksamana bintang empat yang pernah menjabat Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL). Saat sedang berbincang-bincang di ruang tamu, satu asisten rumah tangga memberitahu sang mantan KASAL bahwa majikannya itu diundang ke rapat di rumah Ketua RT.

“Ah, males! Ngapain saya yang datang? Dia dong yang datang ke sini. Dia kan letnan kolonel, kalau saya siapa?!” jawab suami dari sepupu Ibu saya, dengan nada tinggi.

Setelah saya mengerjakan pembuatan majalah TNI AL yang membuat saya kerap berinteraksi dengan jajaran perwira menengah dan tinggi TNI AL dua tahun terakhir ini saya jadi paham mengenai sikap “ter(p)ikat atribut” yang terdapat pada si mantan KASAL itu. Budaya egaliter atasan-bawahan tampaknya tidak ada di lingkungan kedinasan TNI AL, tapi bukankah kehidupan bertetangga seharusnya menafikan itu?

Kalau saya pribadi hanya mengandalkan bimbingan kekuasaan Tuhan dalam berinteraksi sosial. Untuk itu, saya harus mengosongkan diri, menanggalkan segala atribut yang bukan sejatinya saya. Harapan saya, saya bisa tampil manusiawi, yaitu manusia yang seutuhnya tanpa ter(p)ikat pada atribut-atribut yang keberadaannya bersifat semu.©2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 26 Februari 2021 

Sunday, February 21, 2021

Didampingi Yang Mulia Bapak


PADA 12 Februari 2021 lalu, saya memosting cerita tentang mimpi saya—di mana saya bertamu ke rumah Ibu Rahayu untuk meminta nasihat beliau tentang bagaimana saya dapat mengubah perilaku saya dari buruk menjadi baik—baik di grup Facebook “Subud Around the World” maupun di blog saya ini (berjudul “Mengubah Perilaku”).

Cerita itu, ternyata, tidak berhenti sampai di situ. Keesokan harinya, tanggal 13 Februari 2021, saya meluncur dari kompleks Wisma Subud Cilandak bersama satu helper berkebangsaan Amerika dan dua anggota Cabang Jakarta Selatan menuju Cimahi. Setibanya di Cimahi, kami menjemput satu anggota Jakarta Selatan yang sedang mengunjungi istrinya yang memang bertempat tinggal di Cimahi, untuk bergabung bersama kami berempat di tempat tujuan sebenarnya.

Kami bersarasehan kejiwaan ditemani aneka makanan, rokok, kopi dan teh, hampir sepanjang hari, tapi yang jelas sampai tengah malam, di rumah satu anggota Subud Cimahi di Kelurahan Citeureup, Cimahi Utara. Tapi, menurut pandangan beberapa saudara Subud yang cukup mengenal saya, ada satu kejanggalan pada diri saya: Saya malam itu tidur lebih “awal”, sebelum jam 12 malam.

Paginya, bertepatan dengan Hari Kasih Sayang, 14 Februari, usai sarapan dan mandi, saya bersama empat saudara Subud dari Jakarta Selatan dan tuan rumah, menumpang mobil Nissan Evalia milik tuan rumah, meluncur ke Hall Latihan Cabang Bandung di Jl. Moh. Toha BBk Muslimin No. 31, Mekarwangi, Bandung, Jawa Barat. Kami berlatih kejiwaan di situ, dan selanjutnya beramah-tamah lantaran ada slametan dalam rangka pernikahan seorang helper wanita dengan suaminya yang juga baru dibuka seminggu sebelumnya.

Selanjutnya, kami, para penumpang Evalia mengikuti dari belakang mobil Avanza lama yang ditumpangi helper senior Bandung, istrinya, dan satu anggota Cimahi, menuju lokasi proyek pembangunan Hall Latihan Cabang Bandung yang baru di Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Selesai urusan di situ, rombongan Evalia berpisah arah, menuju lokasi di mana Kelompok Latihan Cilengkrang rutin berlatih kejiwaan, yaitu di kediaman seorang helper senior Jawa Barat, Bapak Haji Deddy Pandji Santosa.

Dari rangkaian kunjungan-kunjungan kami dari Jakarta, Cilengkranglah puncak pengalaman kejiwaan saya—kalau boleh disebut demikian. Dari mimpi bertamu ke rumah Ibu Rahayu ke Cimahi dan Bandung, penerangan Pak Haji Deddy Pandji membuat segalanya jelas bagi saya.

Bermula dengan Latihan Kejiwaan bersama anggota pria Kelompok Cilengkrang, yang hari Minggu itu memang jadwal Latihan rutin mereka. Saat Latihan Kejiwaan bersama, Pak Deddy memberi tahu para peserta agar sebelum mulai Latihan, supaya berdoa meminta bimbingan Tuhan dan minta didampingi Yang Mulia (YM) Bapak. Saya pun melakukan persis seperti yang disarankan Pak Deddy. Saya benar-benar surprise dengan pendekatan itu: Jiwa Bapak sungguh-sungguh hadir!

Saya mengalami momen seperti ketika dibuka dahulu, dengan jatuh terjerembab ke lantai hall Cilengkrang, dengan bunyi gedebuk yang keras. Sebelumnya, saya mengucapkan “Terima kasih... terima kasih... terima kasih...” berulang-ulang sambil mengangkat kedua lengan saya ke atas, lalu jatuh terjerembab dan menangis. Saya bentur-benturkan kening ke lantai kayu hall Cilengkrang, kedua tangan saya yang terkepal juga memukul-mukul lantai sembari menjerit lepas. Saya tidak dapat menghentikan tangis saya, dan air mata juga membanjiri wajah saya, bercampur dengan keringat.

Saya merasakan wajah saya berada di pangkuan YM Bapak, dan menumpahkan tangis saya di situ. Saya merasakan tangan YM Bapak membelai kepala saya dengan penuh kasih, seolah berkata bahwa tidak ada yang perlu saya khawatirkan.

Beberapa lama setelah Latihan bersama, saya mengobrol dengan tiga saudara Subud (dua dari Jakarta Selatan dan satu dari Cimahi). Salah satu dari mereka merasakan bahwa masih ada yang belum lepas dari diri saya; bahwa ada konflik-konflik yang belum tuntas. Karena penasaran, saya menyuruh salah satu saudara Subud Jakarta Selatan untuk memberi tahu Pak Deddy, yang saat itu telah pergi ke ruang tamu, bahwa saya ingin di-testing untuk saya sendiri; jadi, hanya saya yang di-testing oleh Pak Deddy. Empat saudara Subud asal Jakarta Selatan dan Cimahi yang menyertai saya sejak dari Cimahi hanya menyaksikan. Helper Amerika yang juga bersama saya dari Jakarta sedang mengobrol dengan anggota-anggota Cilengkrang di ruang tamu.

Sebelum testing, Pak Deddy meminta saya bercerita dahulu apa masalah saya. Beliau merasa saya lagi sangat peka, karena sejak datang di Cilengkrang saya lebih banyak diam. Rekan-rekan seperjalanan saya bahkan sejak saya datang di Cimahi melihat sesuatu yang berbeda pada diri saya.

Saya ceritakan ke Pak Deddy serangkaian pengalaman saya dalam sepuluh hari terakhir: Saya dimusuhi Enes (lihat artikel “Mengubah Perilaku”, 12 Februari 2021), saya bertengkar dengan istri (berkali-kali selama empat tahun terakhir), saya membuat perkara (semuanya dengan saudara Subud), sehingga saya akhirnya berpikir apakah ada yang salah pada diri saya... Mengapa perilaku buruk saya tidak hilang juga padahal sudah berlatih kejiwaan sekian lama.

Puncaknya adalah pada hari Rabu, 10 Februari 2021; setelah bertengkar hebat dengan istri, saya merenung di carport rumah saya, sendirian. Saya menanyakan pertanyaan itu: Mengapa perilaku buruk saya tidak hilang padahal sudah berlatih kejiwaan sekian lama? (Lihat artikel “Mengubah Perilaku”, 12 Februari 2021.)

Pak Deddy juga merasakan bahwa mimpi saya bertemu Ibu Rahayu untuk meminta nasihat itu real. Penjelasan beliau sebelum men-testing saya: “Mas Arifin, di hadapan Tuhan tidak ada dualisme baik-buruk, benar-salah, positif-negatif. Jangan suka menyalahkan diri sendiri dan hindari menilai orang lain berdasarkan dualisme bikinan akal pikir itu.”

Lalu, Pak Deddy bertanya, saya mau testing apa. “Saya ingin tahu apakah Latihan saya sudah benar-benar surrender atau belum,” jawab saya. Pak Deddy kemudian men-testing saya untuk merasakan bagaimana Latihan di level daya benda, kemudian daya tumbuhan, lalu daya hewan, dan, terakhir, daya orang/jasmani. Semuanya saya terima dengan sangat kuat. Tentunya, setelah saya, sebelum testing dimulai, memohon agar saya dibimbing Tuhan dan didampingi Yang Mulia Bapak!©2021

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 21 Februari 2021

Saturday, February 20, 2021

Kurang Dari Setengah Kebenaran

BULAN Mei 2009, saya dan seorang saudara Subud dari Cabang Jakarta Selatan yang berprofesi fotografer dan desainer grafis terbang ke Sentani di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Kami menumpang pesawat Garuda Indonesia dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta, yang berangkat jam 21.30 WIB.

Sambil menunggu boarding, kami bersantai di Garuda Executive Lounge (GEL), Terminal 1 Bandara Soetta. Sebuah televisi besar berlayar datar berada dalam jangkauan mata kami. Tidak ada yang istimewa yang ditayangkan di layar televisi tersebut, namun ketika kami hendak meninggalkan GEL, tertangkap oleh penglihatan kami breaking news dari sebuah stasiun televisi yang memberitakan keadaan Sentani yang mencekam dengan adanya tembak-menembak antara pasukan TNI Angkatan Darat dan Brigade Mobil Polri di barak TNI AD di dekat Bandara Sentani. Tampak kebakaran di tengah gelap malam yang membuat tayangan tersebut makin menyeramkan.

Berkomentarlah rekan seperjalanan saya, “Wah, Sentani mencekam! Apa kita batalkan saja ke sananya?”

Saya sempat dihinggapi kebingungan, tapi segera teringat pada Subud: Latihan Kejiwaan atau testing. Saya menenangkan diri sejenak dan mohon petunjuk Tuhan. Saya menerima bahwa keadaan sebenarnya tidaklah seperti yang digambarkan dalam tayangan berita tersebut. Dengan bersemangat saya merespons rekan saya, “Ah, saya kira nggak ada apa-apa. Biasalah itu berita, kalau nggak pakai kata yang seram siapa yang akan nonton?”

Kami pun melenggang santai dan rileks menuju ruang tunggu boarding. Tak terpikir lagi, sama sekali, keseraman seperti apa, seandainya pun benar, yang akan kami hadapi di Sentani.

Mendarat di Bandara Sentani, Jayapura, pada pukul tujuh pagi Waktu Indonesia Timur, kami menjumpai keadaan yang sama sekali berbeda dengan yang diberitakan di breaking news tadi malam. Di pelataran parkir Bandara Sentani memang tampak banyak tentara berjaga-jaga, tetapi rupanya bukan karena adanya aksi tembak-menembak TNI AD versus Brimob, melainkan dalam rangka ketibaan Panglima Daerah Militer (Pangdam) Cendrawasih yang memang bermarkas di Sentani.

Perjalanan kami dengan mobil jemputan ke Hotel Sentani Indah, sekitar dua kilometer ke arah timur bandara juga tidak terkendala apa pun. Saya pribadi menikmati pemandangan alam Papua dengan perbukitan dari Pegunungan Cyclops yang berada di utara jalan raya Sentani-Abepura, yang dilalui mobil jemputan yang membawa kami ke hotel.

Yang saya dan rekan saya alami pada 2009 itu mirip sekali dengan keadaan yang kerap saya hadapi belakangan ini. Seperti ketika akan mengunjungi saudara-saudara Subud di Cimahi dan Bandung pada 13-14 Februari 2021 lalu. Sementara tiga saudara Subud yang menyertai saya rileks saja menghadapi momen perjalanan kami, tidak demikian halnya dengan keluarga masing-masing dan teman-teman non-Subud kami. Mereka semua mengkhawatirkan apa-apa yang diberitakan di media massa dan media sosial—razia, pos pemeriksaan pendatang, zona warna yang menunjukkan keparahan level positif COVID, penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) atau pembatasan sosial berskala besar (PPSB) dan lain-lain “suasana mencekam” yang dipersepsikan akibat pemberlakuan beragam peraturan dalam rangka pemutusan mata rantai penyebaran COVID—akan menghambat perjalanan kami. Nyatanya, semua itu tidak terjadi!

Soal berita tidak selalu sama dengan kenyataan sebenarnya seolah telah menjadi bagian integral dalam kehidupan modern kita. Kita hanya harus mengandalkan rasa kita untuk bisa sintas dari “hantaman” kepalsuan yang dilempar berita-berita di media arus utama maupun media sosial. Saya rasa, penyebab utama penyakit-penyakit fisik dewasa ini adalah stres yang ditimbulkan oleh pemberitaan yang berlebihan, yang menyampaikan kurang dari setengah kebenaran.

Seperti saat ini, sejak pandemi COVID-19 merebak di seluruh dunia, tidak sedikit pemberitaan yang telah mengakibatkan penderitaan pada audiens media massa dan sosial. Hal ini diperparah oleh keadaan akal pikiran kita yang lebih suka di zona nyaman, tidak mau mencari tahu lebih banyak. Sedikit sekali orang modern yang (mau) mengandalkan rasa mereka untuk mengetahui yang sebenarnya. Jadi, jangan heran kalau saya berkali-kali menyatakan bahwa saya tidak percaya COVID. Bukan tidak percaya eksistensi virusnya, melainkan tidak percaya apa pun yang diberitakan mengenainya. Pikiran memang sering tertipu, tapi, jangan lupa, kita punya rasa.
Ó2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 21 Februari 202

Thursday, February 11, 2021

Mengubah Perilaku


BARU-baru ini, saya berselisih dengan satu saudari Subud dari Jakarta Selatan. Sebut saja namanya Enes (bukan nama sebenarnya). Ia merasa saya telah memfitnahnya dengan mengatakan kepada saudari Subud lainnya via WhatsApp bahwa ia positif COVID-19. Saya tidak bermaksud memfitnahnya, melainkan ingin memastikan melalui saudari Subud lainnya itu apakah benar kabar yang beredar bahwa Enes yang akhir Desember 2020 lalu nekat berlibur ke Jawa Timur karena menganggap sebagai orang Subud dia kebal terhadap penyakit.

Terserah dialah, tapi yang tidak boleh diabaikan adalah mereka yang akan dia kunjungi; apakah mereka menganggap diri mereka kebal atau tidak. Enes mengaku sudah menghubungi saudara-saudara Subud di Jawa Timur, dan beberapa di antaranya bersedia menyambutnya. Dia juga mengatakan bahwa dia sudah mengikuti prosedur rapid test.

Belakangan, ada yang menghubungi saya melalui jalur pribadi (japri), bahwa Enes pernah menghubunginya tapi dia sengaja tidak menjawab, karena khawatir Enes tersinggung bila keinginannya mengunjungi ranting asal orang yang menghubungi saya ini ditolak. Orang tersebut mengatakan bahwa dia dan para anggota maupun pembantu pelatih di rantingnya sudah merasakan—bila tidak dapat dikatakan “testing kejiwaan”—bahwa Enes membawa potensi penyakit.

Saya tidak tanyakan langsung ke Enes karena saat itu dia sedang sakit demam—kemungkinan COVID-19, karena beberapa waktu sebelumnya dia juga sudah dinyatakan positif tapi OTG (orang tanpa gejala), sehingga saya khawatir pertanyaan saya akan membuat dia stres lantas sakitnya semakin menjadi-jadi. Jadi, saya WA japri satu saudari Subud lainnya, yang akrab dengan Enes, untuk menanyakan apakah yang dirasakan oleh saudara Subud dari satu ranting di Jawa Timur itu benar adanya. Entah apa yang ada di pikiran si saudari Subud ini, dia diam-diam meneruskan pesan WA saya ke Enes. Enes juga heran, mengapa saya berulang kali membuat masalah, padahal sudah Latihan Kejiwaan cukup lama.

Dari situlah muncul keadaan yang tidak mengenakkan di antara kami, hingga saya meminta dia untuk menjauhi saya bilamana perilaku saya dia anggap keterlaluan dan sudah berulang kali terjadi.

Usai WhatsApp-an dengan Enes, saya merenung di carport rumah saya. Saya membatin berkali-kali, “Ya, Tuhan, aku sudah belasan tahun Latihan Kejiwaan, tapi kenapa perilaku burukku tak juga hilang? Kenapa sulit sekali bagiku untuk menjadi baik?!”

Tiba-tiba saya tersentak. Saya seketika menerima, “Tujuan kamu masuk Subud bukanlah untuk menjadi baik. Tapi supaya hidup kamu menjadi lebih mudah dengan bimbingan Tuhan. Dengan hidup kamu mudah, otomatis kamu akan jadi baik, karena tidak ada lagi pertentangan-pertentangan dengan diri sendiri maupun orang lain.”

Saya tercenung. Selama ini, saya sudah sering menghadapi pertanyaan, baik dari saudara-saudara Subud maupun dari teman-teman Subud, mengapa saya masuk Subud? Apa tujuan saya masuk Subud? Pertanyaan mereka barangkali karena mereka menyaksikan betapa perilaku saya banyak yang belum berubah seiring hampir 17 tahun saya aktif berlatih kejiwaan Subud.

Sehari sesudah mendapat penerimaan yang berharga bagi saya di carport rumah saya itu, saya bermimpi dalam tidur saya di malam hari. Dalam mimpi itu saya bertamu ke rumah Ibu Siti Rahayu Wiryohudoyo di Pamulang, Tangerang Selatan. Saya datang ke beliau untuk meminta nasihat, bagaimana saya dapat mengubah perilaku saya, dari buruk menjadi baik.

Dalam mimpi itu, saya dan Ibu Rahayu duduk bersebelahan di ruang tamu rumah beliau, hanya beda kursi. Saya duduk di armchair, sedangkan Ibu Rahayu di sofa. Ibu Rahayu menyentuh lengan saya, sementara saya memegang cangkir berisi teh yang telah beliau hidangkan. Ibu Rahayu berkata dengan lembut, yang selalu menjadi ciri khas beliau, “Saudara ingin tahu bagaimana mengubah perilaku dari buruk menjadi baik? Jangankan saudara, saya sendiri juga tidak tahu... bila Tuhan tidak menghendaki. Apa-apa, saudara ikuti saja kehendak Tuhan. Karena yang buruk itu kadang berguna bagi saudara, baik bagi saudara.”

Usai Ibu Rahayu berkata demikian, usai pula mimpi saya. Saya terbangun dengan perasaan lega. Puji Tuhan.©2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 12 Februari 2021

Mengenal Diri

Gnoti seauton kai meden agan—kenalilah dirimu, dan jangan berlebihan.”

—Socrates

 

CITA-cita saya sejak kecil hingga SMA adalah menjadi tentara, mengikuti jejak ayah saya yang adalah seorang perwira menengah TNI Angkatan Darat.

Tetapi sejalan dengan waktu, saya mulai menyadari bahwa menjadi tentara bukanlah jalan saya. Karena profesi tentara memiliki karakteristik yang tidak sesuai dengan kepribadian saya: Saya tidak suka diperintah, apalagi dengan suara bentakan, saya tidak bisa diam membiarkan sesuatu yang keliru dan cenderung mengomentari kekeliruan sambil menawarkan solusi perbaikan, dan saya bukan tipe orang yang suka menyembunyikan emosi—kalau sedih ya sedih, kalau gembira ya saya ungkapkan kegembiraan saya.

Ayah saya tentu saja kecewa dengan keputusan saya untuk tidak menjadi tentara sebagaimana beliau. Tetapi beliau tidak mengungkapkan kekecewaan itu dan sebaliknya terus mendukung saya. Kekecewaan beliau agak terobati ketika saya memilih untuk mengkaji sejarah militer di bangku kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dengan begitu, saya masih antusias bertanya ke ayah saya mengenai pengalaman-pengalaman beliau semasa Perang Kemerdekaan 1945-1949, yang kemudian menjadi tema skripsi saya. Obrolan-obrolan saya dengan beliau seputar “kisah perang” yang beliau alami sendiri bahkan mewarnai catatan-catatan kaki di skripsi saya, yang menerangkan bahwa suatu penjelasan dalam narasi utama skripsi bersumber dari wawancara dengan Mayor TNI Purn. Slamet.

Bertahun-tahun kemudian, saya menangani proyek majalah The Horizon—Official Magazine of the Indonesian Navy dan Cakrawala, majalah TNI Angkatan Laut yang diterbitkan oleh Dinas Penerangan Angkatan Laut (Dispenal), Markas Besar Angkatan Laut (Mabesal). Untuk pekerjaan ini, saya pun berhubungan intens dengan para perwira tinggi dan menengah di lingkungan TNI Angkatan Laut yang berdinas di Dispenal Mabesal.

Beberapa kali saya berbenturan kepentingan dengan perwira menengah yang bertanggung jawab atas pengerjaan majalah-majalah tersebut. Saya biasanya mengalah, apalagi kalau dia sudah pakai mantera “loyalitas”. Loyalitas kepada atasan di lingkungan TNI amat dijunjung; perintah atau arahan atasan adalah “harga mati”, yang sebagai tentara harus dihormati dan dipatuhi, tanpa keraguan atau komentar. Loyalitas bagi orang sipil berkepribadian seperti saya malah tidak ada artinya; hanya sebuah jargon konyol yang saya pelesetkan jadi “Lagak Orang YAng Lugu tIada baTAS”.

Nah, melalui proyek pengerjaan majalah inggriya TNI Angkatan Laut inilah seolah Tuhan memastikan bahwa keputusan saya di masa SMA dahulu tidak salah. Sifat-sifat bawaan saya membuat saya sama sekali tidak cocok untuk menekuni profesi di dunia kemiliteran. Dari pengalaman inilah saya belajar tentang pentingnya mengenal diri.

Dengan mengenal diri, kita akan mampu menjauh dari kehidupan yang menyengsarakan kita. Karena kita akan dapat mengambil keputusan-keputusan atau memilih di antara berbagai pilihan—pilihlah yang sesuai dengan diri pribadi kita. Dengan mengenal diri juga kita akan mampu membuka jalan untuk menjadi diri sendiri, dan bukan menjadi pribadi yang dibentuk oleh apa kata orang.

Mengenal diri sendiri sangat penting untuk kita, karena dengan mengenal diri sendiri kita menjadi tahu akan kekurangan serta kekuatan diri kita. Dengan demikian, kita akan lebih mudah untuk mengoptimalkan kekuatan di dalam diri kita. Potensi kesintasan (survivability) kita dalam menjalani hidup menjadi lebih besar dengan kita mengenal kelebihan dan kekurangan kita. Kita akan tahu apa yang patut kita tempuh dan apa yang tidak.

Penderitaan yang menimpa banyak orang dewasa ini, dengan kehidupan modern yang sarat ketergantungan pada teknologi informasi, adalah karena tidak mau mengukur kapasitas diri, dan cenderung mengikuti begitu saja tren yang ada, karena malu atau takut dianggap melawan arus utama. Dengan mengenali diri, mengidentifikasi kemampuan atau potensi yang kita miliki, kita akan terhindar dari keputusan yang salah. Memang, dengan mengenal diri dan bertindak atas kemampuan sejati kita membawa kita keluar dari zona nyaman.

Inilah yang menyebabkan banyak orang emoh mengenal diri mereka sendiri, dan sebaliknya membiarkan diri hanyut dalam kehidupan yang tidak sesuai dengan dirinya. Ya, terserah saja, kehidupan Anda adalah milik Anda sendiri, Anda yang putuskan bagaimana sebaiknya. Tapi saran saya, sebelum memutuskan, cobalah kenali diri Anda sendiri terlebih dahulu.©2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 12 Februari 2021