Monday, December 22, 2008

Sadar Siang-Malam

Suatu saat, saya menonton DVD dari film 88 Minutes yang dibintangi aktor kawakan Hollywood, Al Pacino. Pembantu rumahtangga (PRT) di rumah saya yang tergolong berpendidikan cukup ikut menonton. Jalan ceritanya agak rumit, tetapi jika benar-benar memperhatikan (sadar bahwasanya sedang menonton) dan sabar, kita bisa dengan mudah mencernanya. Apalagi dilengkapi teks Bahasa Indonesia yang sahih (as is). Bagaimanapun, PRT itu, selama menonton, berulang kali bertanya ke saya, kok itu begitu dan ini begini. Padahal dari teks saja dia sebenarnya bisa menangkap jalan ceritanya. Ada kisah lainnya: Beberapa teman saya suka membaca kitab suci (Al Qur'an/Alkitab), tetapi mereka mengaku tak pernah bisa mencerna isi dan juntrungannya, walaupun dibaca berulang kali, sehingga tidak bisa mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya.

Itulah ciri-ciri orang yang tidak memberdayakan kesadarannya, alias tidak sadar bahwa dirinya sedang menonton film atau membaca kitab suci. Melakukan apa saja, yang melibatkan satu atau semua panca indra kita bila tidak disertai kesadaran tidak akan berhasil guna. Seperti kawan saya yang rajin salat, tetapi tidak pernah bisa khusyuk. Kekhusyukan berpendar dari kesadaran supra kita tentang makna dan tujuan salat. Sesimpel itu -- Anda tidak perlu merogoh jutaan rupiah untuk ikut pelatihan salat khusyuk, yang terbukti banyak yang gagal dalam praktiknya. Resep salat/ibadah khusyuk sebenarnya sudah dijabarkan secara singkat, padat dan jelas dalam QS Al-Ma'un: 4, "Kecelakaan bagi mereka yang mengerjakan salat, tetapi lalai dalam salatnya." Kata 'lalai' di sini mengindikasikan tindakan yang tidak disertai kesadaran, atau 'lupa diri'. Nah, jika Anda benar-benar sadar saat membaca Al Qur'an, seyogianya Anda paham bahwa salat bermakna dan bertujuan 'mengingat' (ad-dzikr) Tuhan dalam setiap gerak, penglihatan, pendengaran, napas, ucapan dan rasa Anda. Semua itu merefleksikan nama-nama sifatNya.

Dalam hal membaca kitab suci tanpa kesadaran, memang mata kita hanya dapat membaca deretan kalimat (read the lines). Tetapi bila disertai dengan kesadaran, mata dan hati kita akan mampu menangkap 'makna-makna tersembunyi' di antara kalimat-kalimat (read between the lines), yang menjadikan kitab suci begitu kontekstual dalam kehidupan kita -- dan terwujudlah fungsinya sebagai pedoman hidup.

Itu baru ibadah. Nyatanya, semua perbuatan, perkataan, pikiran dan perasaan kita seyogianya disertai kesadaran. Kesadaran ternyata bukan hasil kerja panca indra. Buktinya, kita seringkali melihat tetapi tidak memperhatikan (seperti PRT saya tadi), mendengar (to hear) tetapi tidak mendengarkan (to listen), berucap tetapi tidak berkomunikasi -- sehingga omongan kita menyinggung orang lain, makan tetapi tidak menikmati apa yang dimakan, dan lain-lain. Melihat pohon berbeda dengan memperhatikan pohon. Melihat tidak melibatkan kesadaran, sehingga kita cenderung tidak peduli akan keberadaan pohon tersebut, yang akibatnya kita akan membiarkan saja apabila pohon itu ditebang. Coba Anda memperhatikan (yaitu 'melihat dengan sadar') sebuah pohon, maka Anda akan terbawa ke dalam kondisi permenungan tentang fungsi dan tujuan penciptaan pohon. Anda pasti prihatin, terluka hati, menyaksikan pohon tersebut ditebang.

Jika kita mau terus menerus hidup dengan kesadaran akan dalam dan luar diri kita, maka hidup kita akan penuh dengan dinamika dan optimisme serta tidak dihinggapi 'sindrom sepatu usang'. Rekan-rekan sekantor saya sebagian besar mengidap sindrom ini, terutama karena mereka bekerja tanpa kesadaran. Alih-laih menjadi mahir dan profesional, mereka malah tidak berkembang, tidak siap (dan tidak mau) menghadapi perubahan -- padahal dunia terus berubah -- sehingga mereka pun menjadi obsolete (terlupakan, ketinggalan zaman). Kaki mereka terlena dalam balutan sepatu usang (yang biasanya lebih enak dipakai daripada sepatu baru). Orang-orang macam begini menjadikan pekerjaan sekadar sarana mencari uang, bukan sarana untuk pembelajaran yang dapat mengubah diri mereka. Colin Powell, mantan menteri luar negeri AS, pernah berucap, "Tidak penting seberapa banyak pekerjaan yang telah Anda ubah. Adalah lebih penting seberapa banyak Anda berubah melalui pekerjaan itu." Orang yang sadar ketika bekerja akan menimbun nilai-nilai yang akan membuat dirinya lebih berharga dan bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun orang lain, ketimbang orang yang bekerja tanpa kesadaran sama sekali.

Sebegitu pentingkah kesadaran itu? Menurut saya, iya! Hanya melalui kesadaran kita dapat memperoleh pengetahuan tentang diri sendiri dan lingkungan kita. Pengetahuan menumbuhkembangkan intuisi, inspirasi dan informasi, sehingga kesejahteraan hidup tak jauh dari jangkauan kita. Kesadaran bisa menyalakan pelita di dalam diri kita yang sudah lama padam. Kalau kita sadar, petunjuk Tuhan akan datang menghampiri. Inilah yang hakikatnya disebut 'rezeki'. Denkaesthi siyang ratri, [berusahalah untuk] sadar siang dan malam (Serat Wulang Reh, Pupuh Pangkur, bait 1 baris terakhir). Kesadaranlah yang harus dijaga supaya tidak terjerat oleh keinginan-keinginan yang ditimbulkan oleh pikiran-pikiran liar, yaitu pikiran yang hanya berkeinginan untuk memuaskan jasmani kita dengan bentuk kenyamanan dan materi. Sadarkah Anda akan hal ini?©


Jakarta, 23 Desember 2008.

Wednesday, December 17, 2008

Hidup Itu Adalah Pesta

"Hidup bukanlah pesta seperti yang kita harapkan, tetapi sementara kita di sini kita seharusnya berdansa."
--Anonim (dari www.quotationspage.com)


SAYA pernah bekerja pada sebuah biro iklan multinasional yang berbasis di Jakarta. Di situ seluruh karyawannya berpesta setiap hari. Jika menang pitching, manajemen dan segenap tim yang terlibat, termasuk office-boy dan office-girl--yang setia menemani ketika semua orang terpaksa lembur, mempersiapkan karya-karya hebat untuk dipresentasikan dalam rangka pitching--berpesta pora merayakan kemenangan di restoran mahal.

Sebaliknya, jika kekalahan yang mengetuk pintu biro iklan tersebut, semua orang menyambutnya santai dan kisahnya berlalu secepat kereta peluru Jepang, Shinkansen. Pestanya jalan terus. Creative director-nya, seorang bule, berkata ke saya yang waktu itu masih "hijau": "Tenang saja, kita masih punya banyak klien dan banyak lagi yang akan memakai kita."

Bekerja di biro iklan tersebut serasa berada di surga. Tidak ada pikiran yang terlalu berat untuk dipikul, karena kalah atau menang, pekerjaan disetujui atau ditolak klien, pada akhir bulan gaji tetap mengucur deras--dan semua orang kembali merayakan pesta.

Sebelas tahun setelah saya meninggalkan surga periklanan itu dan surga-surga lain yang ditawarkan perusahaan-perusahaan sesudahnya, saya bagaikan manusia pertama yang turun ke bumi: bingung, takut, menyesal, tidak tahu mesti berbuat apa, hingga akhirnya menyerahkan diri ke tangan Sang Kuasa.

Seorang saudara saya di jalan spiritual yang berprofesi art director mengatakan bahwa sejak ia menyandang predikat freelancer-lah ia mampu menangkap sinyal-sinyal tuntunan Tuhan, sedangkan ketika ia masih bekerja tetap pada sebuah perusahaan komunikasi pemasaran mata, telinga dan hatinya terbalut gaji bulanan. Walaupun kini ia kembali menjadi "orang gajian", sesuai masukan dari saudara kami di jalan spiritual ia menggenggam hati yang bebas dari ikatan apa pun, tetapi terus bergelayut pada tali bimbinganNya.

Seberapa mampu kita merayakan hidup ini? Apalagi di tengah kehidupan dewasa ini yang sedang diombang-ambingkan krisis global. Bagi orang yang pesimis, keadaan krisis membuat hidupnya seperti teka-teki silang: mendatar dan menurun. Sedangkan orang yang optimis memandang hidupnya bagaikan pesawat terbang yang selalu lepas landas, mendarat untuk isi bahan bakar atau untuk perbaikan teknis, lantas kembali mengudara.

Kenyataan bahwa hidup menyajikan masalah memang tidak bisa dipungkiri. Tidak perlu pula kita mengganti pikiran, seolah masalah itu tidak ada. Terima saja kenyataan itu, karena toh kita hidup untuk saat sekarang, kata Eckhart Tolle dalam bukunya, The Power of Now--Pedoman Menuju Pencerahan Spiritual (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2006). "Saat sekarang" yang dimaksud Tolle adalah keadaan hidup yang sangat kuat yang bebas dari waktu, bebas dari masalah, bebas dari pikiran, bebas dari beban kepribadian itu. Tolle menganjurkan kita menghadapi masalah itu, bukannya menganggap bahwa seolah masalah itu tidak ada, atau malah kabur dari masalah. Sikap berserah diri--gagasan yang pertama kali saya peroleh di Subud, tetapi ternyata merupakan makna dari kata "islam"--dianjurkan oleh Tolle, agar kita mampu berdansa dengan masalah dan merayakan hidup. Penyerahan diri, tulis Tolle di halaman 78 bukunya, bukanlah bentuk kelemahan; ada kekuatan besar di dalamnya. Hanya orang yang berserah dirilah yang memiliki kekuatan spiritual. Melalui penyerahan diri, kita akan bebas secara batiniah dari masalah. Kemudian kita akan melihat situasi itu berubah tanpa upaya apa pun dari pihak kita. "Bagaimanapun, Anda bebas," tandas Tolle.

Pengalaman saya bertutur, masalah--yang merupakan kawan perjalanan saya sejak menjadi freelancer--justru merupakan buah ranum yang menjanjikan aneka rasa. Masalah merangsang energi kreatif saya, memompa semangat guna sintas (survive), dan mempererat kontak batin saya dengan Tuhan. Saya belajar mengasah kepekaan rasa, kreativitas serta intelektualitas dari tingginya intensitas kekecewaan, kemarahan, ketakutan, kecemasan, kesedihan maupun kegembiraan dan kesuksesan yang datang silih berganti, mengisi hari-hari saya yang secara sengaja membebaskan diri dari zona kenyamanan selaku "orang gajian".

Kepekaan rasa menajamkan intuisi saya -- yang memampukan saya menangkap peluang-peluang maupun pengetahuan yang menambah wawasan, dan menyelaraskan serta melanggengkan hubungan saya dengan orang lain (karena saya dapat merasakan dirinya, bahkan dimampukan Gusti Allah untuk dapat menangkap maksud-maksudnya sebelum yang bersangkutan pernah menyampaikannya). Saya yakin Tuhan punya rencana untuk saya. Daripada saya bersusah-payah menebak-nebak apa maksudNya, lebih baik saya serahkan diri ke dalam tuntunanNya saja, menjadikan diri saya air yang mengalir mengikuti alur sungai yang bermuara ke samudra makna. Lengkap sudah predikat freelancer yang saya sandang: bebas lahir-batin!

Masalah membuat hidup seseru pesta. Saya pernah menginap selama seminggu di rumah paman saya yang terletak di lereng gunung yang berhawa sejuk dan berpemandangan indah. Empat hari pertama, dengan kegiatan saya yang hanya makan-tidur-cuci mata, berlalu menyenangkan. Memasuki hari ke-5 hingga ke-7 saya sudah berubah layaknya penduduk setempat yang sudah terbiasa dengan kesejukan hawa dan keindahan pemandangan dari lingkungan tempat tinggalnya, bahkan mungkin jenuh. Jika saat itu kawan saya di Jakarta tidak menelepon untuk suatu pekerjaan yang tenggat waktunya mendesak, yang memaksa saya pontang-panting mencari warnet dan kemudian memeras pikiran agar pekerjaan tersebut dapat diselesaikan dengan cepat, saya akan memutuskan untuk mempersingkat liburan saya. Dari pengalaman itu saya beroleh kesadaran bahwa manusia harus senantiasa mengaktifkan dirinya, melestarikan energi hidupnya. Kesukacitaan berlarut-larut tidak akan banyak membantu kita.

Bagi saya, masalah merupakan alarm--cara Tuhan untuk memberitahu saya agar singgah sejenak di pemberhentian untuk merenung, mengosongkan cangkir mental saya. Kita membutuhkan kemampuan untuk belajar melepaskan apa yang telah kita ketahui, tulis Roger von Oech di halaman 19 Whack--Pukulan untuk Merangsang Kreativitas dan Ide Baru (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008). Tanpa kemampuan untuk melupakan sejenak apa yang telah kita ketahui, benak kita akan tetap dipenuhi dengan jawaban-jawaban siap pakai, dan kita takkan pernah mendapat kesempatan untuk membawa diri kita keluar dari jalan yang lazim atau kemandekan, menuju arah-arah yang baru. Dengan demikian, masalah membuat kita senantiasa sadar bahwa sesungguhnya hidup ini patut dirayakan setiap hari.©



Jakarta, 17 Desember 2008

Sunday, December 14, 2008

Jauh-Dekat Sama Harganya

"Dan kepunyaan Allah Timur dan Barat, maka ke mana saja kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatNya) lagi Maha Mengetahui."
--QS al-Baqarah [2]: 115


SUATU kali, saudara saya di jalan spiritual, yang sehari-harinya berprofesi dosen akidah akhlak dan tasawuf di sebuah perguruan tinggi swasta yang bernaung di bawah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, melontarkan sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab, melainkan direnungkan secara pribadi saja. "Kita salat kan menghadap Ka'bah, Mas. Seandainya kita mendapat kehormatan untuk memasuki Ka'bah dan salat di dalamnya, kita berkiblat ke mana, ya?" Bagi saya itu pertanyaan yang menyentak kesadaran, karena kebanyakan kita tidak pernah memikirkan "hal-hal sepele" semacam itu.

Beberapa tahun yang lalu, karena tidak tahu dan sedang tidak ada orang yang bisa dijadikan acuan, saya menunaikan salat Dzuhur di salah satu ruangan dari bangunan yang baru ditempati oleh perusahaan tempat saya bekerja di Surabaya. Usai salat, saya baru sadar bahwa seorang office-boy tengah memperhatikan. Rupanya dia sudah berdiri di situ cukup lama. "Mas Anto salah arah. Barat di sebelah sana," ujar office-boy itu sambil menunjuk ke arah yang berlawanan dari posisi sajadah yang saya letakkan sebelumnya. "Aku mau ngasih tau tapi aku ndak mau ganggu. Mas salatnya khusyuk banget, sih."

Pengalaman tadi saya ceritakan ke seorang ustadz, yang kemudian menodong saya dengan pertanyaan, "Emangnya kita salat menghadap ke mana?"

"Ke Barat," jawab saya, yakin.

"Ngaco!" seru ustadz itu.

Saya terperanjat atas reaksi sang ustadz. "Oya--ke Ka'bah--" jawab saya, meralat dengan perasaan pasti. "Ngawur kamu! Kita salat menghadap ke Allah dan Allah ada di mana-mana," ujar ustadz itu dengan gemas. Selanjutnya, ia memperjelas "duduk perkaranya" mengapa umat Islam diperintahkan untuk menghadap Ka'bah saat salat berjamaah, yaitu untuk menjaga kerukunan dan persaudaraan muslim, serta melatih diri untuk hidup mengikuti norma-norma masyarakat. Ada unsur metafora dalam hal ini, agar umat dapat memahaminya dengan segera. "Tidak ada salahnya mengikuti aturan itu," kata ustadz itu menasihati saya, sambil menekankan agar hati dan pikiran saya "dirapatkan dan diluruskan" hanya kepada Allah, yang wajahNya ada di mana saja kita menghadap.

Tahun 2006, saya sempat diopname karena menderita sakit di perut, yang rasanya sungguh menyiksa. Setiap kali kambuh sakitnya, saya sampai berguling-guling di lantai rumah sakit sambil mengerang-erang. Istri saya lantas membimbing saya untuk mendaraskan "Allah" pada setiap hembusan napas. Dalam sekejap rasa sakitnya lenyap dan saya tenang kembali, sampai tertidur pulas. Dan hal itu terjadi bahkan sebelum perawat datang untuk menyuntikkan antibiotika ke dalam selang infus saya. Ketika sakitnya menyerang, rasanya Tuhan jauh di luar jangkauan saya. Begitu disebut namaNya, Dia bukan saja tiba-tiba dekat, tetapi juga menyembuhkan.

Tuhan ada di mana? "Di mana-mana!" jawab kita pada umumnya. Di Al Qur'an tertera ayat yang menegaskan bahwa Allah bahkan lebih dekat daripada urat leher kita. Sementara itu, seorang guru bijak mengatakan, "Tuhan tidak ada di mana-mana. Dia hadir jika hati kita membiarkanNya masuk."

Ada pula yang mengatakan bahwa Tuhan ada di atas, sehingga ungkapan "Yang Di Atas" pun dipakai untuk mengacu ke Tuhan. Padahal ungkapan itu berasal dari pernyataan "yang bersemayam di atas Arsy", sedangkan Arsy' sendiri mengacu kepada alam semesta, yang mencakup atas-bawah, jauh-dekat, luar-dalam, kiri-kanan, depan-belakang, utara-selatan-timur-dan-barat.

Suatu kali, saya menguping seseorang yang bertanya ke saudara saya di jalan spiritual, yang juga seorang ustadz--tetapi berbeda dari yang saya sebutkan di alinea pertama. "Katanya, kita nggak boleh ya membawa ayat-ayat suci ke tempat-tempat yang kotor, seperti WC misalnya?" tanya orang itu. Pertanyaan semacam itu kebetulan sudah lama pula menghuni pikiran saya, tetapi saya belum menemukan momen yang tepat untuk mengajukannya. Sang ustadz menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai pertanda gregetan. "Lha, apa dasarnya? Emangnya Tuhan ndak ada di WC? Kalau sampeyan kebelet, terus terlampiaskan di WC, bukankah sampeyan akan spontan berucap alhamdulillah? Dan juga, kalau memang begitu, boleh dong kita berbuat dosa di dalam WC, karena Tuhan toh dianggap tidak ada di situ?!" ucap si ustadz. Meski perkataan si ustadz tidak menyuratkan jawaban atas pertanyaan tadi, si penanya tertawa sambil mengangguk-angguk, puas. Mungkin pemikiran bahwa Tuhan tidak ada di WC-lah yang mendorong dua insan berlainan jenis kelamin untuk berzina di WC masjid, seperti yang diberitakan sebuah stasiun televisi swasta baru-baru ini.

Jauh tak berentang, dekat tak beraih; barangkali itu kalimat yang cukup mewakili untuk menggambarkan keberadaan Tuhan. Namun, jauh atau dekat sama saja harganya; Dia selalu hadir memberi pertolongan, menghadiahi keselamatan, membimbing dan menuntun kita. Adalah kesadaran kita yang adakalanya menjauh dari Dia. Namun, toh kuasaNya bisa memutar cikar hati dan pikiran kita untuk kembali menghadap kepadaNya. Eh, ke arah mana, ya?©



Jakarta, 14 Desember 2008

Thursday, December 11, 2008

Menjinjing Jimat

"Bahkan Al Qur'an ayat-ayat yang terang di dalam hati orang-orang yang diberi ilmu. Dan tiada yang mengabaikan ayat-ayat Kami melainkan orang-orang yang zalim."
--QS al-Ankabuut [29]: 49


ADA seorang kerabat saya, yang pada setiap acara arisan keluarga setiap awal bulan mewajibkan para peserta agar membaca Surat al-Fatihah terlebih dahulu sebelum memulai acara. Biasanya yang dianggap "fasih mendaraskan Al Qur'an" di antara para peserta arisan yang didaulat untuk memimpin pembacaan ulumul Qur'an tersebut. Saya merasa gerah dengan pembiasaan itu, dikarenakan tiga hal.

Pertama, di antara kerabat saya yang mengikuti arisan tersebut terdapat non-Muslim, sehingga, saya kira, pembacaan al-Fatihah tidak tepat--sebaiknya diganti dengan mengajak para peserta untuk berdoa menurut agama atau kepercayaannya masing-masing. Kedua, saya pikir, masing-masing peserta pasti punya keinginan/harapan sendiri-sendiri yang hendak disampaikannya kepada Tuhan, yang mungkin tidak terwakili oleh sekadar membaca al-Fatihah, sehingga, menurut saya, pembiasaan itu melanggar hak asasi. Ketiga, yang paling pokok, bagi saya lebih baik mengamalkan al-Fatihah ketimbang hanya membacanya. Ayat ke-5 surat tersebut berbunyi: "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan." Namun, kenyataannya, pendarasan (reciting) ayat-ayat suci Al Qur'an maupun bentuk-bentuk ibadah lainnya telah menjadi tak lebih dari mantra dan jimat, bahkan semakin kentara bahwa umat cenderung mengagungkan ritual dan simbol agama, bukannya Tuhan. Pembiasaan untuk mendaraskan ayat-ayat Al Qur'an, tetapi mengabaikan arti (eksplisit) dan maknanya (implisit), dan bukannya mengamalkan dalam apa pun yang kita kerjakan, menjadikan bacaan suci tak lebih dari "ayat-ayat azimat".

Tanpa sadar, kebanyakan kita, umat beragama, telah memberhalakan kebendaan, menyembah ciptaan dan bukannya Sang Pencipta. Mantan bos saya di Surabaya dahulu adalah seorang haji yang ke mana-mana hampir selalu menjinjing kitab Al Qur'an. "Kitab ini bikin aku tenang, To," katanya pada saat ia menasihati saya agar rajin membaca Al Qur'an, seperti dirinya. Saya tertegun mendengar ucapannya dan membatin, "Lha kok Al Qur'an dijadikan jimat?!" Suatu saat, bos saya itu curhat ke saya tentang betapa berat cobaan yang tengah dihadapinya. Ia menggugat firman Allah bahwa Allah tidak akan menguji hambaNya melampaui kemampuan hambaNya. Tetapi, nyatanya, menurut mantan bos saya, ia tak sanggup memikul ujian dari Tuhan saat itu.

"Tuhan sudah kasih Bapak ujian yang masih bisa Bapak hadapi, tapi Bapak yang melebih-lebihkan. Tuhan tidak pernah menyiksa hambaNya, melainkan engkau yang menganiaya dirimu sendiri," tandas saya, yang membuat mantan bos saya itu bertanya surat mana dan ayat berapa yang menyebutkan hal itu."

"Saya tidak hafal, Pak, tapi ayat itu ada beberapa kali diungkapkan di kitab Al Qur'an. Lha, katanya Bapak rajin baca Al Qur'an? Kok nggak tau ayat itu?" Di situlah saya mendapat bukti betapa orang sekadar membaca aksara Arabnya saja, tanpa berusaha mencari tahu arti dan maknanya. Membaca Al Qur'an tetapi melalaikan makna dan tujuannya sama dengan mereduksi nilai kitab suci itu menjad jimat belaka.

Seorang ustadz yang juga saudara saya di jalan spiritual mengungkapkan bahwa apa yang tertulis di dalam kitab suci bukanlah ayat, melainkan bacaan. Ayat itu berarti "tanda" atau "bukti". Jika seseorang telah memperoleh bukti nyata dalam kehidupan sehari-harinya bahwa apa yang dituliskan di dalam kitab suci itu benar adanya, dan menyebabkan ia yakin akan kebenarannya (haqqul yaqin), barulah bacaan itu bertransformasi menjadi "ayat".

Saya perhatikan kebiasaan orang menaruh kitab Al Qur'an atau kalung tasbih atau kitab Surat Yasin, atau bahkan stiker atau ukiran bertuliskan aksara Arab dari "Allah" dan "Muhammad", di dekat bayi mereka yang sedang tidur atau di segala sudut rumah yang mereka huni. Padahal, berkat kesucian hatinya, bayi lebih berpotensi mengetahui keberadaan makhluk halus (dan tidak takut karenanya). Padahal pula, jin juga ciptaan Allah yang diberiNya izin untuk mengganggu kita, utamanya yang berjiwa lemah. Saya jadi teringat pada pengalaman saya lebih dari 20 tahun yang lalu.

Suatu malam, saya menunaikan salat Tahajud. Usai salat dan beristighfar sebanyak-banyaknya, saya mendaraskan Ayat Kursi 1.000 kali. Entah pada hitungan keberapa, di sebelah kanan saya muncul sesosok makhluk yang sekujur tubuhnya berwarna hijau, sedangkan kedua matanya yang membelalak ke arah saya merah menyala-nyala. Ia mengikuti ucapan saya, satu Ayat Kursi dari awal sampai akhir, sebelum akhirnya menghilang.

Pengalaman seram itu membuat saya bertanya-tanya, mengapa makhluk sebangsa jin yang datang untuk mengganggu kok tidak mempan dilawan dengan bacaan suci. Pengalaman sejenis terulang pada Maret 2005, yaitu ketika saya saling menempel kening dengan kuntilanak di salah satu ruangan dari rumah kontrakan saya di Surabaya, di mana saya menunaikan salat Hajat. Kuntilanak itu baru lenyap dari pandangan saya setelah saya berserah diri, memasrahkan nasib saya kepada pertolongan Tuhan, dan bukannya pada saat saya mengucapkan sejumlah doa berbahasa Arab!

Dari kedua pengalaman ini saya beroleh kepahaman bahwa mengamalkan jauh lebih bermanfaat daripada mendaraskan bacaan--apalagi dengan suara keras, mengingat Tuhan tidaklah tuli--yang bahkan belum tentu kita mengerti artinya. Si makhluk hijau itu bahkan lebih fasih mendaraskan Ayat Kursi dibandingkan saya yang terbata-bata, akibat ketakutan yang luar biasa. Saya juga memahami bahwa bila kita lebih takut pada sesama makhluk ketimbang pada Sang Khalik, maka celakalah kita.

Tujuh ayat yang terdapat dalam al-Fatihah, maupun seluruh isi kitab Al Qur'an, hakikatnya menyampaikan pesan-pesan yang kiranya lebih afdol jika diamalkan tinimbang sekadar didaraskan. Mendaraskannya saja tidak akan membawa kita ke mana-mana. Kita, akhirnya, malah hanya jalan di tempat, tidak beroleh pengetahuan apa pun, bukannya mengalami transformasi. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Seorang munafik tetap keadaan agamanya selama 40 tahun. Seorang mukmin mengalami hijrah (transformasi diri) 40 kali sehari." Dengan kata lain, Anda belum beriman, walaupun Anda rajin membaca Al Qur'an, tetapi tidak memahami makna dan tujuannya.

Pengalaman saya berulang kali menuturkan bahwa harapan yang saya bisikkan di dalam hening ruang batin saya, di mana saja dan kapan saja, serta saya serahkan diri ke hadirat Tuhan Yang Maha Hadir di Mana Saja dan Kapan Saja membuatnya segera terwujud. Dengan demikian, saya bisa leluasakan kedua tangan saya, karena tak perlu menjinjing jimat ke mana-mana.©


Jakarta, 11 Desember 2008

Monday, December 8, 2008

Pukulan Pada Pelipis Bisa Mengubah Cara Berpikir

SALAH seorang keponakan saya bertanya ke saya, mengapa saya begitu tidak menyukai pelajaran matematika. Saya jawab, “Om Anto baru mau belajar matematika kalau 1 + 1 bukan sama dengan 2, tapi bisa 1, 3, 10, atau 1 juta.”

Keponakan saya yang waktu itu masih kelas 4 sekolah dasar protes, “Ya, nggak mungkin, Om! 1 + 1 = 2. Udah pasti 2.”

“Om Anto nggak suka sama yang pasti-pasti,” kata saya, berkilah. “Satu kelompok beranggotakan 10 orang + 1 kelompok beranggotakan 20 orang = berapa?”

Keponakan saya ragu menjawabnya. “Dua kelompok?” Saya membenarkan, tetapi sekalian memberitahunya bahwa masih ada kemungkinan lainnya. “Menurut Om Anto berapa?” tanya keponakan saya.

“Sama dengan satu kelompok beranggotakan 30 orang. Kelompoknya kan ditambahkan, dan Om Anto pikir kenapa para anggotanya nggak bersatu aja daripada entar berantem.”

Keponakan saya memperlihatkan tampang seperti sedang menimbang-nimbang. Saya pun memberi soal berikutnya: “Satu pesawat yang bisa terbang tambah satu pesawat yang tidak bisa terbang sama dengan berapa pesawat?” Keponakan saya menjawab pasti, “Dua pesawat!”

Saya mengangguk-angguk. “Benar, sih, tapi masak ya cuman itu?! Menurut Om Anto, dua pesawat yang diparkir di ramp (bagian dari bandar udara yang digunakan sebagai tempat parkir pesawat yang sedang tidak bertugas), atau dua pesawat yang tidak bisa terbang setelah keduanya dipreteli dan diterbangkan oleh pesawat lain yang lebih besar.” Begitu banyak kemungkinan, mengapa harus terpatri pada satu jawaban yang benar?

Suatu saat, keponakan saya lainnya, adik dari keponakan yang tersebut pertama, mengejek saya yang, ia tahu, tidak suka dan tidak mengerti matematika. “Om Anto, jika sekian + n = sekian, berapakah "n"? Yee, nggak tau kan?!” Dia sendiri yang menjawab soal itu untuk mengejek saya.

Saya lantas berkata kepada keponakan saya itu, “Kalau kamu terdampar di tengah hutan setelah pesawat yang kamu tumpangi jatuh dan kamu satu-satunya yang selamat, gimana caranya "n" bisa bantu kamu?” Kontan wajahnya memimiki orang yang kena batunya.

“Anak-anak mulai bersekolah sebagai tanda tanya dan keluar sebagai titik,” ujar Neil Postman, seorang pendidik, yang kata-katanya dikutip oleh Roger von Oech dalam bukunya, Whack—Pukulan untuk Merangsang Kreativitas dan Ide Baru (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer—Kelompok Gramedia, 2008). Dalam buku setebal 321 halaman ini, von Oech, yang merupakan pendiri dan direktur Creative Think, sebuah perusahaan konsultan berbasis di Menlo Park, California, yang mengkhususkan diri dalam kreativitas stimulatif, itu mengeritik model pendidikan selama ini, yang diterapkan baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang: siswa tidak diizinkan menciptakan jawabannya sendiri, melainkan dituntut untuk menebak pikiran guru. Akibatnya, anak-anak—yang sesungguhnya merupakan energi kreativitas tanpa batas—mewujud menjadi manusia-manusia yang tidak mampu menemukan solusi bagi masalah-masalah yang bakal mereka hadapi dalam hidup. Bagaimana "n", pengalian kuadrat, atau bilangan cacah bisa memberi bantuan bagi seorang anak yang terdesak di jalan buntu, sementara di belakangnya seekor anjing galak mengejarnya? Mungkinkah nilai 8,5 untuk pelajaran fisika di rapor bisa dipakai untuk mengatasi kesulitan akibat krisis global?

Hmm, bisa ya, bisa pula tidak. Tergantung dari apakah sang pemilik rapor bersekolah di sekolah yang selain memperkaya otak kiri juga melatih otak kanannya, atau tidak. Problema hidup biasanya membuat seseorang mampu berpikir secara berbeda, alias kreatif. Tulis von Oech di halaman 22 Whack, sesekali kita memerlukan "pukulan di pelipis" (a whack on the side of the head, judul asli buku ini) untuk melepaskan diri dari pola-pola rutin, untuk memaksa kita memikirkan ulang masalah-masalah kita, dan untuk merangsang kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bisa menuntun kita ke jawaban-jawaban benar lain. Pukulan memaksa kita—setidaknya untuk sementara waktu—untuk "memikirkan hal yang berbeda". Von Oech membuat "daftar pukulan" untuk memberi gambaran kepada pembaca, antara lain:
• Masalah atau kegagalan
• Lelucon atau paradox
• Kejutan atau keadaan tak terduga
• PHK
• Tugas dari guru dengan tenggat waktu yang ketat
• Pertanyaan-pertanyaan yang tidak terpikirkan sebelumnya, misalnya: Bila unta disebut "kapal di gurun", mengapa kapal tidak disebut "unta di lautan"?

Mencari jawaban yang berbeda untuk sebuah masalah bukan berarti "satu jawaban yang benar". Kita perlu membangkitkan sebanyak mungkin jawaban—yang benar menurut fokus perhatian Anda. Linus Pauling, seorang ahli kimia pemenang Nobel, seperti dikutip von Oech di halaman 40, berkata, “Cara terbaik untuk mendapatkan ide yang baik adalah mendapatkan banyak ide yang baik.” Von Oech menekankan bahwa mungkin kita tidak bisa menggunakan semuanya, tetapi dari sekian banyak ide yang kita bangkitkan, kita mungkin saja menemukan beberapa ide yang memang cukup berarti. “Inilah alasan mengapa para fotografer profesional menjepret berkali-kali saat memotret subjek yang penting. Mereka melakukan itu karena tahu bahwa dari sekian banyak foto yang mereka ambil, mungkin hanya beberapa saja yang mampu menangkap apa yang mereka harapkan,” tulis doktor "Sejarah Ide" lulusan Stanford University ini di halaman 40 bukunya.

Sekolah—sebagai lembaga pendidikan yang, meminjam istilah sejarawan besar Inggris, Arnold Toynbee, merupakan minoritas kreatif (creative minority) itu—justru mementingkan "satu jawaban yang benar". Sekolah, seperti ditulis oleh majalah Hati Baru, edisi Februari 2008, karena kebanyakan berada di tengah-tengah masyarakat, seyogianya memiliki kreativitas dan program untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Program sekolah tidak hanya mematuhi target program kurikulum pemerintah, tetapi juga harus bermanfaat bagi orang lain di sekitar sekolah. Di sini, sekolah memiliki tanggung jawab atas perubahan-perubahan positif di mana ia berada. Dengan kata lain, para siswa pun mesti punya lebih banyak "jawaban yang benar".

Di halaman 36, lulusan Phi Beta Kappa dari negara bagian Ohio, Amerika Serikat, itu menceritakan kisah seorang murid kelas satu SD yang memperoleh nilai jelek untuk pelajaran mewarnai gambar pemandangan. Nilai jelek diberikan oleh guru, karena si murid tidak mewarnai gambar dengan warna-warna yang sesuai: rumput diwarnai kelabu, dan langit diberi warna kuning. Si murid menjawab, “Sebab memang seperti itulah kelihatannya bila aku bangun pagi-pagi untuk melihat matahari terbit.” Nah lho, bagaimana tuh, Bu atau Pak Guru?

Orang kreatif rupanya identik dengan penentang aturan dan anti-kemapanan. Alastair Crompton dalam The Craft of Copywriting (Random House, 1987) mengajukan 10 Aturan Perak untuk membuat iklan yang hebat. Siswa sekolah periklanan atau penulis naskah pemula bakal bersorak gembira karena mendapat tuntunan kiat dari seorang maestro copywriting seperti Crompton bila saja mereka tidak disodori 1 Aturan Emas-nya: Lupakan semua aturan!

Pada tahun-tahun pertama karier saya sebagai copywriter, para senior saya mencekoki pikiran saya dengan aturan bahwa kepala naskah (headline) jangan diberi titik atau tanda seru bila berupa pernyataan. Ada yang bilang, boleh pakai titik jika badan naskah (bodycopy) ditiadakan. Ketika suatu saat saya telah menduduki kursi panas creative director, saya berpikir, “Inilah saatnya saya melanggar aturan.” Dan terpampanglah iklan cetak mungil di harian Kompas yang headline-nya menggunakan tanda koma—karena masih menyambung dengan muatan bodycopy. Seorang rekan sesama copywriter sempat mengeritik cara saya itu, tetapi dengan santainya saya jawab, “Orang kreatif biasanya melanggar aturan!”

Kita tak akan pernah bisa tahu apakah sesuatu benar adanya tanpa kita pernah berupaya mencari tahu dari sudut pandang yang berbeda, bahkan menantang aturan yang berlaku. Saat saya masih menjadi copywriter di sebuah biro iklan di bilangan Blok M, Jakarta Selatan, saya ketiban akun Danone Biscuits Indonesia. Suatu kali, saya tengah menggarap skrip iklan televisi buat biskuit Tuc Chicken & Cheese dari Danone, sambil mengudap biskuit Oreo rendah kalori produksi Nabisco USA. Kelakuan saya itu mengundang teguran dari managing director biro iklannya yang orang bule dan terkenal amat menyebalkan. Dia bilang, “How can you expect people will believe Danone is good if you otherwise snack on its competitor?” (Bagaimana kamu bisa membuat orang percaya kalau Danone itu bagus bila sebaliknya kamu mengemil produk pesaingnya?)

Dengan santainya, sambil terus menatap layar komputer dan terus mencomot biskuit Oreo dari kemasannya, saya menjawab, “I need to find a good reason why I should switch from this delicious Oreo to Danone that doesn’t taste good at all!” (Saya harus menemukan alasan yang bagus kenapa saya harus beralih dari Oreo yang enak ini ke Danone yang rasanya sama sekali tidak enak!)

Hindari jatuh cinta pada ide, tulis von Oech di halaman 88. “Saya telah melihat orang-orang yang tergila-gila pada pendekatan tertentu, sehingga tidak mampu melihat kebaikan pendekatan alternatif lainnya,” lanjut von Oech. Inilah yang disebut "sapi suci", katanya. Orang takut menantangnya. Sejarah perang dan pemasaran sarat dengan kisah kekalahan akibat penggunaan strategi yang sama berulang-ulang, dan bukannya menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam seni berperang dan teknik pemasaran.

Jawaban yang Benar dan Ikuti Aturan adalah dua dari sepuluh kunci mental yang diajukan Roger von Oech sebagai penyebab terhambatnya berpikir kreatif. Kedelapan kunci mental lainnya adalah:
• Tidak Logis
• Bersikaplah Praktis
• Bermain itu Tidak Penting
• Itu Bukan Bidang Saya
• Jangan Bodoh
• Hindari Ambiguitas
• Melakukan Kesalahan Adalah Keliru
• Saya Tidak Kreatif

Kesemua kunci mental itu dibahas oleh von Oech dengan gaya kocak dan melibatkan partisipasi aktif dari pembaca serta dibubuhi saran-saran untuk membuka kunci-kunci mental tersebut. Namun, tulis von Oech di halaman 21, salah satu anak kunci untuk membuka kunci-kunci itu adalah dengan belajar melepaskannya sejenak—mengosongkan cangkir mental kita. Anda sudah tahu bahwa Facebook merupakan sarana jejaring sosial. Kira-kira, menurut pemikiran kreatif Anda, untuk apa lagi ya Facebook itu, selain "daftar jawaban benar" yang telah disediakan oleh provider? Coba pikirkan deh tanpa hambatan aturan-aturan dan logika. Itu saran von Oech untuk berlatih berpikir kreatif sebelum Anda mendapat pukulan pada pelipis Anda.©


Jakarta, 8 Desember 2008

Sunday, December 7, 2008

Mengukur Syukur

"Tuhan, berilah aku ketenangan untuk menerima hal-hal yang tak dapat ku ubah; keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat ku ubah; dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya"
--Karl Paul Reinhold Niebuhr (1892-1971), Serenity Prayer

"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."
--QS al-Jumu'ah [62]: 10


KAWAN saya mempunyai cita-cita yang nyeleneh sejak remaja. Ia ingin menikah dengan wanita yang berbeda agama darinya. Kawan saya itu beragama Islam. Saya pernah menanyakan dia, bagaimana, seandainya jodohnya beragama Islam juga. "Bukankah urusan jodoh berada di tangan Tuhan?" ujar saya kepada kawan yang sesungguhnya berasal dari keluarga Muslim dan di antara kerabatnya belum pernah terjadi perkawinan antar-agama itu.

Kawan saya itu mengakui kebenaran bahwa jodoh itu diatur oleh Tuhan, tetapi ia yakin pula bahwa Tuhan pun memperkenankan hamba-hambaNya untuk mengubah apa yang dapat diubah. Ketetapan Tuhan, yang kita kenal sebagai takdir, menurut Agus Mustofa dalam bukunya, Mengubah Takdir (Surabaya: Padma Press, 2005), digambarkan oleh dua kata: qadar dan qadla. Kedua-duanya bermakna "ketetapan", tetapi memiliki nuansa yang berbeda. Qadar bermakna ketetapan yang ditentukan sepenuhnya oleh Tuhan, tanpa bisa diganggu gugat. Sedangkan qadla adalah ketetapan Tuhan yang ditentukan berdasarkan usaha tertentu.

Sebagai contoh, saya ambil kawan saya itu. Ia dilahirkan sebagai seorang laki-laki, lahir dari orang tua yang berkebangsaan Indonesia dan beragama Islam. Dia terlahir dengan bentuk fisik dan kemampuan intelektual tertentu, dan seterusnya. Itulah yang disebut qadar, ketetapan Tuhan yang tidak bisa diubah, tidak bisa dipilih oleh yang bersangkutan. Sepenuhnya bergantung pada kehendak dan ketentuan Tuhan dan telah terjadi dalam urutan waktu sebelumnya.

Kawan saya itu akhirnya menikah dengan wanita yang seagama. (Saya menghindari penggunaan kata "seiman", karena iman merupakan urusan hati dan walaupun dua orang satu dalam agama belum tentu kadar imannya sama.) Ia sungguh mencintai wanita itu. Itu kenyataan yang tak sanggup ia ubah. Tetapi ia masih tetap berkeyakinan bahwa apa yang pernah dicita-citakannya semasa remaja bisa terwujud. Ia berani mengubah apa yang dapat ia ubah: dirinyalah yang kemudian mengganti agamanya. Istrinya, yang mampu bersikap sabar dan tawakal terhadap keputusan suaminya, bisa menerimanya, karena sang istri yakin Tuhan yang disembah umat berbagai agama pada hakikatnya Tunggal adanya. Hingga kini rumah tangga kawan saya itu tetap harmonis, yang bagi saya merupakan bukti bahwa Tuhan memperkenankan kehendakNya diubah oleh ciptaanNya.

Meskipun seseorang terlahir dengan tidak bisa memilih kondisinya sendiri, lanjut Agus Mustofa, bukan berarti qadar terjadi tanpa melibatkan hukum sebab-akibat (istilah Buddhisme-nya pattica sammupada). Qadar adalah takdir Tuhan atas peristiwa-peristiwa sebelumnya, yang dilakukan oleh orang tua kita, atau orang lain. Yang berusaha adalah orang tua kita, dipadu dengan berbagai faktor penyebabnya, hasilnya adalah takdir kita. Jadi, tandas Agus Mustofa, qadar adalah takdir Tuhan yang usahanya tidak melibatkan kita. Kita tinggal menerima saja...

Tetapi manusia hakikatnya diberi kebebasan untuk mengubah qadar menjadi takdir, yaitu lewat usaha. Qadar adalah ketetapan awal berupa kapasitas. Qadla adalah usaha. Pada benda mati, takdir Tuhan hanya berupa kapasitas. Sekarang Anda rasakan sendiri, deh: Anda benda mati atau bukan?

Mengubah apa pun yang bisa diubah membutuhkan usaha dan keberanian untuk berusaha. Upaya mengubah sama sekali bukan anti-tesis dari sikap bersyukur. Kata "syukur", jelas HM Asjwadie Sjukur Lc., dalam Ilmu Tasawwuf Jilid 2 (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979), berarti "berterima kasih". Hakikat syukur ialah pengakuan terhadap nikmat yang telah diberikan kepada kita yang dibuktikan dengan segala usaha kita untuk menemukannya dalam hidup ini.

Bukankah Tuhan yang menentukan hasil akhirnya? Memang benar demikian. Tetapi bagaimana kita akan bisa tahu bila kita tidak menggerakkan usaha apa pun dalam rangka mewujudkan apa pun yang ingin kita capai atau ubah? Acap kali bila kita gagal kita cenderung menganggap bahwa apa yang kita kehendaki itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, dan sikap (yang dianggap) tepat yang mesti kita ambil adalah pasrah menerima kenyataan. Anggapan dan sikap itu sama sekali keliru. Utamanya karena kita mematok waktu. Jika dalam 10 tahun bisnis kita tidak berkembang, kita lantas menganggap bahwa bisnis itu tidak tepat bagi kita--dan kita anggap bahwa itulah nasib yang Tuhan tetapkan. Padahal Tuhan sendiri tidak dibatasi ruang dan waktu.

Waktu adalah ilusi, yang bahkan tidak menjadi perhatian saat kita sibuk berikhtiar untuk mewujudkan cita-cita. Tahu-tahu, sudah terwujud. Ikhtiar jangan sampai dibatasi target waktu dan ruang. Berapa pun masa yang berlalu, bila kita tetap pada jalur usaha kita, pada akhirnya akan mewujud.

Kisah kawan saya tersebut di muka barangkali merupakan contoh yang ekstrem dari sikap bersyukur. Kita selalu saja menganggap bahwa syukur itu bisa diukur dari derajat penerimaan seseorang terhadap apa pun yang diterimanya, tanpa pandang bulu, tanpa sikap kritis dan kreatif (ijtihad). Padahal tidak demikian halnya. Kita boleh mengubah apa pun ketetapan Tuhan yang dapat diubah. Bukan sekadar mengubah paradigma terhadap keadaan yang kita alami--misalnya, ekspresi gagal itu adalah sukses yang tertunda--tetapi kita bahkan akan diberi jalan oleh Tuhan untuk mengubah arah dan tujuan hidup kita. Bukankah sesungguhnya Tuhan tidak mengubah keadaan sesuatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri?

Mengubah apa pun yang telah menjadi ketetapanNya bukan berarti tidak mensyukuri. Ada ketetapanNya yang memang tak dapat diubah, yaitu yang disebut preseden (ketetapan terdahulu), seperti kenyataan bahwa kita tidak bisa hidup di dalam air, karena tubuh kita tidak dilengkapi mekanisme untuk bernapas di dalam air sebagaimana halnya ikan. Atau kebenaran ilmiah bahwa matahari merupakan pusat tata surya kita. Itu semua tak dapat diubah.

Namun ada banyak hal dalam hidup kita yang bisa diubah, bila kita menghendaki pertambahan nilai atasnya, atau merasa bahwa kita bisa lebih baik lagi. Tindakan itu bukan berarti tidak mensyukuri, melainkan malah menambah nilai dari ketetapan Tuhan. Kita memiliki presedenNya bahwa pada diri kita terkandung potensi yang berlimpah. Seringkali kita tidak menyadari keberlimpahan potensi yang kita miliki.

Pengalaman saya menuturkan, diri saya bermuatan potensi untuk menuangkan gagasan ke dalam tulisan sebagai media penyampai pesan, sehingga saya pun menjadi penulis naskah iklan. Seiring perjalanan waktu, di mana saya berpapasan dengan pelbagai pengalaman yang mengajarkan saya tentang dunia komunikasi pemasaran yang tidak terbatas pada periklanan saja, saya mencoba merengkuh bidang-bidang lainnya yang masih berada di dalam lingkup industri komunikasi. Alhasil, sejumlah potensi, yang belakangan baru saya ketahui bahwa saya memilikinya, mendapat kesempatan untuk diaktualisasi. Hal itulah yang mendorong saya untuk menjangkau wilayah di luar keahlian profesional yang telah saya geluti selama hampir 15 tahun. Sebagian rekan maupun kerabat menganggap saya tidak mensyukuri nikmat yang saya peroleh dengan menjadi copywriter. Sedangkan saya merasa, bahwa orang yang tidak mengaktualisasi potensi-potensi yang dimilikinyalah yang tidak mensyukuri nikmat Tuhan.

Bila kita tidak memiliki keberanian untuk mengubah apa yang dapat kita ubah--karena khawatir "salah arah", takut terhadap sikap negatif masyarakat, cemas bilamana tindakan itu malah menimbulkan penderitaan--sesungguhnya kita tidak mengakui kebenaran karunia Tuhan, tidak mensyukuri nikmatNya yang terhampar di sekitar kita. Menyia-siakan segala macam kenikmatan di muka bumi berarti tidak mensyukuri segala nikmat Tuhan. Keberanian untuk mengubah apa yang dapat kita ubah itulah tolok untuk mengukur syukur.©



Jakarta, 7 Desember 2008

Wednesday, November 26, 2008

Pekerjaan Paling Berat di Dunia

"...Nilai seorang manusia bergantung pada apa yang dia berikan, bukan atas apa yang dia terima..."
--Albert Einstein


PEKERJAAN apa yang paling berat di dunia? Bahkan pekerjaan sebagai kuli bongkar-muat di pelabuhan tidak juga bisa mengalahkan beratnya pekerjaan ini. Kalau menurut kapasitas Anda, pekerjaan Andalah yang paling berat, saya yakin bebannya masih kalah dari beban pekerjaan yang saya maksud.

Menurut pengalaman kawan saya baru-baru ini, pekerjaan yang paling berat di dunia ternyata adalah memberi-dan-memberi kebermanfaatan kita bagi orang lain apabila kita tidak terbiasa, dan selalu mengharapkan balasan untuk setiap pengerahan sebagian dari dari apa yang kita miliki. Bukan memberinya itu sendiri yang berat, melainkan upaya menumbuhkan sikap mental dalam diri kita untuk senantiasa merasa tulus dan ikhlas dalam memberi sebagian dari kelebihan kita--tanpa harus menguntungkan diri kita, apakah itu harta, ilmu, waktu atau pun tenaga, bagi orang lain yang kekurangan.

Pekerjaan ini berat tetapi pekerja sebaiknya tidak mengharapkan upah. Jika si pekerjanya berpamrih, berharap mendapat balasan yang sepadan di kemudian hari, ia akan merasa ringan ketika melakukan pekerjaan itu tetapi keberatan belakangan, karena biasanya imbalannya tidak sesuai harapannya. Kebanyakan orang, paling tidak, mengharapkan pujian atas tindakannya memberi kepada orang lain, sehingga cenderung menampakkan hal itu. Jika hal itu tidak terpenuhi, biasanya mereka kapok memberi di kemudian hari.

Yang akan saya ceritakan berikut ini adalah pengalaman Yudha (bukan nama sebenarnya), salah seorang kawan, mitra kerja dan saudara Subud saya, persis seperti yang ia tuturkan ke saya, sekadar untuk menggambarkan betapa beratnya pekerjaan memberi-dan-memberi itu--dalam kapasitas Yudha, tentu saja.

Sekitar satu setengah jam setelah Yudha tiba di rumah dari Latihan Kejiwaan di S. Widjojo Centre pada 19 Februari 2008, ia mendapat kunjungan dari seorang kawan satu sekolah waktu SMP dan SMA, yang bernama Latief (juga bukan nama sebenarnya). Sudah lama sekali Yudha tidak bersua dengannya, sehingga Yudha sempat pangling, siapakah gerangan dia. Yudha juga bertanya-tanya dalam hati, kenapa pula Latief mengunjunginya, mengingat bahwa semasa SMP dan SMA dahulu Yudha tidak akrab dengan dia; Latief tergolong murid pintar se-SMP Negeri xxx Jakarta Selatan, sedangkan Yudha selalu masuk ranking terakhir di kelas. Semasa SMP, Latief digandrungi cewek, sementara Yudha melulu disandungi masalah cewek. Pendek kata, Yudha tidak termasuk dalam lingkaran pergaulan Latief.

Setelah saling tanya kabar, bercerita tentang perjalanan hidup masing-masing selepas pendidikan menengah, Latief menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke rumah Yudha. Ternyata seperti yang Yudha duga sebelumnya--perbedaan dunia pergaulan mereka semasa sekolah seperti yang saya ceritakan di atas membuat Yudha sudah syak sejak Latief datang ke rumahnya malam itu; pasti masalah keuangan. Latief kehabisan uang untuk pulang ke Tasikmalaya buat mengunjungi anak-istrinya, yang telah ditinggalkannya selama hampir empat bulan untuk mencari nafkah di Bogor. Usaha beternak ayam potong di kawasan Megamendung yang dirintisnya bersama seorang mitra jatuh pailit setelah sang mitra kabur, meninggalkan utang ke bank sebesar Rp 120 juta, yang mengakibatkan penyitaan atas aset-aset peternakan itu.

Kisah yang dituturkan Latief terdengar klise bagi Yudha, tetapi, bagaimanapun, dari sinilah dimulai pekerjaan yang paling berat di dunia itu. Apa pun alasannya, Yudha harus memberi Latief. Jangankan uang, memberi nasihat saja bagi Yudha terasa berat, karena dengan memberi nasihat ia akan memikul beban moral untuk melakoni apa yang ia nasihatkan ke orang lain. Contohnya, adalah konyol bila dia menasihati orang agar tidak merokok, sementara dia sendiri menghabiskan sebungkus rokok dalam sehari--makanya, Yudha menolak untuk mengerjakan kampanye iklan layanan masyarakat anti-rokok, karena akan terkesan munafik.

Latief minta uang untuk ongkos pulang ke kampung halaman istrinya, seberapa pun sanggupnya Yudha. Si Setan Beban memberati diri Yudha, betapa pun ia berusaha melawannya. Yudha duduk diam, agak lemas, di kursi di ruang tamu rumahnya di mana ia menemui Latief. Yudha sebal dengan dirinya sendiri, kok susah banget bersikap spontan dalam memberi respons segera untuk menyisihkan sebagian hartanya buat orang yang membutuhkannya.

Di tengah-tengah Yudha menceritakan pengalamannya itu, ingatan saya melayang ke saat ketika saya bertemu Pak Wito, seorang anggota Subud Yogya, yang saya kunjungi bersama saudara-saudara Subud dari Jakarta seminggu setelah gempa bumi melanda Yogya pada Mei 2006. Rumah beliau rata dengan tanah dan beliau sendiri luka-luka, tetapi beliau menyambut musibah itu dengan suka cita, berterima kasih kepada Tuhan atas nikmat yang diberikanNya. Meski kedukaan baru saja menimpa beliau, tetapi beliau malah "menyedekahkan" kesukacitaan kepada saudara-saudara Subud yang datang berkunjung dengan keprihatinan mendalam tergambar pada wajah masing-masing. Membagi kegembiraan juga merupakan perwujudan dari sikap memberi-dan-memberi. Hebatnya, dalam kasus Pak Wito: yang melipur lara orang yang merasa berduka atas nasib korban adalah korban sendiri, bukan sebaliknya!

Setiap kali saya menjadi saksi langsung atas pancaran kebaikan semacam itu muncul pertanyaan-pertanyaan berikut di benak saya: Kok bisa ya orang sedemikian ikhlas melayani sesamanya? Kok tampak (dan terasa) tidak terbebani sama sekali? Apa kiatnya?

Permenungan kilat yang saya lakukan sambil mendengarkan kisah Yudha diakhiri oleh gaung pernyataan Kazuo Murakami, Ph.D. perihal sikap memberi-dan-memberi, di kepala saya. Dalam bukunya, The Divine Message of the DNA -- Tuhan Dalam Gen Kita ( Bandung : Mizan, 2007), hlm. 99-100, Murakami menulis:

"[S]aya telah membuktikan bahwa memberi-dan-memberi ternyata lebih tepat. Jika Anda ingin menyalakan gen Anda, sikap memberi-dan-memberi jauh lebih efektif. Memberi-dan-memberi berarti bahwa ketika saya memberikan sesuatu, saya akan mendapatkan sesuatu sebagai balasannya. Tetapi jika Anda memikirkannya, kebanyakan 'balasan' adalah hal-hal yang tidak perlu dibesar-besarkan; biasanya mereka hanyalah hasil alami, seperti mendapatkan tiket kereta ketika Anda memasukkan uang ke dalam mesin penjualan tiket. Kita menerima balasan yang terbesar dari Sang Pencipta. Sebaiknya, kita menghadapi kehidupan dengan sikap 'memberi-dan-memberi'."

Secara fisik, Yudha tidak termasuk kelas berat seperti halnya saya, tetapi toh dia susah bangun dari kursi yang didudukinya. Yang membuatnya susah bangun bukanlah berat badannya, melainkan sulitnya bersikap ikhlas "memberi-dan-memberi". Makanya, Yudha memohon kepada Tuhan agar diberi kekuatan melawan si Setan Beban. Suara dirinya berbisik, "Ingat kata-kata orang bijak, 'Hadiah terindah dari Allah bagi orang yang beriman adalah pengemis yang berdiri di depan pintu rumahnya'." Saat itulah, Yudha mampu bangkit dari kursi dan meninggalkan Latief sejenak di ruang tamu untuk mengambil uang di dompet yang ditaruh Yudha di kamarnya. Begitu dompet ia buka, menyembul selembar uang kertas Rp 50 ribu--dan itu satu-satunya uang yang tersisa di dompet Yudha. Si Setan Beban muncul kembali, menjadikan memberi-dan-memberi lagi-lagi merupakan pekerjaan paling berat di dunia. Untuk melawan si Setan Beban, Yudha buru-buru membawa uang itu ke Latief. "Setelah dia menerimanya, lepaslah beban itu, apalagi setelah dia mohon diri," kisah Yudha dengan bersemangat kepada saya.

Sepeninggal kawannya itu, Yudha melakukan permenungan lagi di kamarnya. Kejadian Selasa malam itu merupakan ujian sesungguhnya bagi penyerahan dirinya yang merupakan prasyarat dalam Latihan Kejiwaan Subud; bahwa berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal bukan semata niat dalam hati. Kisah yang diceritakan Yudha itu memberi saya pelajaran, bahwa secuil keikhlasan saja bisa meringankan pekerjaan paling berat di dunia.©



Jakarta, 26 November 2008

Tuesday, November 25, 2008

Pertolongan Pertama

"Jangan tinggal di masa lalu, jangan memimpikan masa depan, konsentrasikan pikiran pada saat ini."
--Buddha Gautama


SALAH seorang bibi saya adalah seorang dokter yang pernah bertugas di sebuah kampung di provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kampung itu begitu terpencilnya, sehingga sulit diakses bantuan obat-obatan. Bibi saya pun praktik medis di sana berbekal ilmu "tanggap darurat" yang dipelajarinya di fakultas kedokteran; cara-cara untuk memberi pertolongan pertama yang sepintas bisa dianggap tidak biasa dari kacamata ilmu kedokteran modern. Selain berbekal ilmu tersebut, beliau juga memperoleh pengalaman dalam hal mengatasi penyakit-penyakit tertentu dengan metode tradisional yang telah diterapkan penduduk setempat dari generasi ke generasi. Dari sudut pandang layanan medis profesional, mungkin bibi saya itu bisa dianggap melakukan malpraktik. Tetapi dari sisi pertimbangan moral, dalam menghadapi kasus-kasus medis yang membutuhkan penanganan segera, tidak ada kata "nanti" atau "tunggu bantuan dari pusat" dalam kamus beliau.

Banyak hal dalam kehidupan kita tidak jarang membutuhkan penanganan segera. Ibarat setitik api jika dibiarkan akan menjadi besar dan mengancam jiwa kita, persoalan-persoalan dalam kehidupan sosial kita pun seyogianya tidak dibiarkan berlarut-larut tanpa penanganan yang cepat dan tepat. Penundaan dalam penyelesaiannya hanya akan menimbulkan persoalan baru.

Penyelenggaraan organisasi merupakan salah satu dari sekian banyak bidang kehidupan sosial yang kerap menghadapi persoalan yang berdimensi pertikaian. Adalah wajar jika kita sesekali bertikai, karena toh kita masing-masing mempunyai kepentingan, kebutuhan dan keinginan yang tidak mungkin diseragamkan. Yang tidak wajar adalah jika pertikaian itu menjadi berlarut-larut, lalu membesar dan meluas karena masing-masing pihak yang bertikai mulai mencari dukungan. Organisasi semacam ini biasanya diketuai oleh orang yang tidak memiliki kemampuan memimpin dan kewibawaan yang mampu mengayomi anggota. Ia cenderung menyelamatkan dirinya sendiri, menghindari penyelesaian masalah segera dengan berlindung di balik AD/ART. Biasanya, ia hanya bisa mengatakan--yang saking klisenya hingga sulit untuk dianggap sebagai pernyataan diplomatis: "Nanti saja, pas musyawarah nasional kita selesaikan masalah ini." Bila Anda kebetulan ketua organisasi tipe ini, belajarlah sebanyak-banyaknya dari para dokter UGD (unit gawat darurat), dinas pemadam kebakaran, komandan pasukan tempur, pilot, atau siapa pun yang tidak mengenal kata "nanti" dalam kamus profesi mereka ketika menghadapi persoalan.

Inti dari semua ini adalah senantiasa belajar dari kehidupan. Persoalan datang tanpa pernah mengetuk pintu terlebih dahulu, sehingga kita perlu selalu siap untuk menyambutnya dalam keadaan apa pun. Oleh karena itu, belajar sebanyak-banyaknya akan menyediakan bagi kita himpunan solusi kreatif atas segala masalah.

Saya pernah bekerja pada sebuah biro iklan di Surabaya yang presiden-direkturnya berlatar belakang pendidikan kedokteran, tetapi belum pernah praktik, apalagi di UGD. Sang Presdir acapkali memerlukan proses yang bertele-tele bahkan dalam penyelesaian masalah genting yang dihadapi perusahaan. Sedangkan saya, selaku creative director, dan kawan saya yang menjadi general manager biro iklan tersebut, karena lama menggeluti bidang kreatif, yang mengajarkan kami untuk memberikan solusi "lain daripada yang lain", cenderung berpikir dan bertindak secara lateral. Dalam rapat manajemen sang Presdir memerintahkan kepada kami runtutan langkah yang harus kami tempuh secara berurutan. Karena ia jarang sekali terlibat langsung dalam operasional perusahaan, dan jarang pula berada di kantor, maka saya dan general manager memasukkan langkah-langkah runtun-vertikal itu ke dalam tong sampah di pikiran kami dan menempuh cara kami sendiri: penyelesaian masalah secara lateral.

Penyelesaian masalah secara lateral memberi tekanan pada skala prioritas; dahulukan yang paling mendesak untuk diselesaikan. Itu membutuhkan kecermatan kita dalam memilih serta pertimbangan yang ekstra cepat, karena keputusan harus segera diambil. Keliru dalam menetapkan prioritas bisa mengakibatkan masalah yang sesungguhnya mendesak untuk diselesaikan semakin membesar intensitasnya, lalu menghambat langkah-langkah penyelesaian lainnya. Latihan Taekwondo saya selama dua puluh tahun amat membantu dalam hal ini; dalam pertarungan bebas, para taekwondoin dituntut untuk memutuskan dalam hitungan detik tangkisan/serangan apa yang harus dilancarkannya dalam menghadapi tangkisan/serangan lawan; terlambat satu detik saja bisa mengakibatkan kaki lawan bersarang di rahang Anda sebelum Anda sempat menyadarinya. Tetapi bukan pertarungan itu sendiri yang memberi saya kemampuan mengambil keputusan dalam sekejap. Di Taekwondo, seperti halnya dengan bentuk-bentuk seni bela diri lain, terdapat latihan meditasi (zazen joonbi) yang bertujuan untuk memantapkan pikiran pada apa yang bakal kita kerjakan, dan bukannya memikirkan hal-hal lain yang tidak relevan.

Kini, agresivitas saya sudah menurun, sehingga saya tidak lagi terlalu bergantung pada pengalaman saya sebagai taekwondoin, dan menggantinya dengan Latihan Kejiwaan, yang fleksibel dengan kondisi fisik dan pertumbuhan mental saya.

Perilaku menunda-nunda perbuatan yang berlandaskan kebaikan tampaknya tidak mengalami penundaan ketika merembes ke dalam pola kebiasaan hidup kita sehari-hari. Kebanyakan kita berpikir untuk jadi kaya dahulu untuk bersedekah; menantikan jabatan dahulu untuk berbuat bagi kemaslahatan banyak orang; menunggu kemarahan orang lain reda dahulu sebelum kita minta maaf; menunggu tua dahulu sebelum berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan; dan "nanti-nanti" lainnya. Di lingkungan sebuah organisasi masyarakat, saya pernah melontarkan isu bahwa saya akan mencalonkan diri menjadi ketua pada kongres organisasi tahun 2009 mendatang. Reaksi yang muncul sesuai dengan yang sudah saya perkirakan sebelumnya: tudingan, baik langsung maupun tidak langsung, bahwa saya ambisius dengan jabatan struktural di keorganisasian segera menerpa saya. Sambil tertawa, saya merespons, "Tanpa jadi Ketua aja gue bisa minta pertolongan Tuhan untuk mengajak anggota bekerja sama, memberdayakan diri mereka. Ngapain nunggu tahun 2009, sekarang aja bisa kok!" Latihan Kejiwaan Subud memampukan saya untuk memimpin diri sendiri (self-leading), dan kata Philip Massinger, yang dikutip Stephen Covey pada halaman 97 dari bukunya, The 8th Habit -- Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan (Jakarta: Gramedia, 2005), "Siapa pun yang ingin memimpin orang lain pertama-tama harus menguasai dirinya sendiri."

Mudah-mudahan muatan tulisan ini ada manfaatnya bagi Anda. Bila tidak, segera hapus saja dari pikiran Anda. Jangan menunggu lain waktu!©



Jakarta, 26 November 2008

Monday, November 24, 2008

Kiamat Agama

Dua orang darwis (murid tarekat Sufi) berdebat soal "kebenaran". Karena tidak mencapai titik temu yang memuaskan, keduanya pun menghadap syekh mursyid (guru). Darwis A bilang, "Syekh, menurut saya, kalau mau mendekatkan diri kepada Allah yang benar itu: cukup berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal." Mursyid menjawab, "Ya, kamu benar!"

Tetapi Darwis B membantah, "Syekh, menurut saya itu salah! Kalau kita mau mendekat kepada Allah, kita harus berikhtiar dengan sangat keras, melalui salat, zikir, puasa dan berzakat!" Mursyid pun menjawab, "Ya, kamu pun benar!"

Darwis lain yang ikut mendengarkan merasa bingung dengan sikap mursyid yang membenarkan kedua pendapat itu dan berkata, "Tidak mungkin kan keduanya benar, Syekh?!" Mursyid menjawab dengan tenang, "Ya, kamu pun benar!"

Dari kisah anekdotal yang saya kutip dari buku Christina Feldman dan Jack Kornfield, Menghidupkan Kebenaran Kita: Kisah-Kisah Spirit, Kisah-Kisah Batin--Parabel tentang Jalan Spiritual dari Seluruh Dunia (Pustaka Karaniya, 2003) ini saya menangkap pemahaman bahwa kebenaran itu sangat personal sifatnya. Di dunia spiritual, kebenaran masuk dalam tataran "esoterik", yang dalam bahasa ilmiahnya bersinonim dengan "subyektif". Kebenaran itu bukan ini, bukan itu, melainkan apa yang masing-masing dari kita menerimanya!

Hanya di jalan spirituallah saya menemukan ajang untuk perbedaan pendapat dan "diabsahkan" dengan landasan pemahaman, bahwa semua itu berasal dari Tuhan dan kembali kepadanya. Para anggota Subud cukup merasakan saja suatu pernyataan pendapat dan tidak perlu dipermasalahkan panjang-lebar, yang cuma membuang-buang waktu dan tenaga, bahkan menghambat tumbuh-kembang spiritualitas mereka.

Tetapi di ranah agama yang cenderung legalistik, perbedaan pendapat merupakan dosa dan dianggap bid'ah. Perbedaan pendapat, pandangan, tata cara hukum/syari'at, bahkan dalam soal hakikat ketuhanan pada berbagai agama, secara eksternal (antar agama) maupun internal (antar umat dalam satu agama) tak jarang menimbulkan konflik dan pertumpahan darah. Padahal siapa/apakah Tuhan itu sendiri kita semua belum bisa mencapai pemahaman final. Untuk tujuan yang acap dianggap tidak rasional--misalnya, "membela nama Tuhan"--nyawa banyak manusia bisa dianggap tidak ada artinya. Inilah yang diangkat Sam Harris melalui bukunya, The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason (New York: W.W. Norton, 2004)--sudah tersedia terjemahan bahasa Indonesianya, Terbenamnya Iman: Agama, Teror, Dan Masa Depan Nalar (Abdi Tandur, 2007).

Di dalam buku yang mengundang reaksi keras dari kalangan agamawan, Harris "membantai habis" umat Muslim, Yahudi, Hindu dan Kristen. Umat keempat agama ini dianggap Harris menyembah Tuhan imajiner, menjalankan ajaran dan metode ketaatan yang tidak rasional dan suka menggunakan nalar untuk mencapai cita-cita religiusitas yang tidak masuk akal. Seorang anak muda yang mengaku mendapat sinyal-sinyal dari alien yang menunjuknya sebagai "pewarta kebenaran" atau penerima wahyu dianggap gila! Tetapi, sebaliknya, pejuang Palestina yang meledakkan dirinya bersama puluhan anak-anak tidak berdosa di Israel malah dipuja sebagai pahlawan dan Al Qur'an menjanjikan bidadari yang akan menyambutnya di pintu surga. "Ini lebih gila (insane) daripada anak muda yang mengaku mendapat wahyu dari alien!" kata Harris.

Dalam buku ini Sam Harris menyampaikan analisisnya yang sangat mengejutkan tentang pertentangan (clash) antara nalar dan agama di dunia modern. Buku yang mulai ditulisnya sehari setelah WTC New York rata dengan tanah pada 11 September 2001 ini mengajak pembaca untuk menyusuri perjalanan sejarah dari kesediaan manusia untuk mengabaikan nalar yang rasional demi agama--bahkan walaupun agama-agama tersebut memberi inspirasi kepada tindak kekerasan dan pembunuhan.

Membaca bab-bab awal (dari tujuh bab) kita akan mendapat kesan bahwa Sam Harris adalah seorang atheis. Tetapi memasuki Bab 7 barulah kita akan mengerti bahwa sarjana filsafat dari Stanford yang selama 20 tahun mempelajari berbagai tradisi relijius serta disiplin spiritual dari Timur dan Barat ini merupakan seorang agnostik. Dia mengakui pada epilog buku ini, bahwa dia memuji Buddhisme, yang dalam manuskrip-manuskripnya memberi tekanan kepada cinta kasih dan perdamaian. Harris sendiri melakoni meditasi Zen, yang disukainya karena "tidak mengatur-atur bagaimana seseorang menjalani hidupnya". Dalam Bab 7 juga dikemukakannya bahwa kini saatnya agama harus diakhiri, dan spiritualitas dimulai. (Ingat pernyataan John Naisbitt, "Spirituality yes, organized religion no!"?) Dia berusaha membuka insight pembaca dari sudut pandang neuroscience, filsafat dan mistikisme dunia Timur untuk menyampaikan bahwa masyarakat membutuhkan pondasi modern bagi etika dan spiritualitas yang bersifat sekuler dan humanistik.

F. Budi Hardiman dalam tulisannya di Kompas, 5 April 2007, berjudul "Agama dalam Ruang Publik", mengatakan bahwa masyarakat Barat menerapkan sekularisme sebagai suatu cara untuk mengakhiri absolutisme agama dan konflik-konflik agama. Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir-nya yang bertajuk "Pagoda" di Tempo, 1 April 2007, juga mengungkap kerisauan yang kurang lebih sama dengan F. Budi Hardiman. Agama, tulis Goenawan, dimulai dengan senyap, hening dan sebuah saat yang dahsyat, juga gemetar, rasa kasih dan ngeri, serta amor dan horor. Tetapi kini, agama menjadi terkonstruksi, tak lagi senyap. Agama kini identik dengan bangunan, simbol dan sikap (maksudnya sikap memamerkan relijiusitas melalui penampilan berpakaian; seseorang diragukan keislamannya bila tidak tampak seperti orang Timur Tengah: jenggot, jubah, kopiah).

Menurut hemat saya, baik Harris maupun umat Islam skripturalis (yang berpedoman pada ayat-ayat kitab suci tanpa memahami maknanya) tidak sepenuhnya memahami bahwa kajian Islam itu memerlukan pikiran yang terbuka dan wawasan yang sangat luas dan mendalam. Harris tampaknya tidak tahu bahwa di Indonesia terdapat komunitas Islam Kejawen yang mengajarkan compassion dan surrender serta hakikat bahwa semua manusia bersaudara. Harris tampaknya tidak tahu tentang banyaknya mazhab syari'at dan fikih di dalam Islam, yang agaknya juga menjadi salah satu penyebab timbulnya pertentangan antar umat Islam, semata karena umat mazhab Syafii yang dominan di Indonesia tidak mengerti eksistensi mazhab lainnya sehingga serta-merta memusuhi mereka. Dalam hal ini, tampak bahwa yang memporakporandakan kedamaian umat beragama adalah hukum-hukum--yang dipandang Sam Harris tidak bisa berjalan seiring dengan perkembangan zaman serta tidak rasional. Mengenai hal ini Goenawan mengatakan:

"Sebenarnya agama pernah dimaksudkan untuk membebaskan kita dari [hasrat akan milik dan milik atas hasrat]. Tapi apa lacur: agama, yang bermula pada senyap dan berakhir dengan konstruksi, juga akhirnya hanya jadi simtom sebuah kerisauan: merasa diri subyek yang utuh dan permanen, orang-orang beragama tak henti-hentinya berusaha menaklukkan ruang-dan-waktu, merampat yang-lain di dalam dan di luar diri. Itu terutama terjadi ketika konstruksi, bukan sepi, mengambil alih--dan tak hanya berupa masjid dan candi, tapi juga lembaga dan hukum-hukum."

Gerakan New Age yang bangkit di Barat pada tahun 1970an sebenarnya merupakan upaya untuk memanusiakan manusia (manusia sebagai pribadi (inside-out), bukan sebagai sekumpulan obyek dari eksploitasi segala sesuatu di luar dirinya(outside-in)). Tetapi gerakan ini menemui jalan buntu, karena pelakunya--yang belum mau menyelami kediriannya--bergantung kepada "luar diri"; mereka mengonsumsi narkoba untuk mencapai ekstase [pseudo-]spiritual, misalnya.

Sejumlah agama kini satu per satu ditinggalkan umatnya, di dunia Barat maupun Timur, hanya karena tidak mampu relevan. Manusia cuma dianggap sebagai robot yang tidak punya hasrat, nilai dan visi. Kalau kita tidak bisa menghargai kebenaran manusia lain, dan malah memaksakan kebenaran kita sendiri, matilah kita![]



Jakarta, 25 November 2008