Friday, October 19, 2007

Sepi ing Pamrih

Pada 18 September 2007 yang lalu, ada acara buka puasa bersama untuk anggota PPK Subud Kelompok S. Widjojo Centre. Saya memang 'langganan' Latihan Kejiwaan di situ setiap Selasa, pk. 19.30. Usai Latihan Kejiwaan, saya mengambil satu nasi kotak dari beberapa yang tersisa setelah buka puasa, yang saya maksudkan untuk orang di rumah. Tetapi ketika sampai di lobi S. Widjojo Centre, seorang saudara Subud mengajak saya untuk menyumbangkan nasi kotak itu kepada para petugas keamanan, hal mana saya lakukan dengan dengan nasi kotak yang saya ambil tadi.

Saat menyerahkan nasi kotak kepada seorang Satpam timbul hasrat di hati saya, yang menjadikan tindakan saya tersebut lebih dikarenakan keinginan agar mendapat balasan dari Tuhan dengan dikabulkanNya doa-doa saya.

Sesampainya di rumah, belum sempat saya bercerita soal tadi kepada istri saya, malah dia mendahului saya bercerita: Ipar saya masak menu spesial yang dinikmati seisi rumah. Istri saya telah menyisihkan satu porsi buat saya, tetapi sebelum saya pulang ada sepupu saya yang tadinya tidak mau kemudian berselera juga, sehingga istri saya tergerak hatinya untuk memberi jatah saya kepada sepupu saya itu.

Saya mengeluh dalam hati, komplain kepada Tuhan, kenapa 'perbuatan baik' saya tadi kepada si Satpam malah membuat saya kehilangan rezeki seporsi menu spesial. Tuhan pun menjawab komplain saya dengan satu pelajaran tentang 'sepi ing pamrih' (tidak berpamrih), sebuah ajaran luhur Jawa, tetapi sesungguhnya merupakan asas fundamental dalam amal ibadah yang dilakoni para nabi dan utusan Tuhan, yaitu yang dalam bahasa Arabnya disebut tawakal.

H.M. Asjwadie Sjukur Lc. dalam Ilmu Tasawuf, Jilid 2 (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979: 84) mencantumkan ucapan seorang sufi, Sahl ibn Abdullah Tusturi, yang mengatakan: "Tanda-tanda orang yang bertawakal ada tiga: tidak pernah meminta (apa yang tidak dikehendaki Tuhan atas dirinya), tidak pernah menolak (apa pun yang menjadi kehendakNya), dan tidak menyimpan untuk hari lainnya -- maksudnya, hadapilah ujian hidup sekarang juga, tidak memohon kepada Tuhan agar diberikan pada waktu-waktu yang 'lebih kondusif' menurut jadwal pribadi kita).

Ajaran agama (bukan agamanya) yang disampaikan oleh para ulama (istilah ini saya pakai untuk mengacu kepada mereka yang pandai dalam ilmu agama apa pun, bukan hanya Islam) sarat dengan reward-and-punishment, imbalan-imbalan atas perbuatan baik maupun buruk. Dosa dikotak-kotakkan menjadi beberapa bagian, sedang pahala diberi hitungan jumlah tertentu bagi setiap perbuatan baik dan amalan ibadah. Kalau diperkenankan, mungkin umat bakal menenteng kalkulator atau sempoa tiap kali menunaikan ibadah wajib maupun sunah.

Sebagai 'langkah taktis' untuk membawa umat ke jalan yang benar tidak apa-apa bila pengajaran agama diembel-embeli imbalan pahala versus dosa. Yang gawat apabila keterusan, lantas kebablasan. Banyak kerabat, kawan dan relasi saya tidak bisa menjawab, ketika saya lontarkan pertanyaan berdasarkan lagu yang dinyanyikan Chrisye, "Bila surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau sujud kepadaNya?" Ada yang berkilah, "Tuhan kan ada di surga, Mas?" Secara berkelakar, saya bilang, "Lho, kalau gitu yang jaga neraka siapa? Entar pada kabur semua penghuninya." Anggapan bahwa Tuhan berada di surga pun aneh, bertentangan dengan sifat ZatNya yang meliputi segala sesuatu, bukan DiriNya diliputi sesuatu. Logikanya, masak Pencipta bergantung pada ciptaanNya?!

Seorang kawan pernah bilang, bahwa metode pahala yang memakai sistem penjumlahan hanyalah strategi dakwah kultural yang diterapkan Nabi Muhammad SAW, berhubung masyarakat Arab adalah bangsa pedagang yang bertendensi 'cari untung'. Tuturan kawan saya itu mungkin hanya gurauan, tetapi kenapa juga para nabi dan utusan Tuhan mengajarkan agama dengan janji pahala bagi mereka yang taat dan dosa bagi mereka yang ingkar, sedangkan para nabi sendiri sepi dari pamrih apa pun dalam penghambaan mereka kepada kehendak Tuhan?

Sahabat Ali ibn Abi Thalib r.a. rupanya menyadari tentang kecenderungan sikap pamrih dalam keberagamaan umat Islam (tampaknya, umat dari semua agama berpamrih dalam menunaikan ibadahnya), sehingga beliau pun membagi-bagi kaum muslim menjadi tiga jenis: jenis pedagang, yaitu mereka yang beribadah dengan harapan diuntungi surga; jenis budak yang rajin beribadah semata karena takut masuk neraka; dan, yang paling mulia, jenis pencinta, yaitu mereka yang beribadah dengan sikap sabar, ikhlas dan tawakal yang dilandasi kecintaan mereka kepada Tuhan, sehingga mereka tidak peduli bilamana amal ibadahnya dibalas dengan neraka (baca: keburukan) sekali pun. Jenis yang tersebut terakhirlah yang akan mengiyakan pertanyaan yang dilagukan Chrisye.

Menurut hemat saya, ajaran ketaatan beragama yang dilandasi pamrih malah, secara sadar maupun tidak, menyesatkan umat. Kita akhirnya menjadi suka berburuk sangka bila Tuhan memberi kita bukan yang kita hasratkan. Kita jadi lupa bahwa segala sesuatu telah diatur olehNya. Kebaikan jangan semata dipandang baik, sementara segala sesuatu yang buruk sebagai buruk. Pada setiap nasib yang menimpa kita, baik atau buruk, terkandung hikmah pembelajaran yang hakikatnya menuntun kita untuk mengenal Tuhan, mengingatNya senantiasa dan dapat merasakan kehadiranNya.

Saya pernah iseng membahas bersama seorang kawan mengenai pernyataan di kitab suci (Al Qur'an) tentang surga yang ada kolam susunya. Saya katakan padanya, bahwa kalau surga memang begitu keadaan aslinya, sama saja saya masuk neraka; saya bakal tersiksa hidup (kembali) di tempat yang hanya menyediakan susu, sedangkan saya tidak suka susu! Lha, apa lantas kitab suci harus menyertakan catatan kaki: "Bagi yang tidak suka susu, tersedia surga yang ada kolam Fanta-nya. Kalau suka Soda Gembira, silakan mencampur surga berkolam susu dengan surga berkolam Fanta."

Kini, agama-agama yang sesungguhnya merupakan wahana pengalaman ketuhanan langsung telah menjadi balai lelang, di mana para ulama asik menjual ayat sebagai tiket masuk surga, dan kita yang sudah kepalang asik memanjakan meme (virus akal budi) tentang kenikmatan surga lantas lupa pada Yang Menciptakan surga dan neraka. Tak heran bila di dunia Barat banyak orang meninggalkan agamanya, beralih ke jalan-jalan spiritual yang 'menawarkan' pengalaman ketuhanan langsung (experiential religiosity). Padahal, seperti saya sampaikan tadi, agama-agama yang dibawa para nabi merupakan sarana untuk mengalami (baca: mengakses) kekuasaan Tuhan, bila saja kita bersedia untuk sepi ing pamrih.


Jakarta, 19 Oktober 2007