Wednesday, September 19, 2012

Berbicara Dengan Tuhan

“Suara manusia tidak akan pernah dapat menjangkau jarak yang dicakup oleh suara nurani yang tetap kecil.”
—Mohandas Gandhi


Semalam, sepulang kerja, saya menonton televisi di ruang keluarga bersama keponakan saya. Keponakan saya itu, anak perempuan berusia sebelas tahun, duduk di sebelah saya di atas sofa di depan televisi. Beberapa kali ia mengutarakan kecemasannya, sehubungan dengan pengumuman hasil Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) yang akan digelar dalam waktu dekat ini.

Beberapa kali ia menanyakan ke saya kemungkinannya ia lulus UASBN. Keponakan saya itu bukan tergolong anak yang rajin belajar. Ia belajar hanya ketika ada pekerjaan rumah atau ketika menyambut ulangan. Ia lebih suka bermain, membaca komik atau duduk di depan komputer, mengunggah foto di media sosial dan mengunduh lagu-lagu. Berulang kali saya mengingatkannya untuk belajar, ada atau tidak ada ulangan atau pekerjaan rumah, tetapi ia tidak menggubrisnya. Bagaimanapun, saya tetap mendoakan agar ia berhasil di sekolahnya.

“Om Anto, kira-kira aku lulus nggak ya?” tanyanya, untuk kesekian kalinya, sementara perhatian saya ke layar televisi. “Kamu lulus, Ya! Pasti lulus!” kata saya dengan yakin. “Ah, ini menghibur aja bisanya. Beneran, Om, lulus nggak ya aku?”

“Kamu lulus!” tandas saya.

“Kok tahu?” tanya keponakan saya lagi—lama-lama menyebalkan juga.

“Ya, tahu dong. Om Anto kan bicara dengan Tuhan. Kalau Yaya minta dengan sungguh-sungguh, dalam hati, kepada Tuhan, pasti dikasihNya.”

Ih, ketahuan bo’ong-nya nihEmang bisa bicara dengan Tuhan?” kata keponakan saya sambil mencibir.

Pada saat itulah, secara tak ketahuan, saya merenung—merenungkan kata-kata keponakan saya: Emang bisa bicara dengan Tuhan? Saya memikirkan betapa dangkalnya pelajaran agama yang diajarkan di sekolah bila hasilnya adalah ketidakpercayaan peserta didik bahwa Tuhan bisa diajak bicara, bisa menjadi teman bicara yang tiada bandingnya dengan manusia. Padahal para nabi dan utusan Tuhan di masa lalu sudah membuktikannya. Bukan kenabian mereka yang membuat mereka dapat berbicara dengan Tuhan, melainkan kemampuan mereka untuk berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal, yang mendorong hati, diri dan jiwa mereka senantiasa tenang. Dalam ketenangan itulah suara Tuhan dapat kita dengar dengan jelas.

Ada yang menyebutnya suara batin (inner voice), suara hati, suara diri, atau, secara gamblang, suara Tuhan di dalam diri kita. Saya tidak punya teori tentangnya, karena suara ini merupakan fenomena alami. A. Reza Arasteh, dalam bukunya, Growth to Selfhood: The Sufi Contribution to Islam (Penguin, 1991), menyebutkan bahwa paling tidak satu kali dalam hidup kita pernah mendengar suara batin itu. Saya percaya, bahwa suara batin itu merupakan representasi dari diri saya yang ‘lain’, tetapi pengalaman saya menuturkan bahwa ‘diri yang lain’ itu lebih arif dan bijaksana ketimbang saya.

Suara itu biasanya dapat kita dengarkan apabila kita berada dalam suatu keadaan yang tenang. Bukan ketenangan suasana, sebagaimana yang sering disyaratkan oleh ajaran-ajaran meditasi yang salah kaprah, melainkan ketenangan hati, diri dan jiwa kita. Para biksu Buddhis dari aliran Theravada membiasakan diri mereka berlatih meditasi dan mendengarkan suara batin mereka—yang menuntun mereka dalam pemikiran dan perasaan, perkataan dan perbuatan—di tengah hiruk-pikuk dunia. Kaum praktisi tarekat Sufi Naqshbandiyah merangkul amalan khalwat dar anjuman (bahasa Persia yang berarti ‘menyepi di tengah keramaian’, yaitu menjalani hidup di tengah keramaian lingkungannya, namun hatinya sepi dari apa pun selain Allah).

Dalam profesi saya di bidang kreatif, pembadaian otak (brainstorming) dengan rekan-rekan satu tim merupakan hal yang penting, demi menangkap ide yang tepat untuk suatu pekerjaan. Tetapi tak jarang saya memperoleh ide-ide cemerlang justru ketika saya berbadai otak dengan diri sendiri. Kebanyakan kita punya pengalaman memperoleh ide hebat ketika berada di toilet, yaitu saat kita menenangkan diri, biasanya tanpa sengaja, dan berfokus pada aktivitas tunggal saat berada di toilet: buang hajat. Hal itu membuktikan bahwa ketenangan pikiran memang membuka gerbang komunikasi kita dengan sesuatu yang melampaui eksistensi kita (beyond our existence).

Bulan lalu, saya mendapatkan pengalaman dahsyat dari tuntunan Tuhan lewat suara batin ini, yang menyelamatkan saya dari kejahatan dunia. Seorang relasi saya, yang menjabat direktur pengelola di sebuah perusahaan freight forwarder, menghubungi saya untuk sebuah proyek senilai Rp 15 miliar dari kawannya. Proyek tersebut berupa branding untuk sebuah perusahaan telekomunikasi berskala nasional yang lebih dari enam puluh lima persen sahamnya dimiliki asing. Bersama tim dari perusahaan komunikasi merek yang saya gawangi, saya bertemu dengan kawan si direktur pengelola freight forwarder tersebut.

Seperti biasa, ketika bertemu dengan klien baru, saya menyodorkan kartu nama saya. Damas—bukan nama sebenarnya—menerima kartu nama saya sambil mengatakan bahwa ia tidak membawa kartu namanya. Entah dari mana asalnya, saya mendengar dengan jelas sekali suara di dalam diri saya, yang menandaskan bahwa Damas bukan tidak membawa kartu namanya, melainkan lantaran ia ingin selamat sendiri. Saya pun bertanya-tanya dalam hati: Selamat dari apa? Tetapi suara batin itu tidak berkata lebih lanjut. Damas itu bukan karyawan atau manajemen dari perusahaan telekomunikasi tersebut, yang membuat saya makin curiga.

Ketika saya menerima taklimat (brief) dari Damas, suara batin itu kembali muncul, dengan intensitas yang lebih besar. Saya ‘disuruh’ oleh suara itu untuk mempertanyakan secara kritis eksistensi proyek tersebut, berhubung iklan-iklan dan event promosi produk-produk perusahaan telekomunikasi itu telah beredar lama dan masih terus ditayangkan di berbagai media. “Bila kita merekomendasikan lagi konsep komunikasi yang baru, di pertengahan tahun pula, bukankah hal itu akan menimbulkan tumpang-tindih dengan strategi yang sudah dijalankan biro-biro iklannya, Pak?!” kata saya. Damas tertegun, tak bisa menjawab. Dan suara dalam diri saya terus berteriak girang, “Tuh kan, dia bohong. Bohong besar!”

Sulit saya jelaskan di sini dengan kata-kata, tetapi saya ‘digiring’ oleh suara itu untuk akhirnya menangkap adanya ketidakberesan dalam proyek tersebut. “Pemerasan! Dia mau melakukan pemerasan. Jangan kamu terima pekerjaan itu. Nantinya, dia yang dapat uangnya, sedangkan kamu masuk penjara!”

Secara diplomatis, saya katakan pada Damas maupun relasi saya, yang juga hadir saat itu, bahwa rekomendasi konsep akan segera saya persiapkan setelah saya memperoleh data riset pasar—yang sudah pasti memakan waktu, tetapi saya memang mau mengulur-ulur waktu sampai saya mendapat kejelasan tentang proyek tersebut. Belakangan, saya bersyukur telah diselamatkan Tuhan lewat suaraNya ke diri saya: Dari informasi kenalan saya yang mendapat akses ke direksi perusahaan telekomunikasi itu, proyek tersebut memang beritikad pemerasan terhadap direksi dan komisaris!

Mohandas Gandhi mengatakan bahwa siapa pun yang menghendaki dapat mendengar suara batinnya. Suara itu ada di dalam diri setiap orang, dibekali Tuhan sejak kita diciptakanNya agar kita dapat senantiasa berbicara denganNya.(AD)


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 18 Juni 2011

No comments: