Monday, October 24, 2022

Menulis Tanpa Berpikir

HARI ini, 24 Oktober 2022, genap 28 tahun usia karir saya di bidang copywriting. Sebagai copywriter, saya menulis naskah untuk disebarluaskan guna kepentingan komersial. Contohnya, naskah iklan televisi (termasuk menuliskan sudut-sudut ambilan kamera sebagai arahan untuk sutradara dan kameraman), radio, majalah, koran, baliho, spanduk, dan lain sebagainya.

Dalam praktiknya, naskah iklan tidak hanya untuk iklan konvensional atau berkategori above-the-line (lini atas), seperti iklan televisi, radio, atau media cetak, tetapi juga naskah promosi apa pun yang dibutuhkan oleh industri. Misalnya, teks situs web, kalender, brosur, semboyan perusahaan/produk (tagline), surat penjualan (sales letter), rilis pers (press release), direct mail, nawala (newsletter), dan masih banyak lagi.

Selama 28 tahun karir saya saja, saya sudah menulis ratusan naskah untuk tujuan penjenamaan (branding), baik berupa iklan lini atas maupun below-the-line (lini bawah). Selain naskah promosi, juga naskah untuk buku dan artikel media cetak.

Di biro iklan, seorang copywriter duduk di departemen kreatif, berpasangan dengan seorang pengarah seni (art director) dalam meramu sebuah konsep iklan, tetapi copywriter tidak terbatas dalam fungsinya ketika mengonsepkan sebuah iklan. Meskipun copywriter menulis naskah dan art director merancang grafis atau visual dari iklan, yang tidak jarang terjadi malah ide visualnya berasal dari copywriter, dan sebaliknya. Kemampuan kreatif di dua bidang itulah yang membekali saya ketika kelak menjabat sebagai pengarah kreatif (creative director) di biro iklan.

Saya mendapat kesempatan sebagai creative director ketika saya telah delapan tahun menekuni copywriting di sejumlah biro iklan di Jakarta dan Surabaya. Sebagai creative director, saya membuat keputusan-keputusan kreatif tingkat tinggi, dan dengan keputusan-keputusan itu saya mengawasi pembuatan aset-aset kreatif seperti periklanan, produk, acara, atau logo. Dalam peran ini, saya mengambil peran sebagai copywriter, pengarah seni, atau desainer utama—karena saya tidak menguasai komputer untuk desain, maka saya cukup mengarahkan seseorang yang ahli di bidang itu.

Keahlian saya di bidang copywriting mengalami peningkatan yang signifikan setelah saya dibuka di Subud. Bila sebelumnya saya selalu perlu berpikir keras untuk mendapatkan ide buat sebuah pekerjaan kreatif, setelah berlatih kejiwaan saya hampir tidak perlu berpikir untuk mendapatkan ide. Kalaupun berpikir, biasanya prosesnya saya lalui dengan bimbingan Latihan.

Tahun 2006, satu art director di firma kehumasan di Jakarta, tempat saya bekerja sebagai executive creative director, menyampaikan ke saya niatnya untuk masuk Subud. Saya tanyakan, apa yang mau dia cari di Subud. Jawabannya membuat saya terkesima. Ia berkata, “Gue kagum lihat lu dan Mas Agus (general manager divisi integrated marketing communications dari firma kehumasan tersebut yang juga di Subud) kalau beride nggak pakai brainstorming kayak anak-anak biro iklan. Lu berdua cuman merem, muncul deh idenya. Idenya keren-keren lagi!”

Dialog itu meluncurkan saya kembali ke tahun 2004, ketika saya baru dibuka di Subud Cabang Surabaya. Saya niteni bagaimana saya dengan mudahnya mendapatkan ide untuk pekerjaan hanya dengan berperasaan sabar, tawakal dan ikhlas. Dan ketika menulis, pikiran saya serasa berhenti. Tangan saya mengetik begitu saja. Seperti komentar satu saudara Subud dari Sleman baru-baru ini terhadap postingan saya di Facebook: “Copywriter tanpa mikir.”

Saya betul-betul menikmati proses menulis naskah promosi setelah dibuka di Subud. Ada pembelajaran di dalamnya, dorongan untuk selalu meneliti bahan maupun diri sendiri, dan pada akhirnya keinsafan mengenai siapa yang “berdiri” di sisi saya selama melakukan kegiatan itu. Tak mengherankan, walaupun 28 tahun telah terlampaui, keinginan untuk berhenti belum ada. Saya hanya menjalankannya dengan perasaan nikmat dan syukur. Puji Tuhan!©2022

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 24 Oktober 2022

Friday, October 21, 2022

Public Speaking Berkejiwaan

SEBUAH acara digelar Pengurus Nasional (Pengnas) PPK Subud Indonesia di kantin Guesthouse Wisma Subud Cilandak pada Minggu, 16 Oktober 2022, pukul 12.30 sampai selesai. Bertajuk “Ngobrol Sama PP”, acara yang diperuntukkan anggota Pemuda itu mengetengahkan tema-tema yang akrab dengan dunia anak muda dewasa ini: Bakat, karir dan percintaan.

Mengacu pada tajuk acaranya, sudah tentu para pembantu pelatih (PP) pria dan wanita Cabang Jakarta Selatan hadir, tetapi semua anggota boleh tampil berbicara di depan publik, menyampaikan unek-unek, pandangan, pendapat, maupun pengalaman terkait ketiga tema tersebut. Dipandu Ketua Umum Pengnas, yang menunjuk sejumlah anggota dan PP untuk bergantian tampil di depan.

Saya bukan pemuda (meskipun tidak jarang dianggap demikian oleh para senior Subud), tetapi saya hadir lantaran diajak untuk “iseng saja” menghadirinya. Yang mengajak adalah satu saudara Subud yang saat ini tengah menjalani masa kandidatan calon PP di Cabang Jakarta Selatan. Saya tidak mempersiapkan apa pun untuk hadir di acara tersebut; lagipula saya datang ke Wisma Subud untuk menemukan ketenangan, lantaran saat itu saya lagi berpuasa hari ketujuh (dari sembilan hari).

Tak dinyana, saya pun ditunjuk Ketua Umum Pengas untuk tampil ke depan, menyampaikan apa pun yang ingin saya sampaikan. Beberapa orang yang sudah tampil sebelum saya, baik PP maupun anggota, saya perhatikan, rata-rata bersikap canggung ketika berbicara di depan umum. Mereka terbebani pikiran sendiri bahwa mereka tidak berbakat untuk public speaking. Satu anggota melakukannya dengan baik karena ia berpengalaman sebagai presenter di sebuah stasiun televisi swasta dan kerap didaulat sebagai pembawa acara (master of ceremony/MC).

Saya melangkah ke depan, menerima mikropon nirkabel dari Ketua Umum Pengnas, dan mulailah saya berbicara. Tidak terbata-bata, bahkan menyisipkan lelucon-lelucon terkait bakat, karir dan percintaan. Tidak ada yang saya rencanakan sebelumnya–datang ke acara tersebut juga di luar rencana saya. Usai berbicara, saya kembali ke kursi saya, diiringi suara Ketua Umum Pengnas yang berkata, “Kalau penulis, paparannya benar-benar hebat, bisa menjadi inspirasi.”

Bagaimanapun, komentar tersebut menambah keheranan saya, seolah diperlukan bakat atau kebiasaan untuk tampil prima dalam hal public speaking.

Seorang PP wanita, yang juga tampil pada hari itu, pernah mengatakan ke saya bahwa dirinya tidak percaya diri bila berbicara di depan umum. Ia selalu menderita demam panggung bila berdiri di depan umum untuk berbicara. Saudara Subud yang saat ini sedang melalui masa kandidatan sebagai calon PP juga mengungkapkan hal yang sama, padahal sebagai chief executive officer (CEO) dari perusahaan berbasis bisnis kuliner ia harus sering mempresentasikan mengenai bisnisnya kepada para calon investor atau mitra. Ia selalu berkeringat dingin dan terbata-bata bila berbicara di depan umum.

Sesulit itukah public speaking?

Kalau saya mengatakan bahwa public speaking itu mudah, saya pasti didebat dengan pernyataan bahwa saya sudah biasa melakukannya, karena bagi mereka yang tahu, pekerjaan saya sebagai praktisi komunikasi mengharuskan saya untuk sering mempresentasikan ide-ide atau pekerjaan kreatif yang telah dipesan klien-klien saya. Namun, sebenarnya, hal itu tidak sepenuhnya benar. Paling tidak sebelum saya menerima Latihan Kejiwaan.

Awal dari kemampuan saya berbicara di depan umum secara baik adalah ketika saya harus mempresentasikan delapan konsep iklan cetak pesanan Yayasan Dana Sosial al-Falah (YDSF) di Surabaya, pada Agustus 2003. Pikiran saya sudah telanjur dihantui persepsi mengenai direktur utama YDSF yang killer dan sangat teliti, yang “ditanamkan” oleh mitra kerja saya yang turut hadir pada presentasi tersebut.

Mitra kerja saya itu adalah pemilik biro iklan yang memiliki YDSF sebagai salah satu kliennya, dan beliau itu (kelak saya mengetahuinya demikian) juga seorang PP dari Subud Cabang Surabaya.

Memasuki ruang rapat di kantor YDSF, saya berkata kepada mitra kerja saya, “Mas, nanti sampeyan ya yang presentasi. Aku suka nggak pede.”

Tetapi mitra kerja saya menolak dan berkata, “Kamu saja. Kamu bisa melakukannya dengan baik kalau pakai bimbingan Tuhan. Kamu tenangkan diri, dan mohon pada Tuhan agar diberi petunjuk.”

Saat itu, saya belum tahu apa pun tentang Subud dan Latihan Kejiwaan, bahkan belum ngandidat, tetapi saya ikuti saran dari mitra kerja saya, meskipun saya agak bingung dengan konsep “menenangkan diri”. Duduk di sebelah kiri mitra kerja saya, saya pun memejamkan mata dan berdoa, memohon petunjuk Tuhan agar saya dimampukan untuk melakukan presentasi dengan baik.

Tiba-tiba, saya merasakan suatu kehadiran di sebelah kiri saya; sebuah sosok tak tampak tetapi terasa besar sekali, maha besar! Ia merangkul saya dan “berkata” lembut, dengan penuh kasih, “Percayalah padaku, kamu bisa melakukannya. Ikuti saja, tidak usah berpikir. Sekarang, bicaralah!”

Saya kemudian membuka mata dan melihat Managing Director YDSF memasuki ruang rapat dan tanpa basa-basi meminta kami mempresentasikan konsep-konsep iklan cetaknya. Saya pun mulai berbicara. Satu per satu layout iklan cetak saya presentasikan, saya paparkan ide dasar dari visual dan copywriting-nya. Yang saya amati saat itu, dan membuat saya takjub, adalah bahwa saya tidak berpikir sama sekali dan mulut saya cuap-cuap tanpa saya memiliki kendali atasnya.

Di akhir presentasi saya, sang Managing Director mengatakan bahwa ia sangat terkesan dengan pekerjaan kami. Saya tidak bereaksi atas pujiannya, karena saya masih terhipnotis oleh fakta bahwa saya mampu melakukan presentasi itu tanpa didukung oleh pikiran saya, melainkan oleh sesuatu yang bahkan tidak saya pahami itu apa.

Jantung saya sempat terhenti, dan diliputi kecemasan, begitu melihat direktur utama YDSF memasuki ruang rapat dan memeriksa satu per satu konsep iklan cetak yang saya presentasikan. Ia mengangguk-angguk dan berkata singkat dan rada ketus, “Bagus nih. Oke, lanjutkan!”

Si direktur utama kemudian meninggalkan ruangan. Saya bernapas lega, tetapi saat yang sama mendapat pemberitahuan dari dalam: “Pikiranmu, itulah yang selalu menghambatmu dalam berbuat, berkata-kata dan merasakan. Pikiranmulah yang menerormu dengan ketakutan, kecemasan, kepercayaan bahwa kamu tidak bisa.”

Meninggalkan kantor YDSF, mitra kerja saya mengajak saya makan bakso di seberangnya. Di warung bakso itulah mitra kerja saya memberi tahu saya bahwa apa yang saya alami dalam presentasi itu adalah apa yang sering ia alami sejak berlatih kejiwaan Subud. Ia menganjurkan saya untuk selalu menenangkan pikiran saya—menurutnya, saya tipe orang yang terlalu sering berpikir, termasuk memikirkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak berguna.

Sejak itu, terlebih sejak saya dibuka di Subud, tampil berbicara di depan umum atau public speaking bukanlah sesuatu yang sulit bagi saya. Cukup dengan menenangkan pikiran, memohon petunjuk Tuhan; alih-alih mempersiapkan pikiran saya dengan apa-apa yang ingin saya sampaikan, lebih baik jika saya mempersiapkan diri untuk menerima bimbinganNya.©2022

 

Bumi Indraprasta 2, Kota Bogor, Jawa Barat, 22 Oktober 2022


Wednesday, October 19, 2022

Pembantu Pelatih di Dalam Diri

JAM 05.00 pagi ini, 19 Oktober 2022, saya baru meninggalkan Cuko Coffee & Eatery—kafe milik pasangan suami-istri anggota Subud Jakarta Selatan di bilangan Jl. Kebagusan, Pasarminggu, Jakarta Selatan, setelah bertiga dengan Machrus (pemilik Cuko) dan Rudi (bukan nama sebenarnya; anggota Pemuda Subud Jakarta Selatan) melayani kerabat dari Machrus yang seorang agnostik, yang telah menyatakan minatnya masuk Subud.

Saya tadinya mau pulang duluan, usai Latihan dan nongkrong lagi sampai jam 03.00an, karena toh si peminat lebih tertarik pada Rudi dan Beni (bukan nama sebenarnya; anggota Pemuda Subud Jakarta Selatan). Tetapi jiwa saya menyuruh saya tetap duduk, shut up and listen. Jadi, saya duduk dengan rileks di belakang salah satu meja kafe, berseberangan si peminat itu.

Sebagai agnostik, dia mengoceh saja terus tentang alam semesta, tentang keyakinannya pada kebenaran pemikiran-pemikiran Newton, Darwin, Spinoza, dan lain-lain, dan menafikan kaum kreasionis (sebagaimana dalam agama-agama Abrahamik, kreasionisme adalah kepercayaan bahwa manusia, kehidupan, bumi, dan seluruh jagat raya mempunyai asal-usul secara ajaib, yang dihasilkan oleh campur tangan adikodrati yang maha tinggi yang umumnya disebut “Tuhan”). Jiwa saya membuat saya nyaman duduk selama dia mengoceh; saya tidak membantah atau mendebatnya. Saya heran pada diri saya, kok bisa rileks dan diam. Sampai satu saudara Subud bilang, “Fin, tumben lo diem aja?”

Saya tersenyum saja, tidak terusik dengan ucapan saudara Subud itu.

Lalu, masuklah si peminat pada pembahasan tentang Pak Subuh dan Subud dari kacamatanya sebagai “orang luar”. Dari dalam, saya diperintahkan kapan harus meresponsnya, dan kapan harus diam. Saya nyaman dengan keadaan itu karena toh saya tidak ada kepentingan untuk mempersuasinya agar masuk Subud. Obrolan mengalir, kadang dia mengulang pertanyaan-pertanyaan yang sama untuk meyakinkan dirinya sendiri, tetapi saya (di)bisa(kan) sabar melayani dia, diselingi dengan penjelasan dari Rudi.

Obrolan itu harus berakhir karena si peminat mohon diri untuk mengantar anaknya ke sekolah. Ketika saya melangkah ke pelataran parkir kendaraan di Cuko, dia bilang ke saya, “Mas Arifin, Kamis besok datang ke sini ya, saya perform (bermusik). Nanti kita ngobrol lagi.” Yang tadinya dia hanya tertarik pada Rudi dan Beni, sekarang tambah lagi dengan saya, padahal saya tidak banyak berbicara—saya kebanyakan hanya diam dan merasakan diri.

Lanjut melangkah ke tempat motor saya diparkir, saya dimengertikan: “Kamu kan selalu pengen menemukan pembantu pelatih yang bicara dan diamnya dengan bimbingan di Jaksel. Nah, itu tadi kamu baru menjadi PP seperti itu.”

Puji Tuhan, saya jadi tidak perlu susah-payah mencari PP sesuai harapan saya, karena saya menemukannya di “dalam” diri saya.©2022

 

Pondok Cabe, Jakarta Selatan, 19 Oktober 2022

Monday, October 17, 2022

Kantor Lurah dalam Persepsi Saya


DALAM persepsi saya, yang namanya kantor lurah dan kantor-kantor instansi pemerintahan daerah lainnya merupakan tempat yang membuat saya alergi untuk mengunjunginya.

Yang terbayang di benak saya adalah beberapa meja layanan yang kosong karena petugasnya sedang sarapan atau asyik ngopi di kantin, tangan-tangan yang terulur meminta bayaran atas layanan yang diberikan, berangkap-rangkap dokumen asli dan fotokopinya, serta antrean panjang dan lama hanya untuk mendapatkan tanda tangan lurah lantaran yang bersangkutan belum datang ke kantornya dengan 1001 alasan.

Ya, saya mengalami yang demikian semasa Orde Baru, yang membuat saya enggan berurusan dengan kantor lurah bahkan hingga kini. Namun, perlahan-lahan persepsi saya mulai berubah, dimulai dari ketersediaan layanan daring Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) dengan aplikasi layanan Alpukat (Akses Langsung Pelayanan Dokumen Kependudukan Cepat dan Akurat) Betawi, sebuah kanal pelayanan bagi warga DKI Jakarta untuk mengakses langsung pengajuan pelayanan administrasi kependudukan.

Saya pun memberi diri saya kesempatan untuk mencicipi layanan baru ala kantor pemerintahan daerah ini dengan meng-install Alpukat Betawi, membuat akunnya, dengan harapan dapat menjumpai layanan yang tidak lagi berciri Orba. Saya mengajukan permohonan pencetakan Kartu Identitas Anak untuk putri saya dan Kartu Keluarga yang kini pakai barcode. Aplikasi menyediakan pilihan tanggal berapa saya akan mendatangi Kantor Lurah Pela Mampang—saya memilih 17 Oktober 2022.

Dengan perasaan tenteram dan pasrah, saya memacu motor saya ke Kantor Lurah Pela Mampang di Jl. Bangka X No. 1, Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Saya berdoa semoga citra Orba sudah tidak bersisa lagi di kantor lurah tersebut.


Sampai di sana, saya memasuki bangunan Kantor Lurah Pela Mampang, dimana sebelah kiri lobinya terdapat pusat Pelayanan Terpadu. Saya terima nomor antrean dari mesin dengan dua pilihan layanan—saya memencet layar bertuliskan “Dukcapil”. Tidak ada antrean atau kerumunan warga yang memerlukan layanan Kantor Kelurahan di sana; suasananya mengingatkan saya pada bank atau kantor pelayanan pembayaran angsuran kendaraan bermotor FIF yang sudah lebih dulu dan sejak lama menyediakan layanan terpadu secara daring.

Selanjutnya, saya tinggal duduk santai, menikmati sejuknya pendingin udara, sampai nomor saya disebutkan. Sat-set-sat-set, petugasnya menyodorkan KIA-nya putri saya, dan info bahwa KK belum bisa diambil karena saya belum menyertakan foto buku nikah, yang untuk itu saya tinggal unggah ke aplikasi Alpukat Betawi. As simple as that, gratis pula.©2022


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 17 Oktober 2022

Tuesday, October 4, 2022

Kejiwaan dan Jenis Kelamin

HARI Minggu pagi, 2 Oktober 2022, saat berada di Hall Latihan Cilandak, saya berjalan ke arah teras selatan setelah mendengar dari seorang pembantu pelatih (PP) pria bahwa ada empat mahasiswi dari program studi Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIBUI) sedang ditemui dua PP pria lainnya. Keempat mahasiswi itu tengah meneliti Subud untuk tugas matakuliah Religi Jawa.

Saya menjumpai empat mahasiswi itu duduk di bagian dari teras selatan Hall Cilandak yang tiap hari Minggu pagi dijadikan tempat tatap muka bagi para anggota baru pria dan beberapa PP yang ditugaskan untuk melayani mereka. Tetapi hari Minggu, 2 Oktober 2022, jadwal tatap muka ditiadakan lantaran ada Latihan Dunia jam 10.00 WIB. Menghadapi keempat mahasiswi Angkatan 2019 itu adalah dua PP pria yang saya kenal baik. Mereka memanggil saya untuk bergabung, karena mereka tahu bahwa saya alumnus Fakultas Sastra UI (pendahulu FIBUI), meskipun saya dari Jurusan Sejarah. Saya tak menampik ajakan mereka dan duduklah saya di sebelah mereka.

Dari yang saya dengar, penjelasan kedua PP pria itu adalah mengenai aspek organisasi Subud dan bahwa praktik utamanya adalah Latihan Kejiwaan, namun tidak dijelaskan apa itu Latihan Kejiwaan, karena hal itu merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dijabarkan. Untuk mendapatkan pengertian tentang apa itu Latihan Kejiwaan, seseorang harus dibuka dan mengalaminya sendiri. Analogi yang sering digunakan adalah minuman atau makanan, misalnya kopi. Merupakan hal yang sangat sulit untuk memberi penjelasan lisan maupun tulisan yang memuaskan mengenai rasa kopi; Anda harus meminumnya untuk mengetahui rasanya. Untuk urusan makanan atau minuman, rasa melampaui kata.

Karena harus bertugas, kedua PP pria itu mohon diri dan karena keempat mahasiswi tersebut masih ingin mendapatkan informasi lebih lanjut, saya menyediakan diri untuk diwawancarai. Saya bercerita tentang sejarah dan keorganisasian Subud serta beberapa pengalaman kejiwaan yang pernah saya lalui sebagai contoh atau representasi dari Latihan Kejiwaan yang tidak ada teorinya itu.

Belakangan, lama setelah saya berpisah dari keempat mahasiswi itu, saya ditimpa masalah yang “menyebalkan”: Setelah saya memposting foto dan sedikit cerita tentang pertemuan saya, kedua PP pria tadi dan keempat mahasiswi tersebut, di grup WhatsApp (WA) “Subud 4G” serta di linimasa Facebook dan Instagram saya, rupanya ada satu oknum PP yang mengadukannya ke PP Daerah Wanita Jakarta Selatan, yang kemudian, tanpa mengonfirmasi terlebih dahulu ke saya, langsung me-repost di grup WA PP Jakarta Selatan dengan dakwaan “pelanggaran terhadap petunjuk Bapak” terkait penerangan kepada kandidat oleh PP yang berbeda jenis kelamin.

Selain membuat sebagian PP lainnya dari Cabang Jakarta Selatan “menyidang” kedua PP pria tadi, sang PP Daerah Wanita Jakarta Selatan juga meminta agar para PP pria melakukan pembinaan atas diri saya, dengan alasan “outrageous behaviour” (perilaku yang memalukan) yang ditunjukkan dalam postingan saya di media sosial. Screenshot dari postingan saya di Facebook, yang ia nilai sebagai memalukan, pun ia edarkan di antara para PP Cabang Jakarta Selatan.

Saya memahami dan selama ini saya mematuhi petunjuk tersebut, meskipun saya bukan pembantu pelatih. Tetapi petunjuk tersebut berlaku untuk PP kepada kandidat dan anggota. Keempat mahasiswi tersebut bukan kandidat apalagi anggota Subud, melainkan peneliti akademik berbekal informasi keliru bahwa Subud adalah sebuah aliran kebatinan Jawa atau Kejawen—yang mana harus saya luruskan. Jadi, saya maupun kedua PP pria itu sejatinya tidak melanggar petunjuk dari Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo.

Dalam ceramah di Manchester, Inggris, pada 13 April 1967 (kode rekaman: 67 MAN 4), Bapak mengatakan antara lain, “Dalam meninjau sesuatu atas pertanyaan yang telah diajukan sebagaimana yang telah Bapak juga umumkan, bahwa pertanyaan yang dari kaum wanita harus dilakukan oleh para pembantu pelatih wanita, dan pertanyaan yang diajukan oleh saudara pria harus dijawab dan ditinjau oleh saudara pria. Apa sebab demikian, saudara? Karena kedua jenis kelamin—meskipun saudara anggap dan rasa tidak apa-apa—tetapi dalam kesungguhannya satu demi satu, atau antara satu dari kedua, terisi hal-hal yang maha rahasia. Oleh karena itu, maka sebaiknya peninjauan untuk wanita dilakukan oleh wanita dan pria dilakukan oleh pria sebagai yang telah Bapak umumkan.”

Cuplikan ceramah ini sudah sangat jelas menandaskan bahwa penerangan dan peninjauan (testing) tidak boleh dilakukan oleh pria kepada lawan jenisnya, dan sebaliknya. Tetapi, merujuk pada kata “peninjauan”, yang berarti ditujukan kepada kandidat atau anggota, dan karena itu berlaku hanya dalam penerangan yang bersifat kejiwaan, bukan dalam aspek keorganisasian atau hal-hal umum lainnya.

Tanpa mengurangi hormat saya kepada Bapak, saya ingin sampaikan melalui artikel ini bahwa “kejiwaan”, menurut yang saya alami selama ini, sejatinya meliputi segala sesuatu, termasuk hal-hal yang dipandang “non-kejiwaan”. Ketika seseorang dibuka dan rajin melakukan Latihan Kejiwaan, otomatis isi dirinya hidup dan meliputi segala sesuatu pada dirinya, lahir maupun batin.

Contohnya sudah cukup banyak. Salah satunya adalah yang terjadi tahun 2007 di tempat saya bekerja dahulu, sebuah firma kehumasan di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Seorang karyawati mendatangi saya di ruang kerja saya—waktu itu, saya menjadi Executive Creative Director di firma itu—untuk menyampaikan job request dari atasan kami. Ia duduk di sebelah saya yang tengah sibuk mengetik naskah di komputer. Saya minta ia menunggu sebentar sebelum menyampaikan taklimat mengenai pekerjaan yang diminta oleh atasan kami, karena saya sedang asyik menuangkan ide ke dalam tulisan.

Tiba-tiba, si karyawati menangis sesenggukan. Saya kaget, tidak mengerti, karena kami tidak sedang berkomunikasi. Saya tanya dia, ada apa, kok menangis? Dia mengutarakan bahwa dia merasakan kedamaian ketika duduk di sebelah saya dan hal itu membuatnya teringat pada almarhum ayahnya, yang kematiannya sulit ia terima, sehingga membuatnya menderita insomnia selama delapan tahun sejak ayahnya wafat.

Penasaran dengan apa yang saya miliki, yang telah memberinya rasa damai, ia pun meminta penjelasan. Saya hanya memberi tahu bahwa saya ikut Subud dan bila ia ingin tahu lebih banyak atau tertarik masuk Subud saya akan mengenalkannya ke PP wanita atau anggota berjenis kelamin perempuan untuk memberi penerangan di ranah kejiwaan. (Hanya sehari setelah berbicara dengan anggota Subud berjenis kelamin perempuan, dan belum dibuka, insomnianya teratasi dan ia bisa tidur nyenyak.)

Pengalaman lainnya terjadi pada tahun 2010. Saat itu, saya dinasihati seorang saudara Subud yang lebih senior (dibuka tahun 1968) agar saya jangan memposting hal-hal bernuansa kejiwaan di akun Facebook saya, karena tampaknya, menurut beliau, itulah sebabnya pada saat itu saya “diburu” kaum berjenis kelamin perempuan. Saya mengikuti nasihat beliau, dan sebagai gantinya saya pun kerap memposting foto dan cerita seputar perkeretaapian. Apakah hal itu mengubah keadaan? Sama sekali tidak! Banyak wanita malah jatuh cinta pada sosok saya sebagai “pria dewasa yang berjiwa anak kecil karena suka kereta api”.

Lalu, dalam obrolan-obrolan saya dengan para anggota Subud berjenis kelamin perempuan, bukan tentang kejiwaan, melainkan tentang berbagai hal yang sifatnya umum, seperti kuliner, kereta api, sejarah, film, musik, branding, pekerjaan, dan lain-lain, ternyata tetap berdampak seperti yang diungkapkan oleh cuplikan ceramah Bapak di atas.

Ketika saya ceritakan mengenai fenomena itu kepada seorang PP senior, dia mengatakan, sambil tertawa, “Ya, mau gimana lagi? Kamu kan dalamnya sudah hidup, pasti yang berbicara dengan kamu akan kena setrummu. Masak kamu mau terus-terusan diam membisu atau menjauhi lawan jenis?”

Datangnya Latihan Kejiwaan pada diri seseorang tidak dapat diduga atau diniatkan, dan tidak pula bisa dikendalikan dengan kehendak akal pikir dan nafsu. Ketika saya berbicara atau menulis, Latihan mengisi diri saya, dan energinya dapat inggap pada lawan bicara atau pembaca tulisan saya, tanpa saya kehendaki. Paling banter yang bisa saya lakukan adalah membentengi diri saya dengan kesadaran akan etika kesusilaan—yang sejatinya juga merupakan bimbinganNya.©2022

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 4 Oktober 2022