Wednesday, September 19, 2012

Melangkah di Antara Islam dan ‘islam’

Dalam sebuah acara interaktif bertajuk “Keluarga Islami” di sebuah stasiun radio swasta terkemuka Jakarta yang saya dengarkan beberapa tahun lalu, seseorang bertanya pada narasumber—seorang ustad yang menolak dipanggil ustad lantaran merasa dirinya masih miskin ilmu agama—mengapa umat Islam terbelakang. Lalu, dalam sebuah lokakarya kewirausahaan bagi dosen dan mahasiswa di lingkungan Universitas Muhammadiyah Jakarta pada tahun 2006, di mana saya tampil sebagai salah satu fasilitatornya, pertanyaan yang mirip terlontar: Mengapa umat Islam di Indonesia mengalami kemunduran drastis dibandingkan umat agama-agama lainnya?

Pada tahun 2005, dalam kesempatan wawancara pekerjaan, kepada saya direktur utama biro iklan, yang hendak menggaji saya sebagai karyawan, membuat ‘pengakuan dosa’ bahwa dirinya yang sudah haji tidak pernah lagi menunaikan salat lantaran kekecewaan sebagai dampak dari kejadian di mana ia terpaksa menyuap seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) demi memenangkan sebuah tender proyek. “Dia tuh muslim ya. Masak setelah uang suap darigue dia terima dia permisi untuk salat Dzuhur! Apa iya Islam mengajarkan orang untuk korupsi? Makanya gue kecewa, nggak mau salat lagi!” kata sang Dirut dengan menggebu-gebu.


Pertanyaan dan pernyataan yang mengemuka di ketiga kesempatan itu mendapatkan treatmentjawaban yang sama: Kemunduran atau keterbelakangan atau penyelewengan itu disebabkan oleh pemisahan secara sadar maupun tidak antara urusan dunia dan urusan akhirat. Dan, karena urusan akhirat tampaknya relatif lebih mudah dikerjakan, karena menyangkut ibadah ritual dan seremonial atau bersifat simbolik, ketimbang urusan duniawi, tak mengherankan jika umat memilih untuk berfokus pada yang tersebut pertama.


Sebenarnya pemisahan semacam ini tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam saja. Kalau Anda perhatikan perkumpulan-perkumpulan spiritual yang secara lahiriah tampak tidak berkembang, cenderung kumuh dan ndeso (kampungan), penyebab utamanya adalah pemisahan laku duniawi dari laku spiritual, yang sering secara keliru dianggap lebih ‘dekat’ ke Tuhan. Para pengikut aliran spiritual-mistik ini sulit memahami apalagi menerima konvergensi spiritual-material, yang pada gilirannya membuat organisasi-organisasi spiritual semacam ini lambat-laun terkikis perannya sebagai motor penggerak kemajuan masyarakat.


Persoalan keterbelakangan mentalitas dan etika moral yang dipandang disebabkan oleh pemisahan antara urusan dunia dan urusan akhirat itulah yang menjadi tema sentral dari pembahasan buku garapan Sukanto Mm (Mulyomartono) dan A. Dardiri Hasyim, Nafsiologi: Refleksi Analisis tentang Diri dan Tingkah Laku Manusia (Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 1996).


Di bab pertama, penulis mengetengahkan postulat Islam sebagai agama, yang huruf ‘i’-nya kerap dituliskan secara kapital, dan ‘islam’ (dengan huruf ‘i’ kecil) yang merepresentasi tata laku kehidupan bersandarkan pada hukum Allah (sunatullah). Di halaman 13, penulis menjelaskan: “Ber-Islam artinya berpredikat (berlabel atau bermerek) Islam. Orang yang menerima kalimat syahadat adalah orang yang berlabel Islam. Sedangkan berislam artinya memproses Islam hingga pada esensinya yang luas dan mendalam.” Selanjutnya penulis juga menjelaskan bahwa dalam aksara Arab tidak dikenal huruf kapital maupun non-kapital. Keseluruhan huruf sama. Itulah sebabnya, penuangan istilah ‘Islam’ dalam Al Qur’an mencakup dua makna sekaligus, baik ber-Islam maupun berislam (kapital dan non-kapital). 


Menurut pengamatan kedua penulis, yang masing-masing berlatarbelakang psikologi dan ilmu fikih, umat Islam melangkah di antara kedua tema ini, yang lantaran pengajaran yang keliru membuat umat memilih untuk bertekun ria dalam ibadah ritual tinimbang kegiatan-kegiatan untuk menegakkan hukum Tuhan di dunia. Penulis mengemukakan bahwa kecenderungan-kecenderungan yang ada membuat ganjaran pahala atau dosa hanya berlaku bagi pelaksanaan ibadah ritual atau simbolik, sedangkan bagi kegiatan-kegiatan yang dampaknya dapat membawa umat ke arah makrifat (pengenalan) kepada Allah dianggap sebagai hal sepele yang tidak apa-apa jika diabaikan. Kecenderungan inilah yang disimpulkan penulis sebagai penyebab eksistensi orang yang tekun beribadah ritual tetapi masih suka menzalimi dirinya sendiri maupun orang lain.


Saya teringat pada kebiasaan di suatu daerah di Jawa Timur yang masyarakatnya doyan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, tetapi pada saat yang sama tidak segan-segan membunuh orang dengan alasan membela kehormatan. Ada pula kelompok masyarakat yang tampak terdepan dalam penyelenggaraan syariat, tetapi tak jarang mengabaikan kesantunan dan kehadirannya meresahkan warga dengan tindak-tanduk mereka yang mengintimidasi. Kelompok ini tampaknya santai saja dalam menjalankan aksi brutalnya lantaran anggapan keliru bahwa membaca kitab Al Qur'an, walaupun satu surat, saja sudah cukup untuk membukakan bagi mereka pintu surga.


Kedua penulis berpendapat bahwa Islam terlalu tersentralisasi pada agama; didominasi agama sebagai otoritas tunggal yang mengatur tata laku dan tata kelola umat, mengesampingkan pengembangan nilai-nilai inovasi melalui upaya penggalian potensi diri (nafs, dari bahasa Arab yang berarti ‘diri’ atau ‘nafsu’) yang pada gilirannya membawa pemahaman tentang hukum Tuhan yang berlaku atas hidup dan kehidupan di dunia. Secara historis, masyarakat di mana agama Islam berakar merupakan budaya yang peradabannya tergolong maju dan berkembang. Gagasan dasar pemikiran ilmiah maupun teknologi pada mulanya berkembang di kawasan itu, yang dalam prosesnya malah beralih ke dunia Barat, yang menurut kedua penulis tidak berlandaskan tauhid. Tuhan disingkirkan dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Barat, dan tanpa disadari kecenderungan itu terserap pula ke dalam peradaban Islam setelah Nabi Muhammad wafat.


Para ulama, menurut penulis, tidak meletakkan pondasi hukum Tuhan dalam penggalian ilmu pengetahuan maupun segala sesuatu yang secara subyektif dipandang ‘duniawi’ atau sekuler. Umat Islam tidak didorong untuk mengeksplorasi karunia Allah yang terdapat pada semua ciptaanNya; mereka hanya didorong (dalam sejumlah kasus bahkan dipaksa dengan tekanan yang otoriter) untuk memikirkan urusan akhirat saja.


Faktor ini, dalam pandangan penulis, cukup ironis. Pasalnya, dunia adalah ladang akhirat, di mana karunia Tuhan bertebaran baik di permukaan maupun di bawahnya dan Allah telah memerintahkan manusia untuk menjadi kalifah di muka bumi. Bahkan benda sekecil atom pun tak luput dari hukumNya. Mengacu pada sabda Nabi Muhammad bahwa kerja (pun) adalah ibadah, seyogianya umat Islam tampil lebih optimal dalam menggarap ladang akhirat—yaitu dunia.


Mengenai pemisahan antara dunia dan akhirat, penulis mencontohkan umat Islam yang ketika ditimpa kesusahan sedemikian berat memilih untuk mengasingkan diri dari hiruk-pikuk dunia (khalwat), entah di bawah rindang pepohonan di tengah hutan atau di bawah naungan kubah masjid, alih-alih bekerja lebih keras sambil mengingat (dzikir) kepada Allah. Akibat mispersepsi pula, umat Islam memaknai berzikir sebagai tindakan mengucapkan nama Allah berulang kali, alih-alih mengingat keagungan dan keluhuranNya lewat kerja nyata memberdayakan segala potensi nafs dan kekayaan alam ciptaanNya.


‘Nafsiologi’ merupakan istilah yang diciptakan Sukanto Mulyomartono  untuk mengidentifikasi psikologi Islam, yang berseberangan dengan gagasan psikologi Barat yang tidak berketuhanan. Menurutnya, yang menjadi amatan psikologi Barat adalah psyche yang diterjemahkan sebagai ‘jiwa’ (berbeda dari konsep jiwa dalam budaya Jawa yang berakar pada tradisi Hindu) atau ego, sedangkan konsentrasi nafsiologi adalah diri atau nafsu. Penulis mengecam Sigmund Freud yang mengajarkan lewat teori psikoanalisisnya bahwa agama merupakan ilusi yang berperan dalam mengobrak-abrik emosi manusia.


Penulis mengeritik anggapan sementara pihak bahwa nafsu itu buruk. Dalam mengurai nafsiologi, penulis mengedepankan QS 12: 53, yang berbunyi: “Aku (Yusuf) tidak membebaskan nafsi-ku (dari kesalahan). Sungguh, nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang dirahmati Tuhanku. Tuhanku Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”


Penulis juga mengecam laku-laku spiritual yang bertujuan untuk mengenyahkan nafsu, dengan anggapan keliru bahwa nafsu keinginan atau syahwat merupakan hambatan manusia untuk mendekat kepada Tuhan. Di bab pendahuluan, penulis menjabarkan bahwa dalam ajaran Islam, keinginan atau syahwat tidak dapat dimatikan. Sebab, setiap manusia oleh Allah Swt. memang telah dibekali dengan gairah hidup (syahwat), mengacu pada QS 3: 14: “Telah dihiaskan syahwat kepada manusia untuk mencintai wanita dan anak-anak, emas dan perak yang melimpah ruah, kendaraan pilihan, binatang ternak serta sawah ladang. Itulah kesenangan kehidupan dunia. Tetapi di sisi Allah-lah sebaik-baiknya tempat kembali.”


Kritik penulis terhadap kalangan pejalan spiritual yang dipandangnya hendak memberangus nafsu-nafsu yang melekat pada diri manusia sejak penciptaannya agaknya kurang tepat. Dalam tradisi spiritual Jawa, misalnya, yang oleh para pelakunya juga tak jarang dimaknai serta diimplementasi secara keliru, keempat nafsu (amarah, aluamah, supiah dan mutmainah) diibaratkan empat ekor kuda yang menarik kereta (representasi raga) di bawah kendali kusir (mewakili jiwa). Kurang satu kuda saja kereta tak bisa melaju, yang menunjukkan pentingnya eksistensi keempat nafsu tersebut secara bersamaan. Penulis mengeritik konsepsi ‘kusir’ (jiwa) yang pada aliran-aliran spiritual berbasis kejiwaan dianggap sebagai tokoh sentral. Kritiknya bersandar pada perbedaan cara pandang Islam yang mengedepankan nafs dengan tradisi Hindu, Buddha dan Jain yang menjunjung jiwa (atman). Mayoritas ‘agama budaya’ mengajarkan agar keinginan atau trisna pada benda dimusnahkan saja dari diri manusia, sebab rasa trisna pada benda dianggap sebagai penghalang baginya untuk mencapai nirwana (surga).   


Dalam rangka pengelolaan nafs (manajemen nafsu sebagaimana diwakili analogi kereta yang ditarik empat kuda di atas), di bab kelima yang bertajuk “Rambu-Rambu Nafsiologis”, penulis memperkenalkan Panca Noda; lima sifat tercela yang dapat menjauhkan nafs dari rahmatNya, yaitu dengki, serakah, sombong, bohong, dan bakhil (kikir). Di bab berikutnya, bagaimanapun, penulis menawarkan mekanisme pertahanan dalam implementasi amalan sabar dan syukur, adil, janji dan amanat, maupun jujur. Iman merupakan penyembuh utama dalam nafsio terapi, yang seperti diakui penulis banyak kesamaannya dengan logoterapi dari Victor Frankl, dalam hal bahwa kehidupan ini mempunyai makna dalam keadaan yang bagaimanapun, termasuk dalam penderitaan. Sebagaimana logoterapi, nafsio terapi juga membantu kita untuk menyadari adanya sumber daya ruhaniah yang terdapat pada setiap orang.


Buku setebal 202 halaman (termasuk daftar pustaka dan indeks) ini memang sudah lama beredar, sejak pertama kali diterbitkan lima belas tahun yang lalu, menyusul buku pengantar dari penulis yang sama, Nafsiologi: Suatu Pendekatan Alternatif atas Psikologi yang diterbitkan Integrita Press, Jakarta, pada tahun 1985. Tetapi bila pamor nafsiologi kurang menonjol di kalangan umat Islam di Indonesia barangkali lantaran kalah dari psikologi Barat yang dianggap lebih modern dan trendi, dan juga oleh kecenderungan sebagian besar umat Islam yang mengabaikan upgrade ilmu pengetahuan yang sekuler demi mengutamakan urusan akhirat.Ó




Mampang Prapatan XI, Jakarta Selatan, 16 Agustus 2011

No comments: