Wednesday, October 17, 2018

Penulis yang Terbimbing*




PADA acara sarasehan dan Latihan Kejiwaan malam Tahun Baru 2004 ke 2005, di Wisma SUBUD Surabaya, Jl. Manyar Rejo 18-22, Surabaya Timur, Pembantu Pelatih Nasional (PPN) Pria Komisariat Wilayah (Komwil) VI Jawa Timur-Bali-Sulawesi saat itu, Bapak Soenardi Soesasmito, menggelar testing kejiwaan bagi para anggota pria. Saya termasuk di antara 20 anggota pria yang mengikuti testing tersebut.

Testing diadakan di ruangan (hall) Latihan wanita di bangunan rumah di sudut tenggara areal Wisma SUBUD Surabaya. Yang paling saya ingat, dan menjadi topik bahasan dalam artikel saya ini, adalah pertanyaan testing “Apakah yang dapat menjadi sumber nafkah saudara?” Dari keduapuluh pria yang ada di dalam hall itu, hanya saya yang menerima secara kuat dan jernih. Telunjuk tangan kanan saya langsung mengacung dan mulai bergerak seperti kapur pada papan tulis, menuliskan sesuatu yang saya tidak tahu apa. Sementara itu, mulut saya berucap terus-terusan “tulis-tulis-tulis-tulis-tulis... tulis ini, tulis itu... tulis-tulis-tulis-tulis!”

Selesai testing, Pak Nardi menghampiri saya untuk memberi selamat. “Bagus sekali, hanya Anda yang bisa menerima dengan jelas,” kata beliau.

Ada secuil rasa bangga dengan pujian beliau, dan secuil takjub karena dapat mengalami rasa testing kejiwaan. Saat itu, saya baru hampir sepuluh bulan aktif berlatih kejiwaan, sejak dibuka di Hall Surabaya pada 11 Maret 2004. Pengalaman testing kejiwaan ternyata luar biasa, terutama bagi sisi dalam saya. Bagaimanapun, saya kecewa pada jiwa saya, saya kecewa pada Tuhan, kok saya diarahkan untuk menjadikan menulis sebagai sumber nafkah saya.

Selama ini, saya beranggapan bahwa menulis tidak dapat diandalkan untuk menjadikan saya kaya-raya. Saya terobsesi pada kekayaan harta, sejak dahulu, dan menjadi penulis tidak pernah menjadi impian saya, karena penulis tidak bisa menghasilkan uang yang banyak. Hanya penulis naskah iklan (copywriter) yang saya tahu merupakan profesi bergaji besar; karenanya, saya bangga menjadi copywriter, tapi tidak bidang-bidang menulis lainnya.

Di situlah letak kekecewaan saya terhadap penerimaan testing yang luar biasa itu. Mengapa Tuhan menghendaki saya menjadi penulis?

Sekarang, saya bisa memastikan: Mengapa tidak?

Dalam prosesnya, saya memang memiliki bakat istimewa dengan kata-kata dan jalinan kalimat. Saya menyadari bahwa kata-kata yang saya gunakan dan kalimat-kalimat yang susun dengan kata-kata tersebut mengandung suatu kedalaman dan “pancaran energi” yang dapat mempengaruhi orang sedemikian rupa, hingga mendorong aksi dan reaksi dari orang tersebut. Ini sungguh menakjubkan. Tulisan saya “hidup”, demikian sejumlah saudara SUBUD dan klien-klien saya berpendapat.

Bagi saya sendiri, menulis merupakan sarana penggalian diri, sarana mengungkapkan kedalaman diri saya—hanya apabila saya menjadi diri saya sendiri saat menulis. Saya memetik banyak sekali pelajaran dan momen kontemplatif selama proses penulisan yang saya kerjakan. Dan ternyata, tidak banyak yang memiliki bakat menulis dengan kedalaman citarasa yang dapat menyentuh sisi-sisi terdalam dari pembacanya. Sayalah salah satu penulis yang memiliki bakat tersebut. Itu hanya bisa terjadi berkat bimbingan Tuhan yang mengisi diri saya melalui Latihan Kejiwaan yang saya lakukan secara rutin.©2018


Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 16 Oktober 2018


*Naskah asli ditulis di Memo dari HP saya.

Friday, October 12, 2018

Perjalanan 24 Jam Dengan KA Gaya Baru Malam Selatan


KA Gaya Baru Malam Selatan meninggalkan Kota Surabaya.


SETIAP kali ditanya apa pengalaman paling menarik yang pernah saya lalui sebagai pengguna jasa kereta api, cerita tentang perjalanan 24 jam menumpang KA Gaya Baru Malam Selatan yang keluar dari mulut saya. Terjadi pada tanggal 23 ke 24 Januari 1994, di era Perusahaan Umum Kereta Api (PERUMKA).

Pada hari itu, saya menumpang KA Gaya Baru Malam Selatan, biasa disingkat GBMS, dari Stasiun Surabaya Kota (SB, +4 mdpl) dengan tujuan Stasiun Pasarsenen Jakarta. Jam keberangkatan pukul 12.00 WIB. Saya mendapat kursi di kereta yang kondisinya buruk: pengap, penerangan rusak, berkipas angin yang tidak dapat berputar ke berbagai arah karena mekanisme pemutarnya rusak, dan semua jendela di tidak berkaca (pecah). Alamat wajah saya akan menghitam terkena asap pembakaran solar dari lokomotif CC201 yang berdinas menarik rangkaian GBMS ke Jakarta.

Sejak diberangkatkan dari SB, saya sudah merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada lokomotifnya. Kecepatannya naik-turun dan jalan kereta tersendat-sendat dengan bunyi mesin lokomotifnya seperti “ngos-ngosan”. Berhenti di Stasiun Mojokerto (MR, +22 mdpl), baru diumumkan bahwa lokomotif mengalami kerusakan dan karena itu seluruh rangkaian GBMS harus menunggu lebih dari satu jam sebelum diberangkatkan kembali. Penantian panjang itu dalam rangka menunggu kedatangan lokomotif pengganti dari Dipo Lokomotif Sidotopo (SDT, +2,5 mdpl), Surabaya.

Meskipun telah mendapatkan lokomotif pengganti yang laik dinas, tidak lantas berarti rangkaian GBMS yang saya tumpangi itu bakal melaju cepat. Saat itu, GBMS merupakan salah satu kereta api kelas Ekonomi yang berstatus “paling menderita” di Lintas Selatan Jawa yang masih berjalur tunggal, lantaran dia harus berhenti di hampir semua stasiun kecil di sepanjang perjalanannya untuk persilangan dan persusulan dengan KA-KA berkelas Eksekutif dan Bisnis. GBMS terkenal sebagai kereta api yang harus mengalah pada kepentingan kelas-kelas di atasnya, dan ia merupakan satu-satunya KA kelas Ekonomi di Lintas Selatan Jawa yang melayani perjalanan Jakarta-Surabaya.

Situasi dalam kereta saat itu seperti bukan dalam kereta kalau dibandingkan dengan keadaan sekarang—setelah PT KAI direstrukturisasi pada masa kepemimpinan Ignasius Jonan sebagai direktur utamanya. Saya membayangkannya seperti kabin pesawat pengangkut pasukan pada era Perang Dunia Kedua: gerbong kereta penuh sesak dengan penumpang dan pedagang asongan dan barang-barang bawaan penumpang yang tidak jarang melebihi kapasitas. Toilet yang menebar aroma tidak sedap pun ditempati penumpang di sepanjang perjalanan. Gerbong kereta penuh sesak tanpa pendingin udara, dengan penumpang merokok di dalam gerbong. Pedagang asongan hilir-mudik tiada henti-hentinya dari awal hingga akhir tujuan.

KA Gaya Baru Malam Selatan yang saya tumpangi itu tiba di Stasiun Pasarsenen, Jakarta, pada jam 12.00 siang. Tepat 24 jam sejak keberangkatannya dari Stasiun Surabaya Kota!

Tahun 2009, ketika Jonan menjadi direktur utama PT Kereta Api Indonesia (Persero), secara perlahan namun pasti dunia perkeretaapian Indonesia berubah dan bertransformasi menjadi perusahaan berorientasi layanan pelanggan. Sarana dan prasarana kereta api dibenahi dan menjadi moda transportasi paling diminati masyarakat. Jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta api hampir pasti tepat waktu. Semua kereta api, dari kelas Eksekutif sampai Ekonomi sudah berpendingin udara, dan penumpang nyaman karena pedagang asongan dilarang berjualan baik di dalam kereta maupun di areal stasiun.

Transformasi tersebut, tentu saja, juga menyentuh layanan KA Gaya Baru Malam Selatan. Kereta tersebut sekarang menjadi lebih nyaman, dengan harga tiket Rp 110.000 untuk perjalanan Jakarta ke Surabaya pergi-pulang, dengan singgah tidak di semua stasiun yang ada di Lintas Selatan Jawa.©2018


Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 12 Oktober 2018

Thursday, October 4, 2018

Album Lama yang Bernilai Sejarah


UNTUK memenuhi permintaan akan foto-foto tua dari ayah saya untuk melengkapi buku dari teman saya yang seorang sejarawan di Universiti Sains Malaysia, Nazarudin Zainun Ph.D, dua hari lalu, saya pun membongkar album lama milik ayah saya yang menyimpan foto-foto beliau maupun peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di New Delhi, India, tempat ayah saya bertugas sebagai Asisten Atase Militer RI, sepanjang tahun 1960.

Dua foto  di bawah ini terdapat di antaranya (keduanya hasil bidikan kamera ayah saya).

Selamat Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia ke-73,

5 Oktober 1945-2018.



Jendral Gatot Soebroto turun dari pesawat di Bandara Safdarjung (bandara lama New Delhi).


Jendral AH Nasution mengisi buku tamu saat mengunjungi tugu peringatan
Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi di Raj Ghat.



Tuesday, October 2, 2018

Bimbingan Tuhan di Tengah Syuting Profil Video

Foto selfie saya di tengah syuting profil video yang berlangsung pada 2 Oktober 2018, bertepatan dengan Hari Batik Nasional, sehingga untuk itu saya mengenakan baju batik Gebleg Renteng khas Kulon Progo. Ini di ruang rapat kantor kliennya LI9HT di mana tengah digelar pelatihan inggriya pura-pura untuk kepentingan syuting. Foto ini saya edit di Photoshop CS6 dengan menu Poster Edges di Filter Gallery.


ADA pengalaman menarik hari ini, yang saya yakin merupakan perwujudan dari bimbinganNya.

Saya dan tim LI9HT syuting video profile dari satu cucu perusahaan dari sebuah badan usaha milik negara (BUMN) di kantornya di Jakarta Selatan, dari pagi sampai malam ini belum selesai juga. Termasuk yang harus di-shoot adalah Pak Direktur Utama. Para karyawannya takut pada sang Dirut, sampai apa saja permintaan Dirut dituruti, termasuk bahwa beliau emoh dirias untuk keperluan syuting. Tapi demi artistiknya video, saya harus tegas “mengganti” beberapa permintaannya.

Karena para anak buahnya enggan menyampaikannya, saya akhirnya yang ngomong langsung ke Pak Dirut. Saya santai saja, tidak takut atau segan—suatu sikap yang dibiasakan oleh Latihan Kejiwaan yang saya lakukan selama ini. Tapi ngomongnya juga bukan dengan suara tegas bernada marah, melainkan biasa seperti ngobrol dengan teman sendiri. Dirutnya mau tuh nerima alasan-alasan saya, malah berkomentar: “Ya sudah, saya mengalah saja.”

Selesai segmen syuting dengan Pak Dirut, saya malah tertinggal di ruang kerja beliau bersama beliau dan Bu SekPer. Sebagaimana seorang teman yang biasa ngobrol dengan saya di teras rumah saya, terjadilah pembicaraan “tingkat tinggi” tentang bagaimana branding perusahaan tersebut seharusnya. Pak Dirut mendengarkan dengan saksama, tidak membantah sedikit pun semua masukan dari saya.

Yang saya herankan malah, kok saya bisa bicara selancar itu, tanpa memikirkan apa yang akan saya ucapkan. Semua mengalir begitu saja dari mulut saya, seakan saya tidak punya kuasa atas mulut saya dan ucapan yang keluar darinya. Dan perasaan saya bahagia, senang, gembira, optimis.

Menutup pembicaraan, karena Pak Dirut dan Bu Sekretaris Perusahaan harus menghadiri rapat direksi pada pukul 18.30, saya mengomentari pernyataan Pak Dirut mengenai kekhawatirannya bahwa branding berbiaya besar: “Pak, branding itu investment, bukan cost.”

Pak Dirut tampaknya terpengaruh oleh kata-kata saya, dan Bu SekPer berucap bahwa proyek branding perusahaan dan layanannya akan diserahkan ke LI9HT. Puji Tuhan!©2018


Jl. Raya Pasarminggu, Jakarta Selatan, 2 Oktober 2018