Sunday, April 14, 2024

Gerakan Kesadaran

AKADEMISI yang awam Subud menggelari Subud sebagai “gerakan spiritual” atau “gerakan mistik”. Saya pribadi merasa Subud lebih tepat disebut “gerakan kesadaran”. Karena, ketika dibuka di Subud, saya tiba-tiba menyadari keberadaan saya dalam hidup dan kehidupan saya. Tanpa saya menghendaki, tiba-tiba segala sesuatu pada diri saya maupun di luar keberadaan saya memiliki makna.

Wikipedia menyebut kesadaran identik dengan pikiran. Di masa lalu, kesadaran adalah kehidupan batin seseorang, dunia introspeksi, pemikiran pribadi, imajinasi dan kemauan. Sedangkan di hari ini, sering kali mencakup beberapa jenis pengalaman, kognisi, perasaan atau persepsi.

Bapak kerap menyebut “kesadaran” dalam sejumlah ceramah beliau. Dalam ceramah di Singapura, 24 Februari 1963, Bapak menyatakan: “...Tuhan menghendaki, agar kita dapat menerima apa yang telah diberikan kepada kita dengan kesadaran rasa diri. Artinya, dengan kesadaran jiwa, dengan kesadaran rasa yang mulai dibersihkan.” Dan lagi dalam ceramah di Miami, Amerika Serikat, 31 Juli 1969: “Dan apabila ini saudara, jiwa saudara telah terlatih, jiwa inilah nanti yang mengarungi, yang menjadi wadahnya pengertian kita. Jadi, pengertian saudara, kesadaran saudara, bewustzijn (Belanda: kesadaran) saudara waktu hidupnya di dunia, ini terbawa oleh jiwa. Terbawa.”

Mengenai kesadaran, Bapak mengacu pada pengetahuan atau pengertian kita. Tergambar pada cuplikan ceramah di Rio de Janeiro, Brazil, 13 Agustus 1969, berikut: “Jadi, jiwa itu adalah pengertian dan pengetahuan dan kesadaran, pribadi saudara. Dan kesadaran kepribadian saudara dan pengertian saudara itu adalah tingkat-tingkatan. Kalau pengertian kepribadian saudara itu masih bertingkat, umpama saja, kebendaan, ya saudara tidak akan lebih daripada itu. Artinya, saudara tidak akan, nanti kalau andaikata mati begitu, tidak akan dapat meninggalkan dunia ini; tidak dapat.” Simak pula cuplikan ceramah Bapak di Coombe Springs, Inggris, 13 Agustus 1959, ini: “Kita perlu berjalan dan bertindak dengan keadaan yang tidak perlu tergesa-gesa, tidak perlu dengan nafsu, akal-fikiran, tetapi dengan kesadaran.”

Cuplikan terakhir ini mengingatkan saya pada parabel yang dikemukakan Robert Frager dalam bukunya, Hati, Diri & Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi (Jakarta: Serambi, 1999). Frager, yang seorang syekh mursyid tarekat Sufi al-Jerahi dan profesor psikologi pada Institute of Transpersonal Psychology di California, AS, mengisahkan seorang pria yang ingin belajar tasawuf pada seorang sufi yang bertapa di pegunungan. Di bawah guyuran hujan, si pria, dengan berpayung dan membawa tongkat, mendaki gunung menuju pertapaan sang sufi.

Di ambang pintu gubuk yang merupakan pertapaan sang sufi, si pria menyandarkan payung dan tongkat pada masing-masing sisi pintu—payung di sisi kiri, dan tongkat di sisi kanan—sebelum ia mengetuk pintu. Sang sufi menyambutnya dan mempersilakan si pria masuk. Si pria menyatakan keinginannya untuk berguru pada sang sufi dalam mempelajari ilmu tasawuf.

“Tasawuf itu dasarnya hanya satu,” kata sang sufi. “Kamu hanya perlu sadar!”

“Saya sadar sepenuhnya,” jawab si pria.

“Benarkah?” ucap sang sufi, meragukan jawaban si pria. “Coba kamu beritahu saya, di mana kamu taruh payung dan tongkatmu?”

Si pria dengan sigap menjawab, “Saya taruh di samping pintu tadi!”

“Di sini mana dari pintu kamu sandarkan payungmu dan di sisi mana pula kamu sandarÄ·an tongkatmu?” desak sang sufi.

Si pria terkejut dan lemas. Ia tak ingat detailnya. Sang sufi tersenyum dan dengan lembut ia menyuruh si pria pulang sambil berpesan, “Kamu tahu, kamu ingat, tapi kamu rupanya tidak sadar. Latih dulu kesadaranmu, saudaraku.”

Ada pula cerita Buddha Gautama mengenai kesadaran. Suatu hari, Buddha Gautama ditanya seseorang mengenai apa yang beliau dan para pengikut beliau lakukan. “Kami makan, minum, bekerja, tidur, berkeluarga—“

“Lho, itu kan sama saja dengan kita semua,” komentar si penanya.

“Berbeda! Kami melakukannya dengan sadar,” jawab Buddha Gautama.

Dari cuplikan-cuplikan ceramah Bapak, parabel dari Robert Frager dan kisah Buddha Gautama di atas, saya rasa yang dimaksud dengan “kesadaran” adalah perhatian penuh. Tahu dan ingat belum tentu membuat seseorang sadar akan tindakannya, tetapi kesadaran sudah pasti membuat orang tahu dan ingat. Inilah yang diperoleh seorang pelatih kejiwaan, dan karena itulah Subud sejatinya adalah gerakan kesadaran.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, dan Burger King Cinere, Depok, 15 April 2024

Sunday, April 7, 2024

Apakah Perlu Masuk Subud?

BEBERAPA tahun lalu, seorang pembantu pelatih (PP) Subud Cabang Jakarta Selatan mengundang saya ke rumahnya. Dia meminta bantuan saya untuk berbicara dengan anaknya. Si anak, bungsu dari dua bersaudara, adalah satu-satunya penghuni di rumah si PP yang belum masuk Subud. Dia anak yang cerdas, intelek, dan karena itu ayahnya merasa dia akan sepemikiran dengan saya yang juga pembelajar.

Saya sempat menolak undangan itu, karena si ayah adalah seorang PP, yang salah satu tugasnya adalah memberi penerangan kepada calon anggota Subud. Namun si ayah mengatakan bahwa dia sendiri sudah berusaha memberikan penjelasan tentang apa itu Subud dan mengapa perlu anaknya masuk Subud. Si anak malah membantah semua alasan yang diberikan ayahnya.

Ketika akhirnya saya menyambangi rumah si PP, si anak datang menemui saya di teras. Dia langsung saja menembak saya dengan pertanyaan, mengapa saya masuk Subud dan apa manfaatnya bagi saya. Saya jelaskan apa adanya.

Saya dulu tidak pernah berminat dengan spiritualitas. Saya telah dibiasakan oleh orang tua saya sejak kecil untuk rajin beribadah menurut syariat agama saya, dan bagi saya itu sudah cukup. Memang, sepanjang perjalanan hidup saya hingga akhirnya menemukan Subud saya mengkritisi ajaran agama saya—kebanyakan saya anggap tidak masuk akal atau pembodohan. Tetapi mengapa saya terus saja beribadah, ya karena saat itu itulah satu-satunya cara saya berkomunikasi dengan yang Ilahi.

Sekitar dua tahun sebelum menemukan Subud, saya berhenti beragama dan menanggalkan kepercayaan saya pada Tuhan. Keputusan itu saya ambil lantaran begitu banyak kekecewaan yang saya alami dengan hanya bergantung pada syariat. Banyak pertanyaan saya tidak beroleh jawaban; yang paling membuat saya penasaran adalah bahwa saya tidak tahu bagaimana caranya pasrah dan ikhlas, sedangkan secara etimologis kata “islam” mengacu pada “menyerah” atau “berserah diri”.

Yang menyakitkan adalah ketika ibu saya koma di rumah sakit dan saya dihadapkan pada dilema: terus dirawat di rumah sakit atau dibawa pulang dan menunggu saat beliau tiba (meninggal). Kerabat dan sahabat semuanya menyarankan agar saya mengikhlaskan, namun tidak ada satupun dari mereka memberitahu saya caranya ikhlas.

Saya baru menemukan caranya hanya ketika Tuhan membimbing saya dalam suatu proses kehidupan yang membawa saya ke Subud.

Setelah saya menyudahi cerita saya, si anak tampak terkesan. Lalu, dia bertanya, “Menurut Om, apakah saya perlu masuk Subud?”

Saya tidak segera menjawab pertanyaannya, melainkan saya bertanya pada jiwa saya. Saya kemudian spontan berucap, “Tidak perlu!”

Si anak mengucapkan terima kasih dan mohon diri untuk meninggalkan teras rumahnya karena dia mau pergi ke masjid untuk menunaikan salat Magrib.

Tahun 2021, kembali saya menjawab “Tidak perlu!” atas pertanyaan seseorang mengenai apakah dia perlu masuk Subud—setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari dua saudara Subud saya yang tampaknya begitu bernafsu ingin mengajak orang itu masuk Subud. Lagi-lagi, saya spontan dalam memberikan jawaban. Saya sendiri saat itu tidak tahu mengapa saya memberikan jawaban itu.

Baru-baru ini, di penghujung Ramadan 1445 H./2024, bulan April, ketika melakukan Latihan duduk di depan rumah saya, pasca sahur, saya beroleh jawaban yang jernih: “Jika seseorang masuk Subud karena panggilan jiwanya, maka dia tidak akan lagi bertanya apakah dia perlu masuk Subud.”©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 8 April 2024

Saturday, April 6, 2024

Tidak Ada yang Percuma

UNGKAPAN dalam bahasa Inggris “everything happens for a reason” (segala sesuatu terjadi karena suatu alasan) merupakan kalimat yang populer yang telah diterima secara umum di berbagai budaya.

Ungkapan ini menyampaikan keyakinan bahwa peristiwa dan pengalaman dalam hidup tidak terjadi secara acak atau serampangan, melainkan memiliki tujuan atau sebab yang mendasarinya. Hal ini menunjukkan bahwa ada rencana atau makna yang lebih tinggi dan telah ditentukan di balik kejadian yang kita temui.

Pendek kata, segala sesuatu dalam hidup kita, apakah eksistensi orang lain atau peristiwa, tidak ada yang percuma. Semua memiliki nilai kegunaan yang dapat memberi makna bagi hidup kita.

Pada 4 April 2024, Ketua Subud Ranting Pamulang mengirim pesan WhatsApp ke saya, yang intinya imbauan bernada teguran terkait postingan saya di linimasa Facebook saya pada 3 April 2024, dimana saya membagi cerita pengalaman saya dan foto-foto ketika mendapat kesempatan memasuki kamar tidur Bapak di Wisma Barata Pamulang. Bunyi imbauannya sebagai berikut (saya salin apa adanya):

“Kalo kamu mendapatkan suatu kebahagiaan di Subud gak usah dipamer2kan ke orang lain. Cukup dinikmati sendiri saja dan serahkan lagi ke Tuhan. Kalo kamu pamer2kan ke orang lain, itu percuma. Mereka belum tentu menerima yg sama seperti kamu atau bahkan malah jadi sebaliknya.”

Kata “percuma” menggugah saya untuk menuangkan tulisan ini. Saya menghargai imbauan beliau, dan bagi saya merupakan teguran yang mendidik serta mendewasakan saya secara emosional. Jika saya menuliskan pengalaman tersebut di blog saya ini bukanlah sebagai bentuk protes atau kritik saya terhadap imbauan tersebut. Saya memahami dengan baik bahwa imbauan beliau itu berangkat dari harapan agar Bapak dan artefak-artefak bersejarah (seperti yang mewarnai cerita pengalaman yang saya posting di Facebook itu, alih-alih pengungkapan pengalaman esoteris yang subyektif) tidak mengarah kepada pengkultusan atau pengkeramatan, yang nantinya akan mengundang pandangan negatif publik terhadap komunitas Subud.

Sekadar info, mengunjungi kamar tidur seorang tokoh bersejarah merupakan hal yang lumrah di kalangan pecinta sejarah, tidak harus berarti pengkeramatan suatu tempat. Komunitas pecinta sejarah tidak jarang mengunjungi kamar tidur Bung Karno, misalnya, di tempat pembuangannya yang telah dijadikan museum. Atau kamar tidur Napoleon Bonaparte di Istana Fontainebleau, 55 km sebelah tenggara dari pusat kota Paris, Prancis, yang pernah saya kunjungi semasa kanak-kanak saya.

Sebagian dari rumah Kho Ping Hoo di Tawangmangu, Jawa Tengah, yang saya kunjungi pada Juli 2009, bertepatan dengan Musyawarah Wilayah PPK Subud Komisariat Wilayah V Jawa Tengah-DIY, juga telah dijadikan oleh keluarga sang penulis cerita silat legendaris itu sebagai museum kecil, dimana para penggemar Kho Ping Hoo dapat berinteraksi dengan karya-karya dan pekerjaannya. Mendiang Kho Ping Hoo sendiri adalah anggota Subud Tawangmangu. Sebagai alumnus Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan history buff, saya memperlakukan artefak-artefak bersejarah peninggalan RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo dengan cara sebagaimana seorang pecinta sejarah memperlakukan benda-benda bersejarah: Dengan penuh hormat, tanpa niat menyakralkan atau mengkultuskan tokoh yang dengannya benda-benda itu pernah berinteraksi.

Kamar tidur Napoleon Bonaparte di Istana Fontainebleau.

Kembali kepada gagasan “tidak ada yang percuma” yang mendasari tulisan ini. Saya menuliskan hampir semua kisah pengalaman saya sejak dibuka di Subud, yang saya mulai ketika saya pertama kali mengenal platform Blogspot pada tahun 2007. Saya sendiri dibuka tiga tahun sebelumnya. Saya menuliskannya bukan untuk mengekalkan pengalaman-pengalaman tersebut, karena pengalaman hidup dengan bimbingan Latihan Kejiwaan bersifat dinamis, berubah-ubah dalam gerak spiral yang sejalan dengan keadaan seorang pelatih kejiwaan pada suatu periode hidupnya.

Saya menulis hanya untuk menulis (writing for the sake of writing), yang dampaknya memperkaya keahlian saya dalam bidang tulis-menulis, terutama karena saya berkarir sebagai copywriter. Tanpa pernah saya rencanakan, tanpa pernah saya perkirakan, ternyata tulisan-tulisan perihal pengalaman-pengalaman kejiwaan saya (yang pernah dianggap oleh seorang pembantu pelatih senior di Bali sebagai sesuatu yang percuma, buang-buang waktu saja) tidak percuma. Tidak sedikit orang yang setelah masuk Subud berterima kasih ke saya karena merasa terbantu dalam memahami Subud. Semacam pengenalan (introductory) atau bahkan survival kit bagi mereka yang mulai menempuh perjalanan hidup yang telah terisi dengan bimbingan Latihan Kejiwaan. Bagi para pembaca blog saya, ternyata sharing pengalaman-pengalaman Subud saya tidak percuma!

Penyataan terima kasih mereka saya serahkan kepada Tuhan, tentu saja. Saya secara terbuka mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai “pelaku utama dan satu-satunya” dalam produksi tulisan-tulisan di blog ini maupun gagasan-gagasan yang mendasari tulisan-tulisan tersebut. Keinsafan ini membantu saya dalam menundukkan ego saya yang suka sekali menggerakkan kesombongan, seolah sayalah yang menyebabkan orang-orang untuk mau ikut Subud. Terlepas dari peringatan Bapak bahwa Subud tidak boleh dipropagandakan atau diiklankan, nyatanya Subud memang tidak bisa dipropagandakan. Penyaksian saya selama ini menegaskan bahwa seseorang masuk Subud karena panggilan jiwanya, dan bukan karena panggilan orang ke orang.

Di platform Facebook pun, postingan-postingan saya ternyata tidak ada yang percuma—bagi mereka yang secara sadar mengambil manfaat dari itu. Tidak seperti yang dikhawatirkan para anggota dan pembantu pelatih, bahwa keterbukaan mengenai Subud dan (pengalaman) Latihan Kejiwaan kepada publik merupakan sesuatu yang berrisiko, yang dapat menimbulkan pandangan-pandangan yang merugikan Subud, ternyata tidak pernah terjadi, paling tidak dalam kasus saya. Saya berpegang pada nasihat Bapak bahwa makin kita takut pada sesuatu maka sesuatu itu akan menjadi kenyataan! Lagipula, berkat pembiasaan bagi saya untuk “merasakan”, yang ditanamkan oleh para pembantu pelatih Subud Cabang Surabaya yang mengasuh saya sejak saya menjadi kandidat hingga dibuka, membuat saya bijak dalam menentukan apa yang patut dan tidak patut saya tindakkan.

Saya ingat pada satu pengalaman unik saat menghadiri Kongres Nasional ke-30 Subud Indonesia di Surabaya, 3-5 Februari 2023. Seorang anggota wanita dari Cabang Denpasar membagi satu lembar fotokopi formulir pendaftaran untuk pembuatan kartu tanda anggota Subud pada stan yang diadakan di ajang Kongres Nasional untuk keperluan itu, ketika petugas di stan tersebut menyatakan bahwa formulirnya sudah habis dan belum ada ketersediaan baru dari panitia. Si anggota Denpasar itu segera mengenali saya dan memberi formulir yang telah ia gandakan, sebagai tanda apresiasinya ke saya karena postingan-postingan saya, tentang apa pun, di Facebook, yang telah membantunya menyelesaikan masalah apa pun yang dia hadapi dalam hidupnya.

Saya bingung dan bertanya padanya, “Postingan yang mana ya, Bu?”

“Semuanya, Pak Arifin. Semuanya memberi saya solusi atau hiburan yang membuat saya bisa tertawa di saat sedang susah,” jawabnya.

Saya makin heran; bagaimana bisa postingan saya di laman Facebook saya, yang sebagian besar bertema sejarah Perang Dunia II, teknologi dan strategi militer, dan kadang tentang perkeretaapian, dapat memberi solusi bagi masalah hidup seseorang yang belum tentu relevan dengan tema-tema yang saya posting? Pertanyaan yang saya batinkan ini mendapat jawaban dalam sekejap: “Yang dari bimbingan Tuhan tidak ada yang percuma!”©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 6 April 2024

Thursday, March 28, 2024

Kehadiran Latihan

TANGGAL 25 Maret 2024 lalu, anggota Subud Ipswich, Inggris, Stefan Freedman, memposting pertanyaan berikut (aslinya dalam bahasa Inggris) di Grup Facebook “Subud Around the World”: “Kapan Anda paling sadar akan Latihan di luar Latihan bersama? Apakah ada sesuatu yang secara sadar Anda lakukan yang membantu Anda tetap berhubungan atau mengintegrasikan Latihan ke dalam kehidupan sehari-hari?”

Saya mengomentari postingannya (juga dalam bahasa Inggris) pada 29 Maret, sebagai berikut: “Saya merasakan Latihan kapan saja, bahkan ketika saya tidak ingin merasakannya. Ada kecenderungan pada sebagian besar anggota dan bahkan pembantu pelatih di Indonesia untuk mengotak-ngotakkan mana yang kejiwaan dan mana yang bukan kejiwaan. Ada kotak kejiwaan, dan ada kotak untuk segala urusan akal pikir dan nafsu; seolah di antara mereka ada perbedaan.

“Tetapi tidak demikian bagi saya; pengalaman selama ini menunjukkan ke saya bahwa Latihan selalu hadir dan tetap ada bahkan ketika saya tidak meniatkannya. Dia seakan telah menjadi bagian yang utuh dari diri saya. Latihan, demikian saya rasakan, sudah ada pada diri saya sejak saya dibuka. Pembukaan itu telah mengekalkan kesadaran saya akan hidup di dalam hidup saya.”©2024


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 29 Maret 2024

Tuesday, March 26, 2024

Bayang-Bayang

Bayang-bayang kita tak pernah bersatu

meski dipendari mentari dari dulu

Aku di sini, kamu di sana

Kugores pena, kutorehkan kata,

bercerita pada batu

tentang rasa pilu

di balik dada yang menyimpan asa

Aku tak berani berkata cinta padamu

karena sejati rasaku melebihi itu...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 Maret 2024

Monday, March 25, 2024

Menyembah Hyang

Cinta tidak harus dengan saling memiliki

Karena rasa cinta itu sendiri

sudah memberi nikmat pengalaman rasa

yang akan larut dalam masa

 

Cinta tidak harus dengan saling mencumbu

Karena rasa yang menggetarkan diri menjadi bumbu

kesukacitaan hidup dua sejoli

yang memadukan hati

 

Cinta tidak harus dengan sentuhan jasmani

Karena mereka yang tahu cinta hakiki

mengerti rasa yang menggetarkan

membuat segalanya menyenangkan

 

Cinta bukanlah antara aku dan kamu semata

Cinta adalah cara Tuhan berkata:

bersatunya jiwa kita yang tankasat mata

adalah sembah kita kepadaNya...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 Maret 2024

Cinta Tak Berencana

Google Maps tak bisa menuntunku

sampai di ruang batinmu

Ku susuri saja jejak-jejak energi

yang terentang kencang di jalur jiwaku pergi

Engkau akan tahu engkaulah yang kurindu

tanpa aku mengumbar kata berjuta suku

Karena bukan kita yang mau,

tapi jiwa-jiwa kita yang berpadu

Tak berencana, tiba-tiba rasa menyatu

Siapa yang salah, kalau begitu?

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 Maret 2024