Wednesday, September 19, 2012

Sebagai Apa



“Jangan meletakkan keakuan Anda dalam jabatan, karena begitu jabatan Anda hilang, diri Anda hilang bersamanya.”
—Pernyataan Colin L. Powell sebagai pensiunan jendral bintang empat, mantan ketua Gabungan Kepala Staf dan menteri nuar negeri Amerika Serikat


Kenalan saya menjabat sebagai ketua umum sebuah organisasi massa (ormas) yang cakupannya nasional, tetapi merupakan bagian dari sebuah entitas internasional. “Sebagai ketua umum, saya awali rapat ini dengan agenda...,” ucapnya setiap kali rapat dengan jajaran pengurus ormas itu. Setiap pendapat maupun instruksi yang ia lontarkan selama rapat hampir selalu ia awali dengan penegasan "sebagai ketua umum", seolah tanpa pernyataan itu ia tak berhak menyatakan pendapat.

Ia juga dipercaya untuk memegang jabatan direktur pengelola sebuah perusahaan yang pengalaman stafnya secara profesional justru jauh melampaui dirinya—yang barangkali ia sadari betul sehingga setiap kali rapat manajemen ia merasa perlu menyatakan, “Sebagai managing director, perkenankan saya membuka rapat ini.” Sebegitu seringnya hingga para staf merasa sang direktur pengelola tidak percaya diri jika dirinya tidak diembel-embeli jabatannya.

Pengalaman saya menuturkan, bahwa orang-orang yang benar-benar ahli malah tidak pernah mengutamakan maupun mengutarakan dirinya sebagai apa. Apalagi di era di mana multi-tasking memainkan peran yang menonjol di dalam jalannya perusahaan seperti dewasa ini, kiranya sebagai apa Anda tampil di lingkungan kerja Anda tidak lagi relevan. ‘Sebagai apa’ malah cenderung membebani diri Anda sendiri maupun menyusahkan orang lain.

Baru-baru ini, menyadari bahwa sejak pertengahan Februari 2011 saya dipercaya menjadi sekretaris pengurus nasional Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (PPK SUBUD) Indonesia, sejumlah pengurus cabang dari organisasi nasional yang beranggotakan lebih dari 5.000 orang di sebelas daerah dari negara kesatuan Republik Indonesia itu menghubungi atau mendatangi saya menyangkut berbagai urusan administratif. Ketika saya menyatakan bahwa sejak 12 Juli saya telah mengundurkan diri—dengan pertimbangan utama bahwa posisi tersebut malah menghalangi saya untuk bersikap apa adanya dalam mengutarakan pendapat—mereka kebingungan, tidak tahu harus berhubungan dengan siapa untuk menyelesaikan masalah-masalah administratif.

Tetapi, seorang saudara SUBUD saya dengan bijak menyatakan, “Perlukah Anda menjabat sebagai apa untuk melayani kebutuhan mereka?” Kata-katanya membangunkan sesuatu di dalam diri saya. 

Para nabi dan utusan Tuhan di masa lalu tidak pernah mengklaim diri mereka sebagai apa—yang dewasa ini malah acap digunakan sebagian orang untuk menandaskan identitas diri mereka untuk tujuan-tujuan yang merugikan banyak orang. Tanda-tanda kenabian mereka malah disaksikan oleh orang lain, bukan oleh keinsafan mereka sendiri.

Saya meragukan setiap ucapan Nabi Muhammad SAW di sejumlah literatur yang menyatakan “sebagai Nabi, saya putuskan” atau “sebagai Utusan Allah, maka saya”, lantaran beliau di lain pihak digambarkan sebagai pribadi yang rendah hati, sabar, ikhlas dan tawakal. Saking rendah hati dan sabarnya, Muhammad tidak marah ketika diri beliau diludahi pengemis Yahudi buta yang membenci dirinya atau mulutnya terkena lemparan batu hingga berdarah dalam suatu pertempuran melawan kaum musyrik. Beliau malah mendoakan mereka dengan tulus!

Siddhartha Gautama, Sang Buddha ke-24, mengimbau para pengikutnya agar tidak segera mempercayai apa pun yang dikatakannya sebelum pengikutnya mengalami sendiri kebenaran kata-katanya. Mentang-mentang mendapat Penerangan Sempurna tidak serta-merta ia menyatakan, “Sebagai Yang Tercerahkan, maka semua yang Aku katakan itu benar!”

Sebaliknya, dengan rendah hati ia menyatakan, “Jika dalam semadimu engkau masih melihat aku, bunuhlah aku!” Ia bermaksud mengajarkan kepada para pengikutnya agar tidak bergantung pada dirinya, lantaran dirinya bukan siapa-siapa; ia mengajarkan mereka agar percaya pada kemampuan diri sendiri. Oleh karena pernyataan Siddhartha Gautama agar para pengikutnya tidak segera percaya pada kebenaran yang disampaikannya, agama Buddha terkenal sebagai agama dengan lebih dari 80.000 sekte, bahkan membolehkan penganut Buddhisme tidak menganut sekte apa pun (non-sektarian), juga tidak memurtadkan penganut agama Buddha yang berpindah agama.

Para guru spiritual terkemuka dunia merupakan pribadi-pribadi yang sejalan dengan kedua tokoh yang saya utarakan di atas. Mereka dianggap guru oleh orang-orang yang percaya bahwa mereka mengajarkan sesuatu atau memberi obat atas permasalahan hidup orang banyak.

Mahaguru tasawuf Syekh Abdul Qadir al-Jailani tidak pernah merilis kitab apa pun. Beliau hanya membagi kearifan beliau dalam mempelajari Al Qur’an dan kitab-kitab para pendahulunya. Beliau juga tidak berkoar-koar di alun-alun kota atau masjid agung bahwa dirinya utusan Tuhan atau wali Allah atau menyatakan ‘sebagai apa’ untuk menggalang pengikut sebanyak mungkin guna menopang bangunan kekuasaan politik.

Kebijaksanaanlah yang membuat beliau disegani dan dihormati layaknya guru, sehingga hanya setelah beliau wafat orang-orang mendirikan tarekat yang menggunakan nama beliau (Tarekat Qadiriah) serta menuliskan kitab yang menghimpun nasihat-nasihat beliau.

Ini mirip dengan sejarah ‘kitab lahiriah’ Al Qur’an yang dituliskan dalam susunan yang kita kenal sekarang setelah penerima wahyu—Nabi Muhammad SAW—wafat. (Tolong, jangan berpikir seperti keponakan saya ketika berusia enam tahun, yang mengira satu kitab setebal buku telepon jatuh dari langit ke pangkuan Nabi Muhammad ketika beliau pertama kali menerima wahyu dari Tuhan.)

Intinya, jangan sampai posisi, pengetahuan atau pengalaman menahan Anda dari berbuat sebaik mungkin bagi kemaslahatan orang banyak. Itu menurut saya lho—tidak perlu Anda ikuti. Karena sebagai saya, saya bukan siapa-siapa.Ó


Gang Garuda, Mampang Prapatan XI, Jakarta Selatan, 4 Agustus 2011

No comments: