Sunday, November 14, 2010

“Soup for the Chicken Soul”

“Kesabaran ada batasnya. Lewat dari itu disebut pengecut.”

~George Jackson (1941-1971)

 

BEBERAPA tahun lalu, semasa masih menjadi copywriter dan creative director pada sebuah biro iklan papan atas di Surabaya, saya ketiban pekerjaan menggagas kreatif untuk selebaran (flyer) dan poster bagi sebuah perusahaan yang menawarkan aneka kegiatan dan pelatihan outbound. Selain arung jeram dan panjat tebing, tersedia menu kegiatan lainnya yang cukup memacu nyali. Di situlah tempatnya jiwa pengecut diberi makanan yang dapat memompa adrenalin mereka hingga berubah menjadi pribadi yang berani dan tangguh menghadapi tantangan kehidupan.

Fakta itu memicu ide cemerlang di benak saya yang menghasilkan headline (kepala naskah) “Soup for the Chicken Soul”, yang saya pelesetkan dari judul serangkaian buku motivasi terkenal karya Jack Canfield dan Mark Victor Hansen, Chicken Soup for the Soul (pertama kali diterbitkan pada tahun 1993). Headline garapan saya tadi jika diindonesiakan menjadi “Sup untuk Jiwa Pengecut”. 

Visualnya sendiri bersifat “lurus” (straight), yaitu foto seorang penjelajah gagah yang tengah meniti tali-temali yang terentang di atas jurang. Dalam hal visualisasi, saya menerapkan prinsip Jim Aitchison dalam bukunya, Cutting Edge Advertising: How to Create the World’s Best Print for Brands in te 21st Century (1999), yang menyarankan agar dalam iklan yang kepala naskahnya “bengkok” (bent) atau dimain-mainkan, maka visualnya sebaiknya “lurus”, supaya pemirsa tidak mendapat masalah dobel—pertama, ketika mencerna arah headline-nya dan, kedua, saat harus memaknai visualnya dan korelasinya dengan kepala naskah.

Saya sengaja membengkokkan headline-nya, agar pemirsa, yang diasumsikan adalah para eksekutif muda yang kiranya ngeh dengan buku Chicken Soup for the Soul, akan dapat dihentikan sejenak untuk melihat poster atau selebaran perusahaan penyedia fasilitas kegiatan dan pelatihan outbound tersebut. Badan naskahnya berbunyi: “The challenges that you will get here for only 150,000 IDR will definitely drive the chicken out of your soul.” (Tantangan-tantangan yang akan Anda dapatkan di sini hanya dengan Rp150,000 pasti akan menyingkirkan sisi pengecut dari jiwa Anda).

Pengalaman menangani kreatif dari pekerjaan tersebut di atas tiba-tiba mendorong saya untuk beretrospeksi, menengok ke masa-masa ketika saya mulai meniti karier sebagai praktisi periklanan. Seperti penjelajah yang menjadi visual bagi karya iklan tersebut di atas, saya pun laksana meniti tali yang sewaktu-waktu bisa putus dan menjerumuskan karir saya yang baru seumur jagung ke dasar jurang. Saat itu, saya mendengar cerita, baik langsung dari narasumber maupun dari sumber sekunder, tentang para copywriter pemula yang berguguran bahkan sebelum mereka memahami hakikat dari profesi mereka.

Seorang produser audio-visual (AV) di salah satu biro iklan tempat saya bekerja dahulu, yang sekali waktu mendampingi saya dalam produksi iklan radio di studio rekaman, mengisahkan bahwa dia awalnya melamar sebagai copywriter pada biro iklan tersebut. Tetapi ia kemudian beralih menjadi produser AV lantaran tidak tahan terhadap badai ujian yang mesti dihadapi para copywriter di tahun-tahun pertama karir mereka.

Saya, yang waktu itu masih berstatus copywriter yunior, tentu saja kecut mendengar kisah itu, namun si produser menguatkan hati saya dengan berkata, “Jangan khawatir, lu akan baik-baik aja. Asal jangan cepat menyerah, ya.” Wah, dia bisa memberi nasihat yang mampu membangkitkan semangat saya, sementara dia sendiri menyerah ketika dihantam badai ujian.

Saya pun menghadapi yang disebut produser AV tadi sebagai “badai ujian”: diperlakukan semena-mena oleh senior saya, dimarahi klien dengan kata-kata yang tidak senonoh, mengalami kesalahan dalam proofread iklan cetak yang nyaris membuat gaji saya sebulan dipotong untuk mengganti kerugian yang diderita klien akibat kesalahan tersebut serta kesulitan mendapatkan ide ketika harus menulis kepala naskah, yang di kalangan copywriter disebut “sindrom kertas kosong” (simtomnya, antara lain, adalah rasa cemas menghadapi kenyataan bahwa ide belum juga ditemukan, disusul putus asa).

Terus-terang, dalam hati saya menangis dan sering muncul keinginan untuk menyudahi saja impian menjadi copywriter, yang hingga kini masih tergolong profesi bergengsi. Tetapi sesuatu di dalam diri saya terus menyemangati, “No pain, no gain! Ayolah, menjadi copywriter adalah takdirmu. Wujudkan itu!” Hal itu memacu saya untuk berusaha keras mencerna sup untuk jiwa pengecut saya. Kuahnya terasa sangat pedas dengan potongan bakso yang keras, namun saya harus menghabiskannya agar saya cukup bertenaga untuk menghadapi kerasnya kehidupan. Alhasil, badai ujian itu telah membentuk saya menjadi sosok praktisi periklanan yang sangat fasih dalam copywriting, amat jarang dijangkiti sindrom kertas kosong, serta bergeming ketika menghadapi klien.

Tampaknya, kita semua telah dibekali dengan potensi-potensi untuk bertahan menghadapi kerasnya badai ujian hidup. Hidup ini tidak punya tempat bagi pecundang dan pengecut, dan karena itu manusia diciptakan dengan kelengkapan untuk bertahan dan menang atas tantangan-tantangan yang ditawarkan hidup. Badai ujian yang masih atau akan kita hadapi kelak hanyalah sup untuk menggelontor jiwa pengecut yang cenderung mengajak kita untuk menyerah saja.©2010

 

Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 14 November 2010, pukul 23.29 WIB

Saturday, November 13, 2010

Hal-Hal yang Tak Terjelaskan

“Sebagai manusia, kita mempunyai masalah dalam bercerita. Kita ini sering terlalu cepat memberi penjelasan untuk hal-hal yang sebenarnya tak terjelaskan.”

~Malcolm Gladwell, Blink: Kemampuan Berpikir Tanpa Berpikir (Jakarta: Gramedia, 2009)

 

“Pemerian apa pun, betapa pun mendalamnya, hanya merupakan pendangkalan sebuah kebenaran yang tidak bisa terucapkan.”

~M. Alphonse Ratisbonne

 

SEPANJANG 15 tahun (1995-2010) karier saya di industri komunikasi, khususnya periklanan, sudah tak terhitung berapa kali saya menjumpai klien-klien yang memiliki selera tertentu dalam menentukan mana dari beberapa alternatif konsep iklan yang saya dan tim ajukan yang akan dipakai untuk mengomunikasikan merek mereka. Dalam khasanah kreatif periklanan terdapat sejumlah prinsip atau hukum yang membantu kreator dalam memastikan mana iklan yang bagus, dan mana yang tidak. Saya memiliki beberapa literatur di rak buku saya yang menjelaskan itu, dan nyaris menjadi pedoman saya andaikata saya tidak pernah berhadapan dengan kenyataan bahwa dalam seluk-beluk penciptaan iklan pun terdapat hal-hal yang tak terjelaskan.

Apakah iklan cetak dengan headline yang kuat dan sinkron dengan visual yang tepat serta gagasan besar yang cemerlang yang dapat disebut iklan yang hebat (great ad)? Pada sebagian besar kasus memang demikian, tetapi tidak berarti hal itu selalu dapat dijadikan patokan. Kadang ada klien yang tidak mempertimbangkan hal itu. Tanpa memberikan penjelasan, si klien bisa saja memilih desain iklan yang menurut tim kreatornya malah digolongkan sebagai “tidak tepat” atau tidak diunggulkan. “Ya, saya suka saja,” jawab si klien jika didesak untuk memberi alasan memilih desain iklan tersebut. Ada pula klien yang tidak menyukai sebuah desain iklan lantaran visual iklan itu didominasi warna hitam, abu-abu dan kuning, sedangkan klien gemar akan warna biru laut—tanpa alasan yang jelas.

Tidak semua hal perlu penjelasan. Bahkan kenyataan dalam hidup ini membuktikan bahwa banyak sekali hal yang tak terjelaskan, dan pada dasarnya memang tidak memerlukan penjelasan. Apalagi bila berurusan dengan rasa. Rasa konon mendorong selera. Penjelasan membutuhkan kata, sedangkan rasa melampaui bahasa. Rasa itulah sisi misteri pada setiap kita, yang akan turun nilainya apabila dijelaskan dengan kata-kata.

Kawan saya, seorang laki-laki yang, maaf, buruk rupa. Tetapi istrinya kok ya sangat rupawan. Saat teman-temannya bertanya dalam canda kepada sang istri mengapa ia memilih kawan saya sebagai suaminya, perempuan cantik itu hanya mengangkat bahu. Ada hal-hal yang tak terjelaskan. Kalau dipaksa malah keluar kata-kata klise: ia baik, pengertian, bertanggung jawab, dan lain sebagainya yang mencitrakan kepribadian yang positif. Dan jika hal itu dijadikan patokan, coba deh pertimbangkan karakter kawan saya yang lain: buruk rupa, pengangguran, pecandu narkoba, dan suka main perempuan. Dengan landasan berpikir yang umum dan “normal”, kita akan bertanya-tanya atau malah menghakimi, tidak akan ada perempuan yang jatuh cinta padanya. Ternyata tetap ada, yaitu istrinya, yang mewujud sosok yang berparas menawan. Mungkin perempuan itu punya visi dan misi tertentu dengan menjadi istrinya, entah harapan bahwa suaminya akan berubah, paling tidak meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruknya, atau apalah. Sifat selera ya seperti itulah—tidak jelas.

Tahun 2003 lalu, British Council menggelar event pemutaran 12 film independen garapan industri film Inggris. Disponsori oleh sebuah merek permen cokelat, film-film tersebut diputar di Jakarta, dengan penonton berjubel dan tiket habis terjual. Ketika diputar di Bandung dan Yogyakarta tidak semua dari ke-12 film tersebut dapat diterima oleh pasar penikmat film di kedua kota itu. Dan ketika diputar di Surabaya, hanya segelintir mahasiswa dari klub-klub sinematografi kampus yang berminat. Biarpun disodori permen cokelat gratis dan harga tiket yang tergolong sangat murah (Rp2.000), tetap saja orang-orang Surabaya yang kebetulan sedang berada di salah satu bioskop di kota tersebut tidak berminat. Keesokan harinya, muncul beritanya di sebuah koran nasional, bertajuk “Selera Konsumen Surabaya Tidak Jelas”. Kesuksesan di kota-kota besar lainnya rupanya tidak bisa dijadikan patokan bahwa event itu bakal sukses di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia.

Tak dipungkiri bahwa hal-hal yang tak terjelaskan mewarnai hidup kita. Kita hanya bisa berasumsi mengenai alasan-alasannya, yang sebisa mungkin bersifat masuk akal. Yang paling sering dilakukan adalah menuding sumber lain atau mengembalikan kepada yang umumnya disebut “tuhan”. Saya tidak tahu, mereka yang ateis bakal mengembalikannya kepada siapa atau apa, tetapi mereka yang percaya karma cenderung mengembalikannya kepada diri mereka sendiri: siapa berbuat, dia yang menerima akibat.

Jadilah kita ini makhluk yang hidup di alam yang menawarkan hal-hal yang tak terjelaskan. Dan untuk dapat hidup secara nyaman dengan kenyataan ini, tak ada cara lain selain menyambutnya sebagai bagian yang terpadu dengan dinamika hidup kita sebagai manusia, dengan perasaan sabar, merelakan (let go) dan yakin bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja.©2010

 

Mampang Prapatan dan Cilandak Barat, Jakarta Selatan, 13 November 2010, pukul 16.13 WIB


Friday, November 12, 2010

Tidak Ada Sekolahnya

 “Pengalaman adalah guru yang paling baik.”

~Ungkapan populer

 

“Satu hal yang bisa kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak memetik pelajaran dari sejarah.”

~Joseph Bulgatz

 

PROFESI saya—copywriter, bagi mereka yang memahami, acapkali mengundang decak kagum. Pasalnya, bidang ini tidak ada sekolahnya. Mereka yang menekuni copywriting bahkan memiliki latar belakang pendidikan yang beragam. Saya sendiri kuliah di Jurusan Sejarah FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia; sekarang bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, atau FIBUI), dimana tidak diajarkan teknik menulis naskah iklan, naskah audio-visual, dan lain-lain yang terkait dengan bidang copywriting maupun dunia kerja periklanan.

Meski dipandang cukup “menyerempet”, jurnalistik pun tidak bisa dijadikan modal untuk menjadi hebat dalam copywriting. Pernah saya ditanya dalam wawancara kerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat, ke mana saya melamar sebagai editor, beda antara copywriter dan jurnalis. Saya pun menjelaskan bahwa jurnalis itu cenderung mengelaborasi (memperluas) atau memanjanglebarkan sesuatu yang kecil atau sepele, sedangkan copywriter piawai dalam mengecilkan atau mengerucutkan sesuatu yang panjang-lebar. Informasi setebal buku telepon bisa dikerucutkan sedemikian rupa hingga menjadi satu pesan tunggal (single message) yang terdiri dari beberapa kata saja.

Ada kawan saya, mantan wartawan yang pernah menjadi copywriter. Dalam menyampaikan pesan merek/produk dalam sebuah iklan cetak ia hampir selalu (jika tidak ditegur art director-nya) menulis kepala naskah yang panjang dan membosankan serta badan naskah yang cocoknya dijadikan artikel media cetak. Selama karirnya sebagai copywriter, yang akhirnya tidak ia lanjutkan, ia tergolong hebat dalam menulis advertorial (advertising editorial) yang mirip artikel di koran atau majalah, tetapi bercerita tentang produk, tinimbang menulis naskah untuk iklan cetak atau berkonsep kreatif. Pendek kata, para copywriter andal merupakan “keturunan yang berbeda” (different breed).

Sebaliknya dengan mitra copywriter dalam pembadaian otak (brainstorming) dan berkreasi, yaitu para art director (pengarah artistik). Lembaga pendidikan yang menelurkan bibit-bibit pecinta visual itu menjamur di negeri ini, yaitu sekolah-sekolah desain grafis atau desain komunikasi visual (DKV atau Deskomvis), mulai dari perguruan tinggi bergengsi seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) lewat Fakultas Seni Rupa dan Desain-nya dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan Jurusan Deskomvis-nya, hingga kursus-kursus setara D1 Desain Grafis dan Multimedia di sekolah-sekolah tinggi ilmu komputer, yang membuat saya bertanya-tanya, apakah seluruh aspek dari spektrum komunikasi yang sedemikian luas dapat diajarkan dalam waktu sedemikian singkat?

Sesungguhnya, tidak semua aspek dari segala sesuatu dapat disampaikan di sekolah. Biarpun Anda kuliah desain grafis sampai menggondol gelar doktor, ada satu aspek yang tidak bisa atau sulit Anda kuasai dalam waktu singkat, apalagi bila Anda jarang berinteraksi dengan lingkungan dan hanya berkutat dengan buku teks. Aspek itu bernama “kreativitas”. Banyak mahasiswa dari sekolah-sekolah periklanan atau desain grafis yang magang di agensi-agensi tempat saya bekerja dulu tidak memiliki spirit kreatif pada diri mereka. Waktu mereka tersita untuk mempelajari peranti keras dan lunak untuk keperluan desain. Pada dasarnya, generasi perancang grafis dewasa ini sangat melek teknologi, tetapi miskin ide dan sangat lemah dalam berkonsep, sedangkan desain yang mereka kerjakan adalah untuk kepentingan komunikasi merek kepada pemirsa-pemirsa sasaran (target audience) tertentu, yang memerlukan strategi komunikasi yang kreatif dan komunikatif.

Banyak sekali hal yang tidak diajarkan lembaga pendidikan formal. Tetapi bukan berarti sekolah tidak penting; sekolah tetap perlu, karena di situ kita membangun intelektualitas dan berinteraksi sosial dengan lingkungan. Sekolah memperkenalkan kita dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam kehidupan, tetapi untuk membuat kita siap menghadapi tantangan kehidupan tidak ada sekolahnya. Dalam hal memanifestasi segala potensi yang kita miliki, hal membangunkan mentalitas kewirausahaan yang berlandaskan kelincahan (agility), fleksibilitas menghadapi perubahan, serta kreativitas dan keberanian untuk bertindak kreatif, semua itu tidak ada sekolahnya. Tidak ada teori yang terkait dengan semua itu.

Kecenderungan yang ada membuktikan bahwa kita belajar dari pengalaman yang telah kita alami dan rasakan. Pepatah mengatakan, “Hanya keledai yang terperosok dua kali ke dalam lubang yang sama.” Rasanya, pepatah ini perlu kita renungkan lebih dalam lagi. Kita tidak akan pernah bisa pandai jika ternyata sebuah pengalaman pahit tidak bisa menjadi sebuah pelajaran.

Saya pernah menjadi fasilitator dalam lokakarya untuk pengembangan mentalitas kewirausahaan di sebuah perguruan tinggi. Alhasil, saya hanya berbagi pengalaman saja, lantaran para peserta, yang sebagian besar merupakan dosen bergelar S2 dan S3, telah menguasai semua teori tentang psikologi transformasi atau spiritualitas pertumbuhan (growth spirituality) tetapi bingung mempraktikkannya dalam kehidupan nyata, dalam melakoni wirausaha. Dari pengalaman itu, saya berkesimpulan, bahwa hidup ini merupakan sekolah yang terbaik; dengan mengalaminya, hadir sepenuhnya saat ini, dengan menikmati setiap momennya, dengan menghadapi segala permasalahannya dan menuntaskan permasalahan itu dengan kesadaran penuh. Pada akhirnya, apa lagi yang bisa kita perbuat selain bersyukur atas segala karunia yang dianugerahi hidup?©2010

 

Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 12 November 2010, pukul 10.15 WIB

Thursday, November 11, 2010

Dunia Sekejap

 Carpe diem, quam minimum credula posterorebut kesempatan yang ada hari ini, jangan bergantung pada masa depan.”

~Quintus Horatius Flaccus atau Horace


“Raih kesempatan hari ini atau mati dengan menyesali waktu yang berlalu.”

~Avenged Sevenfold, baris pertama lirik lagu “Seize the Day”.

 

“Kabar buruknya adalah bahwa waktu selalu melayang pergi. Kabar baiknya adalah bahwa Andalah pilotnya.”

~Michael Althsuler


DUNIA komunikasi pemasaran merupakan “dunia sekejap”. Artinya, segala sesuatu yang berkembang di dunia itu berlangsung sekejap, mudah berubah. Bila Anda yang berkecimpung di dalamnya tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan sekejap itu, dipastikan Anda bakal segera ketinggalan zaman (obsolete).

Karena itu, menurut hemat saya, tidak ada yang namanya pintar di dunia komunikasi pemasaran. Yang ada adalah pembelajaran. Sekali Anda merasa pintar, dan merasa tidak perlu belajar lagi, saat itu pula Anda tertinggal jauh di belakang. Lingkungan pembelajaran berkelanjutan (continuous learning environment) harus senantiasa diselenggarakan, agar tetap ter-update dengan perkembangan-perkembangan terbaru dalam industri komunikasi pemasaran.

Teknologi semata tidak bisa membantu mendorong ketertinggalan itu. Tak sedikit art director atau desainer grafis yang pernah bermitra dengan saya dalam sejumlah proyek, yang jago benar dalam mengoperasikan peranti lunak komputer untuk mendesain, yang justru tertinggal dalam hal menggali ide dan menyusun konsep. Bahkan kesannya asal ceplok gambar atau melakukan ornamentasi, yang menyisihkan prinsip-prinsip komunikasi pemasaran atau korporat. Jadilah karya mereka enak dinikmati oleh mereka sendiri, tetapi tidak oleh pemirsa sasaran (target audience), dan tidak pula tercapai tujuan pemasarannya.

Apa saja yang ada dalam kehidupan ini pasti berubah. Yang ada sekarang dalam sekejap akan berlalu dan terlupakan, atau menetap di ingatan kita tanpa kita bisa berbuat apa-apa terhadapnya. Apakah Anda mau tetap berdiam diri di masa lalu dan membusuk, atau hidup di masa kini, sadar sepenuhnya bahwa masih banyak hal baik dan berharga dapat Anda raih dari yang disediakan hidup ini serta menanamkan harapan yang lebih baik untuk masa depan, pilihannya terserah Anda.

Kesadaran bahwa kita dilahirkan baru setiap saat, demikian pengalaman saya bertutur, merupakan cara yang paling ampuh untuk mensyukuri setiap momen hidup kita hari ini. Kita semua menghadapi masalah. Sudah pasti itu! Tetapi, sebagaimana waktu, masalah itu tidak tinggal diam, merongrong hidup kita. Ia akan berlalu, selesai atau tidak selesai. Namun, alangkah baiknya bila masalah itu kita selesaikan, agar diri kita tidak terseret olehnya ketika dia berlalu—dan jadilah kita hidup di masa lalu.

Tak dipungkiri, bahwa banyak orang yang membiarkan diri mereka, sadar atau tidak sadar, terjerumus ke hidup yang sudah berlalu. Dan umumnya yang sudah berlalu itu tidak ada gunanya untuk dijadikan bagian dari hidup mereka. Saya pernah berpacaran dengan seorang perempuan, yang waktu itu saya kira merupakan “terminal terakhir” saya; bahwa perempuan itu suatu saat akan menjadi istri saya. Maka saya pun menyerahkan 100 persen cinta saya padanya, tak menyisakan sedikit pun untuk diri saya sendiri. Sehingga ketika saya akhirnya dicampakkan dan si perempuan menikah dengan orang lain, saya tidak berani memandang momen saat itu, apalagi masa depan—rasanya ingin mati saja!

Saya larut dalam penyesalan, sakit hati dan kebencian, sementara hidup terus berputar, perubahan-perubahan terjadi, peluang-peluang berdatangan. Mantan pacar saya pun juga sudah melupakan saya. Tetapi saya buta terhadap hal itu semua, lantaran saya hidup di masa lalu, tidak menyadari bahwa dunia ini hanya sekejap, bahwa segala sesuatu berlalu seiring waktu. Untungnya, kesadaran itu dapat saya gapai—saya segera menyadari bahwa hidup terus berjalan, meninggalkan luka dan perih di jejak-jejaknya yang lantas terhapus tertiup angin perubahan. Tidak ada yang abadi, seperti juga dunia yang hanya sekejap ini.©2010

 

Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 12 November 2010, pukul 17.26 WIB

Tuesday, November 2, 2010

Sesuai Dengan yang Ditanam

 “Produk dibuat di pabrik. Merek dibuat di benak orang.”

~Walter Landor (1913-1995)

 

“Kamu menjadi seperti yang kamu pikirkan.”

~Buddha Gautama

 

PEMAHAMAN pertama yang saya terima dari pengalaman bertahun-tahun membangun merek (brand-building) bagi produk atau jasa yang ditawarkan klien-klien saya selaku pemasar (marketer) bukanlah bagaimana mengkomunikasikan merek-merek tersebut agar konsumen sadar (aware) akan mereka. Menurut saya, tahap itu bahkan jauh lebih mudah daripada tahap ketika kita mesti merumuskan visi merek tersebut: Mau jadi apa dan ke mana arahnya?

Rekan saya, seorang dosen periklanan di sebuah universitas swasta di Jakarta, telah menyederhanakan formula ekuitas merek lewat akronim AQAL—Awareness, perceived Quality, Association, Loyalty. Saya menambahkan dengan unsur “N” di awal perjalanan pembentukan ekuitas merek, yang merupakan singkatan dari Naming (penamaan), yang merupakan tahap di mana sebuah produk masih berupa bayi yang baru lahir ke dunia. Biarpun tidak terlalu esensial, nama perlu diberikan untuk menciptakan kesan pertama. Sebagaimana yang dipersepsikan masyarakat kita, tidak pantas seorang penjahat kambuhan menyandang nama yang menyiratkan seorang alim ulama. Teman saya semasa sekolah menengah atas bernama “Syarif Hidayatullah”, tetapi kelakuan nakalnya membuat kami, teman-teman sekelasnya, memandang bahwa nama itu tidak cocok baginya.

Saya dan rekan tersebut di atas pun merumuskan bahwa selagi bayi, produk harus NAQAL (baca: nakal) untuk bisa meraih predikat sebagai “merek”, sedangkan merek harus punya AQAL (akal). Strategi komunikasinya disesuaikan dengan aras di mana sebuah merek berada; apakah membangun kesadaran akan dirinya (awareness), menciptakan kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), membentuk keterkaitan (association: “Ingat merek ini, ingat apa?”) atau telah mendapatkan dukungan kesetiaan (loyalty) dari pasar sasaran.

Belajar tentang dan melakoni secara empirik pengelolaan merek (brand management) telah membawa saya kepada pemahaman akan hukum alam bahwa segala sesuatu dalam hidup ini tumbuh dan berkembang berdasarkan pola yang sesuai dengan yang ditanam pertama kali. Apabila sejak kali pertama yang ditanam adalah keburukan, dipupuk dan disirami dengan keburukan, maka akan menghasilkan buah yang buruk. Begitu pula sebaliknya. Ini bukan fenomena ajaib dan bersifat gaib, melainkan sesuatu yang alami dan ada landasan logis ilmiahnya. Makanya, penting bagi kita untuk merumuskan terlebih dahulu, kita mau jadi apa dan mengarah ke mana perjalanan kita.

Sistem pendidikan kita kepalang dibangun di atas fondasi penilaian atau tolok ukur tertentu, yang sebenarnya semu, bahkan tidak perlu. Percaya atau tidak, kita sebenarnya bisa menjadi apa saja yang kita inginkan. Semua itu tergantung pada pola pikir kita, yang lantas memandu perjalanan kita dari saat ini ke depan. Yang membuat hal simpel ini menjadi berantakan, menurut pakar kreativitas stimulatif Roger von Oech, dalam bukunya yang berjudul Whack—Pukulan untuk Merangsang Kreativitas dan Ide Baru (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008), adalah sistem pendidikan kita (utamanya di Barat, yang menjadi fokus pengkajian Dr. Von Oech dalam buku tersebut) yang memuja pemeringkatan (ranking) dan penghargaan semu. Apa iya rapor atau indeks prestasi yang mematok masa depan Anda? Sistem itu mengabaikan hakikat bahwa manusia senantiasa mengalami perubahan dalam sikap dan perilaku, yang dipengaruhi, antara lain, oleh lingkungan dan budaya.

Saya merupakan salah satu korban dari sistem tak berdasar itu. Kondisi edukatif saya dari kelas satu sekolah dasar sampai kelas tiga sekolah menengah atas diukur (dan dihakimi) berdasarkan indeks prestasi dan pemeringkatan yang sama sekali tidak manusiawi. Pemeringkatan itu seakan menandaskan bahwa sekalinya saya bodoh, maka selamanya saya bodoh. Tidak sedikit orang yang berkembang sesuai dengan yang ditanam di benak mereka pertama kali: jika bibit kebodohan, maka bahkan mereka sendiri akan selamanya menganggap diri mereka bodoh, sehingga sulit tumbuh dan berkembang. Pola pikirnya telah berurat berakar dalam diri mereka, memengaruhi pola hidup dan cara pandang mereka terhadap kehidupan. Dan begitu juga sebaliknya. Untungnya, secara pribadi saya mencamkan pada diri sendiri bahwa saya akan berhasil; bahwa bukan saya yang bodoh, melainkan indeks prestasi dan pemeringkatan itu yang kelewat tolol dalam menilai saya.

Perjuangan untuk mempertahankan persepsi itu pada diri saya sungguh berat, lantaran bahkan kedua orang tua, saudara-saudara maupun lingkungan saya pun telanjur percaya pada kesaktian pemeringkatan dan indeks prestasi yang dirilis sekolah. Kepercayaan mereka sempat menggoyahkan keyakinan saya: jangan-jangan mereka benar, saya memang bodoh sebagaimana vonis para jaksa pemeringkatan.

Akibatnya, mereka semua tercengang, setengah percaya, dan ragu tatkala mengetahui bahwa saya dua kali berturut-turut diterima di perguruan tinggi negeri bergengsi lewat jalur Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) tahun 1986 dan 1987 yang sangat kompetitif!

Selanjutnya, saya terus mempertahankan pola pikir yang positif bahwa saya akan mampu menerabas semua tantangan yang menghadang di perjalanan hidup saya. Pola pikir itu yang tertanam di benak saya ketika pada tahun 2008 saya menerima pekerjaan penulisan laporan tahunan (annual report) pertama saya. Tidak tanggung-tanggung, pesanan datang dari perusahaan-perusahaan dengan nama besar, sedangkan saat itu nama saya masih tergolong kecil di dunia penulisan laporan tahunan—yang penulisnya harus memiliki kualifikasi khusus; bukan sebagai copywriter, melainkan public relations writer. Saya berhasil melewatinya dengan baik. Bahkan salah satu laporan tahunan yang saya garap penulisannya pada tahun itu berhasil memperoleh tempat kedua di ajang ARA (Annual Report Award) untuk kategori non-listed company. Tidak buruk bagi seorang pemula!

Ketika sejumlah relasi saya yang memiliki gelar akademis berderet, juga klien-klien saya yang rata-rata berpendidikan luar negeri, menyatakan bahwa saya merupakan pribadi yang kaya pengetahuan dan jenius, saat itulah saya yakin bahwa kehidupan kita tumbuh dan berkembang sesuai dengan yang ditanam di benak kita.©2010

 

Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 2 November 2010, pukul 4.35 WIB

Monday, November 1, 2010

Mengurai Kebenaran


Dua orang darwis (murid tasawuf) berdebat soal dua jalan yang berbeda dalam mendekatkan diri kepada Allah. Darwis A berpendapat bahwa upaya yang keras, melalui berbagai ritual dan tata cara, merupakan jalan yang paling benar. Sedangkan darwis B beranggapan yang paling benar adalah dengan berserah diri dengan sabar dan tawakal. Karena tidak mencapai titik temu, kedua darwis pergi menghadap syekh mursyid (guru tarekat Sufi) untuk meminta pertimbangannya. Saat itu, sang mursyid sedang ditemani seorang darwis muda, yang baru bergabung dengan tarekat itu.

Darwis A melontarkan pandangannya soal jalan yang paling benar untuk mendekatkan diri kepada Allah. “Ya, kamu benar!” kata si mursyid mengomentari. Darwis B langsung protes, dan mengutarakan pendapatnya. “Ya, kamu benar,” kata mursyid tadi dengan tenang.

Jadi, apakah yang dimaksud dengan kebenaran, kalau tidak ada salah-benar, ditilik dari kisah tersebut? Kalau kita cermati sifat-sifat Allah, kita akan lihat adanya pasangan-pasangan sifat yang saling berlawanan. Tetapi, toh hal-hal yang ‘negatif’ itu tidak dipandang sebagai ‘salah’, sementara yang ‘baik’ atau ‘positif’ sebagai ‘benar’.

Dalam konteks keilahian, merupakan hal yang dangkal untuk membuat penilaian benar-salah, sebab sebagaimana pengalaman hidup kita membuktikan bahwa yang satu menopang yang lain. Yang satu ada lantaran yang lain. Dan kebenaran bersifat sangat pribadi serta subyektif. Apa yang benar bagi seseorang belum tentu bisa diterapkan pada orang lain.

Baru-baru ini, saya mendapat pengalaman yang menurut saya ‘benar’ bagi saya, terkait tolok ukur kebenaran. Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Subud akan menggelar kongres nasionalnya tahun depan. Lokasinya, yang telah ditetapkan dua tahun sebelumnya, adalah Palangkaraya di Kalimantan Tengah. Mendadak, justru ketika waktunya kian mepet, lokasi dipindah ke Jawa Barat, dengan alasan tingginya biaya yang bakal harus ditanggung peserta apabila tetap diadakan di Palangkaraya.

Karuan saja, pemindahan lokasi ini menimbulkan kontroversi. Mereka yang berasal dari Jakarta, yang umumnya berstatus ekonomi menengah-atas menyatakan kesanggupan mereka dan menyesali pemindahan tersebut. Sebaliknya, para anggota yang berasal dari daerah-daerah luar Jakarta, yang secara ekonomi kekurangan, menyatakan tidak sanggup dan mensyukuri pemindahan tersebut.

Dalam suatu obrolan dengan dua saudara Subud, saya menyatakan dukungan atas keputusan pengurus nasional PPK Subud Indonesia lantaran diambil berdasarkan suara terbanyak. Tidak demikian dengan salah seorang saudara Subud saya, sebut saja Budi. Budi prihatin dengan sikap anggota yang sepertinya tidak niat. “Saya menabung sejak tahun lalu, seribu perak per hari, karena saya berniat benar berangkat ke kongres di Palangkaraya. Sekarang sudah terkumpul dua setengah juta rupiah. Ada kemauan, ada jalan! Itu nunjukin, orang-orang di daerah itu pada dasarnya nggak niat,” kata saudara itu dengan menggebu-gebu.

Saya membenarkan perkataannya lantaran saya sendiri pernah dan sering mengalami, di mana begitu saya berniat akan sesuatu sekonyong-konyong saya tertuntun untuk mewujudkannya.

Lalu, saudara Subud satunya lagi, Tommy (bukan nama sebenarnya), angkat bicara. Dengan sikap ramah ia menepuk bahu Budi dan berkata, “Kalau duitnya sudah cukup, kenapa nggak sekarang aja berangkat ke Senggigi? Ngapain harus nunggu kongres segala?!”

Aha! Benar juga pernyataan Tommy. Dan saya rasa, Budi secara tidak langsung juga membenarkan, karena ia terpana, tidak sanggup menyanggah. Mengapa pula menyanggah apabila pernyataan Tommy masuk akal?

Anda bisa lihat sendiri kan? Dua anggota Subud tersebut menyatakan dua kebenaran. Dua-duanya benar dan logis. Tetapi masing-masing punya pertimbangan untuk melaksanakan dan tidak melaksanakan salah satunya. Dua-duanya benar, tetapi masing-masing kebenaran hanya berlaku untuk masing-masing pribadi.

Ada orang yang berpendapat bahwa kebenaran mutlak hanya satu, yaitu Tuhan. Coba Anda katakan itu pada mereka yang tidak percaya pada eksistensi Tuhan, tentu pernyataan itu bakal mereka sanggah. Saya punya kawan di Negeri Belanda, seorang ateis, yang menertawakan aktivitas saya di Subud sebagai sesuatu yang sia-sia, karena, menurutnya, berserah diri kepada Tuhan itu omong-kosong. Percuma saja saya memaksakan kebenaran saya padanya. Ketika saya katakan bahwa dengan bertuhan saya memperoleh banyak berkah dalam kehidupan ini, sebaliknya ia merespons, “Hidup saya bahagia sekali dan saya selalu mendapat solusi atas semua masalah saya walaupun saya tidak percaya adanya tuhan!”

Kami tetap berteman baik. Pertemanan kami yang langgeng dilandasi saling menghormati dan menghargai kebenaran masing-masing. Anda pun boleh setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka, dengan apa yang saya ungkap di sini. Saya hanya mengurai kebenaran saya. Bagaimana dengan Anda? Lebih baik berdiri tegak di atas kebenaran yang Anda yakini daripada bersikap plin-plan lantaran ada orang yang tidak setuju dengan Anda.Ó


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 30 Oktober 2010

Saturday, October 30, 2010

Nilai-Nilai Tak Bernilai

 Nilai sejati manusia dapat ditemukan pada seberapa banyak ia telah beroleh kebebasan dari dirinya.

~Albert Einstein

 

PERTAMA kali memasuki dunia periklanan, saya menandai sesuatu yang tidak saya pahami sampai sekarang. Ini terkait dengan cara berbusana orang-orang yang bekerja di biro iklan, utamanya di departemen kreatifnya. Rekan-rekan saya kebanyakan mengenakan pakaian hitam atau bernuansa gelap, berpenampilan bak orang yang sudah berhari-hari tidak mandi, mengenakan sandal dan, yang laki-laki, berambut panjang, acak-acakan tidak karuan.

Saya sempat mengira, begitulah seharusnya orang kreatif berbusana dan berpenampilan. Tetapi perkiraan ini luntur tatkala saya bekerja di biro iklan yang merupakan rep office dari agensi papan atas Jepang. Suatu ketika, presiden direktur, client service director dan executive creative director dari kantor pusat di Tokyo, Jepang, datang berkunjung ke kantor saya. Mereka tampak matang, berwibawa dengan rambut pendek dan rapi serta cenderung memutih, serta berbusana jacket-and-tie yang mencerminkan eksklusivitas yang elegan.

Belakangan saya menyadari bahwa nilai-nilai kreativitas seseorang tidak dapat dibentuk oleh caranya berpenampilan atau oleh atribut-atribut yang disandangnya. Para pengarah seni (art director) dan/atau desainer grafis, yang pernah bermitra dengan saya dalam mengerjakan sejumlah proyek komunikasi pemasaran dan korporat, banyak yang terjebak dalam pandangan yang keliru ini. Tak jarang mereka berpenampilan urakan, beberapa di antara mereka  bahkan tidak tahu tempat, dengan berpenampilan sedemikian rupa ketika rapat dengan klien. Tetapi dalam hal berpikir dan bertindak kreatif mereka tidak maksimal. Pendek kata, tidak ada korelasi apa pun antara penampilan seseorang dengan tingkat kreativitasnya.

Sesungguhnya, atribut tidak dapat menunjang hakikat kemanusiaan kita. Parahnya, atribut-atribut ini tak jarang dipaksakan untuk diterima sebagai nilai-nilai atau norma-norma umum. Nama orang, misalnya, baru dianggap bersentuhan dengan agama tertentu apabila nama itu menyerupai nama orang asal negeri dari mana agama itu berasal. Saudara Subud saya merupakan seorang mualaf, tetapi ia tidak mengganti nama baptisnya dengan sesuatu yang kearab-araban, lantaran menurutnya keimanan seseorang tidak dapat diukur dari nama yang disandangnya. Toh ia taat beribadah sebagai seorang muslim, berbuat kebaikan dan tak pernah lupa beramal.

Baru-baru ini, dalam suatu diskusi tentang temuan arkeologi bahwa Majapahit merupakan kerajaan atau kesultanan Islam, mitra diskusi saya mengajukan keraguannya hanya lantaran nama pendiri Majapahit, Raden Wijaya, bernuansa Hindu.

Busana pun begitu. Saudara Subud saya, seorang ustaz, suatu kali diundang untuk memimpin pengajian di rumah orang. Ia datang dengan mengenakan kemeja batik, yang karuan saja mengundang pertanyaan tuan rumah, mengapa ia tidak berbaju koko sebagaimana undangan lainnya. Menurut tuan rumah, baju koko itu Islami, sedangkan batik tidak mencerminkan keislaman. Saudara Subud saya itu pun “memberi kuliah” sejarah kepada si tuan rumah, bahwa baju koko tidak ada kaitan sama sekali dengan Islam dan bahwa Islam bukanlah Arab, walaupun agama itu berasal dari sana. Baju koko digagas Sunan Kalijaga dari model baju tradisional pria Jawa (beskap).

Kita tampaknya hidup di lingkungan yang menganggap bahwa atribut yang disandang seseorang lebih bermakna daripada kesejatian dirinya. Orang yang tampil apa adanya dan jujur dicaci, sedangkan yang palsu dipuji. Padahal semua itu nilai-nilai yang tak bernilai sama sekali. Saya pikir, betapa mudahnya memperdayai orang lantaran itu.

Tolok ukur kreatif tidaknya seseorang dinilai dari pola pikirnya serta hasil nyata (tangible) yang diperoleh dari proses berpikir tersebut. Kawan saya, seorang creative writer di sebuah stasiun televisi swasta, mengundurkan diri lantaran peraturan perusahaan yang mewajibkan kru departemen kreatifnya berkemeja dan berdasi. Walaupun, menurut saya, peraturan itu berlebihan, tetapi janganlah hal itu menjadi kendala dalam mengoptimalkan pikiran dan tindakan kreatif kita. Yang diberi kemeja dan dasi kan raga, bukan jiwa kita. Jika kita dapat bersikap melampaui raga, mau dibatasi bagaimanapun tubuh kita seharusnya tak mencegah pikiran kita untuk melanglang buana di alam bebas ruang dan waktu.

Untuk menggapai ide-ide segar dan kreatif diperlukan bagi kita untuk mengosongkan diri dari nilai-nilai tak bernilai, baik yang niskala (intangible), yaitu pemikiran dan pertimbangan yang tidak relevan, maupun yang sekala (tangible) seperti busana dan aksesori—dan sebaliknya, menghasilkan karya yang tak terkira nilainya.©2010

 

Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 30 Oktober 2010—terinspirasi oleh kekaguman akan imajinasi para kreator film Transformers: Revenge of the Fallen yang saya tonton di HBO.

Tuesday, October 26, 2010

Pelaku Biasanya Lebih Tahu


Taklimat (brief), pengetahuan tentang produk (product knowledge), informasi tentang persaingan, khalayak sasaran, situasi pasar dan beragam informasi lainnya merupakan bahan bakar yang menggerakkan tim kreatif di biro iklan untuk membuat iklan yang bukan saja bagus, tetapi juga tepat sasaran dan punya daya jual. Namun, tak jarang pihak klien tidak memiliki semua yang dibutuhkan tim kreatif.

Saya pernah dan sering mengalami hal semacam ini. Namun, daripada menganggapnya sebagai hambatan yang membatasi ruang gerak dan ruang pikir saya, saya menjadikannya tantangan untuk mengetahui dari sudut pandang klien apa gerangan yang diinginkannya agar dilakukan biro iklan terhadap produknya. Pelaku biasanya lebih tahu.

Saya pelajari produk pesaing dari kategori yang sama. Saya cermati kecenderungan-kecenderungan pasarnya, dan berkata pada diri sendiri, "Kalau aku jadi kliennya, aku akan melakukan begini dan begini." Hal seperti ini dianjurkan oleh Roger van Oech, antara lain dalam bukunya yang berjudul Whack—Pukulan untuk Merangsang Kreativitas dan Ide Baru (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008) untuk dilakukan oleh mereka yang ingin menggapai kemampuan berpikir dan bertindak kreatif. Seringnya, sikap seperti ini membantu saya memahami keinginan dan kebutuhan sebenarnya dari klien. Dan hasilnya jarang sekali meleset!

Suatu ketika, saya berada pada pihak yang mengontrak jasa biro iklan. Saat itulah, saya merasakan langsung bagaimana, sebagai klien, biro iklan kadang bersikap sok tau tentang apa yang dibutuhkan klien. Saya teringat pada mantan bos saya di suatu biro iklan papan atas Jakarta, yang tak pernah lupa menandaskan, "Jangan berikan apa yang diinginkan klien, tapi berikan apa yang dibutuhkannya."

Pada berbagai kesempatan, mantra ini tidak sepenuhnya berhasil. Klien akan cenderung menganggap biro iklan sok tau tentang apa yang sebenarnya ia butuhkan. Pada berbagai kesempatan pula, saya diberitahu oleh keadaan bahwa apa yang dibutuhkan oleh klien bukanlah iklan yang kreatif atau larisnya penjualan produk sebagai dampak dari strategi komunikasi pemasaran yang jitu, melainkan sekadar perasaan nyaman lantaran ada pihak lain yang membantu mereka dalam memecahkan persoalan pemasaran produk.

Melihat dari sudut pandang pihak lain merupakan cara terbaik membangun pemahaman terhadap sikap dan perilaku mereka tanpa pretensi, yang bila sebaliknya malah menimbulkan prasangka-prasangka. Seperti diungkap Malcolm Gladwell dalam bukunya,What the Dog Saw--Dan Petualangan-Petualangan Lainnya (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), yang mengetengahkan sembilan belas kisah sepele, namun menjadi bermakna lantaran Gladwell mengemukakannya dari sudut pandang pelaku. Benang merah yang menjalin kesembilan belas artikel Gladwell yang pernah dimuat di majalah The New Yorker itu adalah upaya memahami kehidupan orang dan makhluk lainnya dari kacamata mereka, sehingga akan diperoleh pemahaman betapa beragamnya kehidupan kita.

Jangankan memahami sikap sesama manusia, memahami segala sesuatu yang dilihat anjing penting untuk kita ketahui. Yang mengagumkan, Gladwell memaparkan segala sesuatu dengan rinci, yang bakal membuat pembaca geleng-geleng kepala. Hal-hal remeh saja dapat ia jabarkan demikian mendalam, panjang dan lebar, seakan itu penting untuk diketahui. Justru lantaran itulah yang remeh tidak bisa dianggap enteng lagi.

Buku keempat Gladwell yang aslinya diluncurkan pada 20 Oktober 2009 ini disambut positif oleh para kritikus. Secara khusus, Gladwell dipuji untuk gaya penulisan dan gaya berceritanya, dengan setiap bagian digarap dengan sempurna. What the Dog Saw dikritik hanya untuk penggunaan statistiknya dan lemahnya landasan teknisnya.

Selain dipilih sebagai judul buku--mungkin lantaran bernada provokatif dan memancing penasaran, What the Dog Saw juga merupakan judul salah satu bab dari buku setebal 457 halaman ini, yang mengisahkan Cesar Millan, pelatih anjing profesional, yang piawai menundukkan anjing-anjing yang memberontak terhadap pemiliknya. Tulisan yang tidak kalah menariknya adalah yang berjudul “Terlambat Panas”, mengetengahkan fenomena orang-orang seperti Ben Fountain dan Paul Cézanne yang baru mengalami titik didih kreativitasnya pada usia yang terbilang tidak muda lagi. Karya pertama Fountain, Brief Encounters with Che Guevara, sebuah kumpulan cerita pendek, langsung meledak dan mengangkat penulisnya ke panggung ketenaran setelah yang bersangkutan berjuang selama delapan belas tahun dan Fountain telah berusia 48 tahun.

Bab berjudul “Kesalahan John Rock” mengemukakan tentang penemu pil KB (keluarga berencana), John Rock, yang ternyata keliru memahami kesehatan perempuan, bahwa sebenarnya dengan memperhatikan jadwal haid perempuan kehamilan dapat dihindari. Rock merupakan seorang Katolik yang taat, tetapi ia melawan keputusan Gereja Katolik yang memvonis pil KB sebagai temuan yang 'melawan hukum Tuhan'.

What the Dog Saw tepat bagi mereka yang suka memperkaya wawasannya, karena cukup banyak hal yang tidak diketahui oleh publik terungkap di buku karya penulis Blink,The Tipping Point, dan Outliers ini. Gladwell menulis cerita sesuai yang dilihat oleh para pelaku dalam cerita itu, karena pelaku biasanya lebih tahu. Gaya bertuturnya penuh semangat--semangat untuk membagi informasi, mengumbar gejolak yang mampu membuat pembaca hanyut dalam petualangan-petualangan seru para pelaku di setiap babnya. (AD)


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta, 25 Oktober 2010.

Bekerja Dengan Cinta


“Setiap hal kecil yang kita lakukan dengan cinta pasti akan memberi hasil yang lebih baik.”

—Anonim

“Kamu bisa hidup di jalanan, kamu bisa menguasai seluruh dunia/Tapi kamu tidak punya arti/Apa yang kamu dapatkan, kalau kamu tidak punya cinta…/Kalau kamu tidak punya cinta, buat apa kita melakukannya...”

“What Do You Got”, Bon Jovi, 2010



Memasuki gerbang tol Cikampek, dalam perjalanan dari Jawa Tengah kembali ke Jakarta, kawan saya memberi tebakan ke saya: Pekerjaan apa yang paling tidak kreatif? Saya berpikir keras. Apa gerangan pekerjaan yang tidak ada unsur kreativitasnya? Saya benar-benar tidak tahu.


“Penjaga pintu tol,” kata kawan saya. “Itu pekerjaan paling tidak kreatif, cuma duduk saja, membagi-bagikan karcis masuk tol.”


Tentu saja saya membantah anggapan itu. Setiap pekerjaan, halal atau tidak, disadari atau tidak oleh pelakunya, pasti ada unsur kreativitasnya. Dalam prosesnya, suatu pekerjaan pasti menuntut pelakunya untuk mencari atau menciptakan cara-cara yang memudahkannya atau membantunya untuk membuat perubahan pada kerja atau caranya bekerja. Penjaga pintu tol mungkin akan memasang tape di gardunya agar ia bisa mendengarkan musik, yang pada gilirannya akan menaikkan semangat kerjanya. Itu saja sudah merupakan tindakan kreatif.


Menurut hemat saya, kreativitas dalam bekerja hanya merupakan hasil (outcome) dari rasa cinta yang kita tumbuhkan tatkala melakukan pekerjaan. Melakukan pekerjaan dengan cinta berbeda dengan mencintai pekerjaan, yang berkonotasi negatif, lantaran mengesankan workaholic, yang tidak saja merugikan diri sendiri, tetapi juga orang lain, utamanya keluarga.


Bekerja dengan cinta cenderung menyemburatkan nilai-nilai positif, seperti kualitas, kerja tim, profesionalisme dan kreativitas. Hasilnya bukan hanya berdampak pada diri sendiri, tetapi juga pada lingkungan kerja. Rasa memiliki (sense of belonging) terhadap tempat kerja atau perusahaan akan mengental, karena kita merasa tempat itulah yang memberi kita peluang untuk tumbuh dan berkembang. Kalau sudah begini, konsep ‘bekerja’ pun bergeser ke ‘berkarya’.


Kalau Anda bekerja di sektor jasa, misalnya industri komunikasi pemasaran, yang terkait dengan penyediaan layanan kepada klien, dan dari klien ke konsumen, unsur cinta akan membangkitkan energi penjiwaan dalam berkarya. Saat itulah, diri kita tidak lagi dikuasai nafsu akan materi, sebab karya yang terisi jiwa tak ternilai harganya.


Sejumlah kawan saya mengutarakan keheranan mereka, mengetahui bahwa kegiatan menulis catatan di Facebook atau blog saya, yang tidak ada upahnya, saya lakukan sama seriusnya, sama menjiwainya, sebagaimana saya menulis naskah iklan, naskah audio-visual dan artikel wisata yang berdasarkan pesanan, dan tentu saja ada imbalan materinya. Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa yang satu menunjang yang lainnya. Bapak periklanan modern, David Ogilvy, mengatakan bahwa untuk menjadi hebat dalam membuat iklan, buatlah iklan setiap hari—dengan atau tanpa adanya pesanan dari klien. Dengan saya menulis tentang apa saja, setiap waktu mengizinkan, saya menjadi kian mahir menulis dan kian menjiwai pekerjaan saya sebagai penulis.


Pengalaman saya menuturkan, sekalinya kita bekerja demi uang—memperhitungkan tenaga, waktu atau keahlian yang kita miliki semata demi memperoleh keuntungan materi—saat itulah luntur penjiwaan dan komitmen kita atas pekerjaan itu. Sudah pasti, kualitas pekerjaan itu akan berkurang, bahkan lenyap.


Bekerja juga merupakan momen untuk mengenal diri kita sendiri: seberapa tinggi kemampuan kita, seberapa baik kita memperhatikan kepentingan perusahaan dan hubungan kita dengan orang lain, dalam hal ini rekan-rekan kerja, atasan dan klien. Tak jarang saya alami suasana kerja di mana pada awal bulan para pekerjanya justru berfokus pada akhir bulan—yaitu hari gajian—ketimbang mengerahkan segenap upaya untuk membuat pekerjaan mereka berkualitas tinggi. Mereka lupa bahwa gaji yang mereka terima bukanlah dari kekayaan bos atau perusahaan.


Gaji mereka merupakan hasil dari kerja keras yang berkualitas, kerja yang dilandasi cinta sehingga menghasilkan komitmen, dan dampaknya akan membuat semakin banyak klien atau pesanan berdatangan, dan dengan demikian perusahaan mengalami peningkatan pemasukan, yang sebagian dipakai untuk menggaji karyawan. Jadi, menurut saya, sangat tidak pantas dan tidak bermoral jika karyawan hanya menuntut gajinya, sementara ia mengabaikan atau meminimalkan kontribusinya bagi perusahaan.


Bekerja dengan atau tanpa cinta adalah pilihan bebas Anda. Tidak salah mengerahkan potensi Anda demi mendapat penghargaan materi. Tetapi bila Anda menginginkan peningkatan materi sekaligus kualitas diri, bekerjalah dengan cinta.(AD)



Met Liefde Café, Jl. Pangrango No. 16, Bogor 16151, Jawa Barat, 23 Oktober 2010.

Wednesday, October 20, 2010

Kemasan Hidup


“Terkadang hidup memberi kita pelajaran yang dikirim dalam kemasan yang edan.”

—Dar Williams



Pengalaman enam belas tahun di industri komunikasi pemasaran mengajarkan pada saya perbedaan antara produk dan kemasan. Yang diiklankan serta yang mendorong orang untuk membeli produk seringkali bukanlah produk itu sendiri, melainkan kemasannya. Dalam hal ini, kemasan bukan hanya wadah yang menampung atau membungkusnya, tetapi mencakup pula segala sesuatu yang tidak terkait langsung dengan hakikat produk, yaitu, antara lain, nama mereknya, periklanannya, pencitraannya dan pasarnya.


Pengetahuan akan hal ini membangun di dalam diri saya pemahaman esensial bahwa sesuatu atau seseorang tidak selalu seperti yang terlihat (nothing or no one is always like it seems). Makhluk, keadaan dan peristiwa tidaklah hakiki. Semua hanya makna, atau ‘kemasan’. Apa yang membungkus dan apa yang dibungkus tidaklah perlu dipersoalkan.


Pemahaman sufistik memandang bahwa pada hakikatnya manusia bukan makhluk material di alam spiritual, melainkan makhluk spiritual di alam material. Kita hidup di dunia yang dikemas sedemikian rupa, sehingga kita percaya bahwa itu yang sebenarnya. Keadaan ini kian diperkuat oleh yang kita sebut tren atau mode atau anggapan (yang keliru). Dan, sayangnya, banyak di antara kita yang lebih suka hidup dengan kemasan itu daripada menanggalkannya. Seperti dalam cerita pengalaman saya di industri komunikasi pemasaran, banyak konsumen membeli produk lantaran benaknya sudah dipengaruhi sedemikian rupa oleh upaya komunikasi merek untuk membeli produk dengan merek tertentu, dan bukan merek lainnya yang mengemas produk dari kategori yang sama.


Anda takkan tahu bedanya antara pasta gigi bermerek Pepsodent dengan yang menyandang nama merek ‘Ritadent’ apabila merek dan wadahnya ditanggalkan. Gara-gara sejumlah orang mengatakan ke saya bahwa Mie Sedaap berasa sabun (dikait-kaitkan dengan produsennya, Wings Food, di mana Wings sebelumnya dikenal sebagai produsen deterjen), saya pun benar-benar merasa bahwa kuah Mie Sedaap berasa sabun. Itulah dahsyatnya meme (virus akal budi) yang ditanamkan berulang-ulang ke benak orang hingga percaya, walaupun belum tentu benar. Masyarakat sudah telanjur memuja kemasan ketimbang isi.


Tahukah Anda bahwa hewan-hewan pemangsa paling ganas di dunia justru merupakan hewan-hewan paling cantik dan anggun? Lihat saja hiu putih, paus pembunuh, katak emas beracun (Phyllobates terribilis) atau ular kobra. Di dunia kriminal yang nyata, tak jarang sosok penjahatnya tidak sebagaimana yang digambarkan dalam sinetron atau film Indonesia, dengan tampang sangar dengan bekas luka di pipi, sebelah mata picik, badan bertato. Sama sekali tidak. Yang seperti itu justru para penjahat kelas teri. Yang kelas kakap perlu penampilan memukau agar dapat mengelabui korbannya.


Dalam kehidupan, kita sering menghadapi masalah dengan orang lain atau keadaan. Jangan terburu menganggap hidup tidak adil terhadap kita. Semua itu hanyalah kemasan yang membungkus kesejatiannya. Yang tampak hanyalah kulit durian yang dapat melukai tangan apabila kita tidak hati-hati dalam memegangnya atau mengupasnya. Kita harus mengupas kulit itu untuk merasakan lezatnya buah durian. Adakalanya kita berpikir, mengapa buah durian harus hadir dalam kulit yang tidak saja tebal tetapi juga berduri? Tanpa kulit, dagingnya akan cepat membusuk, sehingga alih-alih mendapatkan daging empuk nan manis, kita justru takkan bisa menikmati kelezatannya.


Seperti itulah kehidupan. Tanpa kita mau berupaya mengupasnya, menanggalkan lapis demi lapis kemasannya yang acap menciptakan persepsi yang keliru, kita hanya akan dihadapkan pada rasa sakit. Apa saja yang diperoleh secara instan—tanpa mengupas kulitnya terlebih dahulu—tidak akan bertahan lama. (Bayangkan saja seperti makan durian sekaligus dengan kulitnya!) Cobaan ibarat kulit durian tadi yang menunda nikmat, lantaran kata ‘cobaan’ adalah kemasan yang membungkus ‘nikmat’. Kita diharapkan dapat melewati cobaan yang satu ke cobaan yang lainnya, yang dalam prosesnya membuat kita belajar, menggali hikmah yang kelak menjadi alat untuk mengupas kulit terakhir yang akan menyingkapkan kepada kita buah nikmat yang kita cari.(AD)



Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 20 Oktober 2010.