Monday, March 30, 2020

Catatan Perjalanan Arifin Dwiastoro di Sukoharjo Pada 11-12 Agustus 2018—Bagian 4: Mesin Pengurai Alami



DI area dengan greenhouse yang dikelola Poktan “Boga Tani” binaan CSR perusahaan tekstil dan garmen yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah, itu terdapat Rumah Cacing, yaitu sebuah kandang sederhana yang terbuat dari bambu dan tidak tertutup. Kandang ini berisi rak bersusun tiga yang masing-masing diisi dengan media tanah untuk memelihara cacing. Tanah yang diisikan pada rak adalah tanah yang kaya humus seperti pupuk kompos atau pupuk kandang. Para penggiat budidaya cacing di Rumah Harmoni Alam, saat saya kunjungi pada 12 Agustus 2018, tampak sedang mengaduk-aduk perlahan kompos yang terbuat dari ampas pohon aren yang telah berwarna cokelat tua. Media tanah itu dibasahi sedikit menggunakan air dan dipastikan tidak terpapar sinar matahari.

“Setelah tiga bulan, cacing bisa dipanen seminggu sekali, kalau indukannya sudah banyak. Satu rak ini bisa menghasilkan tiga kilogram cacing, yang digunakan untuk mengurai sampah organik,” jelas Pak Subakdo, Humas Poktan “Boga Tani”, sambil mengaduk-aduk media tanah berisi cacing. Pak Subakdo juga menjelaskan bahwa media tanah yang sudah sering digunakan untuk budidaya cacing dapat dipakai sebagai pupuk organik, yang disebut “kascing”.

Seperti diketahui, cacing berperan penting dalam dunia pertanian, yaitu dapat menyuburkan tanah. Lahan yang banyak terdapat cacing menandakan bahwa lahan tersebut subur. Manfaat cacing sendiri di dalam tanah adalah menurunkan pH tanah, yaitu memakan tanah dengan pH rendah, kemudian mengeluarkannya dengan pH kisaran normal. Selain itu, cacing sendiri dapat menggemburkan tanah. Karena begitu banyak manfaatnya di dunia pertanian, maka kini kotoran cacing pun dimanfaatkan sebagai pupuk organik dan media tanam.

Kascing merupakan akronim dari “bekas cacing”, yaitu salah satu jenis pupuk organik. Kascing adalah pupuk organik berupa kotoran cacing yang telah dikeringkan. Pupuk organik kascing dapat diproduksi dari campuran limbah ternak dan sisa tanaman dengan bantuan cacing. Pupuk kascing mengandung auksin yang berguna merangsang pertumbuhan akar. Oleh sebab itu, dewasa ini pupuk kascing menjadi favorit di kalangan petani karena terbukti lebih efektif dalam meningkatkan kualitas produksi tanaman, entah itu sayuran atau buah-buahan. Karena itu, para anggota Poktan “Boga Tani” menyambut gembira program budidaya cacing binaan CSR perusahaan tekstil dan garmen tersebut.

Kascing atau vermicompost didapat dari metabolisme tubuh cacing atau yang dikenal secara umum dengan nama “kotoran cacing tanah”. Kascing sangat kaya akan unsur hara yang dibutuhkan bagi kesuburan tanah. Kascing mengandung unsur hara yang lengkap, baik unsur kimia makro maupun kimia mikro yang berguna bagi pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan karena kascing dalam prosesnya telah mengalami dua kali penguraian. Pertama, terjadi karena peran penting bakteri, yaitu saat sebelum dikonsumsi oleh cacing. Kedua, terjadi karena peran cacing itu sendiri, yaitu saat berada dalam perut cacing, lalu mengalami penguraian lewat proses metabolik. Maka tidak salah bila cacing merupakan salah satu biodegradable engine atau “mesin pengurai alami”.©2020


Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 30 Maret 2020

Catatan Perjalanan Arifin Dwiastoro di Sukoharjo Pada 11-12 Agustus 2018—Bagian 3: Mendekatkan Pangan ke Dapur Rumah


BUKAN hanya burung hantu yang menjadi andalan Dukuh Klurahan. Dengan pendampingan dari tim sebuah perusahaan berbasis industri tekstil, para petani dan warga Klurahan dilatih dalam berbagai program berwawasan lingkungan yang dampaknya dapat meningkatkan pendapatan petani, memperbaiki kualitas lingkungan, dan menjaga keseimbangan alam. Yang telah dirintis saat ini adalah pertanian pekarangan sehat dengan pembuatan demplot untuk pertanian pekarangan berbasis organik untuk pemanfaatan pekarangan rumah yang hasilnya dapat dimanfaatkan sendiri. Di sebuah greenhouse berdinding bambu yang sederhana dilengkapi sarana pembibitan tanaman untuk penghijauan, warga Klurahan dan sekitarnya dapat belajar bercocok tanam sayuran dan buah-buahan dan cara membuat kompos atau pupuk organik.

Pertanian yang memanfaatkan lahan pekarangan dewasa ini digadang-gadang menjadi salah satu solusi untuk penguatan ketahanan pangan. Selain mendekatkan pangan ke dapur rumah, pertanian pekarangan sehat juga sekaligus bisa memenuhi kebutuhan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman (B2SA).

Untuk program ini, tim CSR perusahaan tekstil memberikan bantuan dan pembinaan kepada Poktan “Boga Tani” untuk mengoptimalkan manfaat pekarangan sebagai sumber pangan dan gizi keluarga. Bantuan diberikan dalam bentuk greenhouse, kebun bibit, dan demplot, sehingga diharapkan keberadaan pertanian pekarangan sehat bisa berkelanjutan.

Tak hanya itu, kegiatan konservasi sumber daya air dengan menerapkan konsep penghijauan melalui penggunaan biopori serta daur ulang sampah organik menjadi pupuk organik. Program biopori ini bertujuan untuk memanfaatkan curahan air hujan agar tidak terbuang sia-sia dan bisa terserap ke dalam tanah sebagai cadangan air minum bagi warga setempat. Semakin banyak lubang biopori di lingkungan warga, maka potensi banjir atau genangan semakin berkurang. Air hujan tidak lari ke mana-mana, malah sebaliknya terserap di halaman rumah masing-masing warga.©2020


Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 30 Maret 2020

Catatan Perjalanan Arifin Dwiastoro di Sukoharjo Pada 11-12 Agustus 2018—Bagian 2: Sawah Kota


TIKUS menjadi ancaman nyata bagi pertanian, terutama musim tanam kedua. Dari pengalaman, tikus bukan hanya makan padi. Cabai pedas dan batang pohon tembakau yang pahit pun mereka sikat. Jenis tikus yang sangat membantu adalah pithi, berukuran dua kali jempol tangan orang dewasa atau hamster. Berbulu kelabu gelap, telinga lebar, dan ekor panjang melebihi tubuh. Tikus jenis ini sangat rakus. Tikus sawah lebih besar tetapi tidak serakus pithi.

“Sejak ada rubuha,” kata Pak Kardiman, orang yang bertanggung jawab untuk pembuatan rubuha di Poktan “Boga Tani”, “serangan hama tikus berkurang. Hasil panen meningkat dua kali lipat, baik padi maupun palawija. Mungkin mendengar suara dares saja tikus sudah takut.”

Cerita tentang kiprah Kelompok Tani “Boga Tani” melestarikan burung hantu Tyto alba membawa saya ke Dukuh Klurahan, Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Kampung yang berjarak sekitar 14 kilometer dari Kota Solo ini menjadi contoh sukses pemanfaatan burung hantu jenis Tyto alba, si pemberantas tikus. Burung hantu sekaligus mengubah Dukuh Klurahan yang dahulu tertinggal pengelolaan pertanian dan lingkungannya menjadi desa wisata.

“Keunikan Dukuh ini adalah letak persawahannya yang di wilayah kota. Ini kan kecamatan kota Sukoharjo. Sawahnya masih produktif dengan irigasi yang bagus,” kata Pak Kardiman dengan bangga.©2020


Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 30 Maret 2020

Catatan Perjalanan Arifin Dwiastoro di Sukoharjo Pada 11-12 Agustus 2018—Bagian 1: Menjaga Keseimbangan Alam

Jalan desa di sepanjang persawahan Dukuh Klurahan.

DIBILANG terpencil tidak juga. Nyatanya, Dukuh Klurahan, Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah dapat kita temukan dengan Google Street View, sehingga kita yang berada jauh di kota besar dapat menyusuri sebagian jalan-jalan di dukuh tersebut dari layar komputer atau telepon seluler kita. Yang membuat Dukuh Klurahan dapat ditelusuri di Google Street View adalah keberadaan makam bangsawan Kraton Surakarta bernama KGPH Haryo Suryobroto, yang lebih dikenal sebagai Kyai Langsur di kawasan yang dikelilingi persawahan itu. Makam putra dari Pakubuwono V itu dianggap keramat sehingga sering diziarahi banyak orang dari berbagai daerah di Sukoharjo, maupun dari tempat-tempat di luar kabupaten itu.

Dukuh Klurahan menjadi contoh sukses mengusir hama tikus menggunakan burung hantu Serak Jawa (Tyto alba). Setelah warga menggunakan  burung hantu buat menghalau hama tikus, produksi pertanian meningkat, pendapatan petani bertambah. Yang datang ke kampung tersebut pun makin ramai, dari yang sekadar jalan-jalan maupun belajar pada Kelompok Tani (Poktan) “Boga Tani” bagaimana memanfaatkan predator alami guna mengatasi hama tikus.

Persawahan di Dukuh Klurahan. Di tengah tampah sebuah rubuha.
Di musim penghujan, petani Dukuh Klurahan, Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, mulai mencangkuli dan menggenangi ladang dengan air. Ladang-ladang siap diolah menjadi sawah, setelah sebelumnya ditanami palawija. Hujan juga penanda bakal datang hama tikus. Di musim tanam padi, para petani harus bersiap menghadapi populasi tikus yang membeludak. Ini mengancam tanaman petani. Guna menghadapi ancaman ini, petani Dukuh Klurahan punya cara jitu. Mereka memanfaatkan manuk dares Serak Jawa sebagai predator alami untuk memberantas tikus.

“Sebelum kami tahu bahwa burung hantu bisa digunakan untuk mengatasi hama tikus yang merusak sawah kami, kami menempuh berbagai cara, seperti gropyokan (ramai-ramai dan serempak memburu tikus di sawah), emposan (mengasapi sarang tikus dengan serbuk belerang), jebakan, menanam tanaman anti tikus seperti bintaro, dan lain-lain,” papar Pak Wied.

Di pematang sawah di dukuh yang berlokasi di pinggir Kota Sukoharjo tersebut, berdiri tiang beton setinggi sekitar lima meter. Tiang itu menopang rumah-rumahan mirip kandang merpati, yang biasa disebut rubuha (rumah burung hantu). Kala siang hari, “rumah” itu seperti tak berpenghuni. Menjelang petang, ada makhluk berwajah seperti jantung, berparuh bengkok, keluar dari rubuha, mencari mangsa.

Pak Widodo alias Pak Wied
dengan burung hantu Serak Jawa.
Minggu, 12 Agustus 2018, saya bertemu Pak Widodo, salah satu pengurus Poktan “Boga Tani” Dukuh Klurahan yang bertanggung jawab atas karantina burung hantu. Dia ditemani Pak Kardiman yang bertugas untuk pembuatan rubuha, Pak Subakdo selaku hubungan masyarakat (humas) “Boga Tani”, dan  Pak Sunarno yang juga humas kelompok tani peduli keseimbangan alam itu.

“Awalnya, PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) memberitahu ada penangkaran burung hantu Tyto alba di Tlogoweru, Demak yang memanfaatkan burung hantu untuk memberantas tikus. Enam tahun lalu kami belajar ke sana,” kata Pak Wied, panggilan akrab Widodo.

Sepulang dari Demak, mereka mencoba membuat rumah burung hantu sederhana secara swadaya. Rubuha itu bertiang bambu diberi takik. Bagian atas bertengger kotak dari papan, tempat burung hantu bersarang. Lalu, pada tahun 2012 pula datang bantuan dari sebuah perusahaan industri tekstil yang berbasis di Sukoharjo berupa tujuh rubuha dan dua ekor burung hantu berjenis kelamin jantan dan betina.

“Tapi itu bukan saya yang terima, tapi lurah Sukoharjo saat itu,” jelas Pak Wied. Ia menuturkan, cikal-bakal keterlibatan perusahaan tekstil itu dalam pelestarian burung hantu di Dukuh Klurahan bermula dari lurah Sukoharjo, yang mengetahui ada kegiatan penangkaran burung hantu jenis Tyto alba di Dukuh Klurahan, lantas meminta bantuan dari perusahaan tekstil itu untuk membuat rubuha. Pihak perusahaan tekstil pun memanfaatkan limbah kayu triplek dari pabriknya untuk membuat rubuha-rubuha yang kemudian diserahkan ke kelompok tani Dukuh Klurahan yang telah menginisiasi penangkaran burung hantu.

Ketujuh rubuha bantuan dari perusahaan tekstil itu ternyata tidak pas, burung tidak dapat memasukinya, sehingga para anggota Poktan saat itu kemudian membuatnya sendiri dari limbah kayu triplek yang diserahkan pihak perusahaan.

“Dua ekor burung hantu jenis Tyto alba juga diserahkan perusahaan tekstil itu, tapi tidak langsung ke sini, melainkan P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air),” kisah Pak Wied.

Perusahaan industri tekstil yang berlokasi di Kelurahan Jetis, Kecamatan Sukoharjo, itu memang telah sejak awal pendirian perusahaan memiliki program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility atau CSR) sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat. Untuk lingkungan masyarakat, perusahaan itu berkomitmen untuk ikut serta memajukan wilayah dan masyarakat di mana perusahaan itu melakukan kegiatan usahanya.

Perusahaan itu juga memiliki wilayah-wilayah binaan yang lokasinya bertetangga dengan pabrik-pabriknya. Pabriknya di Sukoharjo memiliki empat wilayah binaan, yaitu kelurahan-kelurahan yang masing-masing terletak di bagian utara, timur, barat, dan selatan pabrik. Sebagai binaan, keempat wilayah tersebut memperoleh pendampingan materiil dan moril di bidang pendidikan, kesehatan, sosial budaya, kemanusiaan, pertanian, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dukuh Klurahan di Kelurahan Sukoharjo, yang berada di satu kecamatan dengan kompleks pabrik, yaitu Kecamatan Sukoharjo, berlokasi di sebelah utara pabrik yang beralamat di Jl. KH Samanhudi, Jetis, Sukoharjo, itu.

Semakin ke sini, bantuan perusahaan tekstil itu untuk pengembangan pertanian di Dukuh Klurahan semakin kuat. Sebuah kawasan “Rumah Harmoni Alam” dibentuk di dukuh tersebut, terpusat di bagian kampung di mana terdapat karantina Tyto alba yang dilakukan Poktan “Boga Tani”, di samping sebuah greenhouse untuk pengembangan Pertanian Pekarangan Sehat sebagai demplot, dan Rumah Cacing di mana dilakukan budidaya cacing secara produktif sebagai upaya untuk mengelola sampah pekarangan dan sampah rumah tangga yang bersifat organik.

Di samping itu, tim CSR perusahaan tekstil itu membantu warga Dukuh Klurahan mengembangkan perikanan terpal dan peternakan, serta tim “Buserti” (buru sergap tikus), di mana warga yang peduli untuk menyediakan pakan bagi Serak Jawa yang dikarantina dapat menyalurkan hobi menembak hewan buruannya dengan menembaki tikus sawah. Semua kegiatan ini dirancang untuk menjaga keseimbangan alam, meningkatkan kualitas lingkungan, maupun untuk meningkatkan pendapatan petani. Rumah Harmoni Alam adalah atap bagi kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan berbasis masyarakat.

“Awalnya, tahun 2012 itu, burung hantu kami dapat secara swadaya. Ada dua anakan yang kami temukan di rubuha yang kami dirikan. Kemudian, perusahaan tekstil itu menyerahkan lagi dua burung hantu. Sampai Juni 2018 sudah berkembang biak menjadi 253 ekor,” jelas Pak Wied dengan pasti.

Serak Jawa hasil penangkaran Poktan “Boga Tani” kini sudah menyebar untuk menjalankan tugas mereka menjaga sawah-sawah di lima kelurahan. Pak Wied menerangkan, ada dua cara untuk menyebarkan manuk dares tersebut, yaitu dengan menempatkannya di rubuha-rubuha atau dengan melepasliarkannya begitu saja di tengah sawah. Serak Jawa yang dilepasliarkan biasanya tidur di dahan-dahan pohon terlebih dahulu, lalu mencari tempat permanen yang bebas di area di mana mereka dilepasliarkan. “Jadi, mereka tidak akan hilang atau pergi jauh-jauh dari sini. Mereka itu ingat rumahnya,” imbuh Pak Wied.

Keunikan Serak Jawa terletak pada sifatnya sebagai hewan yang betah di rumah, kata Pak Wied. Mereka akan tetap menempati rubuha sampai rubuha itu rusak. “Dia adalah hewan yang setia,” kata Pak Wied.

Para petani Dukuh Klurahan kini berharap adanya perhatian dari pihak pemerintah daerah yang dapat membuat peraturan yang melarang perburuan burung hantu. Untuk menjaga kelestarian dan melindungi keberadaan burung hantu, diperlukan payung hukum. Dengan payung hukum ini diharapkan warga dilarang menangkap, melukai, mengangkut, dan memperniagakan Serak Jawa hidup atau mati di seluruh wilayah Kabupaten Sukoharjo. Warga juga dilarang merusak bangunan tempat tinggal burung dan ekosistemnya.

Sambil menunggu diterbitkannya peraturan daerah yang melarang perburuan burung hantu, perangkat desa telah memasang papan-papan pengumuman larangan menembak burung hantu di pinggir sawah. Sosialisasi gencar dilakukan, baik lewat sekolah, karang taruna, maupun kegiatan warga seperti tahlilan. Sementara itu, Rumah Harmoni Alam juga menawarkan kegiatan Buserti seperti dijelaskan di atas.©2020



Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 30 Maret 2020

Catatan Perjalanan Arifin Dwiastoro di Sukoharjo pada 5 April 2018


MELESTARIKAN tradisi di tengah modernisasi, bukan pekerjaan ringan. Dibutuhkan kesabaran dan keuletan untuk meyakinkan masyarakat bahwa tradisi juga merupakan bagian dari peradaban manusia yang tak bisa dilupakan begitu saja. Inilah yang mendasari para petani di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, banyak yang masih melakoni tradisi bertani warisan leluhur mereka. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa modernisasi pertanian mereka tolak. Dalam beberapa hal, kearifan lokal masih menyertai praktik pertanian di Sukoharjo, walaupun para petani menggarap sawah dengan menggunakan alat mesin pertanian modern. Pertanian modern yang dibarengi kearifan lokal memungkinkan terciptanya pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan, karena para petani selalu terdorong untuk menjaga keseimbangan alam.

Dalam pengertian kamus, “kearifan lokal” (local wisdom) terdiri dari kata “kearifan” (wisdom) dan “lokal” (local). “Lokal” berarti “setempat”, sedangkan “kearifan” sama dengan kebijaksanaan. Secara umum, kearifan lokal dapat dimaknai sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal juga merupakan identitas budaya suatu bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri. Persis yang dilakukan para petani Sukoharjo yang membarengi modernisasi pertanian dengan tradisi yang sudah mengakar di budaya pertanian setempat.

Kearifan lokal merupakan kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg di suatu daerah. Kearifan lokal memadukan nilai-nilai suci firman Tuhan dengan berbagai nilai yang ada, dan membentuk keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun nilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

Di dalam tradisi bertani di Sukoharjo, kearifan lokal tetap dirangkul utamanya bertujuan untuk konservasi keanekaragaman hayati dan menjaga keseimbangan alam. Tanpa memperhatikan aspek keseimbangan alam dalam bertani akan berdampak buruk bagi petani sendiri maupun masyarakat dan lingkungan pada umumnya.

Secara umum, ada dua kearifan lokal dalam bertani yang dipraktikkan petani Jawa juga dilakoni para petani di Sukoharjo, selain sejumlah lainnya yang bersifat khas di satu daerah. Kedua kearifan tersebut adalah pranoto mongso dan tumpangsari.

Pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para petani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah lahan pertanian. Pranoto mongso ini mengarahkan petani dalam bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak memanfaatkan lahan seenaknya sendiri, meskipun prasarana mendukung, seperti misalnya air dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat terjaga keseimbangannya.

Dengan adanya fenomena pemanasan global sekarang ini, yang juga mempengaruhi pergeseran musim penghujan, tentunya akan mempengaruhi masa-masa tanam petani. Namun demikian, pranoto mongso ini tetap menjadi pedoman petani dalam mempersiapkan diri untuk mulai bercocok tanam. Pemanasan global juga menjadi tantangan bagi petani dalam melaksanakan pranoto mongso sebagai suatu kearifan lokal pertanian di Jawa.

Sistem tumpangsari merupakan praktik penanaman beragam biji-bijian sebagai bagian dari peladangan berpindah yang meniru kompleksitas dan keragaman sistem vegetasi wilayah sub-tropis dan tropis. Model pertanian ini dilakukan dengan cara menanam beberapa jenis tanaman yang berbeda dalam suatu areal atau petak tanah secara bersamaan. Pada awalnya, sistem pertanian ini dianggap ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kaidah pertanian modern karena tidak efisien secara kuantitas dan kualitas hasil yang akan didapatkan. Tetapi, terdapat tujuan yang baik dan penting dengan adanya kearifan lokal ini, yaitu untuk melindungi permukaan tanah, menjaga permukaan tanah dari proses erosi, penggunaan volume tanah secara efisien, dan mengurangi kerentanan tanah dari hama dan serangga perusak. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan kecepatan tumbuh beragam tanaman tersebut membuat tanah menjadi permanen, di samping itu juga karena tanahnya selalu tertutupi oleh tanaman tersebut secara terus-menerus serta sistem akar tanaman tersebut yang bervariasi.

Modernisasi pertanian selama kurang lebih tiga dasawarsa telah gagal mengangkat harga diri, martabat, dan kesejahteraan petani. Kini sudah saatnya pemerintah mengakui hak-hak petani, seperti kebebasan menjual beras atau menyimpan gabah untuk benih. Peralatan petani Indonesia mungkin sebagian orang belum secanggih negara-negara maju, tetapi ada kalanya petani Indonesia juga memakai apa yang telah diwariskan turun-temurun sejak dahulu. Perlu dilakukan perbaikan dalam sistem budaya dengan lebih mengedepankan konsep kealaman dan berbasis kearifan lokal melalui pemanfaatan dan pengelolaan alam dengan tetap menjaga kelestariannya. Lahan pertanian dimanfaatkan bukan hanya untuk jangka pendek tetapi juga untuk generasi yang akan datang, sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dan untuk mewujudkan hal itu perlu ada kesadaran dari masyarakat untuk mengubah perilaku dan juga dukungan dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan, serta bagaimana usaha kita untuk membuat petani lebih bersemangat dalam bertani untuk menghidupi negara agraris ini.©2020


Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 30 Maret 2020

Membangkitkan Minat Kaum Muda Terhadap Pertanian



SEKTOR pertanian menjadi salah satu komponen pembangunan nasional dalam menuju swasembada pangan guna mengentaskan kemiskinan. Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan nasional di antaranya adalah sebagai penyerap tenaga kerja, menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), sumber devisa, bahan baku industri, sumber bahan pangan dan gizi, serta pendorong bergeraknya sektor-sektor ekonomi lainnya.

Di era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki keleluasaan dalam perumusan permasalahan dan kebijakan pembangunan pertanian. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi diharapkan akan mampu menjamin efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pembangunan pertanian, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.

Di era modernisasi saat ini, kebanyakan warga masyarakat pasti memilih jenis pekerjaan yang berprospek cerah bagi dirinya di masa depan. Ada yang bercita-cita menjadi dokter, guru, polisi, dan lain sebagainya. Berbeda halnya dengan petani; profesi sebagai petani dinilai sebagai profesi yang tidak cukup menjanjikan bagi masyarakat, sehingga sangat jarang ada orang yang benar-benar ingin menjadi petani. Akibatnya, jumlah orang yang terjun ke dunia pertanian semakin berkurang. Hal ini dapat dipahami, karena secara umum banyak petani yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Diakui atau tidak, selama ini pembangunan pertanian telah mengabaikan peranan pemuda. Akibatnya, jarak antara pemuda dengan lahan-lahan pertanian semakin jauh dan proses regenerasi petani pun sulit berjalan, sehingga pertanian tetap didominasi oleh generasi tua yang tentu mempunyai berbagai implikasi. Salah satu implikasinya adalah pertanian berjalan di tempat dan sulit melakukan perubahan yang mendasar. Mungkin ini salah satunya yang menyebabkan kondisi pertanian kita terus mengalami pengeroposan, renta dan “kurang darah”.

Padahal, dengan komposisi pemuda saat ini saja yang hampir dua per tiga dari total populasi, tentu ini sebuah potensi besar yang dapat dioptimalkan untuk membangun pertanian. Apalagi selama ini bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa agraris dengan dukungan iklim, sumber daya alam, dan sumber daya manusia yang melimpah. Tentu sangat ironis jika kondisi pertanian kita tetap seperti saat ini. intinya, melibatkan pemuda, atau dengan kata lain menyegerakan regenerasi petani, merupakan suatu hal yang sangat mendesak bagi bangsa agraris ini. namun, persoalannya, sejauh mana pertanian itu mampu menarik minat kaum muda?

Adanya kecenderungan para pemuda, terutama yang tinggal di kawasan pedesaan, yang kurang tertarik terhadap dunia pertanian tentu berakibat pada sektor ini hanya didominasi oleh generasi tua yang acapkali kurang responsif terhadap perubahan. Umumnya, dalam pandangan kaum muda, bertani adalah pekerjaan tradisional yang kurang bergengsi dan hasilnya di samping tidak segera dapat dinikmati juga jumlahnya relatif tidak memadai.

Pandangan tersebut tentu mempengaruhi minat orang-orang muda untuk mau menjadi petani. Ini didukung oleh budaya instan dan ingin cepat menghasilkan, sementara pertanian memerlukan proses panjang, keuletan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai risiko internal dan eksternal. Ditambah lagi dengan berbagai kebijakan yang tidak pro petani dan justru seringkali pertanian dipandang sebelah mata serta dijadikan komoditas politik tanpa mempedulikan nasib dan masa depan pertanian.

Di samping itu, kurangnya dukungan para orang tua baik secara mental maupun material terhadap anak-anak muda untuk menjadi petani juga menjadi penyebab pemuda tak tertarik menjadi petani. Alih-alih memberikan dukungan, justru orang tua acapkali menyurutkan semangat anak-anak muda yang ingin menjadi petani. Umumnya orang tua akan lebih bangga jika anak-anaknya menjadi dokter, pengawai negeri sipil, birokrat, pilot, dan profesi-profesi lainnya yang dianggap lebih prestisius. Indikasi untuk ini salah satunya dapat dilihat dari banyaknya sekolah-sekolah pertanian ataupun fakultas-fakultas pertanian, terutama di perguruan tinggi swasta, yang kekurangan siswa/mahasiswa.

Akhirnya, banyak pemuda, terutama yang tinggal di desa, lebih tertarik pada pekerjaan-pekerjaan non pertanian di kota-kota besar. Mereka bekerja di sektor non pertanian, semisal menjadi pegawai, buruh pabrik, buruh bangunan, jasa transportasi baik yang formal maupun non formal, yang menurut pandangan mereka lebih bergengsi. Jika mereka memiliki keahlian spesifik, tentu hal ini bukan masalah. Namun, nyatanya tak sedikit dari mereka yang tidak mempunyai keahlian spesifik dan keberuntungan justru menjadi beban di kota, karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan.

Penurunan jumlah tenaga kerja pertanian di Indonesia berkonsekuensi positif dan negatif bagi pertanian. Konsekuensi positifnya, peningkatan luas lahan dan penurunan jumlah petani gurem. Hasil sensus pertanian menunjukkan rerata luas lahan bertani meningkat cukup signifikan. Rerata luas lahan pertanian pada tahun 2003 sebesar 0,35 hektar menjadi 0,86 hektar pada 2013. Jumlah petani gurem menurun dari 19,02 juta pada 2003 menjadi 14,25 juta pada 2013. Keadaan ini memberikan peluang bagi petani untuk meningkatkan pendapatan.

Konsekuensi negatifnya, ketahanan pangan terganggu di Indonesia. Meskipun secara kuantitas jumlah tenaga kerja di pertanian masih relatif besar, produktivitas lahan akan menurun. Pertama, sebagian besar petani di pedesaan umumnya sudah berusia lanjut. Meskipun jumlah mereka besar, produktivitas mereka sudah menurun. Kegiatan pertanian tidak bisa maju karena tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi pertanian.

Kedua, keturunan petani yang memilih bekerja di luar sektor pertanian umumnya adalah keturunan petani yang berhasil. Keberhasilan mereka ditunjukkan dengan kemampuan menyekolahkan anak sampai jenjang perguruan tinggi. Dengan pendidikan tinggi itu, anak-anak petani tidak mau lagi bertani dan memilih bekerja di sektor lain. Yang tetap menjadi petani, akhirnya, hanya mereka yang berpendidikan rendah dan kalah bersaing dalam mendapat pekerjaan di luar sektor pertanian.

Pertanian dijadikan sebagai alternatif terakhir setelah seseorang tidak bisa mendapat pekerjaan di luar sektor pertanian. Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung kemajuan di sektor pertanian menjadi penyebab utama mereka tidak lagi mau bekerja di sektor pertanian. Keengganan ini pun didukung orang tua yang sebagian besar bercita-cita agar anak mereka tak bekerja di sektor pertanian.

Ketiga, kegiatan pertanian bagi sebagian besar petani dianggap sebagai pekerjaan sampingan meski mereka mengaku bekerja sebagai petani. Alokasi waktu kerja sebagian besar digunakan untuk kegiatan non pertanian. Pada waktu panen, petani ini akan menggarap pekerjaan di lahan tani. Namun, pada waktu-waktu tertentu mereka memilih bekerja sebagai tukang bangunan, pedagang asongan, atau buruh harian di perkotaan. Pekerjaan yang tak fokus ini menjadi penyebab kurang terurusnya lahan pertanian, sehingga memiliki produktivitas yang rendah.

Masalah regenerasi dapat menjadi hambatan utama untuk implementasi program swasembada pangan di Indonesia. Masalah ini berpangkal pada tidak kompetitifnya upah dan pendapatan di sektor pertanian. Upah tenaga kerja di pedesaan tidak ada setengahnya dibandingkan dengan upah tenaga kerja non pertanian di daerah perkotaan.

Petani juga berhadapan dengan impor produk pertanian yang berharga lebih rendah. Tak ada perlindungan memadai terhadap kehidupan petani agar dapat bersaing dan menangkal membanjirnya produk pertanian dari luar. Petani seperti dibiarkan berjalan sendiri, bahkan subsidi bagi petani kian berkurang. Oleh sebab itu, kebijakan yang mendukung peningkatan kelayakan hidup bagi petani mutlak diberikan agar pertanian tetap menjadi pekerjaan yang menarik, khususnya bagi generasi muda. Perlindungan terhadap petani dari produk impor, permainan harga tengkulak, dan ketertinggalan teknologi juga perlu dilakukan. Tanpa regenerasi yang baik, program swasembada pangan yang dicanangkan Presiden Republik Indonesia hanya akan menjadi wacana yang tak pernah terwujud.©2018


Ditulis ulang pada 30 Maret 2020. Naskah yang aslinya dibuat pada tahun 2018 dimaksudkan untuk buku Sang Penjaga Kearifan Lokal: Pergulatan Tradisi Bertani di Tengah Laju Modernisasi.

Pergulatan Tradisi Bertani di Tengah Laju Modernisasi


SEIRING berlakunya pasar bebas atau globalisasi, arus barang termasuk produk pertanian, seperti halnya bahan pangan pokok akan semakin bebas dan mudah memasuki wilayah Republik Indonesia. Ini menjadi potensi ancaman bagi petani lokal dan berpotensi menimbulkan ketergantungan pangan kita kepada asing. Kunci menghadapi globalisasi tersebut adalah efisiensi usaha tani. Potensi ancaman tersebut dapat dihadapi dengan tiga langkah yang bersifat mikro, yaitu meningkatkan jumlah produksi sehingga tercapai kecukupan pangan nasional, meningkatkan efisiensi biaya produksi sehingga produk pertanian memiliki daya saing harga, dan meningkatkan kualitas sehingga produk pertanian memiliki daya saing kompetitif serta mengupayakan kontinuitas suplai pangan.

Secara makro, perlu regulasi sektor pertanian dan perlindungan yang lebih baik kepada petani, termasuk perlindungan dari serangan hama, bencana alam, serta pengembangan sarana dan prasarana pertanian, termasuk pengembangan alat mesin pertanian (alsintan) dalam negeri. Semua langkah tersebut tidak terlepas dari keberhasilan implementasi teknologi pertanian modern.

Melalui kebijakan pemerintah yang mengutamakan keberpihakan kepada petani, di antaranya dengan meningkatkan fasilitasi bantuan alsintan secara signifikan, telah menggeser kegiatan usaha pertanian dari sistem tradisional menuju pertanian yang modern. Modernisasi pertanian dapat dilihat pada penggunaan metode budidaya yang lebih baik dan efektif, penerapan alsintan dengan teknologi tepat guna, mulai dari pengolahan lahan, pemanenan, dan penanganan pasca panen, penggunaan benih unggul, pemupukan yang tepat guna dan mencukupi, penggunaan sumber daya manusia pertanian yang lebih berkualitas, serta efisiensi penggunaan sumber daya alam—terutama air irigasi, sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.

Modernisasi juga melingkupi aspek pasca panen, seperti sistem panen, pengolahan hasil dan pembuatan kemasan modern dan aman, tata niaga yang efisien, serta terus-menerus menyempurnakan kebijakan pemerintah yang kondusif bagi kegiatan usaha pertanian.

Di satu sisi, modernisasi itu menguntungkan. Namun, dampak buruknya juga tak dapat dipungkiri. Modernisasi yang ditandai dengan penggunaan alat-alat modern dengan alasan efektivitas dan efisiensi dalam kehidupan masyarakat ini ternyata juga mempengaruhi pola pikir masyarakat. Salah satu efek negatif dari modernisasi adalah menyebarnya “racun” di tengah masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan, bahwa segala hal yang berkaitan dengan masa lalu, seperti tradisi dan budaya, dianggap tidak layak lagi atau harus ditinggalkan. Sebaliknya, segala hal yang baru dan diimpor dari luar negeri, utamanya Barat, harus diterima dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Akibatnya, banyak tradisi bertani warisan leluhur yang lambat laun hilang tak tentu rimbanya. Kalaupun ada dan dapat dijumpai, hanya terbatas pada acara-acara seremonial kebudayaan yang diselenggarakan pada perhelatan-perhelatan tertentu, seperti perayaan panen atau sebagai bagian dari atraksi wisata. Mengemukanya realita ini tidak sepenuhnya dialamatkan kepada masyarakat sebagai pelaku degradasi budaya tersebut, tetapi dapat juga karena rendahnya kesadaran tokoh-tokoh masyarakat sendiri dalam melestarikan dan mengajarkannya.

Bagaimanapun, tidak sedikit petani yang tidak sepenuhnya bergantung pada pada metode-metode bertani modern, tetapi masih menerapkan pendekatan-pendekatan tradisional, yang kadang sulit dicerna logika, dalam bertani. Kearifan lokal ternyata cukup berakar kuat di sejumlah tradisi bertani di Jawa khususnya. Kearifan lokal dilestarikan karena terbukti telah menyelamatkan pertanian masyarakat selama berabad-abad.©2018


Ditulis ulang pada 30 Maret 2020. Naskah yang aslinya dibuat pada tahun 2018 dimaksudkan untuk buku Sang Penjaga Kearifan Lokal: Pergulatan Tradisi Bertani di Tengah Laju Modernisasi.