Sunday, December 30, 2012

Anto Dwiastoro's Quotes 2012

“Kegagalan itu membuat lelah. Tetapi yang paling melelahkan adalah menyesali kegagalan itu.” (Anto Dwiastoro, 8 Oktober 2012)

“Bicara seperlunya, berpikir seperlunya. Selebihnya, tenangkan dan rasakan diri, biarkan jiwa menuntun menyelesaikan apa yang penting di hari ini, tidak mencemaskan apa yang ada di hari-hari ke depan atau merasa bersalah atas hari-hari yang sudah lewat.” (Anto Dwiastoro, 12 Oktober 2012)

“Manusia itu ibarat poros dan hidupnya ibarat roda. Dengan adanya poros roda bisa berputar, tetapi poros sendiri tidak berputar, melainkan hanya ‘diam dan menyaksikan’ perputaran roda. Dengan menenangkan diri di saat ini dan membiarkan hidup dengan suka dan dukanya memutari kita, semakin dekat kita kepada keinsafan bahwa keberadaan kita di dunia adalah menjadi saksi atas keagunganNya.” (Anto Dwiastoro, 18 Oktober 2012)

“Ya Tuhan, buatlah aku menjadi orang yang super idiot, kecuali Kau pakai pikiranku untuk memikirkan hal-hal yang sesuai dengan kehendakMu.” (Simone Weil, filsuf Perancis 1909-1943)

“Spiritualitas itu murni dari dalam diri, bersumber dari hati. Ia menjadi tak berarti ketika dibuat organisasi, yang lantas memunculkan hierarki, dan buntutnya ada pihak-pihak yang mengklaim memiliki. Di situlah kemurnian spiritualitas mati!” (Anto Dwiastoro, 25 Oktober 2012)

“We make a living by what we get. We make a life by what we give.” (Winston Churchill)

“Dalam keadaan terburuklah sisi terbaik kita mengemuka.” (Anto Dwiastoro, 28 Oktober 2012)

“The best fight ever is no-fight.” (Anto Dwiastoro, 29 Oktober 2012)

“While other people are doing things, I am just doing great.” (Anto Dwiastoro, 31 Oktober 2012)

“Tidak ada kegagalan dalam hidup ini. Yang ada adalah kegagalan untuk memahami bahwa hidup tidak menyediakan kesempatan untuk gagal.” (Anto Dwiastoro, 31 Oktober 2012)

“You do not have a brand, unless you are related with the consumers either through yourself, your company, your product or service. Until then, it’s just a label. The relationship is built with durable yet smart marketing and corporate communications.” (Anto Dwiastoro, 25 October 2012)

“Nasihat yang baik tetap bermakna dan bertujuan baik sekalipun disampaikan oleh setan.” (Anto Dwiastoro, 26 Oktober 2012)

“Kalau kamu ingin tahu bagaimana sifat dan perilaku seseorang, pelajarilah dari sifat dan perilaku teman-temannya. Kalau mereka pintar dan baik, bisa dinilai bagaimana orang tersebut, karena sudah menjadi hukum alam bahwa perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita.” (Anto Dwiastoro, 9 November 2012)

“Untuk menjalankan kendaraan, kita perlu SIM (Surat Izin Mengemudi). Untuk menjalankan hidup, kita juga perlu SIM (Spiritual, Intelektual, Material).” (Anto Dwiastoro, 9 November 2012)

“Dengan menyadari kebaikan, kita akan memahami tentang keburukan.” (Anto Dwiastoro, 15 November 2012)

“Banyak orang yang begitu tidak sabarnya sampai ‘merem dan lerem’ (memejamkan mata dan menentramkan diri) barang semenit pun mereka tidak tahan. Sungguh menderita mereka yang diperbudak oleh pikirannya sendiri.” (Anto Dwiastoro, 16 November 2012)

“Di saat senang, bagilah kesenangan itu ke orang lain yang kekurangan. Di saat kekurangan, jadilah diri sendiri, karena dirimu adalah harta yang lebih berharga dari apa pun.” (Anto Dwiastoro, 18 November 2012)

“Jika kamu tidak punya waktu untuk melakukan apa yang kamu sukai, maka semua kegiatan yang lain, yang tidak kamu sukai, walaupun menghasilkan uang, menjadi tidak ada gunanya.” (Anto Dwiastoro, 20 November 2012)

“Ilmu saja tidak cukup—kamu harus membagi ilmumu. Membagi saja tidak cukup—kamu harus rendah hati dan ikhlas dalam melakukannya.” (Anto Dwiastoro, 22 November 2012)

“Kesempatan untuk melakukan apa yang kita sukai adalah yang memberi nilai lebih pada semua upaya yang kita tempuh untuk menyejahterakan diri kita.” (Anto Dwiastoro, 22 November 2012)

“Cintailah kekurangan kamu sebesar kamu mencintai kelebihanmu. Bagaimanapun, kesuksesan akan tercapai ketika keduanya bersinergi.” (Anto Dwiastoro, 22 November 2012)

“Yatim-piatu bukanlah ‘mesin pencuci uang’ yang dengannya kamu bisa mencuci dosa-dosa kamu dengan menyumbangkan uang yang berasal dari sumber yang tidak baik.” (Anto Dwiastoro, 22 November 2012)

“Cinta dan Benci punya satu kesamaan: Keduanya memelihara Ingatan akan sesuatu atau seseorang yang dicinta atau dibenci.” (Anto Dwiastoro, 27 November 2012)

“Spiritualitas yang sejati itu tumbuh dan berkembang secara alami, bukan karena ajaran, bukan karena mengikuti nasihat orang lain, bukan karena semua orang lainnya melakukan. Pertumbuhan spiritualitas sejati itu berawal dari diri pribadi yang berani untuk menjadi diri sendiri.” (Anto Dwiastoro, 28 November 2012)

“Being spiritual is about being yourself.” (Anto Dwiastoro, 28 November 2012)

“Hasil makin tinggi, hati makin rendah.” (Anto Dwiastoro, 30 November 2012)

Kekayaan bukan alasan untuk menghentikan kekaryaan. Semakin kaya, seharusnya semakin banyak menghasilkan karya.” (Anto Dwiastoro, 30 November 2012)

“Kesuksesan itu 1% teori, 99% tuntunan Illahi dalam melakoni usaha. Dengarkan diri, tidak bertanya atau berusaha memahami, lalu jalankan.” (Anto Dwiastoro, 8 Desember 2012)

“Kegagalan sebuah iklan adalah ketika alih-alih menjadi dirinya sendiri ia malah mengikuti tren. Iklan yang hebat itu menciptakan tren, bukannya mengikutinya.” (Anto Dwiastoro, 11 Desember 2012, terkait iklan TV New Era yang memakai tema visual dan audio Gangnam Style)

Friday, November 2, 2012

Completion


What is me without you?
A piece of jigsaw that constantly seeks
for a completion of One
Without you, I am none, yet with you I cease to exist
For I am you, in the love the Divine persists

Here, feel me; a Void that has carnal representation
in a realm of bounded nature,
where the distance of time and space shares an imperfection
With you in my life and heart, we have just become One
A completion no time and space can liquidate

Now, I stop seeking, and simply surrender
A path I will follow forever,
for here I found the Divine that guides me through
a life that is only complete with the presence of you...


Mampang Prapatan, South Jakarta, November 3, 2012

Friday, October 5, 2012

Anto Dwiastoro's Quotes

“Di Titik Nol, bahkan Tuhan pun tidak bersisa.”

“Tak masalah jika kamu tidak kaya. Tak masalah jika kamu tidak sekolah. Tak masalah jika kamu tidak beragama atau bertuhan. Yang jadi masalah adalah bila kamu tidak punya masalah.”

“Tirai kesuksesan kian tersibak lebar pada setiap kegagalan. Kebenaran makin banyak terungkap pada setiap kesalahan.”

“Our strengths make us great. Our weaknesses make us human." (11 Maret 2011, 7.24)

Peluang tidak diberikan kepadamu karena kamu tampaknya pantas mendapatkannya lewat pewarisan. Peluang harus dicari dan ditangkap dan ia tak memandang siapa dirimu.

If you have to choose between two things, choose one by following your mind. If anything goes wrong, settle up and choose the other by following your heart.

You are mistaken if you thought you ever made mistakes in your life. In fact, you are blessed with continuously great learning only mindful people come to realize. Learning that eventually guides you to find out how awesome you are as a person and how wonderful your life is. (4 Juni 2011, 11.24)   

Hidup ini seperti mie ayam—tampak laksana benang kusut, tapi lezat nan mengenyangkan jika dinikmati.

Forrest Gump bilang, Hidup itu seperti sekotak coklat--kamu nggak pernah tau apa yang kamu dapatkan. Perumpamaan yang janggal, mengingat permen coklat, apa pun isi yang kita temukan di dalamnya, tetaplah permen coklat yang berasa manis. Kalau aku bilang sih, hidup itu seperti menu lauk di Restoran Padang—apa pun yang kamu ambil, walau secuil, pasti dihitung!

Di tangan Tuhan, impian-impian menjadi kenyataan, sementara di tangan manusia mereka berkarat dalam keraguan. Bermimpilah dan biarkan Tuhan mewujudkannya, dan biarkan diri Anda tumbuh dan berkembang dalam perjalanan menggapainya. (Jakarta, 18 Januari 2012)

Tidak ada Jalan Spiritual yang superior. Tidak ada yang satu mengungguli yang lain. Yang hebat adalah manusianya, yang ketika ia dengan sadar merendahkan hati di hadapan Tuhannya ia akan dituntun untuk menemukan semua keunggulan yang telah ada pada dirinya sejak ia diciptakan. (Jakarta, 19 Januari 2012)

Tidak penting Anda kuliah di mana—di dalam atau luar negeri, di perguruan tinggi swasta atau negeri, terakreditasi atau tidak diakui. Yang jauh lebih penting adalah apa yang Anda pelajari selama kuliah dan bagaimana hal itu bisa membantu Anda melakoni dan memahami hidup ini.

Tuhan tidak mengajar kita karena semua pengetahuan sudah Dia tanamkan dalam diri kita. Tuhan mengajak kita untuk berserah diri kepadaNya, yang merupakan kunci untuk membuka semua pintu pengetahuan itu." (26 Februari 2012, 11.28)

Apa bedanya Latihan Kejiwaan dengan latihan-latihan spiritual lain? Latihan-latihan spiritual yang lain kebanyakan mengajak kita menemukan apa yang dipunyai guru-gurunya, sedangkan Latihan Kejiwaan mengajak kita menemukan kembali apa yang sudah kita punya, tapi terlupakan ketika kita beranjak dewasa dan melakoni beragam kehidupan. (16 April 2012)
                                          
A managerial position is not about controlling people; its about engaging yourself with the people under your management and the work they are doing.

Kesalahan terbesar dalam hidup adalah tidak berani membuat kesalahan.

Ada jiwa kanak-kanak dalam diri setiap orang dewasa. Kegagalan Anda memahami hal itu adalah penyebab utama mengapa Anda tidak bisa menikmati hidup Anda di usia dewasa.”

Alangkah baiknya jika anak-anak tidak tahu bagaimana kehidupan orang dewasa. Alangkah buruknya jika orang dewasa melupakan kehidupan masa kanak-kanaknya.

Bila Anda sulit memahami pikiran dan/atau perilaku orang lain, bayangkan diri Anda menjadi orang itu. Bila masih sulit juga, bayangkan orang itu mengalami kesulitan dalam memahami pikiran dan/atau perilaku Anda.

Pengalaman hidup menunjukkan bahwa orang yang ngomongi yang baik-baik tentang kita biasanya dirinya lebih baik dari kita, sedangkan orang yang ngomongi yang jelek-jelek tentang kita dirinya tidak lebih baik dari kita. (9 April 2012)

Baik itu harus bijak. Tanpa kebijakan, berbuat baik tidak selalu berakibat baik. Tanpa kearifan, kebaikan malah menghancurkan diri sendiri maupun orang yang menerima kebaikan. (12 Juni 2012)
                                        
Hidup itu penuh warna dan mata lahir maupun batin kita pun dikaruniai dengan kemampuan untuk menikmati keindahan warna-warna tersebut. Tersiksalah mereka yang dengan keterbatasan kecerdasan emosional dan spiritualnya hanya bisa melihat segala sesuatu secara hitam-putih saja. (12 Juni 2012)

Marah yang dilandasi kasih adalah jauh lebih baik daripada mengasihi yang dilandasi marah.

Kemajuan spiritual seseorang tidak dinilai dari kelembutan sikap, kehalusan tutur kata, dan pengendalian diri, melainkan dari kemampuannya untuk konsisten menjadi diri sendiri.” (3 Juli 2012)

Ketenangan berasal dari diri kita, bukan dari tempat-tempat tertentu. (1 Juli 2012)

A writer paints pictures in the heart and mind of readers.

Hubungan yang indah tercipta ketika Anda menghargai teman Anda dengan keadaannya dia hari ini, bukan dengan mempertimbangkan siapa dia kemarin dan menjadi siapa atau apa besok.

Bukanlah sesuatu yang luar biasa bila mampu menciptakan karya yang hebat dengan dukungan fasilitas yang lengkap. Baru luar biasa jika bisa menghasilkan karya yang hebat dengan keterbatasan sumber daya.

Pengalaman dalam melakukan suatu pekerjaan tidak ditentukan oleh jumlah tahun, melainkan oleh seberapa banyak Anda mengubah cara Anda melakukan pekerjaan tersebut dan seberapa banyak pengetahuan dan keterampilan yang Anda peroleh--yang membuat Anda kian ahli dan arif dalam melakukan pekerjaan tersebut.

Orang yang tidak bisa memaknai hidup tidak bisa menikmati hidup.

Hanya seekor anjing yang bisa mengenali anjing lainnya. (Pepatah Pribadi)

Keluaran (output) dari sebuah proses kreatif bukanlah desain visual atau naskah, melainkan Solusi Terbaik.

"There are three ways to success: the hard way, the easy way, and your own way.

“’Kaburlah kamu, maka kamu akan kukejar, begitu kata Masalah kepada si Pengecut.

Ketika anak-anak memperlihatkan kelucuan dan keluguannya, ia sedang menjadi dirinya sendiri. Ketika ia tampak menyebalkan, ia sedang menjadi diri yang dicontohkan orang tuanya. (24 Agustus 2012)

Jangan memusuhi teman Anda yang berprofesi di bidang komunikasi. Bisa-bisa Anda kehilangan semua teman Anda.

Anda bukan satu-satunya yang menderita, tetapi bukan tidak mungkin Anda bagian dari segelintir orang yang mendapat kesempatan emas dari Tuhan untuk tumbuh dan berkembang.

Semua manusia itu pada dasarnya mampu melakukan apa saja. Mampu berbuat baik, mampu berlaku jujur, mampu berusaha keras, mampu belajar, mampu maju dan sukses, dan lain sebagainya. Masalahnya, mau atau tidak. Itu saja.

Satu hal unik yang saya pelajari dari Hidup adalah bahwa lambat-laun kita menjadi orang yang kita bicarakan atau pergunjingkan; kita akan menjadi baik bila kita bicarakan kebaikannya, dan kita akan menjadi buruk kalau mempergunjingkan keburukannya. Bagaimanapun, daripada menjadi sebaik atau seburuk orang lain, adalah jauh lebih penting menjadi diri sendiri yang lebih baik.” (2 September 2012)

Tidak ada yang namanya cobaan. Ujian, itulah kata yang tepat. Kalau cobaan berarti Tuhan tidak tahu bagaimana sifat ciptaanNya sehingga perlu dicoba, seperti halnya kita mencicipi makanan yang kita tidak tahu bagaimana rasanya. Lebih tepat disebut 'ujian' karena Tuhan itu Maha Tahu kemampuan kita, sedang kita bukannya tidak tahu, tapi tidak mau tahu lantaran pikiran kita direcoki suara si Ego bahwa kita tidak mampu menghadapi ujianNya, atau bahwa kita tidak pantas mendapat ujian karena merasa sudah sering berbuat baik dan rajin beribadah. Itulah egoisme pikiran! Sesungguhnya, Tuhan Maha Penyayang dan Maha Pengasih, yang bisa kita kenali bimbingan dan tuntunanNya saat kita serahkan semua problem hidup kita kepada Yang Punya Hidup; saat kita berhenti menggunakan pikiran yang tidak mau tunduk kepadaNya. Pikiran itu Setan yang tidak mau sujud kepada Adam (jiwa) ketika Tuhan memerintahkannya, sedang Adam adalah jiwa pertama yang berserah diri kepada Tuhannya. Daripada mengotori Adam yang ada pada kita, lebih baik sujudkan Setan kita, agar tidak menghalangi Tuhan yang dengan kasihNya selalu menuntun kita menuntaskan ujian hidup ini. (Jakarta, 2 September 2012)

Memang, ada kekuatan dalam pemberdayaan otak dan otot. Tetapi, kekuatan terdahsyat ada pada kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan.(2 September 2012)

Berserah diri itu mudah. Yang sukar adalah melakoninya dalam kehidupan nyata sehari-hari dengan pikiran kalut yang tidak mau berhenti. (2 September 2012)

Orang yang kreatif itu melihat banyak peluang dalam kekosongan, bukan mencari tempat kosong di tengah kebanyakan. (2 September 2012)

Yang memperpanjang hidup seseorang bukanlah napasnya, melainkan harapan dan ikhtiar yang dijalankannya untuk mewujudkan harapannya. (2 September 2012)

Tuhan sudah mengabulkan semua yang kita doakan—bahkan sebelum kita berdoa. Kalau tampaknya belum terwujud, itu karena kesadaran kita belum sampai ke situ. (7 September 2012)

Orang yang bersalah biasanya tidak berani menatap lurus ke mata orang yang teguh meyakini kebenarannya walaupun ia belum tentu benar. (10 September 2012)

Dengan dibantu orang lain, kita bisa mencapai apa yang kita cita-citakan. Tapi dengan membantu diri sendiri kita dapat memberi nilai tambah pada pencapaian tersebut. (10 September 2012)

Satu setengah tahun cukup lama untuk layak dianggap sebagai pelajaran bernilai dari sebuah kegagalan, tapi terlalu sedikit untuk layak disesali dan diratapi. (Pemahaman yang saya terima saat menutup buku berjudul PT Infinitas Daya Ekakarsayang saya tulis satu setengah tahun yang lalu, 11 September 2012)

Hakikat dari sakit sebenarnya merupakan proses internal kita menuju sehat. (17 September 2012)
                                                                                                             
Semua pilihan ada konsekuensinya. Banyak orang yang tidak siap dengan konsekuensinya; maunya hanya memilih saja. Memilih enak ada konsekuensi yang tidak enak, memilih tidak enak ada konsekuensi enak. Terserah saja, memilih yang mana. Semua menyediakan kemungkinan pembelajaran yang berharga. (17 September 2012)

Keahlian dan keterampilan sehebat apa pun tidak akan ada gunanya tanpa sikap profesional yang memadai, apalagi jika profesi Anda berkenaan dengan melayani kebutuhan orang lain. (21 September 2012)

Berjanjilah pada diri sendiri: Saya bukan keturunan orang hebat, tapi saya orang hebat yang akan menurunkan orang-orang hebat!’” (25 September 2012)

Jangan pernah mau dibayar murah untuk pekerjaan yang nilainya sebenarnya jauh di atasnya, karena begitu pemberi pekerjaan menunggak pembayaran, Anda akan malu menagihnya. (25 September 2012)

My company didnt fail. Its the companionship that makes a company that failed. (26 September 2012)

Orang tua dewasa ini tidak memanusiakan anak-anaknya, melainkan lebih mem-benda-kannya, sehingga wujud kasih sayang yang dicurahkannya pun berupa benda. Tidak mengherankan jika anak-anak sekarang tak ubahnya benda--tidak berjiwa, tidak punya hati dan perasaan. (29 September 2012)

With plenty of GOLD, we often forget there shouldnt be an L. (30 September 2012)

“Sekaya-kayanya orang yang mengandalkan gaji setiap bulan, ternyata masih jauh lebih kaya orang yang mengandalkan tuntunan Tuhan dalam tindakan wirausahanya. Bukan hanya uang yang dating berlimpah jumlahnya, tetapi juga makin arif dalam pikiran dan perkataannya.” (3 Oktober 2012)


Tunggu kelanjutannya...

Monday, September 24, 2012

Nama Besar


“Di dunia kita yang penuh dengan nama-nama besar ini, anehnya, para pahlawan sejati kita cenderung anonim. Dalam kehidupan yang penuh ilusi dan kuasi-ilusi ini, orang yang memiliki kebajikan penuh yang bisa dikagumi untuk sesuatu yang lebih besar daripada kebesaran namanya seringkali terbukti merupakan pahlawan tanpa tanda jasa: guru, perawat, ibu, polisi yang jujur, serta para pekerja keras yang seorang diri melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bergaji rendah dan tidak menarik.”


TAHUN 1995-1996, saya berkesempatan bekerja sebagai junior copywriter di sebuah biro iklan multinasional yang dijuluki “Biro Iklan No.1 Indonesia”. Lepas dari situ, dengan penuh percaya diri saya mengirim lamaran ke 20 biro iklan berskala besar, menengah dan kecil di Jakarta, dengan 16 di antaranya memanggil saya untuk wawancara. Kepercayaan diri saya lebih didorong oleh kesadaran bahwa saya mendompleng nama besar dari biro iklan tersebut.

Kenomorsatuan biro iklan tempat saya bekerja itu terbukti dengan bagaimana para creative director, ekspat maupun lokal, menyambut saya: Mereka semua segan, lantaran saya menyandang nama besar biro iklan multinasional tersebut. Bahkan satu creative director asal Australia yang mewawancarai saya, ketika saya tawari untuk memeriksa portofolio karya-karya iklan yang pernah saya buat selama bekerja di biro iklan multinasional tersebut, menepis sambil berkata, “Tidak perlu. Saya sudah tahu kualitas orang-orang dari biro iklan tempat Anda bekerja itu.”

Mendompleng nama besar memang banyak enaknya, tetapi saya tidak memungkiri bahwa tidak enaknya juga banyak. Saya jadi merasa tidak nyaman, lantaran semua orang di biro-biro iklan tempat saya bekerja kemudian selalu mengharapkan yang terbaik dari diri saya. Giliran saya tidak dapat memberikan hasil yang baik, mereka mengait-kaitkan saya dengan nama besar itu: “Mantan biro iklan besar kok nggak mutu idenya?!”

Sebaik-baiknya dan seenak-enaknya mendompleng nama besar, masih jauh lebih asik menjadi diri sendiri. Selama lima tahun pertama berkarir di industri periklanan, saya belum begitu yakin pada kemampuan diri sendiri, sehingga merasa perlu mendompleng pada nama besar sederet biro iklan multinasional yang saya singgahi dalam kurun waktu 1994-1999. Sesudah itu, barulah saya memiliki pengalaman dan pengetahuan yang dapat saya andalkan untuk menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang bermutu.

Tidak sedikit orang yang memanfaatkan nama besar orang lain, organisasi sosial dan/atau bisnis untuk mencapai tujuannya atau untuk memuaskan kepentingannya. Bila orang-orang tersebut bertindak dan bersikap sebesar nama besar yang disandangnya, tentu hal itu tidak menimbulkan masalah bagi dirinya maupun orang lain. Yang menjadi masalah adalah apabila sikap dan tindakan mereka tidak sejalan dengan nama besar yang padanya mereka mendompleng.

Para alumni akademi militer terbaik Amerika Serikat di West Point, New York, mengenal kebiasaan yang dinamai “mengetuk cincin” (knocking the ring) untuk mempertegas kepada pihak lain bahwa mereka membawa nama besar USMA (United States Military Academy) West Point, sehingga jangan coba-coba berhadapan dengan mereka. Istilah “mengetuk cincin” itu muncul dari kebiasaan para alumni West Point ketika berdebat dengan sesama perwira yang asal sekolahnya bukan West Point, tapi ROTC (Reserve Officers’ Training Corps, Korps Latihan Perwira Cadangan) atau OCS (Officer Candidate School, Sekolah Calon Perwira). Ketika perdebatan memanas dan seorang alumnus West Point tampaknya mulai terdesak, dia akan mengetukkan cincin almamaternya ke meja, seakan berkata, “Lu jangan macem-macem deh sama gue. Gue ini lulusan West Point tau!”   

Membaca tentang hal “mengetuk cincin” itu di buku karya Hans Halberstadt, Army: The U.S. Army Today (Kent: Grange Books, 2003), saya sempat bertekad dalam hati, jangan sampai saya mempermalukan diri saat berbeda pendapat dengan orang lain dengan mengatakan, “Jangan macem-macem ya sama gue, gue ini lulusan UI dan anggota SUBUD lho!”

Kesadaran akan nama besar yang kita sandang, entah dari nama orang tua atau leluhur kita, organisasi di mana kita bernaung atau perusahaan tempat kita bekerja, bagaimanapun memiliki sisi positif, yaitu apabila hal tersebut dapat mendayai usaha kita untuk menjaga dan meningkatkan kualitas diri. Jangan sampai, mentang-mentang menyandang nama besar, kita lantas bertindak dan bersikap semaunya atau tidak sesuai kualitas sejati dari nama tersebut, karena hal itu malah akan menurunkan derajat dari orang atau organisasi yang namanya kita sandang dengan bangga. Saya memahami satu hal dari menyandang nama ayah saya, walaupun beliau sudah tiada: Hal tersebut bermakna saya mendoakan beliau melalui tindakan dan sikap saya; kalau tindakan dan sikap saya tidak sesuai atau mencemari nama ayah saya, maka saya telah membiarkan beliau menderita di alam baka!

Mendompleng nama besar memang tidak mudah, walaupun tak jarang tindakan itu menguntungkan kita secara material maupun sosial. Daripada keberatan beban menyandang nama besar orang lain atau organisasi, alangkah baiknya kita membangun nama besar untuk diri kita sendiri melalui pembentukan citra yang baik dengan senantiasa melakukan hal-hal positif bagi kepentingan kita sendiri maupun sesama kita.©


Mampang Prapatan XV, Jakarta Selatan, 24 September 2012











Wednesday, September 19, 2012

Hidup untuk Melayani



“Kekayaan, seperti halnya kebahagiaan, tidak akan dapat dicapai jika dikejar secara langsung. Ia merupakan produk tambahan dari pemberian layanan yang bermanfaat.
Henry Ford  


Bidang pekerjaan saya—komunikasi merek, yang dianggap termasuk ranah dukungan pemasaran (marketing support), acap menghadapi pemasar (marketer) atau pengiklan (advertiser) yang membagi industri mereka ke dalam dua kategori: industri manufaktur (pembuat) dan industri jasa (melayani konsumen). Sehingga, atas dasar itu, perusahaan komunikasi merek, dalam hal ini tim kreatif beserta perencana strategis dan perencana media, diharapkan membedakan bahasa dan media komunikasi yang digunakan untuk masing-masing kategori. Industri manufaktur dianggap memiliki produk yang wujud (tangible), sedangkan industri jasa dipandang sebagai penyedia produk tak-wujud (intangible).

Sesungguhnya, jika ditilik lebih jauh, kedua industri hadir hanya untuk melayani pihak lain, atau yang dewasa ini dikenal sebagai pemangku kepentingan (stakeholder). Tidak ada industri yang eksis tanpa kepentingan untuk melayani kebutuhan pihak lain. Dan hakikatnya, hidup ini pun mengharuskan segala sesuatu di dalamnya untuk melayani kebutuhan yang lain, saling menunjang, saling melengkapi, saling menghidupi! Hidup ini, sejatinya, adalah untuk melayani.

Penulis melayani kebutuhan pembaca akan bacaan yang bermutu, desainer grafis melayani kebutuhan akan penataan visual yang artistik yang pada gilirannya memuaskan pemirsa, seniman melayani penikmat seni, orang tua melayani kebutuhan anak-anak akan kasih sayang, guru melayani kebutuhan murid akan ilmu. Lebih luas lagi, angin melayani kebutuhan makhluk untuk beroleh kesejukan, menjadi sumber pembangkit listrik, membantu anak-anak bermain layangan, membantu pelayaran, dan lain-lain. Api melayani kebutuhan untuk memasak makanan, menghangatkan dunia, membuat uap dari air, dan lain-lain. Air memuaskan dahaga, menyiram tanaman yang pada gilirannya menghasilkan buah untuk melayani pemangku kepentingannya, yaitu manusia dan hewan.

Pendek kata, ada rantai layanan dalam hidup kita ini. Yang satu melayani yang lain, yang lain melayani yang lainnya lagi, hingga kembali ke yang satu itu. Berputar terus dalam pola lingkaran. Dengan demikian, tidak ada satu pun di dalam hidup ini—maupun dalam mati—yang tidak ada gunanya. Semua ada gunanya, dan saling melengkapi. Albert Einstein mengatakan bahwa Tuhan tidak melempar dadu; artinya dalam menciptakan hidup dan kehidupan di dalamnya Dia tidak melakukannya untuk kesia-siaan, untuk sekadar menebak apa keluarannya (outcome) dari segala perbuatan dan pemikiran, perkataan dan perasaan manusia beserta makhluk-makhluk lainnya.

Semua yang diciptakan Tuhan untuk hidup dan kehidupan ada maksudnya. Soal apakah maksud itu tampak nyata atau tersembunyi, sehingga kita harus menggalinya terlebih dahulu lewat berbagai laku kehidupan yang tak jarang bersifat keras dan berat, itu urusan belakangan. Jalani saja hidup ini dengan sikap berserah diri yang sabar, ikhlas dan tawakal. Terus berusaha dengan memanfaatkan segala sumber daya, tetapi menyerahkan hasilnya kepada Tuhan.

Karena hidup adalah untuk melayani, maka, sebagaimana para pekerja di industri manufaktur dan jasa, kualitas merupakan prasyarat utama. Eksistensi kita dalam hidup ini sudah pasti ada manfaatnya, tetapi agar manfaat itu memiliki karakteristik keberlanjutan (sustainability), kita pun wajib senantiasa meningkatkan kualitas dari manfaat itu. Tanaman buah, misalnya, memang memberi manfaat kepada makhluk lain lewat produknya (buah yang bisa dimakan), tetapi agar bisa melayani lebih banyak lagi pemangku kepentingan maka kualitas si tanaman buah harus ditingkatkan, misalnya dengan diberi pupuk atau dirawat secara khusus demi menghasilkan buah yang lebih banyak jumlahnya, lebih segar dan lebih banyak kandungan gizinya.

Sebagai manusia, kita dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri, agar kebermanfaatan kita dapat menjangkau lebih banyak pemangku kepentingan. Tuntutan itu tidak hanya berasal dari orang lain, tetapi juga dari diri sendiri, karena masing-masing kita memiliki kebutuhan untuk mengaktualisasi diri. Dan pada gilirannya, dampak dari aktualisasi diri kita dapat dirasakan oleh orang lain.

Karena latar belakang saya adalah penulis naskah materi komunikasi pemasaran dan korporat (copywriter), maka saya sering mengamati tulisan-tulisan karya orang lain. Tak jarang saya menjumpai tulisan-tulisan yang menafikan perannya untuk melayani kebutuhan pembaca. Bukan hanya tulisan-tulisan yang resmi atau untuk dijual, tetapi juga tulisan-tulisan kasual dan pribadi, seperti surat cinta atau puisi atau pesan singkat lewat telepon seluler atau surat elektronik (e-mail). Maksud hati menyambung tali silaturahmi, apa daya malah memutuskannya.

Ada penulis yang mengabaikan tanda baca, susunan kalimat yang berantakan atau tidak relevan satu sama lain, penggunaan istilah yang tak jarang hanya dimengerti oleh penulisnya, pembagian alinea yang tidak jelas atau alinea yang mestinya bisa dibagi menjadi beberapa bagian malah dijadikan satu, sehingga pembaca tidak diberi kesempatan untuk istirahat sejenak dan merenungkan tulisan itu. Saran saya kepada Anda yang ingin menjadi penulis: Bila Anda tidak memiliki spirit melayani pembaca, jangan deh jadi penulis!

Ini berlaku bagi semua bidang pekerjaan; jika Anda tidak punya semangat melayani pemangku kepentingan dari pekerjaan Anda, sebaiknya jangan lakukan pekerjaan itu. Sia-sia saja, dan pada akhirnya toh Anda akan mengalami kejenuhan dengan pekerjaan yang tidak ada manfaatnya sama sekali, walaupun Anda digaji. Karena tampaknya sudah menjadi kodrat bahwa kita ini makhluk yang butuh dilayani oleh orang lain, dalam wujud yang tidak melulu uang, tetapi, yang lebih penting, juga pengakuan yang sifatnya tak-wujud.(AD)


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 7 Mei 2011

Kata dan Arti


Mengerti adalah menyelami
perasaanku tanpa asuh kata dan arti,
terbilang makna sedalam samudra hati
Bila kau tak bisa mengerti aku, biarlah aku berjuang sendiri
di jalan setapak yang diterangi
gegap cahaya ilahi,
bersahabatkan kemuliaan yang murni

Tak kau tangkap makna semburat diri yang mencari
Tak kau pahami semua perjalananku ini
tanpa dibarengi upayamu untuk mengerti
Sedangkan mengerti adalah menyelami
perasaanku tanpa asuh kata dan arti

Hanya bisa kau rasa tak pakai akal budi
Di mana cinta semata adalah keberadaan tanpa ada dan tak badani,
tapi kau tuntut untuk kubagi lewat ucapan dalam bahasa yang kau ketahui
Lewat kata dan arti kau ciptakan jarak, yang sungguh tak peduli
Lewat kata dan arti kau hanya pentingkan dirimu sendiri
Nyatanya kau tak mengerti,
karena mengerti adalah menyelami
perasaanku tanpa asuh kata dan arti

Bebaskan dirimu dari yang kau ketahui
Tak bisa dengan tahumu kau dekati yang tak kau ketahui
karena Dia berjubah kesucian abadi
dari apa kau tahu hanya lewat umpama kata dan arti

Sesungguhnya kau menipu diri
seolah diriku kau mengerti,
tetapi yang kau tahu tentang diriku maupun dirimu adalah eksistensi
dalam kata dan arti
Tak kau pakai rasa untuk menggapai mengapa aku begini
Aku sedang berjalan di antara mawar dan duri
untuk akhirnya bersujud di dalam sang sejati
yang tak dilingkupi kata dan arti

Berdiamlah kamu dalam semesta semadi,
menyusuri rasa diri pribadi bertaut tuntunan Sejati
Abaikan keberadaan kamu, aku, dia, mereka,
kita semua yang ada oleh kata dan arti
Junjung rasamu, karena Sang Rasa mengerti,
sebenar-benarnya memaknai sedalam samudra hati
Mengerti yang adalah menyelami
perasaanku tanpa asuh kata dan arti...


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 26 Mei 2011, pukul 01.59 WIB

Menjadi Diri Sendiri (Being Yourself)


Betapa sial kita bila matahari tidak ingin menjadi matahari
Kehidupan akan membeku
dan cinta kehilangan kehangatannya

Celakalah kita jika angin tidak ingin menjadi angin
Layang-layang takkan menghias langit
dan aku takkan bisa melayang-layang dalam buaian cintamu

Ah, betapa buruknya kalau bulan malu menjadi dirinya
Malam-malam akan menjadi kelam
dan hidup kita menyuram

Tapi malang nian nasibmu, bila kamu menolak menjadi dirimu
Keindahanmu ada pada setiap diri
yang dengannya kamu turun ke bumi
Tuhan dan aku mencintaimu sebagaimana kamu
—yang adalah kamu yang kamu tahu
Dengan menjadi dirimu sendiri, cinta kita menjadi abadi...


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 29 Mei 2011, pukul 21.30

Berbicara Dengan Tuhan

“Suara manusia tidak akan pernah dapat menjangkau jarak yang dicakup oleh suara nurani yang tetap kecil.”
—Mohandas Gandhi


Semalam, sepulang kerja, saya menonton televisi di ruang keluarga bersama keponakan saya. Keponakan saya itu, anak perempuan berusia sebelas tahun, duduk di sebelah saya di atas sofa di depan televisi. Beberapa kali ia mengutarakan kecemasannya, sehubungan dengan pengumuman hasil Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) yang akan digelar dalam waktu dekat ini.

Beberapa kali ia menanyakan ke saya kemungkinannya ia lulus UASBN. Keponakan saya itu bukan tergolong anak yang rajin belajar. Ia belajar hanya ketika ada pekerjaan rumah atau ketika menyambut ulangan. Ia lebih suka bermain, membaca komik atau duduk di depan komputer, mengunggah foto di media sosial dan mengunduh lagu-lagu. Berulang kali saya mengingatkannya untuk belajar, ada atau tidak ada ulangan atau pekerjaan rumah, tetapi ia tidak menggubrisnya. Bagaimanapun, saya tetap mendoakan agar ia berhasil di sekolahnya.

“Om Anto, kira-kira aku lulus nggak ya?” tanyanya, untuk kesekian kalinya, sementara perhatian saya ke layar televisi. “Kamu lulus, Ya! Pasti lulus!” kata saya dengan yakin. “Ah, ini menghibur aja bisanya. Beneran, Om, lulus nggak ya aku?”

“Kamu lulus!” tandas saya.

“Kok tahu?” tanya keponakan saya lagi—lama-lama menyebalkan juga.

“Ya, tahu dong. Om Anto kan bicara dengan Tuhan. Kalau Yaya minta dengan sungguh-sungguh, dalam hati, kepada Tuhan, pasti dikasihNya.”

Ih, ketahuan bo’ong-nya nihEmang bisa bicara dengan Tuhan?” kata keponakan saya sambil mencibir.

Pada saat itulah, secara tak ketahuan, saya merenung—merenungkan kata-kata keponakan saya: Emang bisa bicara dengan Tuhan? Saya memikirkan betapa dangkalnya pelajaran agama yang diajarkan di sekolah bila hasilnya adalah ketidakpercayaan peserta didik bahwa Tuhan bisa diajak bicara, bisa menjadi teman bicara yang tiada bandingnya dengan manusia. Padahal para nabi dan utusan Tuhan di masa lalu sudah membuktikannya. Bukan kenabian mereka yang membuat mereka dapat berbicara dengan Tuhan, melainkan kemampuan mereka untuk berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal, yang mendorong hati, diri dan jiwa mereka senantiasa tenang. Dalam ketenangan itulah suara Tuhan dapat kita dengar dengan jelas.

Ada yang menyebutnya suara batin (inner voice), suara hati, suara diri, atau, secara gamblang, suara Tuhan di dalam diri kita. Saya tidak punya teori tentangnya, karena suara ini merupakan fenomena alami. A. Reza Arasteh, dalam bukunya, Growth to Selfhood: The Sufi Contribution to Islam (Penguin, 1991), menyebutkan bahwa paling tidak satu kali dalam hidup kita pernah mendengar suara batin itu. Saya percaya, bahwa suara batin itu merupakan representasi dari diri saya yang ‘lain’, tetapi pengalaman saya menuturkan bahwa ‘diri yang lain’ itu lebih arif dan bijaksana ketimbang saya.

Suara itu biasanya dapat kita dengarkan apabila kita berada dalam suatu keadaan yang tenang. Bukan ketenangan suasana, sebagaimana yang sering disyaratkan oleh ajaran-ajaran meditasi yang salah kaprah, melainkan ketenangan hati, diri dan jiwa kita. Para biksu Buddhis dari aliran Theravada membiasakan diri mereka berlatih meditasi dan mendengarkan suara batin mereka—yang menuntun mereka dalam pemikiran dan perasaan, perkataan dan perbuatan—di tengah hiruk-pikuk dunia. Kaum praktisi tarekat Sufi Naqshbandiyah merangkul amalan khalwat dar anjuman (bahasa Persia yang berarti ‘menyepi di tengah keramaian’, yaitu menjalani hidup di tengah keramaian lingkungannya, namun hatinya sepi dari apa pun selain Allah).

Dalam profesi saya di bidang kreatif, pembadaian otak (brainstorming) dengan rekan-rekan satu tim merupakan hal yang penting, demi menangkap ide yang tepat untuk suatu pekerjaan. Tetapi tak jarang saya memperoleh ide-ide cemerlang justru ketika saya berbadai otak dengan diri sendiri. Kebanyakan kita punya pengalaman memperoleh ide hebat ketika berada di toilet, yaitu saat kita menenangkan diri, biasanya tanpa sengaja, dan berfokus pada aktivitas tunggal saat berada di toilet: buang hajat. Hal itu membuktikan bahwa ketenangan pikiran memang membuka gerbang komunikasi kita dengan sesuatu yang melampaui eksistensi kita (beyond our existence).

Bulan lalu, saya mendapatkan pengalaman dahsyat dari tuntunan Tuhan lewat suara batin ini, yang menyelamatkan saya dari kejahatan dunia. Seorang relasi saya, yang menjabat direktur pengelola di sebuah perusahaan freight forwarder, menghubungi saya untuk sebuah proyek senilai Rp 15 miliar dari kawannya. Proyek tersebut berupa branding untuk sebuah perusahaan telekomunikasi berskala nasional yang lebih dari enam puluh lima persen sahamnya dimiliki asing. Bersama tim dari perusahaan komunikasi merek yang saya gawangi, saya bertemu dengan kawan si direktur pengelola freight forwarder tersebut.

Seperti biasa, ketika bertemu dengan klien baru, saya menyodorkan kartu nama saya. Damas—bukan nama sebenarnya—menerima kartu nama saya sambil mengatakan bahwa ia tidak membawa kartu namanya. Entah dari mana asalnya, saya mendengar dengan jelas sekali suara di dalam diri saya, yang menandaskan bahwa Damas bukan tidak membawa kartu namanya, melainkan lantaran ia ingin selamat sendiri. Saya pun bertanya-tanya dalam hati: Selamat dari apa? Tetapi suara batin itu tidak berkata lebih lanjut. Damas itu bukan karyawan atau manajemen dari perusahaan telekomunikasi tersebut, yang membuat saya makin curiga.

Ketika saya menerima taklimat (brief) dari Damas, suara batin itu kembali muncul, dengan intensitas yang lebih besar. Saya ‘disuruh’ oleh suara itu untuk mempertanyakan secara kritis eksistensi proyek tersebut, berhubung iklan-iklan dan event promosi produk-produk perusahaan telekomunikasi itu telah beredar lama dan masih terus ditayangkan di berbagai media. “Bila kita merekomendasikan lagi konsep komunikasi yang baru, di pertengahan tahun pula, bukankah hal itu akan menimbulkan tumpang-tindih dengan strategi yang sudah dijalankan biro-biro iklannya, Pak?!” kata saya. Damas tertegun, tak bisa menjawab. Dan suara dalam diri saya terus berteriak girang, “Tuh kan, dia bohong. Bohong besar!”

Sulit saya jelaskan di sini dengan kata-kata, tetapi saya ‘digiring’ oleh suara itu untuk akhirnya menangkap adanya ketidakberesan dalam proyek tersebut. “Pemerasan! Dia mau melakukan pemerasan. Jangan kamu terima pekerjaan itu. Nantinya, dia yang dapat uangnya, sedangkan kamu masuk penjara!”

Secara diplomatis, saya katakan pada Damas maupun relasi saya, yang juga hadir saat itu, bahwa rekomendasi konsep akan segera saya persiapkan setelah saya memperoleh data riset pasar—yang sudah pasti memakan waktu, tetapi saya memang mau mengulur-ulur waktu sampai saya mendapat kejelasan tentang proyek tersebut. Belakangan, saya bersyukur telah diselamatkan Tuhan lewat suaraNya ke diri saya: Dari informasi kenalan saya yang mendapat akses ke direksi perusahaan telekomunikasi itu, proyek tersebut memang beritikad pemerasan terhadap direksi dan komisaris!

Mohandas Gandhi mengatakan bahwa siapa pun yang menghendaki dapat mendengar suara batinnya. Suara itu ada di dalam diri setiap orang, dibekali Tuhan sejak kita diciptakanNya agar kita dapat senantiasa berbicara denganNya.(AD)


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 18 Juni 2011

Dalam Hatiku


Tak terbilang rasa yang menyertai raga
ketika kaki melangkah lunglai
memasuki taman keabadian
Karpet merah yang kuimpi tak ada di sana
melainkan tikar hijau berembun merengkuh pagi
yang selimuti sepi taman itu

Aku merebah panggul di atas batu pualam hitam, berucap:
Mama-Bapak, maafkan aku baru ini mengunjungimu,
sekadar melihat batu penandamu dan rumput gajah mini
bersela tanah merah membukit yang digelontor hujan semalam
Aku tak melupakanmu, walau jasadmu terbaring di antara akar dan tumpat debu beraroma langu,
jiwa semangatmu terkubur di liang hatiku
Kubawa ke mana-mana, kutabur dengan kasih berbunga-bunga
Mama-Bapak, aku mencintaimu,
tak sedalam liang lahatmu memang,
tapi dalamnya hatiku siapa yang tahu...


TPU Jeruk Purut, Cilandak Timur, Jakarta Selatan, 25 Juni 2011, pukul 06.45

Akibat Mengabaikan Peluang Yang Lewat



Ada sebuah kisah Sufi yang memikat tentang dua orang teman yang bertemu setelah berpisah sekian lama. Yang satu sudah menikah, yang lainnya masih lajang. Pria yang sudah menikah bertanya pada kawannya yang masih lajang tentang kehidupan cintanya. Kawannya yang masih lajang menjelaskan bahwa beberapa bulan yang lalu ia mengira telah menemukan wanita yang sempurna. “Ia memiliki wajah yang cantik,” katanya. “Penampilannya luar biasa.” “Lalu, kenapa kamu tidak menikahinya?” kawannya yang sudah menikah bertanya. “Hmm,” jelas si pria lajang, “ia tidak terlalu pandai.”

Ia terus bercerita bahwa beberapa minggu kemudian ia menemukan wanita lainnya yang ia kira sempurna. “Ia sama cantiknya dengan wanita pertama dan sama cerdasnya.” “Lalu kenapa kamu tidak menikahi wanita ini?” tanya kawannya. “Hmm, ia memiliki suara yang berbunyi seperti kuku yang digesek ke papan tulis.” 

Pria yang sudah menikah mengangguk, tetapi sebelum ia dapat mengatakan sesuatu kawannya yang lajang melanjutkan: “Kemudian, minggu lalu aku akhirnya bertemu dengan wanita yang sempurna. Ia cantik, ia pintar, dan suaranya begitu lembut dan menyejukkan.” “Baiklah, kapan pernikahannya dilangsungkan?” pria yang sudah menikah bertanya. “Tidak ada pernikahan,” kawannya menjelaskan. “Tampaknya ia mencari pria yang sempurna.” 

Pria yang lajang itu tetap melajang, ia memiliki banyak peluang untuk menikah tetapi ia melewatkannya.

Moral dari kisah ini adalah: Jangan pernah melewatkan peluang yang lewat di depan Anda, karena Anda takkan pernah tahu apakah peluang itu membawa rezeki bagi Anda atau tidak jika tak menangkapnya.

A Simple Mind


Calm your mind, my Friend,
for it is a good servant yet a bad master 
In calmness humility gained, then angels sent in to foster
For you is the servant revering the Great One
Other than Him there is none
He who reveals nothing but love
a conquering mind does not know anything of
for it perceives merely distress and anguish
A simple mind instead provides lavish

Resign yourself to His love that knows no boundaries,
that breaks through time, that gets free of fallacies
Do not raise any question, my Friend, and do not strive to understand—
do not even think to fight the essentially helping Hand
until the Teacher Within leads you to the learning
that things and episodes are here for your earning

Go, my Friend—let go and grow
to the divine touchstones that consent you to flow
like the streaming water from mountain-springs
to the ocean of joy a submitting soul brings
Set aside your revolting mind
that tortures you so unkind,
for you are its servant if you comply
to the fleeting lies it wants you to buy

Go, my Friend, stand straight, eyes closed, and sense His Might
that permeates you, body and soul, day and night
Realize in utter awareness the sensation of surrender,
feeling the vibration such feats constantly engender
Your simple mind, bare of fancies, blessed by the Divine
to follow the light through the path so fine…


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, South Jakarta, July 23, 2011, 00:15 Western Indonesia Time