Friday, December 30, 2016

Anto Dwiastoro's Quotes 2016


“Kesombongan, keangkuhan, atau keras hati merupakan perilaku pembentengan diri dari orang yang sejatinya berkepribadian lemah dan rendah diri. Perlakukan orang semacam ini, sebaliknya, dengan kelembutan berbalut sabar.” (Anto Dwiastoro, 1 Januari 2016 di Jl. Ikan Mungsing VI, Perak Barat, Surabaya Utara)

“Jangan merasa pintar bila yang mengisi pikiranmu adalah retorika dari guru-guru yang kepandaiannya hanya mengolah kata-kata tanpa kedalaman makna.” (Anto Dwiastoro, 1 Januari 2016 pukul 19.04 WIB @ Jl. Ikan Mungsing VI, Perak Barat, Surabaya Utara)

“Kalau kamu merasa terganggu dengan beberapa hal di luar dirimu, sesungguhnya ada kekalutan di dalam dirimu. Alih-alih berusaha mengatasi yang di luar dirimu, tenangkan saja yang di dalam dirimu.” (Anto Dwiastoro, 2 Januari 2016 @ Jl. Ikan Mungsing VI, Perak Barat, Surabaya Utara)

“Bersama semua upayamu demi kepentingan orang banyak datang ujian untuk menguji dirimu sendiri apakah upayamu digelayuti kepentingan pribadi atau tidak. Tandanya sederhana: Bila upayamu tidak dihargai dan kamu marah karenanya, maka sesungguhnya kamu memiliki kepentingan pribadi.” (Anto Dwiastoro, 5 Januari 2016 @ Jl. Ikan Mungsing VI, Perak Barat, Surabaya Utara)

“Kebiasaan dengan sosok yang tampak—dan bingung dengan yang tak tampak—dan tidak percaya pada diri sendirilah yang membuat banyak orang mengarahkan perhatian mereka pada serta memuliakan guru yang sama-sama orang. Ketahuilah, orang yang benar-benar arif akan menolak predikat guru yang disandangkan masyarakat padanya dan menepis pemuliaan.” (Anto Dwiastoro, 7 Januari 2016)

“Terima kasih, Tuhan, untuk selalu terlibat dalam proses kreatifku. Justru di saat aku hening dalam kepasrahan, dan bukan saat aku berpikir keras sambil menyeruput kopi di kafe atau menghirup angin lembut di pegunungan.” (Anto Dwiastoro, 8 Januari 2016)

“Perhatikan apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan
Jangan sampai perkenanmu untuk melakukan sesuatu didasari pada siapa mengatakan apa, tapi pada apa dikatakan siapa.” (Anto Dwiastoro, 10 Januari 2015)

“Ah, percuma kamu membuka halaman-halaman dari buku-buku para guru spiritual itu sebelum kamu membuka keinsafan spiritualmu sendiri.” (Anto Dwiastoro, 13 Januari 2016)

“My religion is called railigion. Its teaching goes like this: ‘If life gets tough, I train (Latihan Kejiwaan). If life gets tougher, I train the more. If I can’t handle life, I watch a train.” (Anto Dwiastoro, 16 Januari 2016)

“Keistimewaan dari berserah diri adalah bahwa kamu menjadi sangat percaya diri. Itu lantaran energi Ilahi di dalam dirimu mengambil alih dan menaklukkan segala sesuatu yang menahan dirimu dari menjadi dirimu sendiri.” (Anto Dwiastoro, 18 Januari 2016)

“Beda antara sikap religius dan sikap spiritual: Religius itu bila seorang musisi rock menanggalkan segala atribut rockernya setelah hampir mati akibat narkoba, mengenakan busana tradisi agamanya, taat beribadah, dan bergeser ke genre musik rohani. Spiritual itu bila seorang musisi rock mendapat pengalaman ketuhanan langsung dalam karir musiknya yang penuh perjuangan berat, lalu menciptakan lagu-lagu rock yang berasal dari dalam dirinya, yang dapat menghipnotis para pendengarnya untuk berseru: ‘Ooh, my God!’” (Anto Dwiastoro di lobi lantai 7 gedung Kantor Pusat PLN Distribusi Jakarta Raya, Gambir, Jakarta Pusat, 13 Januari 2016)

“Beda antara religiusitas dan spiritualitas: Religiusitas adalah ketika seseorang melakukan perjalanan ke berbagai tempat suci di seluruh dunia tapi sejatinya dia tidak pernah pergi ke mana-mana. Spiritualitas adalah ketika seseorang tetap di tempatnya berada tapi sejatinya jiwanya telah pergi ke mana-mana.”(Anto Dwiastoro, 19 Januari 2016)

“Sifat pisau terletak di tangan siapa yang memegangnya. Di tangan orang baik, pisau menjadi baik dan bermanfaat. Di tangan orang jahat, pisau sama jahatnya dengan pemegangnya.” (Anto Dwiastoro, 21 Januari 2016)

“Benar, gagal adalah kesuksesan yang tertunda. Tapi camkan ini: sukses pun adalah kehancuran yang tertunda bila kamu lupa diri atau takabur.” (Anto Dwiastoro, 23 Januari 2016 @ Restoran Pulau Dua, Senayan, Jakarta Pusat)

“Tingkat spiritual tertinggi adalah tertawa. Terlebih-lebih menertawakan diri sendiri.” (Anto Dwiastoro, 24 Januari 2016 @ Wisma SUBUD Cilandak, Jakarta Selatan)

“Orang kalau sudah berserah diri, dirinya bisa menerima segala keadaan dengan ikhlas dan penuh sukacita, tanpa terkondisi oleh keadaan. Ia mampu menjadi seperti ikan yang hidup di dalam air laut yang asin tapi dagingnya tidak ikut-ikut menjadi asin.” (Anto Dwiastoro, 28 Januari 2016)

“Don’t limit yourself, because the Self has no limit.” (Jangan membatasi dirimu sendiri, karena Diri tidak berbatas.) (Anto Dwiastoro, 28 Januari 2016)

Berdaya itu adalah ketika kamu punya hobi yang kamu terus jalani meski sedang tidak memiliki uang, dilihat maupun tidak dilihat orang lain, acuh meski hobi kamu dicemooh orang lain sebagai nyeleneh, dan merasa tidak istimewa/biasa-biasa aja. Teperdaya itu adalah ketika kamu tiba-tiba kaya-raya dan merasa harus memiliki hobi bermotor Harley-Davidson, mengoleksi mobil mewah, atau balap/reli/offroad mobil, dan merasa lebih berdaya/lebih istimewa daripada orang lain yang tidak punya hobi sejenis.” (Anto Dwiastoro, 31 Januari 2016)

“Saat Rasa mulai berbicara, kata-kata pun kehilangan makna.” (Anto Dwiastoro, 1 Februari 2016)

“Puasa = meditasi organ bagian dalam dari tubuh kita.” (Anto Dwiastoro, 1 Februari 2016)

“Hati yang isinya kekotoran bukan saja memproduksi ucapan dan prasangka yang buruk tapi juga mengundang tindakan-tindakan yang tidak baik dari orang lain terhadap si pemilik hati.” (Anto Dwiastoro, 3 Februari 2016 @ Kamar 205 Hotel Griya Lestari, Jl. Penjawi 51A, Pati, Jawa Tengah)

“Kamu mengungkap eksistensiNya lewat puisi. Aku menyaksikanNya lewat non-fiksi.” (Anto Dwiastoro, 8 Februari 2016 @ Kamar 205 Hotel Griya Lestari, Jl. Penjawi 51A, Pati, Jawa Tengah)

“Dirasakan dirinya. Jangan dipikirkan masalahnya.” (Anto Dwiastoro, 12 Februari 2016)

“Beberapa hal dalam hidup harus kamu anggap sebagai ‘buatan manusia’ agar ketika kamu menghadapi kesulitan dengan mereka kamu tidak akan merasa terhambat untuk berusaha mengatasinya dengan daya manusiamu.” (Anto Dwiastoro, 18 Februari 2016)

“Kamu tidak berhak meminta dihormati lantaran status atau jabatanmu, tetapi kamu wajib memberi contoh agar dihormati.” (Anto Dwiastoro, 28 Februari 2016)

“Sebesar-besarnya kita percaya pada Tuhan, seberapa besar kita percaya pada diri sendiri?” (Kalimat penutup si pembawa acara Brain Games episode The God Brain, National Geographic Channel, 28 Februari 2016, pukul 14.00-15.00)

“Bersyukurlah atas waktu yang berlalu. Bersyukurlah atas waktu yang mendatangimu. Hiduplah untuk saat ini, bersama bahagiamu.” (Anto Dwiastoro, 6 Maret 2016)

“To deny our imperfections is to reject our humanity and to become disconnected from our soul.” (Lee G. Bolman dan Terrence E. Deal, Leading with Soul: An Uncommon Journey of Spirit (San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1994), hlm. 61)

“Kesuksesan mendatangimu ketika kamu merasa bahagia, alih-alih iri, atas kesuksesan orang lain.” (Anto Dwiastoro, 10 Maret 2016)

“Pesta atau perayaan merupakan lem spiritual yang merekatkan semua orang jadi satu. Seperti agama; apa yang mengikat umatnya satu sama lain? Perayaan keagamaan.” (Tokoh “Maria” dalam buku Leading With Self: An Uncommon Journey of Spirit, hlm. 96)

“Yang paling sulit dalam upaya menguasai suatu keterampilan untuk profesi tertentu adalah memiliki integritas. Dengan memiliki integritas, seorang pembelajar konsisten dan teguh dalam mengamalkan nilai-nilai yang menunjang profesionalisme.” (Anto Dwiastoro, 10 Maret 2016, pukul 12.24)

“Pembalasan atas perbuatan buruk orang lain terhadap dirimu tidak membuatmu lebih baik daripada dirinya. Bahkan lebih buruk.” (Anto Dwiastoro, 11 Maret 2016)

“Masa depanmu bukan ditentukan oleh di mana kamu belajar atau bidang apa yang kamu pelajari. Tetapi oleh bagaimana kamu belajar.” (Anto Dwiastoro, 14 Maret 2016)

“Orang bisa saja berjalan jauh mencari kebenaran tetapi ia harus menyadarinya dalam dirinya sendiri atau ia tak akan menemukannya.” (Kearifan Zen)

“Kebenaran bahwa ‘tak ada kebenaran yang mutlak’ juga tidak mutlak.” (Anto Dwiastoro, 18 Maret 2016)

“The Past is forgiven, for Him the Now is what matters.” (Anto Dwiastoro, Teras Timur Hall SUBUD Cilandak, Jakarta Selatan, 20 Maret 2016)

“When I teach, I learn. When I give a lot, I earn a lot.” (Anto Dwiastoro, 23 March 2016)

“Being spiritual is not the same as being religious. In religion, you follow a teaching. In spirituality, you are the teaching.” (Anto Dwiastoro, 24 Maret 2016)

1. The main thing is to think big.
2. All problems contain their solutions.
3. We have to find things that are unexpected and impossible.
4. We can make art into the skill as what we have learned.
5. Wisdom is the ability to look at the future retrospectively. (Bapak, New York, 1970)

“Jangan sekali-kali membiarkan dirimu diperdaya persepsi (asumsi pikiran). Hiduplah dengan resepsi (penerimaan dari dalam).” (Anto Dwiastoro, 27 Maret 2016)

“’Pemahaman yang dangkal terhadap ajaran agama’ itu seperti apa? Tidak seperti ilmu pasti yang rumit dengan rumus-rumus dan bidang-bidang spesialisasi yang detil, agama hanya mengajak untuk berbuat baik pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Yang ritual-ritual dan bacaan-bacaannya rumit, keberadaan manusia lain sebagai guru, cenderung mengerdilkan Tuhan, serta karena itu umatnya zalim terhadap sesama makhluk, itu bukan agama namanya.” (Anto Dwiastoro, 30 Maret 2016)

“Baik-buruk, sukses-gagal, sehat-sakit, kaya-miskin, masalah-solusi—itu cuma persepsi, produk akal pikir. Jadilah Nol, karena itu membebaskanmu dari persepsi yang memutus hubunganmu dengan keilahian.” (Anto Dwiastoro, 4 April 2016)

“Alih-alih belajar menjadi netral/tidak berpihak, belajarlah merasakan mana yang sejalan dengan kehendakNya dan mana yang sejalan dengan kehendak pribadimu.” (Anto Dwiastoro, 5 April 2016)

“Ketahuilah, ketika kamu melontarkan kritik atas tingkah laku seseorang dan dia terpancing amarahnya, biasanya itu karena kritikmu mengenai sasarannya, yaitu egonya yang dibungkus kepentingan pribadi. Orang yang sejatinya tidak memiliki kepentingan apa pun tidak akan mudah marah.” (Anto Dwiastoro, 7 April 2016)

“Bagaimana kamu akan tahu dalam dan luasnya samudera kalau kamu tidak menceburkan diri ke dalamnya? Renangi, selamilah, bertanyanya nanti saja.” (Anto Dwiastoro, 8 April 2016)

“Sukses bukanlah kado yang diletakkan Tuhan di ujung jalan panjang yang berliku, yang berhak kamu dapatkan setelah menempuh jalan itu. Sukses adalah rasa syukur atas keadaanmu saat ini, apa pun itu.” (Anto Dwiastoro, 9 April 2016)

“Isi perkawinanmu bukan dengan mencari apa kesamaanmu dengan pasanganmu, tapi dengan menyamakan pandangan atas perbedaan kalian.” (Anto Dwiastoro, 9 April 2016, pukul 12.46)

“Ketika kamu sedang asik berkarya, dan tiba-tiba kamu mulai berpikir, berhentilah. Karya-karya hebat berasal dari spontanitas, bukan perencanaan dan pertimbangan.” (Anto Dwiastoro, 10 April 2016)

“Tuhan tidak ada di mana-mana. Dia hanya ada di mana saja dan kapan saja kamu merasakan gemuruh sukacita di balik dadamu, yang begitu kuat hingga kamu berucap, ‘Puji Tuhan!’.” (Anto Dwiastoro, 11 April 2016)
“Pengertian itu dari dalam dirimu, tapi tuntunan Tuhan melingkupi dalam maupun luarmu. Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensialmu bisa berasal bahkan dari daun yang tertiup angin.” (Anto Dwiastoro, 12 April 2016)

“Jalan spiritual adalah jalan untuk menemukan dirimu sendiri. Apa pun yang kamu jumpai di jalan itu adalah cerminan dari siapa dirimu sebenarnya. Kalau kamu tidak sabar, marah atas perilaku orang lain, membenci sikap orang lain, sesungguhnya kamu sedang tidak sabar dengan dirimu sendiri, marah atas dirimu sendiri, dan membenci dirimu sendiri.” (Anto Dwiastoro, 20 April 2016)

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” (Pramoedya Ananta Toer)

“Memang, saudara-saudara sekalian, hati, pikiran banyak aturan. Dan demikian pun juga tidak dapat disalahkan, saudara. Tuhan apa itu marah itu kepada manusia yang begitu? Tidak! Tidak marah. karena itu memang diberikan kepada manusia. Dan dari adilnya Tuhan kepada manusia dan akan pula memukul manusia itu sendiri. Jadi, manusia di dalam hakikatnya akan terpukul oleh perbuatan yang salah. Jadi, kalau ada kesalahan, bukan itu kesalahan dari orang lain, tidak. Kesalahan dari hatinya sendiri.” (Bapak Muhammad Subuh di Paris, 11 Juli 1964)

“Rasa lezat makanan atau minuman bukan berasal dari makanan atau minuman itu sendiri. Melainkan dari dirimu yang mensyukurinya.” (Anto Dwiastoro, 30 April 2016)

“Kalau kamu ikhlas, hal-hal jelek yang dilemparkan seseorang ke kamu dari belakang akan berbalik menyerang dia dari depan.” (Anto Dwiastoro, 6 Mei 2016)

Losing someone you love is never easy that finding yourself in the process makes it a blessing.” (Anto Dwiastoro, 8 Mei 2016)

“Kamu bukan ‘kata orang’, tapi ‘kata hatimu’.” (Anto Dwiastoro, 9 Mei 2016)

“Pandangan orang lain terhadap diri Anda sejatinya tidak menggambarkan diri Anda, tapi menggambarkan diri mereka sendiri.” (DR. Ibrahim Elfiky, Terapi Berpikir Positif (Jakarta: Penerbit Zaman, 2015), hlm. 324)

“Pendidikan terbaik itu bukan di sekolah luar negeri atau dalam negeri, tapi pendidikan dari keteladanan yang diberikan orang tua.” (Anto Dwiastoro, 20 Mei 2016)

“Cinta itu menjaga, cinta itu memelihara, cinta itu merawat. Cinta itu tidak merusak, tidak menguasai, tidak memiliki dan dimiliki. Tidak ada cinta terlarang, yang ada hubungan terlarang. Cinta itu suci, cinta itu lengan Tuhan yang memeluk kehidupan. Cinta itu meniadakan ‘aku’, dan mengadakan ‘dia’ yang bahagia.” (Anto Dwiastoro, 22 Mei 2016)

“Pengalaman yang paling pahit pun merupakan pembelajaran yang manis.” (Anto Dwiastoro, 27 Mei 2016)

“Daya rusak Perbuatan Buruk sangat dahsyat. Seribu Perbuatan Baikmu akan langsung gugur di mata orang lain hanya dengan satu Perbuatan Burukmu. Itulah kenyataan hidup.” (Anto Dwiastoro, 27 Mei 2016, pukul 10.45)

“It’s not how long you have been doing the Latihan. It’s how much the Latihan have guided you to change your and other people's life.” (Anto Dwiastoro, 28 Mei 2016)

“Orang yang memandang Cinta sebagai ekspresi ketertarikan seksual belaka biasanya ber-IQ rendah.” (Anto Dwiastoro, 29 Mei 2016)

Sukses adalah memetika terdahsyat ciptaan manusia karena mampu membuat manusia sendiri merasa tertekan bila tidak sukses.” (Anto Dwiastoro, 2 Juni 2016)

“Jangan sampai ucapan ‘Tidak mungkin!’ dari orang lain menghentikan upayamu untuk mewujudkan sesuatu. Serahkan kepada Tuhan dan terus lakukan upayamu dengan bimbinganNya, karena bagi Dia tidak ada yang tidak mungkin.” (Anto Dwiastoro, 18 Juni 2016)

Merasa perlu menjadi adalah persepsi. Menjadi adalah kenyataan.” (Anto Dwiastoro, 19 Juni 2016)

Kaya itu berbeda dengan gaya. Untuk gaya, kamu butuh benda untuk menopang citramu di mata orang lain, sedangkan untuk kaya kamu hanya butuh rasa yang ada pada dirimu.” (Anto Dwiastoro, 26 Juni 2016)

“Kamu ingin tahu apakah kamu kaya atau miskin? Berbagilah: harta, ilmu, atau rasa yang menumbuhkan sukacita di hati orang lain. Kalau kamu mampu memberi walau hanya sebatas yang kamu punya, maka itu tandanya kamu sejatinya kaya-raya.” (Anto Dwiastoro, 26 Juni 2016, pukul 12.05)

“Barangsiapa menghakimi orang lain atau perilaku tertentu sebagai sesat, sesungguhnya dia sedang tersesat di alam pikirannya sendiri.” (Anto Dwiastoro, 27 Juni 2016)

“Nafsu untuk mendapatkan uang banyak hanya akan membuatmu selalu merasa uangmu sedikit, sehingga kamu merasa berat untuk menyedekahkannya. Untuk meringankan beban perasaan itu, ajak dirimu untuk bersedekah.” (Anto Dwiastoro, 28 Juni 2016)

“Apa artinya punya tambang emas bila kamu terkurung di dalamnya dan tidak ada lubang angin dan oksigen tipis? Sama saja kamu tidak punya apa-apa yang bernilai bagi hidupmu.” (Anto Dwiastoro, 2 Juli 2016—terinspirasi film The 33 di Fox Movies Premium)

“Hidup itu tidak perlu kamu jalani, karena hidup sudah berjalan sendiri dari awal hingga akhir. Kamu hanya perlu mengikutinya ke mana pun ia menuju, dengan berperasaan sabar, ikhlas, dan tawakal. Kamu akan tahu, pada akhirnya, di mana semua ini berujung.” (Anto Dwiastoro, 4 Juli 2016)
“Kalau kamu rajin melakukan apa yang kamu suka, maka tidak akan ada waktu yang terbuang percuma.” (Anto Dwiastoro, 8 Juli 2016)

“Kamu tidak dibentuk oleh sukses dunia, sukses harta atau sukses karya, tapi oleh sejatinya dirimu. Tanpa semua sukses itu, kamu tidak akan kehilangan dirimu.” (Anto Dwiastoro, 17 Juli 2016)

“Orang sering menemukan takdirnya di jalan yang dia hindari.” (Jean de LaFontaine (dinarasikan Agen David Rossi (Joe Mantegna) dalam serial Criminal Minds)

“Pikiran yang terbimbing olehNya menghasilkan ide-ide yang simpel dan bisa dijelaskan secara sederhana kepada orang yang punya daya tangkap sekelas anak umur tujuh tahun.” (Anto Dwiastoro, 2 Agustus 2016)

“Telaah pindai otak mendapati bahwa cuma perlu waktu kurang dari satu detik bagi sebuah kata atau frasa untuk memicu reaksi emosional di otak.” (Andrew Newberg, MD dan Mark Waldman, Born to Believe: Gen Iman dalam Otak (Bandung: Mizan, 2013), hlm. 290)

“Dengan ketenangan diri, semua jadi terkendali.” (Anto Dwiastoro, 17 Agustus 2016 di Jl. Ikan Mungsing VI, Perak Barat Surabaya)

“Barangsiapa mengenal dirinya, sudah pasti dia mengenal dan menghargai orang lain.” (Anto Dwiastoro, 17 Agustus 2016, pukul 06.17)

“Otak kita memercayai orang yang kebetulan ‘anggota’ kelompok kita atau figur yang memiliki otoritas. Jadi, kita secara biologis disimpangkan untuk memercayai majalah yang kita beli, saluran televisi yang kita tonton, dan orang yang kita sukai.” (Andrew Newberg dan Mark Waldman, Born to Believe: Gen Iman dalam Otak. Bandung: Mizan, 2013, hlm. 392-393)

“Bila kamu tidak dapat mengubah seseorang atau sesuatu, ubahlah dirimu sendiri. Niscaya segala sesuatu akan berubah.” (Anto Dwiastoro, 23 Agustus 2016)

“The key to immortality is never thinking about how old you are, but think what else can be done.” (Anto Dwiastoro, 30 Agustus 2016)

“Sesungguhnya, tidak ada yang tidak menarik. Yang ada hanya orang yang tidak tertarik.” (Anto Dwiastoro, 1 September 2016)

“It’s good if you know the product, but it’s better if you know the market.” (Anto Dwiastoro, 1 September 2016)

“Kenyataan bahwa seseorang sependapat dengan Anda tidak serta-merta membuat pendapat Anda benar; akan tetapi, sejauh hal ini berkaitan dengan otak, pengesahan dari orang lain adalah penting untuk menentukan kebenaran.” (Andrew Newberg, MD dan Mark Waldman, Born to Believe: Gen Iman dalam Otak. Bandung: Mizan, 2013, hlm. 423)

“For you, the railroad is your work. For me, it’s my passion.” (Anto Dwiastoro, mengomentari foto di Instagram-nya teman yang bekerja di PT Kereta Wisata, 4 September 2016)

“Pengetahuan hari ini bukanlah kebenaran akhir, karena esok masih menyimpan rahasia.” (Anto Dwiastoro, 6 September 2016)

“Hubungan cinta itu berasa lebih nikmat bila mempertautkan rasa, bukan raga.” (Anto Dwiastoro, 11 September 2016)

“Kita tidak bisa melupakan apa yang tidak kita ketahui.” (Anto Dwiastoro, 11 September 2016)

“Jangan pernah meminta Tuhan untuk menjadikan dirimu seperti teman/saudaramu yang tampak hebat di matamu. Karena Tuhan akan memberinya ke kamu satu paket dengan penderitaan yang sedang dialami teman/saudaramu yang tidak tampak oleh matamu.” (Anto Dwiastoro, 13 September 2016)

“Tiada kata terlambat untuk masa lalu.” (Anto Dwiastoro, 17 September 2016 di Auditorium Gedung IV FIB-UI)

“SUBUD itu ke luar tampil sebagai organisasi, ke dalam sebagai organisme.” (Anto Dwiastoro, 18 September 2016)

“Masalahnya ada di kamu—selalu di kamu, bukan di mereka. Berpegang pada prinsip ini, maka damailah hidupmu, damailah dunia.” (Anto Dwiastoro, 21 September 2016)

“The key to a happy life is to accept you are never actually in control.” (Simon Masrani, CEO Jurassic World)

“Cinta adalah ketika kamu memahami apa yang dia butuhkan tanpa dia harus mengucapkannya.” (Quote yang dinarasikan oleh pembawa acara Melamar di NET.tv, 25 September 2016)

“Tidak ada yang namanya sesuatu yang tidak diketahui. Hanya tersembunyi sementara.” (James T. Kirk, Komandan USS Enterprise, dalam Star Trek Beyond, 2016)

“Satu-satunya bidang ilmu yang sebaiknya tidak kamu pelajari dari sesama manusia adalah spiritualitas. Spiritualitas adalah ranah niskala; seharusnya yang mengajarmu pun tak tampak." (Anto Dwiastoro, 6 Oktober 2016)

Learning first, earning later—kaji dahulu, gaji kemudian.” (Anto Dwiastoro, 8 Oktober 2016)

“Kita tidak akan pernah merasakan getar kemenangan bila tidak pernah merasakan getir perjuangan.” (Pak Wawan Gusnawan, pejuang lokal lingkungan Kampung Jatibaru, Desa Jati Endah, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 12 Oktober 2016 (diekspresikan saat gw mewawancarai beliau).

“Gunanya kamu memiliki guru adalah untuk membuatmu melihat tidak ada gunanya kamu memiliki guru.” (Anthony de Mello, SJ)

“Bila iman yang menegakkan tulang punggungmu, alih-alih harta atau kuasa, maka kamu akan selamat selamanya. “ (Anto Dwiastoro, 12 November 2016)

“Pada akhirnya, Rasa yang berbicara. Bahasa mengenal titik-koma, sedangkan Rasa melampaui batas-batas pikiran manusia.” (Anto Dwiastoro, 21 November 2016)

“Dunia tidak akan hancur oleh orang-orang jahat, melainkan oleh mereka yang melihat kejahatan tetapi tidak melakukan apa-apa.” (Albert Einstein)

“Kita seringkali terjebak oleh apa yang kita yakini sebagai kebenaran. Merelakan kebenaran itu, sebaliknya, membawa kebahagiaan.” (Anto Dwiastoro, 11 Desember 2016)

“Kamu tidak akan pernah benar bila selalu takut salah.” (Anto Dwiastoro, 17 Desember 2016)

“Di mana ada kemauan, di situ ada tuntunanNya.” (Anto Dwiastoro, 22 Desember 2016 di Wisma SUBUD Cilandak)


Thursday, November 17, 2016

Adilkah Tuhan?

Kita tidak pernah minta dilahirkan, 
pun tak bisa mencegah kematian
Kita tidak pernah minta diberi otak untuk berpikir
Toh diberi juga
Dan dengan pikiran kita ciptakan Tuhan
Lantas kita mengira ciptaan pikiran kita itu
Menghendaki kita harus begini dan begitu
Yang bila kita melakukannya dapat surga, tidak melakukan dapat neraka
Kenapa pula yang tidak minta dilahirkan, pun tak bisa mencegah kematian
Harus menanggung pahala atau dosa?


Surabaya, 3 November 2016

Saturday, October 8, 2016

Pikiran Anak Enam Tahun


APAKAH salah bila ingin mempermudah hidup?

Tadi pagi, saat bersama istri sarapan mie ayam di depan BCA Kemang, Jakarta Selatan, saya melihat balon mengudara tinggi di langit. Ada penjual balon di seberang jalan, dan tampaknya balon yang terbang itu putus benangnya.

Balon itu membawa ingatan saya terbang ke saat saya berusia enam tahun. Saya saat itu, karena sedang musim layangan, mencoba menerbangkan layangan yang saya beli seharga sepuluh rupiah. Sulit sekali menerbangkannya. Saya iri pada teman-teman yang berhasil menerbangkan layangan mereka. Saat itu, lewatlah penjual balon gas. Bersama dengan itu, terlintas di benak saya ide untuk mengikatkan layangan pada balon yang pada gilirannya akan menerbangkannya tinggi ke langit. Sesederhana itu pikiran anak usia enam tahun!

Semakin dewasa, “pikiran anak enam tahun” masih membekas di diri saya (makanya saya senang dengan dan tidak berniat mengganti nama “Anto”, yang bermakna “anak”, supaya saya selalu mampu berpikir kreatif layaknya anak-anak). Pikiran sederhana ala kanak-kanak itu yang rupanya mempermudah hidup saya dan membuat cara pandang saya terhadap segala sesuatu selalu sederhana. Seperti, contohnya, waktu nonton film Everest di HBO baru-baru ini, “pikiran anak enam tahun” saya bilang, “Ngapain susah-susah, mempertaruhkan nyawa untuk mendaki puncak Everest? Kalau aku sih naik helikopter aja, cepat dan gampang.”

Tapi istri saya tidak sependapat. Menurutnya, ada pembelajaran di dalam proses yang dilalui secara bertahap. Itulah bedanya antara cara berpikir orang dewasa dan anak-anak. Yang bilang bahwa berpikir simpel itu tidak simpel pasti sudah menanggalkan jiwa kanak-kanak mereka. Kalau saya, tetap mengandalkan “pikiran anak enam tahun” saya, karena terbukti memudahkan hidup saya.©2016

 

Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 9 Oktober 2016

Wednesday, August 10, 2016

Memetik Memetika

TAHUN 2005, menyusul kepindahan saya dari Surabaya ke Jakarta, saya berkenalan dengan seorang saudara SUBUD, anggota Cabang Jakarta Selatan, yang telah lama mempelajari perihal memetika. Salah satu konklusinya adalah bahwa Latihan Kejiwaan memudahkannya mendapatkan pengalaman ketuhanan langsung, sehingga ia berani menegaskan bahwa “Tuhan bukan meme”; Tuhan bukan gagasan yang diulang-ulang selama ribuan tahun oleh oknum-oknum bergelar nabi atau utusan, melainkan keberadaanNya dapat dialami langsung oleh rasa kita.

Dewasa ini, media sosial merupakan salah satu saluran penyebar meme paling gencar, kuat dan mengakar, membuat siapa pun yang bergiat di medsos gampang sekali terpedaya, dan gampang menganggap suatu meme sebagai “kebenaran absolut”. Anggota SUBUD yang sudah menerima Latihan Kejiwaan seharusnya sanggup membentengi diri dari pengaruh meme—berhasil atau tidaknya tergantung bagaimana kita bersikap terhadap meme: apakah kita gampang marah, senang, tersanjung, atau tersandung saat menghadapi apa pun yang di-posting di medsos.

Apakah meme?

Memetika adalah ilmu yang mendedah “meme” sebagai bahan baku dasar pembentuk mental, sebagaimana genetika mendedah gen sebagai bahan baku dasar pembentuk kehidupan fisik. Replikasi mental merupakan kemampuan yang memisahkan manusia dengan primata lain. Bahasa, budaya, agama merupakan produk-produk yang dimungkinkan karena adanya replikasi mem, seperti halnya gen bereplikasi membentuk gugusan sel hingga menjadi tubuh yang mampu bereproduksi dan mempertahankan diri. 

Dunia sudah mengenal gen sebagai sebuah abstraksi yang bertanggung jawab pada kondisi biologis manusia. Gen adalah cetak biru kehidupan, yang bertanggung jawab membuat organ dan apa yang tampak dari tubuh kita. Ilmu biologi sudah mengakui eksisnya gen ini sejak dahulu.

Kemudian muncul pemahaman baru dari para ilmuwan biologi seperti Richard Dawkins, Richard Brodie, Daniel Dennett, serta Susan Blackmore, yang meyakini bahwa di samping gen yang mengatur kondisi biologis manusia, ada sebuah abstraksi lain yang bahkan amat penting menyetir kondisi manusia. Tak lain adalah meme (baca: mim) atau mem. Meme adalah adalah apa yang ada di dalam otak manusia, sesuatu yang mengatur lahirnya ide. Meme adalah pelengkap. Bila gen mengatur biologis, meme mengatur pemikiran. Meme melahirkan ide dan pemikiran. Memetika (memetics) adalah disiplin ilmu baru yang mempelajari mengenai meme atau pembentukan ide manusia.

Meme, yang biasa dilafalkan mim, oleh Richard Brodie disebut sebagai "batu-sendi kebudayaan sebagaimana gen adalah batu-sendi kehidupan yang mampu membentuk bangsa, bahasa, agama. Lebih dari itu, meme dalam ruang lingkup kecil juga menjadi batu-sendi akalbudi, pemrogram "komputer" mental kita. 

Sebelum diberi pengertian itu, kata meme ini dicetuskan oleh seorang ahli biologi perilaku dari Oxford University, Richard Dawkins, dalam bukunya, The Selfish Gene (1976). Dawkins mendefinisikan meme sebagai unsur dasar penyebaran atau peniruan budaya. Sedangkan pengetahuan tentang cara-cara kerja meme yang memiliki pola berinteraksi, berlipatganda, dan berevolusinya itu namanya memetika. 

Melalui pendekatan memetika inilah kita dapat memahami bahwa globalisasi sesungguhnya adalah bagian dari upaya penyebaran meme atau ide. Ini sesuai dengan sifat dasar meme untuk menyebarkan dirinya. Maka Korean Pop yang tengah digandrungi segenap kalangan masyarakat Indonesia (bahkan dunia) sebelumnya hanya berawal dari meme atau ide seorang penggagas. Lama-kelamaan meme tersebut mereplikasi diri dan menyebar ke seluruh dunia. Mencoba menggandakan diri, terus-menerus. Hingga akhirnya meme tersebut menjadi tidak efektif dan tergantikan meme baru yang lebih segar dan bagus.

Sebagai spesies yang bertarung melawan alam selama jutaan tahun, agenda genetika selalu menggiring kita untuk bereaksi kuat terhadap isu seks, makanan, dan bahaya. Seiring dengan itu, tombol primordial memetika tak pelak adalah:  
  • Kemarahan,
  • Ketakutan, 
  • Kelaparan, dan 
  • Nafsu berahi

Menarik untuk direnungkan bahwa yang membuat sebuah informasi berkembang sesungguhnya bukan persoalan “penting” dan “tidak penting”, “berguna” dan “tidak berguna”, melainkan seberapa banyak tombol primordial kita yang ditembaknya sekaligus.

Para pengiklan tahu bahwa siluet tubuh perempuan bisa membantu penjualan sebuah mesin pompa air, yang sesungguhnya tidak punya hubungan langsung dengan lekuk pinggul dan belahan dada. Mereka juga bisa menyembunyikan bahaya rokok dalam sosok laki-laki gagah yang berarung jeram di alam nan indah. Begitu juga dengan liputan berita yang kerap menciptakan suasana kritis agar pemirsa merasa terdesak dan tercekam. Reporter berwajah santai dan mengatakan “semua baik-baik saja” tidak akan menularkan meme kuat yang menjadikan berita itu punya nilai penting (atau tepatnya nilai jual).

Seberapa pun hebat urgensi yang ditawarkan, apa yang kita konsumsi seringkali bukanlah apa yang kita butuhkan. Ini mengingatkan saya pada penelitian Masaru Emoto; bagaimana molekul air rusak ketika didekatkan pada televisi yang memutar adegan kekerasan, dan sebaliknya, molekul air membentuk gugus heksagonal saat diputarkan dokumenter alam. Tampilan dunia yang baik-baik saja ternyata memperbaiki tubuh kita sampai level molekular, sementara dunia yang keras dan bahaya—walau rating-nya lebih tinggi—ternyata merusak kita sama besarnya.

Virus pikiran juga bekerja melalui asosiasi dan repetisi. Ketika artis-artis yang bercerai habis-habisan diekspos, orang mulai percaya bahwa artislah jenis manusia yang paling rentan kawin-cerai, bahkan menjadi motor penggerak bagi rakyat untuk ikut tren sama. Padahal jumlah artis yang bercerai hanyalah noktah tak berarti dibandingkan kasus perceraian yang terjadi di masyarakat umum.

Patriotisme sebagai nilai tidak muncul spontan sejak kita lahir. Kita diprogram melalui repetisi upacara setiap Senin pagi dan penataran Pancasila setiap naik jenjang sekolah. Keinginan beragama tidak muncul begitu saja; seorang anak diprogram mulai dari nol melalui repetisi dan asosiasi tentang adanya hadiah bernama surga, hukuman bernama neraka, dan bos besar yang lebih berkuasa daripada orang tuanya bernama Tuhan.


Memetika sebagai ilmu yang relatif masih muda mampu memberi perspektif segar untuk memilih, memilah, bahkan berhenti sejenak dari bombardir informasi yang menginvasi pikiran kita. Tidak heran jika dalam hampir semua buku memetika yang ada, meditasi selalu jadi bahasan penutup, semacam antiviral yang dianjurkan. Bukan karena meditasi adalah bagian dari mem religi tertentu, tapi itulah satu-satunya metode yang membalikkan proses invasi mem: hening, diam, mengamati, tanpa bereaksi. Para anggota SUBUD punya Latihan Kejiwaan, yang bukan meditasi, bahkan dianggap melampaui meditasi (kecuali informasi ini merupakan meme-nya SUBUD). Kita perlu membekali diri kita dengan perangkat ini di dunia yang dilanda “pembunuh karakter laten” bernama meme.©




Jakarta, 10 Agustus 2016

Tuesday, June 21, 2016

Menapaktilasi Perjalanan Pak Subuh Dari Stasiun ke Stasiun

TANGGAL 22 Juni setiap tahun, para anggota Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (PPK SUBUD) memperingati hari lahirnya Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo. Lahir di Desa Kedungjati, Kecamatan Kedungjati, Karesidenan Semarang (sekarang masuk Kabupaten Grobogan), Jawa Tengah, pada 22 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta pada 23 Juni 1987, Pak Subuh merupakan penerima pertama dari Latihan Kejiwaan, pada tahun 1925, dan pendiri perkumpulan SUBUD di Jogjakarta, 1 Februari 1947.

Sebagai pehobi kereta api (railfan) yang juga anggota SUBUD, saya lebih tertarik untuk memperingati hari lahir Pak Subuh dengan menapaktilasi perjalanan beliau “dari stasiun ke stasiun”. Ya, di samping menyebarluaskan Latihan Kejiwaan ke lebih dari 75 negara di dunia sejak tahun 1957, Pak Subuh sebenarnya lekat dengan sejarah perkeretaapian Indonesia, karena beliau sempat berkarir cukup lama di badan usaha kereta api (KA) swasta Hindia Belanda, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).

Foto tahun 1930 dari gedung "Lawang Sewu" di Kota Semarang
yang merupakan kantor pusat NIS. (KITLV)
Berkantor pusat di Kota Semarang, menempati bangunan yang kini dikenal sebagai “Lawang Sewu”, NIS memainkan peran signifikan dalam sejarah perkeretaapian Indonesia, karena perusahaan itulah yang pertama kali membangun jaringan KA di Nusantara. Dimulai dari pembukaan jalur antara Stasiun Kemijen (KMJ, +1,8 mdpl) di Semarang dan Stasiun Tanggung (TGG, +20 mdpl) di Grobogan sepanjang 25 kilometer pada tanggal 10 Agustus 1867, NIS memicu revolusi transportasi berbasis rel di Hindia Belanda. Jalur itu kemudian diperpanjang hingga tiga kota di Jawa Tengah—Semarang, Solo, dan Jogjakarta—melalui Kedungjati, sebuah tempat terpencil di pedalaman Jawa Tengah di mana Pak Subuh dilahirkan dan kelak bekerja untuk NIS sebagai pegawai di salah satu stasiun tertua di Indonesia, yaitu Stasiun Kedungjati (diresmikan pada tahun 1873).

Paling tidak ada lima stasiun warisan Hindia Belanda (heritage) disebut-sebut dalam buku Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo (diterbitkan pertama kali pada 1991), yaitu Stasiun Telawa(h), Stasiun Kalitidu, Stasiun Buyaran, Stasiun Pamotan, dan Stasiun Kedungjati.

Stasiun Telawa(h), Stasiun Kalitidu, dan Stasiun Kedungjati dikelola oleh NIS, sedangkan Stasiun Buyaran dan Stasiun Pamotan pada masanya merupakan halte trem (kereta api jarak dekat) bertenaga uap yang dimiliki oleh Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS), atau Perusahaan Trem Uap Semarang-Juwana yang juga berkantor pusat di Semarang.

Stasiun Telawa(h) (TW, +63 mdpl) berada di jalur KA Brumbung-Gundih, tepatnya di Desa Pilangrejo, Kecamatan Juwangi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Jalur KA Brumbung-Gundih merupakan jalur heritage yang oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebisa mungkin dipelihara keasliannya sebagaimana keadaannya pada masa kolonial Hindia Belanda, antara lain dengan tidak mengganti sistem persinyalan mekanik dengan sistem elektrik. Tiga stasiun di jalur ini sudah non-aktif/mati, yaitu Gedangan, Jetis, dan Jambean.

Stasiun Kalitidu tahun 2015. (Wikipedia)
Dalam Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo, disebutkan bahwa karir beliau di NIS dimulai ketika beliau diterima bekerja di Stasiun Kalitidu, berkat bantuan Pak Reksodiharja, adik dari eyang putri beliau yang menjabat sebagai “sep” (chef) Stasiun NIS Kalitidu. Stasiun Kalitidu (KIT, +24 mdpl) di jalur KA Gambringan-Kandangan masih aktif hingga kini, berlokasi di wilayah Kabupaten Bojonegoro, dan merupakan salah satu stasiun di Lintas Utara Jawa yang dilalui KA-KA relasi Jakarta-Surabaya pp, antara lain Argo Bromo Anggrek dan Jayabaya.

Bangunan bekas Stasiun Buyaran yang berubah fungsi menjadi toko.
Dalam perjalanan pencarian spiritualnya, Pak Subuh dan beberapa teman beliau diceritakan dalam Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo meninggalkan rumah seorang kyai dan menuju Stasiun Buyaran, naik KA pagi yang datang dari Demak menuju Semarang. Stasiun Buyaran (BYA) yang berlokasi di Desa Pulosari, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Demak, Jawa Tengah dibangun pada tahun 1885 di jalur KA Semarang Tawang-Demak oleh SJS, sebuah perusahaan swasta trem uap yang dahulu mengelola jalur KA sepanjang 417 kilometer di Kabupaten-Kabupaten Demak, Kudus, Pati, Rembang, Jepara, Blora, Grobogan, dan sebagian Tuban. Stasiun Buyaran ditutup Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) pada tahun 1986 bersama stasiun-stasiun lainnya di jalur KA Semarang Tawang-Demak. Bangunan bekas Stasiun Buyaran kini menjadi toko.

Peta jalur-jalur Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij pada bulan Mei 1902. (KITLV)


Bangunan bekas Stasiun Pamotan yang merana di usia tuanya.
Stasiun Pamotan melekat di kenangan Pak Subuh lantaran di stasiun inilah beliau melihat perempuan yang kelak diperistri beliau turun dari gerbong trem SJS yang ditumpangi Pak Subuh. Ibu Rumindah, istri pertama Pak Subuh memang bertempat tinggal di Pamotan. Dibuka pada tahun 1900, Stasiun Pamotan kini tinggal bangunan tua yang merana, dengan area stasiun digunakan sebagai pangkalan truk. Papan penanda “Aset Milik PT KAI” yang dijumpai di muka bangunan menegaskan bahwa di Desa Pamotan, Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah pernah ada stasiun kereta api. Stasiun Pamotan ditutup oleh PJKA pada tahun 1989.

Overkapping (atap peron) Stasiun Kedungjati yang desainnya
menyerupai yang terdapat di Stasiun Ambarawa dan Stasiun Purwosari.
Ketika ditugaskan di Stasiun Kedungjati, Pak Subuh boleh dibilang beruntung, lantaran rumah di mana beliau dilahirkan pada 22 Juni 1901 hanya berjarak sekitar 50 meter dari stasiun tersebut. Bahkan lahan kosong di sebelah rumah orang tua Pak Subuh saat ini dipasangi papan penanda “Aset Milik PT KAI”; artinya, Desa Kedungjati merupakan bagian dari kompleks Stasiun Kedungjati. Stasiun Kedungjati (KEJ, +36 mdpl) juga masih aktif saat ini di jalur Joglosemar (Jogja-Solo-Semarang) atau yang dikenal sebagai Lintas Tengah Jawa. KA Bangunkarta, Matarmaja, Majapahit, Kalijaga, dan KA Semen rutin meniti jalur ini dalam perjalanan mereka pergi-pulang Semarang-Solo. Saat ini, bahkan tengah berlangsung proyek konstruksi dalam rangka reaktivasi jalur Tuntang-Kedungjati yang pernah berjaya di era kolonial Hindia-Belanda. ©2016
Saya berselfie ria dengan latar belakang Stasiun Kedungjati yang saya kunjungi pada 7 Februari 2016.




Kalibata Selatan, Jakarta, 22 Juni 2016