Friday, June 28, 2019

Adanya Ini Karena Itu


BELAKANGAN ini, udara Jakarta dan sekitarnya panas. Panas dan lembab, menyebabkan keringat dan perasaan tidak nyaman yang tiada berkesudahan. Tidak bergerak saja menimbulkan sumuk. Udara panasnya seakan terkungkung dalam tempurung di mana manusia tinggal di dalamnya. Karena tidak kuat, saya pun membatin, “Ya Tuhan, berilah hujan yang deras, yang membuat udaranya jadi sejuk.”

Dalam sekejap, suara batin saya berujar, “Bagaimana bisa hujan turun kalau airnya tidak dipanasi dan uapnya naik ke langit? Adanya hujan kan karena penguapan air di sumber-sumber air di bumi yang dipanasi oleh matahari!”

Saya tertegun dan tertawa sendiri. Tertawa karena saat kemrungsung (pikiran kalut) seperti itu, berkurang logika berpikir saya.

Dari “penerimaan” batin itu, saya lantas merenungkan berbagai hal dalam hidup ini. Ternyata semua hal memiliki sebab dan akibat. Adanya ini karena itu. Adanya uang dalam dompet saya karena saya bekerja/berusaha untuk itu, tidak tiba-tiba mewujud dalam dompet saya seperti permainan sulap. Adanya tulisan ini juga karena saya terinspirasi udara panas yang mendera saya. Ada lain-lain sekuens seperti ini yang bisa kita renungkan, tetapi yang jelas beginilah hukum alam itu. Hadapi dan nikmati atau sesali berkepanjangan.

Saya hanya bisa memujikan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas pelajaranNya yang luar biasa.©2019


Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 29 Juni 2019

Tuesday, June 18, 2019

Belajar Sabar

Di saat saya harus menunggu lama di lobi kantor klien saya, misalkan karena mendadak
klien saya harus rapat, saya manfaatkan momen menunggu itu untuk
menenangkan diri, agar dapat sabar, tawakal, dan ikhlas
dengan kenyataan bahwa saya harus menunggu lama.

SETAHU saya, agama-agama yang berpondasi pada akhlak mengajarkan umatnya untuk senantiasa bersabar. Dahulu, saya menerima mentah-mentah ajaran agama saya untuk bersabar, meskipun hingga lebih dari 15 tahun lalu saya tidak memahami mengapa sabar itu perlu.

Menurut Wikipedia, yang juga merupakan pengertian secara umum, “[S]abar adalah suatu sikap menahan emosi dan keinginan, serta bertahan dalam situasi sulit dengan tidak mengeluh. Sabar merupakan kemampuan mengendalikan diri yang juga dipandang sebagai sikap yang mempunyai nilai tinggi dan mencerminkan kekokohan jiwa orang yang memilikinya. Semakin tinggi kesabaran yang seseorang miliki maka semakin kokoh juga ia dalam menghadapi segala macam masalah yang terjadi dalam kehidupan.”

Di luar ajaran agama, sabar juga menjadi kebutuhan manusia yang seringkali tidak disadari. Sabar adalah sikap yang seharusnya dimiliki setiap orang bila ia menginsafi bahwa hidup sejatinya adalah sebuah proses yang tidak bisa dipercepat. Bila kita mengikuti prosesnya dengan berperasaan sabar, maka kita akan tersadar pada jalan yang harus kita lalui atau arah-arah yang harus kita tuju untuk mencapai yang kita inginkan. Bila dipercepat prosesnya akan membuat kita laksana mobil yang melaju sangat kencang di jalan bebas hambatan, yang saking nikmatnya akan membuat kita terlena di belakang setir, lalu jatuh tertidur, dan berakibat mobil kita menjadi tidak terkendali. Akhirnya, kita pun celaka.

Proses perwujudan keinginan kita itu berjalan sesuai kemampuan kita. Sebagaimana diungkapkan oleh YM Bapak Subuh dalam ceramah di Detroit, Michigan—Amerika Serikat pada 6 Agustus 1063: “Sudah tentu pelaksanaannya hal-hal yang saudara inginkan, saudara perlu sabar, perlu percaya kepada Tuhan, perlu mengikhlaskan segala sesuatunya. Karena semua itu diatur dan dikerjakan oleh kekuasaan Tuhan seukur dengan kekuatan saudara, jangan sampai rasa diri saudara atau anggota-anggota saudara baik dalam maupun lahir menjadi terusak karenanya. Dan sebabnya itu pula, ialah dari banyaknya kesalahan-kesalahan, dari banyaknya kekotoran-kekotoran yang telah meresap dalam rasa diri saudara. Tetapi meskipun demikian, saudara sendiri tidak akan dapat mengetahui dan menginsafinya, selain Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu, baiklah apabila saudara sekalian menyerahkan segala sesuatunya itu kepada Tuhan. Meskipun agak lama atau lama, saudara perlu percaya kepada kebesaran Tuhan, bahwa Tuhan akan menolongnya.”

Kepahaman bahwa proses yang harus saya (atau kita) lalui tidak bisa dipercepat saya peroleh melalui pengalaman-pengalaman gerak hidup saya yang tertuntun oleh Latihan Kejiwaan. Jika menurut agama sabar adalah suatu sikap menahan keinginan, di SUBUD sebaliknya: Kita boleh berkeinginan, asal kita sabar mengikuti urutan proses yang membawa kita, pada akhirnya, tiba pada apa yang kita inginkan.

Sabar itu bukan hanya sikap menahan diri kita atas keadaan-keadaan atau orang-orang di luar diri kita, tetapi juga terhadap diri kita sendiri. Cara bekerjanya kekuasaan Tuhan dalam mewujudkan keinginan kita seringkali tidak sejalan dengan yang kita pikirkan, apalagi pikiran kita sudah sedemikian terkontaminasi oleh ajaran-ajaran bahwa Tuhan hanyalah kebaikan dan menuntun kita melalui jalan yang baik. Sehingga ketika kita dihadapkan pada keburukan, kita cenderung menjadi tidak sabar dengan keadaan itu dan menjauh atau menghindar.

Saya ingat pada suatu pengalaman beberapa tahun silam. Saat itu, saya dan istri tengah mudik ke Surabaya, dan menginap di rumah mertua saya, di mana juga ada kakak ipar saya, yaitu kakak tertua dari istri saya. Kakak ipar saya, yang sudah pernah mengenyam pendidikan agama di sebuah pondok pesantren di Nganjuk, Jawa Timur, suatu ketika mendatangi saya untuk bertanya-tanya tentang SUBUD dan Latihan Kejiwaan. Ia ingin belajar sabar, dan ia pernah mendengar bahwa di SUBUD orang melakukan Latihan Kejiwaan untuk mampu sabar, tawakal, dan ikhlas.

“Setahu saya, sabar nggak bisa dipelajari, Mas,” komentar saya setelah kakak ipar saya mengutarakan maksudnya mendatangi saya. “Sabar adalah pemberian Tuhan kepada mereka yang Dia kehendaki.”

Kakak ipar saya tetap ngotot ingin ikut saya ke Wisma SUBUD Surabaya untuk ngandidat. Maka, pada suatu malam di hari Kamis, dia dan saya beriring-iringan dua sepeda motor dari rumah mertua di kawasan Perak Barat, Surabaya Utara, ke Wisma SUBUD Cabang Surabaya di Jl. Manyar Rejo 18-22, Surabaya Timur. Saya perkenalkan kakak saya ke salah satu pembantu pelatih (PP), yang kebetulan juga seorang ustad. Sang PP mengajak kakak ipar saya ke ruangan kandidat, sebuah ruangan kecil yang menyambung pada sisi selatan bangunan Hall Latihan SUBUD Cabang Surabaya. Saya tidak menemani kakak ipar saya, melainkan tetap duduk lesehan di teras timur Hall Latihan Surabaya, yang memang lazim digunakan sebagai tempat para anggota SUBUD Cabang Surabaya berinteraksi sebelum dan sesudah melakukan Latihan Kejiwaan.

Dari teras itu, saya melihat satu PP sepuh datang dari arah pelataran parkir mobil dan berjalan tertatih-tatih ke arah ruangan kandidat. Saya mengenal beliau sebagai Pak Nardi, mantan PP Nasional Pria untuk Komisariat Wilayah VI Jawa Timur-Bali-Sulawesi. Beberapa saat setelah Pak Nardi memasuki ruangan tersebut, saya melihat kakak ipar saya tergopoh-gopoh keluar dari ruangan dan berjalan dengan tampang cemberut ke arah parkiran sepeda motor, di mana dia menaiki sepeda motornya dan segera berlalu dari pekarangan Wisma SUBUD Surabaya.

Keesokan harinya, kakak ipar saya menemui saya. Dia dengan suara keras bernada jengkel mengatakan bahwa Pak Nardi itu bukan orang yang beragama. “Pasti dia nggak beragama dan nggak punya adab,” kata kakak ipar saya. Usut punya usut, rupanya Pak Nardi, yang baru belakangan nimbrung dengan PP lainnya yang melayani kakak ipar saya, bertanya pada kakak ipar saya apa pekerjaannya. Dijawab oleh kakak ipar saya, “Saya marketing, Pak.” Dikomentari oleh Pak Nardi, “Kamu jangan bohong ya ke saya. Saya bisa melihat kalau kamu bohong. Apa pekerjaan kamu?”

“Saya sudah jelaskan tadi, Pak. Pekerjaan saya di marketing EMKL (ekspedisi muatan kapal laut—ADS),” jawab kakak ipar saya, mulai kesal.

“Bohong kamu!” bentak Pak Nardi. Hal itu membuat kakak ipar saya tersinggung dan segera pergi meninggalkan Wisma SUBUD Surabaya.

Saya terdiam tapi dalam hati saya tertawa dan membatin, “Sukurin!”

Saya kemudian berkata kepada kakak ipar saya, “Kan Mas katanya mau belajar sabar. Naah tuuh, dikasih Tuhan langsung prakteknya. Sabar nggak ada teorinya, Mas. SUBUD juga nggak ada ajaran apalagi teori. Semua serba kenyataan. Mas mau belajar sabar, dikasih Tuhan kesempatan belajar yang bagus, lewat praktek langsung, kok ya malah kabur dari kenyataan?!”

Kakak ipar saya terpana dan diam membisu, tidak berani berkomentar. Tampaknya dia amat malu, karena telah “tertangkap basah” oleh saya bahwa dia tidak mampu bahkan untuk belajar sabar.

“Maaf, Mas, menurut saya malah Mas yang nggak beragama. Buktinya, nggak bisa bersabar dengan kenyataan yang ada,” kata saya dengan rileks.

Setelah hari itu, kakak ipar saya masih empat kali lagi menjalani masa kandidatan di Wisma SUBUD Cabang Surabaya. Selanjutnya, tidak ada kabar beritanya lagi. Tampaknya dia belum memiliki energi yang memadai untuk belajar sabar melalui kenyataan hidup sehari-hari.©2019



Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 19 Juni 2019


Monday, June 17, 2019

Kepribadian Adaptif


“Bukan yang paling kuat yang dapat sintas, bukan pula yang paling cerdas yang dapat sintas. Tapi hanya dia yang paling mudah beradaptasi dengan perubahan.”
—Charles Darwin


TAHUN 2009, saat saya—yang baru menerima kepercayaan untuk menjadi Wakil Sekretaris Nasional di Pengurus Nasional (Pengnas) Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK) SUBUD Indonesia untuk masa bakti 2009-2011—sowan ke Ibu Rahayu Wiryohudoyo selaku pemimpin kejiwaan SUBUD, bersama jajaran Pengnas lainnya, saya berjumpa dengan Kohar Sillem, seorang anggota SUBUD Belgia asal Belanda yang telah lama bermukim di Indonesia. Saya tergolong baru mengenal Kohar saat itu, melalui proyek branding Rungan Sari Meeting Center and Resort (RSMCR), yang saya tangani bersama saudara SUBUD saya, Toni Sri Agustono, yang menjadi fotografer dan desainer grafis untuk materi branding-nya. Kohar mewakili pemilik RSMCR dalam pertemuan-pertemuan dengan saya dan Pak Toni selaku konsultan branding untuk RSMCR.

Usai acara ramah-tamah dengan Ibu Rahayu di rumah beliau di Wisma Barata, Pamulang, Tangerang Selatan, para tetamu pun menikmati hidangan makan malam yang disediakan. Saat itulah, saya melihat Kohar. Saya menghampirinya dan kami mengobrol. Saya bertanya padanya, bagaimana ia bisa masuk SUBUD. Dalam bahasa Inggris beraksen Belanda, Kohar menuturkan bahwa ia berasal dari keluarga SUBUD, karena itu ia dibuka saat usianya memasuki 17 tahun. Tetapi Kohar tidak menganggap serius pengalaman itu maupun SUBUD. Ia pun menjadi malas melakukan Latihan Kejiwaan dengan rutin dan tekun.

Sampai suatu ketika ia bergabung dengan Peace Corps—program relawan yang dikelola oleh pemerintah Amerika Serikat untuk membantu pembangunan sosial dan ekonomi di luar negeri. Sebagai relawan, Kohar dikirim ke sebuah negara Afrika, sebuah negeri yang amat berbeda dari tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Sebagai seseorang dengan latar belakang budaya Barat yang maju, Kohar merasa terasing di sebuah negara berkembang. Ia segera merasa tidak betah, karena tidak suka dengan cuacanya yang panas, makanannya yang berminyak, dan orang-orangnya yang angkuh. Karena tidak betah, Kohar pun menelepon ibunya, untuk memberitahunya bahwa ia akan pulang ke Belgia dan mencari pekerjaan yang lebih baik, yang memberinya kenyamanan hidup.

Alih-alih gembira menerima kabar dari putranya, ibunda dari Kohar malah menyuruhnya untuk bertahan dengan semua keadaan yang membuatnya tidak nyaman itu. Ibunya menyampaikan nasihat Bapak Subuh untuk selalu sabar, tawakal, dan ikhlas menghadapi keadaan seberat apa pun. Dipesan seperti itu oleh ibunya, Kohar pun mencoba untuk tekun berlatih kejiwaan, dan melalui semua tantangan serta derita hidup di negeri asing dengan perasaan sabar, tawakal, dan ikhlas. Kenyataan yang didapat Kohar sungguh membuatnya terkejut: Tiba-tiba cuacanya tidak lagi terasa panas, tiba-tiba makanan setempat berasa lezat, dan tiba-tiba semua orang lokal bersikap ramah padanya.

Sejak itu, Kohar pun menyikapi SUBUD dengan serius; ia rajin dan tekun melakukan Latihan Kejiwaan. Alhasil, ia berhasil menyelesaikan masa tugasnya sebagai relawan Peace Corps.

Kisah pengalaman SUBUD dari Kohar Sillem ini benar-benar terpatri di ingatan saya sekaligus menginspirasi saya. Menurut saya, apalagi setelah saya alami sendiri, Latihan Kejiwaan memudahkan kita memperoleh pribadi yang adaptif dengan segala situasi dan kondisi. 

Sebelum saya masuk SUBUD, saya sulit sekali beradaptasi, sementara lingkungan baru dan perubahan adalah sesuatu yang harus saya hadapi setiap saat dalam hidup saya. Saya kira, bahkan dalam hidup semua orang.

Beradaptasi dengan lingkungan baru tidak selalu merupakan cara yang mudah, apalagi untuk mereka yang minder atau introvert seperti saya. Ketika kecil, terutama semasa sekolah dasar hingga menengah atas, saya adalah pribadi yang amat pemalu. Di sekolah, saya tidak bergaul; tiap jam istirahat saya isi dengan duduk sendirian di dalam kelas atau di depan pintu kelas, diam memperhatikan teman-teman saya bersosialisasi dengan rekan-rekan sebaya. Saya merasa tidak mampu memerangi rasa malu dan takut saya akan penolakan dari rekan-rekan sebaya atau lingkungan baru di mana saya masuk ke dalamnya. Di setiap keadaan atau lingkungan yang baru, perasaan saya amat terusik oleh ketakutan melampaui batas yang wajar. Saya gamang dengan keadaan atau lingkungan yang baru.

Latihan Kejiwaan seakan mengulurkan tangan Tuhan ke saya untuk saya gandeng, sementara Dia membimbing saya menuju keadaan atau lingkungan yang baru dengan santai dan gembira. Sejak saya menerima Latihan Kejiwaan, beradaptasi dengan keadaan dan/atau lingkungan yang baru atau terasa asing bagi saya semudah membalikkan tangan. Paling lambat, menurut pengalaman saya selama ini, saya dapat beradaptasi dengan keadaan atau lingkungan baru dalam waktu kurang dari tiga hari.

Latihan Kejiwaan memercik sesuatu di dalam diri saya, yang berhasil mengalahkan tekanan ketakutan saya, dan menjadikan saya pribadi yang adaptif. Saya menjadi percaya diri dan berani, tapi bukan nekat. Kepercayaan diri dan keberanian di dalam diri saya ini sepertinya dikontrol oleh suatu kekuatan yang berada di luar kendali pikiran saya. Ia akan sewaktu-waktu muncul untuk memberi saya bantuan menjadi pribadi yang adaptif.©2019


Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 17 Juni 2019

Sunday, June 9, 2019

One Step At a Time


“One step at a time
There’s no need to rush
It’s like learning to fly
Or falling in love
It’s gonna happen and it’s
Supposed to happen that we
Find the reasons why...”
—Jordin Sparks, dari lirik lagu “One Step At a Time” (2008)


TAHUN 2001, saya dan rekan sekantor saya di Surabaya, seorang pengarah seni (art director) di sebuah biro iklan papan atas di Kota Pahlawan, ditugasi bos kami untuk pergi ke Yogya. Misi kami adalah untuk membicarakan kerjasama antara biro iklan tempat kami bekerja dengan sebuah griya produksi (production house) yang berbasis di Yogya. Rekan saya, sang pengarah seni, bernama Andri, sangat mengenal Yogya, karena walaupun ia asal Pekalongan, ia menimba ilmu desain grafis di Institut Seni Indonesia (ISI) yang memang berlokasi di ibukota provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta itu.

Saat itu merupakan kali kedua saya berkunjung ke Kota Yogya. Yang pertama adalah pada tahun 1992, dalam rangka liburan akhir semester. Tetapi, kali kedua inilah yang berkesan, karena mematri sebuah pelajaran yang bertahun-tahun kemudian masih saya ingat dan menjadi cara saya menjalani hidup.

Pada hari saya dan Andri tiba di Kota Yogya, yang perjalanannya dari Surabaya kami tempuh dengan bus, kami diajak dua teman Andri semasa kuliah, yang tampaknya enggan meninggalkan kota itu meskipun sudah lama tamat pendidikannya di ISI, menikmati bakmi godog khas Yogya (sebutan lazimnya “bakmi Jawa” untuk membedakannya dengan bakmi Cina yang pengolahan dan racikan bumbunya memang berbeda). Ada satu pedagang kakilima bakmi godog di dekat tempat saya dan Andri menginap (yaitu kamar kos yang pernah dihuni Andri semasa kuliah dahulu) di Jl. HOS Cokroaminoto.

Kami berempat dan masing-masing dari kami memesan menu yang sama: Bakmi godog nyemek. Setelah menerima pesanan kami, si pedagang mulai menyiapkan menu tersebut. Nah, di sinilah saya menyaksikan sesuatu yang unik. Meskipun kami berempat memesan menu yang sama, si pedagang memasaknya satu per satu—porsi per porsi, bukan sekaligus banyak, yang menurut saya bisa dia lakukan dengan menakar terlebih dahulu bumbu dan bahannya dengan standar untuk empat porsi. Bagaimanapun, hal mudah itu tidak dia lakukan; dia tetap memasak empat porsi bakmi godog nyemek satu demi satu.

Saya tidak memprotes pendekatan si pedagang bakmi godog itu. Saya pikir, biarlah, mungkin itu memang caranya, meskipun saya sama sekali tidak paham mengapa begitu cara dia. Andri, yang menangkap kegelisahan saya dengan cara si pedagang bakmi godog kakilima itu menyajikan pesanan pembelinya, berujar, “Jangan heran, Mas. Memang begitu cara penjual makanan di Yogya.”

Tetapi, si Andri tidak menjelaskan mengapa begitu. Saya rasa, dia juga tidak mengerti mengapa, dan hanya nrimo saja kenyataan itu, seakan hal itu merupakan suatu adat warisan leluhur yang tidak patut dipertanyakan. Saya pun segera lupa dengan kegelisahan dan tanya di benak saya ketika piring bermuatan bakmi godog nyemek beraroma mengundang selera telah dihidangkan di hadapan saya. Hanya setelah masuk SUBUD bertahun-tahun kemudian saya menerima, melalui pengalaman saya, pengertian mengapa segala sesuatu harus dilakukan atau disikapi satu per satu. One step at a time, istilahnya dalam bahasa Inggris.

Saya teringat ketika masih aktif di industri periklanan Surabaya, yang minim sumber daya manusianya untuk sejumlah profesi praktisi periklanan. Sebagai copywriter, yang tugasnya adalah menemukan ide, mengonsepkan sebuah iklan berdasarkan ide tersebut, dan menuangkannya dalam wujud naskah atau teks, saya juga melakukan tugas ganda (multitasking) dengan menjadi perencana strategi (strategic planner), dan pembina usaha (account executive). Saat itu, saya bangga dengan kemampuan saya melakukan tugas ganda, tetapi lama kelamaan saya menyadari kualitas hasil pekerjaan saya tidaklah layak dibanggakan. Kualitasnya sedang-sedang saja untuk ketiga pekerjaan itu.

Di SUBUD, dari beberapa ceramah Bapak Subuh yang pernah saya baca atau dengarkan, saya mendapat pengertian bahwa segala sesuatu jangan dilekaskan, jangan dipercepat dari proses normalnya, atau jangan melakukan banyak hal sekaligus, karena kita akan kehilangan momen “melatih rasa” atau perasaan nikmat dari prosesnya. “Ingin lekas bisa itu malah memperkosa jiwa,” demikian Bapak mengatakan. Saya merenungkan beberapa pengalaman saya di masa lalu, di mana suatu pencapaian yang instan tidak menghidupkan intelektualitas saya, dibandingkan dengan pencapaian melalui proses panjang, yang memberi saya kesempatan untuk belajar, mengobservasi, coba-salah (trial-and-error), dan pengertian berangsur-angsur.

Baru-baru ini, pada hari Lebaran pertama tahun 2019/1440 Hijriyah, saya berlebaran ke rumah sepupu saya. Sepupu saya menghidangkan menu beragam, dari bakso sampai ketupat dan lauk-pauknya. Alih-alih bingung memilih mana dulu yang harus saya makan, saya sejak dari rumah sudah mendapat bimbingan dari dalam untuk makan dua jenis makanan yang berbeda dengan jeda dari satu ke yang lainnya satu hingga satu setengah jam. Saya makan bakso terlebih dahulu. Benar-benar terasa lezatnya, apalagi saya makannya perlahan, mengunyah dengan baik, merasakan setiap jengkal makanan yang masuk ke mulut saya. Lalu, saya istirahat satu jam dari makan apa pun lainnya, hanya minum air mineral. Sejam kemudian, barulah saya mencicipi ketupat bersama lauk-pauknya. Nikmatnya tiada tara dan tidak membuat saya kekenyangan. Saya bersyukur Tuhan telah membimbing saya dalam cara mengonsumsi makanan di hari raya Idul Fitri yang sarat hidangan istimewa itu.

Melakukan berbagai kegiatan atau memikirkan berbagai hal secara bersamaan dalam satu waktu menghilangkan kenikmatan yang seharusnya kita rasakan dalam melakoni hidup ini. Nikmat itu ada dalam proses, dari tahap ke tahap, waktu ke waktu, dengan perasaan sabar, tawakal, dan ikhlas. Proses yang kita lalui menghidupkan kesadaran penuh pada diri kita sendiri dan pada peristiwa-peristiwa yang melengkapi proses tersebut. Dalam proses itu, kita menyaksikan bekerjanya bimbingan Tuhan Yang Maha Tak Terbatas. Suka menjalani prosesnya adalah tanda bahwa kita sukses. Sukses adalah “SUKa berproSES.©2019
                                                            


Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 9 Juni 2019