Thursday, November 10, 2011

Kesungguhan

 “Bekerja dengan kesungguhan adalah jalan utama menuju kemuliaan. Ia ibarat obat dan terapi bagi penyakit Anda bahkan ia ibarat harta simpanan Anda.”

~Syekh Dr. Aaidh ibn Abdullah al-Qarni

 

SALAH satu klien saya, manajer humas dari sebuah perusahaan pembuat bir yang mereknya terkemuka di Indonesia, menceritakan ke saya tentang proses pembuatan (brewing) bir. Dalam salah satu tahapnya, air diisikan ke dalam wadah bermuatan bakteri. Pengisian air dilakukan dengan cara mengeluarkannya secara perlahan dari dasar wadah, bukan menyemburkannya dari atas wadah. Alasannya, kata sang manajer humas, penyemburan secara kencang dari atas akan membuat bakteri marah, yang berakibat pada gagalnya fermentasi dan otomatis menghasilkan bir yang rasanya “tidak sebagaimana mestinya”.

Penjelasan sang manajer humas pabrik bir itu menggiring ingatan saya ke pengarah seni (art director) di sebuah biro iklan di Surabaya tempat saya bekerja dahulu, yang bisa membuat kopi yang nikmat dari berbagai merek kopi. Bahkan, menurutnya, merek kopi tidak penting; yang penting adalah kesungguhan kita dalam meraciknya, mulai dari menuangkan bubuk kopi dan gula ke dalam cangkir hingga menuangkan air panas dan mengaduknya. Perhatian kita, sarannya, terfokus pada semua prosesnya, dan tidak terpecah ke mana-mana.

Baru-baru ini, pada suatu pagi, lupa dengan saran sang pengarah seni, saya mengaduk kopi dengan terburu-buru sambil membaca pesan singkat yang tampil di layar telepon seluler saya, dan emosi saya sedang tidak stabil. Berharap akan menyeruput kopi yang harum nan nikmat, yang saya dapatkan malah rasa hambar dan tidak ada harum-harumnya sama sekali.

Seketika itu juga, saya ingat bahwa ketika membuat kopi tadi saya tidak menerapkan kesungguhan. Saya tidak tahu, apakah ada korelasi logis antara kesungguhan dengan kenikmatan sebuah kopi, namun ketika sorenya saya membuat kopi dari merek yang sama, tetapi dengan sikap diri yang berbeda--kali itu diiringi kesungguhan—hasilnya memang sama sekali berbeda: Kopi terasa lebih nikmat, gurih dan harum!

Bagaimana bisa mencapai kesungguhan dalam apa pun yang kita lakukan? Tidak berpikir hal-hal yang tidak relevan dengan apa yang sedang kita lakukan, tentu saja. Tokoh Kapten Nathan Algren (diperankan oleh aktor Tom Cruise) dalam film The Last Samurai (2003) diperingatkan agar tidak terlalu banyak berpikir, dan memusatkan pikirannya pada pedang dalam genggamannya, ketika ia berulang kali dikalahkan pendekar pedang Ujio (Hiroyuki Sanada) dalam pertarungan pedang kayu di desa kaum Samurai pemberontak di mana ia ditawan. Bahkan rasa takut maupun ambisi untuk menang harus ia singkirkan.

Tidak memikirkan hal-hal yang tidak relevan dengan kegiatan yang sedang kita lakukan amat mempengaruhi hasilnya. Ketika menulis, sebagai salah satu contoh tentang kegiatan yang menuntut kesungguhan, tidak usah memikirkan bahwa tulisan itu akan disenangi pembaca, atau apakah Anda akan memperoleh sanjungan atas karya Anda, atau memikirkan kata-kata yang berkesan intelek supaya diri Anda dianggap hebat.

Ketika menulis, ya menulis saja, pertahankan kesungguhan dalam menuangkan gagasan menjadi rangkaian kalimat yang berbicara kepada calon pembaca tulisan Anda. Dalam kata-kata penulis berkebangsaan Amerika Serikat, William C. Faulkner, menulis dimulai dengan menjadi diri sendiri!

Karya-karya hebat lahir dari kesungguhan, bukan dari upaya setengah hati dan konsentrasi yang terpecah oleh hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan yang sedang dilakukan. Dengan kesungguhan, kegagalan tidak menjadi kendala, melainkan merupakan energi untuk berusaha lebih baik lagi. Sungguh!Ó2011

 

Lantai 7 Apartemen Citylofts Sudirman, Karet Tengsin, Jakarta Pusat, 10 November 2011

Tuesday, October 18, 2011

Paradigma



“Jika kamu tidak keluar dari kotak di mana kamu dibesarkan, kamu tidak akan dapat memahami betapa besar dan luasnya dunia ini.”

“Hadapi fakta seperti anak kecil, siapkan diri Anda untuk melepas gagasan-gagasan yang terkandung di dalamnya, ikuti dengan rendah hati ke mana saja alam membimbing Anda, atau Anda tidak akan belajar apa pun.”
Thomas Huxley


Saya kerap bingung jika ditanya oleh orang yang belum mengalaminya, apakah Latihan Kejiwaan itu dan pengalaman seperti apa yang disajikannya. Apalagi jika orang yang bertanya masih dikungkung oleh paradigma-paradigma mapannya tentang apa yang dinamakan spiritualitas: bahwa spiritualitas merupakan olah rohani yang digerakkan oleh keimanan kepada Tuhan dan dipandu oleh ajaran agama tertentu.


Mencoba memahami Latihan Kejiwaan dengan paradigma agama yang dianut oleh pelaku atau orang yang ingin tahu tentangnya tidak akan pernah berhasil—bukannya memperoleh pemahaman, kita malah akan teraduk-aduk dalam pusaran ketidakmengertian yang memusingkan. Pendek kata, memahami Latihan Kejiwaan haruslah dengan paradigma yang diperoleh dari Latihan itu sendiri. Tidak perlu dicari ekuivalensi (padanan) darinya dalam paradigma-paradigma agama atau jalan spiritual yang telah ada sebelumnya.


Manusia sering—jika tidak bisa dikatakan selalu—mengungkung atau mengikatkan dirinya dengan paradigma, yaitu sudut pandang yang diperolehnya dari pengalaman dalam perkataan dan perbuatan, pikiran dan perasaan pada suatu masa, yang sebetulnya akan menyesatkannya jika ia menggunakan paradigma yang sama dalam memahami suatu pengalaman yang berbeda atau baru. Apalagi bila paradigma tersebut membuatnya nyaman.


Mungkin Anda tahu tentang kisah aforisma “Cangkir Pengetahuan Zen” yang acap disampaikan kepada mereka yang ingin mempelajari filsafat Zen. Seorang sarjana mendatangi guru Zen dan menyatakan ingin belajar padanya. Sebelum menyatakan kesanggupannya, sang guru menuangkan teh ke dalam cangkir yang ia taruh di hadapan si sarjana. Sang guru terus menuang sampai cangkir itu penuh dan isinya meluber.


“Stop! Apa yang Anda lakukan?” seru si sarjana, keheranan. “Cangkir itu sudah penuh. Mengapa Anda terus menuangkan teh ke dalamnya?”


Sang guru pun memberitahunya. “Ini pelajaran pertama Zen. Kalau kamu ingin mengetahui tentang Zen, kamu harus mengosongkan cangkir pikiranmu dulu dari pengetahuan-pengetahuan lamamu. Kalau tidak, maka yang kusampaikan nantinya tidak ada gunanya, karena hanya akan meluber ke mana-mana.”


Mau tahu apa itu jalan yang sesat? Itulah jalan yang sama sekali baru, belum pernah dilewati (a road less traveled), yang kita harapkan dapat melaluinya dengan tuntunan paradigma-paradigma yang telah menghuni diri kita selama ini. Paradigma lama bukanlah peta yang akurat yang dapat menuntun kita melewati wilayah jelajah yang baru, karena persoalan-persoalan yang bakal menghadang bukanlah yang pernah dikenal sebelumnya. Dalam hal ini, diperlukan kreativitas kita dalam mengatasi hambatan-hambatan yang ada.


Mengapa banyak ide hebat hanya berhenti pada wacana? Sebabnya, para penggagas telanjur menghakimi ide-ide tersebut dengan paradigma-paradigma lama mereka. Itulah sebabnya, menjadi kreatif saja tidak cukup; Anda juga perlu berani bertindak kreatif, berani melakukan terobosan, tidak membiarkan paradigma-paradigma karatan menghalangi langkah Anda!


Di dunia profesional saya—komunikasi pemasaran dan korporat, tidak sedikit praktisi yang susah maju. Penyebabnya, tidak lain dan tidak bukan adalah keengganan mereka melepaskan diri dari paradigma yang telah mereka anut selama ini. Mereka mengira merek perlu aturan baku untuk berkembang, yang jika dilanggar akan menghambat prosesnya. Akibatnya, muncullah pemikiran-pemikiran yang template (klise), mengulang strategi pengembangan merek yang sama untuk satu kategori produk yang sejenis.


Paradigma cenderung menyesatkan, dan ujung-ujungnya juga mencelakai. Tidak percaya? Teliti saja diri Anda; bukan tidak mungkin hidup Anda saat ini sedang dijungkirbalikkan oleh paradigma kesuksesan yang diciptakan oleh orang lain, dan dipercaya sebagai kebenaran mutlak oleh publik. Kesuksesan tidak jarang dimaknai sebagai sebuah pencapaian (achievement) yang ditandai oleh kemajuan finansial, jabatan tinggi di perusahaan atau dunia politik, dan lain-lain yang serba sekala (tangible) nan gemilang.


Paradigma kesuksesan (seharusnya) bersifat pribadi, berbeda dari orang yang satu ke yang lain, karena masing-masing orang punya cara hidup dan pendekatan yang berbeda dalam mengukur kesuksesannya. Kawan saya pernah berujar bahwa kesuksesan baginya adalah apabila ia dapat bangun pagi dan punya banyak waktu untuk menghirup udara pagi yang bersih dan mengusap wajahnya dengan embun yang menempel pada dedaunan. Mungkin bagi kita harapan kawan saya itu sepele saja, dan sebenarnya sangat mudah dilakukan. Nyatanya tidak, karena ia harus bangun pagi demi menghindari kemacetan agar ia dapat sampai di kantor tepat waktu, sedangkan pada akhir pekan ia sudah terlalu lelah untuk bisa bangun pagi!


Pergeseran paradigma (paradigm shift) merupakan jalan keluar dari kungkungan paradigma lama. Pergeseran paradigma dianggap sebagai perubahan dalam cara berpikir dan bertindak yang sudah mapan, sehingga hal itu sering diperlakukan sebagai tindakan yang revolusioner, suatu transformasi, semacam metamorfosis, yang digerakkan oleh agen-agen perubahan. Namun, jangan salah: Perubahan pasti terjadi! Permasalahan lama akan berlalu dan kita akan dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang baru. Hindari penanganan hidup dan permasalahan kehidupan Anda yang baru dengan paradigma yang lama, yang buntutnya malah mencelakai Anda.Ó




Lantai 7 Citylofts Sudirman, Karet Tengsin, Jakarta Pusat, 18 Oktober 2011

Saturday, October 8, 2011

The Miracle That is in You

You sent me an energy
An element of this remarkability I cannot see,
but it miraculously moves me
and enables me to comprehend
the peace you provide to our love at hand
No other man could explain it through,
the miracle that is in you,
for no man does not have the eyes
only angels have it wise

There, I open my arms wide
every time you fall or lose the fight
In the depth of my love you always win,
for only there suffering is thin
And with you there, I am constantly alive with the energy
that only you could provide me
The energy that enables me to go through,
seeing the miracle that is in you...


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, South Jakarta, October 9, 2011, 4:12 p.m. Western Indonesia Standard Time

Monday, October 3, 2011

Produk Gagal

“Kegagalan disebabkan oleh tidak suksesnya kita mensyukuri satu fase kesuksesan yang telah kita peroleh.”

~Anonim

 

SATU Oktober 2011 lalu, saya menghadiri acara reuni dan halal bihalal alumni Angkatan 1986 Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FP-IPS) IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Negeri Jakarta, bertempat di Rumah Makan Cibiuk, Gandaria, Jakarta Selatan. Meski dianggap alumnus, saya hanya sempat dua semester kuliah di IKIP Jakarta, karena saya kemudian pindah ke Jurusan Sejarah Fakultas Sastra (FS; sekarang menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, FIB) Universitas Indonesia.

Salah seorang alumnus sengaja datang jauh-jauh dari Tegal demi reuni tersebut. Seperti kebanyakan dari mantan teman kuliahnya, ia menjadi guru, mengajar mata pelajaran IPS di sebuah sekolah menengah kejuruan di Kota Tegal. Mengetahui bahwa profesi yang saya, dan juga sebagian kecil teman kuliahnya di IKIP Jakarta, tekuni selepas kuliah sama sekali jauh dari bidang ilmu kesejarahan maupun keguruan dan kependidikan, teman saya itu bergurau bahwa kami itu termasuk golongan produk gagal, lantaran tidak sejalan dengan tujuan pendidikan kami.

Tetapi teman saya itu bercerita bahwa setamat kuliah di IKIP ia pun tidak serta-merta menjadi guru, melainkan sempat bekerja di Singapura atas ajakan kakaknya. Ia bekerja di perusahaan ekspedisi muatan kapal laut (EMKL), yang untuk itu ia sempat pula mengunjungi beberapa negara di Asia. “Negara-negara yang sebelumnya hanya aku tahu dari buku saat itu aku mengalaminya langsung,” kisah teman itu.

Saya mencoba membawa dia pada kesadaran bahwa masa lalunya justru merupakan bekal bagi kehidupannya sekarang. Dengan pernah mengunjungi sejumlah negara dalam kapasitasnya sebagai staf perusahaan EMKL, kini sebagai guru IPS, yang antara lain mencakup pelajaran Geografi, ia dapat lebih fasih menceritakan tentang masyarakat dan budaya suatu negara.

“Jadi,” kata saya dengan penekanan namun tetap diiringi tawa untuk memberi kesan bahwa saya sama sekali tidak tersinggung dengan predikat “produk gagal” yang ia berikan pada saya, “sebenarnya tidak ada yang namanya ‘produk gagal’. Tuhan sudah mengatur perjalanan kita; kita menjadi apa, mengalami apa, itu semua sudah ada dalam rencanaNya.”

Teman saya membenarkan apa yang barusan saya ucapkan, karena ia belakangan, setelah menekuni pekerjaannya sekarang, dapat memetik hikmah dari pengalamannya bekerja di bidang yang lain dahulu, padahal ia kuliah di IKIP Jakarta dalam rangka mewujudkan cita-citanya sebagai guru.

Anda, saya—kita semua—diperjalankan dalam hidup ini, baik secara sadar maupun tidak. Pengalaman saya bertutur, sebagian cita-cita kita sebenarnya tak pernah gagal terwujud, melainkan “diperbaiki” agar kualitas dari apa yang ingin kita capai menjadi lebih baik.

Saat reuni kemarin, setelah mendengarkan penuturan teman saya dari Tegal itu, saya langsung teringat pada Steve Jobs, yang lantaran gagal dalam kuliahnya lantas iseng belajar kaligrafi, yang sepuluh tahun kemudian menjadi berguna ketika perusahaannya, Apple Inc., menelurkan komputer Macintosh yang pertama, yang dikenal sebagai komputer dengan jenis-jenis font yang indah. Setelah membaca kisah Jobs, mungkin di antara Anda ada yang berpikiran untuk segera berhenti kuliah dan berwirausaha saja sebagaimana pendiri Apple Inc. itu. Eits, tunggu dulu, apakah itu benar-benar jalan Anda?  

Meski selepas kuliah di Jurusan Sejarah FSUI saya menjadi praktisi periklanan, bukan berarti saya produk gagal atau kuliah saya sia-sia. Salah seorang pimpinan perusahaan yang pernah dan sering menggunakan jasa saya di bidang penulisan naskah materi komunikasi pemasaran dan korporat memberikan referensi sebagai berikut: “Belum pernah saya menemukan seorang copywriter yang pemikiran dan gaya penulisannya demikian terstruktur, rapi, jernih dalam konsep, mudah dibaca dan sangat komunikatif seperti Anto Dwiastoro.” Di mana lagi saya mempelajari model penulisan seperti itu jika bukan di Jurusan Sejarah FSUI?

Creative director (CD) saya di salah satu biro iklan multinasional di mana saya pernah bekerja mereferensikan saya sebagai seorang pemikir strategis yang berguna untuk pengembangan bisnis. “Jarang sekali saya menjumpai copywriter yang juga strategic thinker,” tulis sang CD di rapor appraisal saya yang diberlakukan setahun sekali di biro iklan tersebut. Dalam kaitan itu, saya diuntungkan oleh kesempatan yang saya peroleh ketika untuk menulis skripsi di Jurusan Sejarah FSUI saya mendalami ilmu strategi militer. Padahal waktu itu tak sedikit teman saya yang mencemooh hobi saya mempelajari strategi militer: “Ngapain belajar strategi? Emangnya mau perang lu?”

Saya tidak pernah membayangkan diri saya menjadi praktisi periklanan. Saya punya segudang cita-cita, tetapi berkarir di industri komunikasi tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Namun, manusia merencanakan, Tuhan pula yang menentukan. Menjawab tawaran dari dosen pembimbing skripsi saya untuk menggantikannya sebagai pengajar sejarah militer di FSUI—yang waktu itu merupakan program kerja sama UI dengan Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), saya mengisi formulir untuk mengikuti program wajib militer (wamil) bagi sarjana strata satu. Namun apa daya, loket untuk penerimaan kembali formulir yang telah diisi dan ditandatangani beserta berkas-berkas pelengkapnya sedang tutup ketika saya datangi. Akibatnya, saya terpaksa duduk menunggu di depan loket. Tiba-tiba saya dihampiri seorang dosen dari jurusan lain yang mengenal saya. Saya ditawari kerja di sebuah biro iklan papan atas yang mencari sarjana sejarah untuk penulisan buku dalam rangka ulang tahun ke-25 biro iklan tersebut.

Singkat cerita, saya diterima bekerja di biro iklan itu. Karena belum tersedia ruangan, maka untuk sementara saya ditempatkan di perpustakaan, yang menyimpan ribuan buku mengenai industri komunikasi merek. Sederet buku bertema copywriting dan advertising saya lahap selama berkantor di perpustakaan itu, yang akhirnya menumbuhkan minat saya pada penulisan naskah iklan dan kreativitas penciptaan iklan. Kalau dirunut kembali ke masa lalu, hanya gara-gara loket pendaftaran wamil di kampus UI tutup saya malah tecebur ke dunia periklanan, yang menjadi karir saya selama tujuh belas tahun belakangan ini!

Jangan terpaku pada masa lalu, kata orang bijak. Benar, tetapi luangkanlah waktu sejenak untuk mengingatnya, menyusuri fase demi fase kehidupan yang pernah kita lalui dalam perjalanan menuju masa sekarang. Dengan mengingat masa lalu, utamanya hal-hal yang membawa kita kepada keadaan sekarang, membuat kita senantiasa bersyukur atas apa saja telah menimpa kita, baik maupun buruk.

Yang dimaksud orang bijak itu dengan jangan terpaku pada masa lalu adalah agar jangan sampai kita menyesali masa lalu kita, sehingga masa sekarang diisi semata dengan meratapinya. Nasi memang sudah menjadi bubur, tetapi bubur pun bukan produk gagal, karena bila kita syukuri dengan membubuhinya irisan daging ayam goreng, cakwe, seledri, kacang kedelai, kerupuk, kuah kaldu dan kecap ia menjadi bubur ayam yang lezat! Kalau sudah begini, adakah yang namanya “produk gagal”?Ó2011

 

Apartemen Citylofts Lantai 7, Jl. KH Mas Mansyur, Jakarta Pusat, 3 Oktober 2011

Sunday, October 2, 2011

Identifikasi

TAHUN 1996, saya mengundurkan diri sebagai karyawan sebuah biro iklan multinasional papan atas Indonesia yang berbasis di Jakarta. Dengan identifikasi “mantan copywriter Lintas” saya berani melamar ke duapuluhan biro iklan di Jakarta, dan berdasarkan identifikasi itu pula 16 di antaranya memanggil saya untuk diwawancara. Sebagai “lengan periklanannya Unilever, Lintas (Lever International Advertising Services) waktu itu didaulat sebagai universitasnya insan periklanan, yang bahkan karyawan yang dipecat sekalipun berpeluang besar untuk ditangkap agensi-agensi bergengsi lainnya.

Salah satu pihak yang menghubungi saya adalah pengarah kreatif eksekutif (executive creative director/ECD) sebuah biro iklan multinasional. Sang ECD, ketika mewawancarai saya, menepis tawaran saya untuk memperlihatkan portofolio karya iklan yang pernah saya buat bersama tim kreatif Lintas. “Tidak perlu, saya sudah tahulah kualitas Anda sebagai jebolan Lintas!” kata sang ECD dalam aksen Aussie yang kental.

Awalnya, saya memang bangga menyandang identifikasi “mantan copywriter Lintas, tetapi lama kelamaan kok terasa mengganggu, tidak membebaskan malah membebani, karena orang jadinya berekspektasi lebih dari saya, melampaui kemampuan saya yang sebenarnya. Akhirnya, saya bertekad bahwa saya harus dikenal dan diterima sebagai diri sendiri, tanpa embel-embel apa pun. Rasanya, lebih membanggakan dan membahagiakan jika orang-orang menyambut saya sebagai teman mereka lantaran saya adalah saya, bukan saya dengan identifikasi tertentu.

Idealisme seperti itu agaknya sulit dikembangkan, karena saya berada di lingkungan di mana identifikasi jauh lebih penting dari apa pun. Sepertinya, tanpa identifikasi kita tidak punya eksistensi. Dengan pengalaman 17 tahun (tahun 2011, ketika saya menulis artikel ini) menangani merek dan pemerekan (branding), saya dapat memastikan bahwa itu benar adanya. Menurut Dan Ariely, penulis Predictably Irrational: The Hidden Forces That Shape Our Decisions (2010), kita selalu mengira keputusan-keputusan yang kita ambil adalah berdasarkan alasan-alasan yang masuk akal, padahal tidak selalu begitu. Hampir selalu ada alasan yang “bukan aslinya Anda” ketika Anda memilih merek yang satu dan bukan merek yang lain, atau memilih apa pun dalam hidup Anda, termasuk suami/istri, pacar, sekolah, pekerjaan, rumah, mobil dan lain sebagainya. Menurut Ariely, kita selalu mengidentifikasi diri dengan sesuatu di saat ini atau di masa lalu, yang pada gilirannya mempengaruhi pilihan-pilihan kita.

Kita cenderung senang dan bangga diidentifikasi sebagai bagian dari sesuatu, walaupun tak jarang sesuatu itu semu. Adik saya tadinya bangga sebagai pengguna Nokia E63. Belakangan, ia muncul di hadapan saya dengan Blackberry Bold dan Samsung Galaxy Mini, sedangkan Nokia E63-nya ia pensiunkan. Pengalaman saya di dunia branding membuat saya sudah menduga jawaban adik saya, waktu saya tanya mengapa ia mengganti Nokia E63-nya dengan BB dan Galaxy Mini: Identifikasi sebagai bagian dari komunitas pengguna BB dan telepon seluler (ponsel) layar sentuh lebih membanggakan daripada idealisme untuk bertahan sebagai dirinya sendiri yang sebenarnya lebih suka pakai Nokia E63.

Padahal bila dicermati lebih jauh, landasan bagi identfikasi itu bersifat “holografis (terlihat tetapi sejatinya tidak ada). Coba deh, tanyakan para pengguna BB mengapa mereka menggunakan BB (atau tanyakan pada diri Anda sendiri, jika Anda kebetulan menggunakan BB). “Ada Blackberry Messenger-nya sih, jadi gampang dalam berkomunikasi. Gratis pula!” jawab rata-rata dari mereka.

Gampang berkomunikasi dengan siapa? Dengan sesama pengguna BB tentu saja, bukan dengan pengguna merek ponsel pintar lainnya atau ponsel apa pun, tetapi justru itulah persepsi yang sengaja ingin ditanamkan di benak konsumen oleh pemasar merek bersangkutan. Tampaknya mereka amat berhasil dalam melakukannya. Strateginya simpel saja: Para pengguna BB dipengaruhi sedemikian rupa lewat upaya branding untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari komunitas yang eksklusif, yang bila tidak tergabung di dalamnya mereka dianggap bukan warga dunia virtual (netizen) yang hebat! Mereka juga diminta untuk mengajak sebanyak mungkin teman atau relasi mereka untuk bergabung dengan mereka di komunitas tersebut—tak jarang dengan taruhan hubungan pertemanan bakal berakhir bila ajakan mereka ditepis.

Hebat benar nih industri komunikasi merek, puji Tuhan! Berarti profesi saya di bidang branding bakal semakin dibutuhkan di masa depan…

Spiritualitas dalam Kemasan

IDENTIFIKASI telah pula merambah ke dunia spiritual yang tadinya bebas dari yang serba semu seperti itu. Spiritualitas baru bisa diklaim sebagai “hakikat” (kebenaran mutlak) justru ketika padanya tidak dilekatkan identifikasi macam apa pun. Ironisnya, justru klaim-klaim hakikat berasal dari organisasi-organisasi spiritual, yang untuk keperluan identifikasi merasa perlu diorganisasikan, diberi nama merek (brandname), ditata dan distruktur sedemikian rupa, sehingga sebenarnya sifat hakikat dari spiritualitas menjadi kabur.

John Naisbitt bilang, “Spirituality yes, organized religion no—spiritualitas ya, agama yang terorganisasi tidak,” ketika abad ke-21 merangkul dunia, yang waktu itu diramalkan akan mengalami perubahan radikal dengan berakhirnya agama-agama yang terorganisasi lantaran umatnya memilih jalan spiritual yang tidak dikekang kewajiban dan kepatuhan apa pun. Bagi masyarakat Barat, agama dipandang sebagai suatu gerakan yang terorganisasi, memiliki landasan yang terstruktur, teratur rapi, yang jika dilanggar akan menyebabkan si pelanggar celaka, sedangkan spiritualitas dipandang merupakan wilayah yang bebas nilai, bersifat open-source (bisa diakses siapa saja tanpa batasan) karena sumbernya bisa apa saja—tidak melulu pengalaman ketuhanan.

Sejatinya, spiritualitas memang tidak terorganisasi lantaran spiritualitas merupakan produk dari pengalaman pribadi masing-masing pejalan. Tetapi kini, bertentangan dengan ramalan Naisbitt di atas, tendensi yang tampak adalah spiritualitas yang terorganisasi, yang karena orang Barat tetap beranggapan bahwa hanya agama yang memiliki sifat terorganisasi maka tendensi spiritualitas demikian dicap experiential religiosity atau keberagamaan yang didasari oleh pengalaman pribadi dengan yang transenden (Tuhan, realitas tertinggi, Rahasia, Unsur ke-11, atau apa pun namanya).

Dewasa ini, karena manusia butuh identifikasi, organisasi-organisasi spiritual bermunculan dengan mengusung ajaran (sebenarnya sih nasihat, tetapi derajatnya dinaikkan menjadi ajaran untuk menghargai) para pendirinya. Dalam berbagai segi, organized spirituality ini tak ubahnya organized religion, dengan struktur kekuasaan yang mengendalikan jalannya organisasi, serta sistem kependetaan dan nilai-nilai yang menata pertumbuhan spiritual anggota.

Di sektor spiritualitas yang terorganisasi ini, sama seperti agama dalam perkembangannya jauh setelah penerima wahyu meninggal, Tuhan tidak lagi Maha Kuasa lantaran dikuasai oleh organisasi dan penguasa di dalamnya. Orang-orang di dalam organisasi ini mengatur kapan sesuatu merupakan kehendak Tuhan dan kapan yang bukan! Kini, bukan cuma ada AMDK (air mineral dalam kemasan), tetapi juga ada SDK, spiritualitas dalam kemasan—spiritualitas yang dijual dalam kemasan macam-macam warna dan selera, dan masing-masing merek mengklaim dirinya lebih baik daripada yang lain-lainnya, tak ubahnya consumer goods.

Menaksir Cinta

ILMU psikologi membedakan antara naksir (infatuation) dan cinta (love): Yang tersebut pertama adalah perasaan suka pada seseorang yang dilandasi identifikasi-identifikasi tertentu, seperti wajahnya tampan/cantik, senyumnya memukau, baik hati, bicaranya bermutu, tulisannya menginspirasi, jenius, hobinya sama, dan lain-lain. Sedangkan “cinta” timbul tanpa perlu identifikasi apa-apa—suka saja! Dengan wawasan ini, saya kira Anda bisa mulai menaksir cinta Anda kepada sesuatu atau seseorang, apakah bebas identifikasi atau tidak.

Saya sangat suka menulis, dan sampai sekarang saya belum menemukan alasan yang tepat untuk menjelaskan kepada orang lain mengapa saya menyukainya. Dahulu, semasa sekolah di Negeri Belanda, saya memang jago dalam pelajaran mengarang sampai guru-guru saya berdecak kagum, tetapi saya kira itu bukan alasan yang tepat untuk menjelaskan mengapa sekarang saya sangat suka menulis, sebab saat itu hingga tamat kuliah saya memandang menjadi penulis bukanlah apa yang saya cita-citakan (lagi-lagi lantaran identifikasi mengenai kehidupan penulis yang kurang menjanjikan secara ekonomi).

Hidup pada hakikatnya tidak memerlukan identifikasi, karena manusia pun dilahirkan tanpa embel-embel apa pun. Bila Anda dapat mengerahkan perasaan dan pemikiran, perkataan dan perbuatan untuk diri sendiri maupun untuk kepentingan umum tanpa identifikasi apa-apa, Anda telah melampaui kemelekatan, terbebas dari penderitaan, dan mencapai keabadian.©2011

 

Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 2 Oktober 2011

Monday, August 29, 2011

Sikap Positif

 “Kebahagiaan merupakan sikap. Kita sendiri yang membuat diri kita menderita, atau bahagia dan kuat. Upayanya sama saja.”  

~Francesca Reigler


SAYA pernah bekerja di sebuah biro iklan yang berlokasi di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, pada tahun 2005. Terlepas dari profesi saya di bidang kreatif, yang konon merupakan sarangnya insan-insan unik—jika tidak bisa dikatakan aneh, saya dibilang sangat unik. Pendapat saya selalu berseberangan dari kebanyakan orang dan teguh pada pendirian saya jika sesuatu saya anggap kebenaran mutlak, meski seluruh dunia menentangnya.

Suatu kali, bos saya mendesak seluruh karyawan yang beragama Islam untuk mempergiat ibadah syari’at selama berada di kantor. Perusahaan dimana saya bernaung berturut-turut mengalami kebuntungan, yang memuncak pada kekalahan dalam tender sebuah bank nasional, dan bos, yang seorang haji, menganggap hal ini disebabkan oleh kurang rajinnya saya dan rekan-rekan lainnya beribadah. Kebetulan pada saat itu juga sedang bulan puasa Ramadan, sehingga bos tak henti-hentinya menganjurkan para karyawan agar meluangkan waktu untuk membaca Al Qur’an atau melakukan aktivitas ibadah ritual lainnya.

Semua karyawan mematuhi perkataan bos, meski sebenarnya itu cuma imbauan, bukan perintah, karena beribadah atau menjalani syari’at agama tidak boleh dipaksakan. Hanya saya yang tidak melaksanakannya. Sementara rekan-rekan saya salat berjamaah, saya asyik bermain game di komputer atau mendengarkan musik. Setiap kali diingatkan oleh rekan-rekan saya untuk salat atau berpuasa, dengan ringan saya tertawa, mengacuhkan anjuran itu.

Namun ada sesuatu yang mencengangkan rekan-rekan sekantor saya, yaitu setiap pagi ketika muncul di kantor, menurut mereka, saya selalu tampak cerah dan berseru dengan bersemangat, “Alhamdulillah! Gue dapet rezeki dan hidayah hari ini!”

Didorong oleh penasaran lantaran terus-menerus muncul di kantor setiap hari kerja dengan seruan yang mengisyaratkan diri saya mendapat sesuatu yang positif sehingga saya memuji nama Tuhan, satu rekan saya menyempatkan diri mengunjungi ruang kerja saya untuk membahas apa gerangan yang membuat saya demikian. Bukan hanya sekali dua kali, tetapi berkali-kali. Ia penasaran, mengapa manusia satu ini, yang sempat dihujat rekan-rekan saya lantaran mengabaikan ibadah wajib dari agama yang saya anut, malah mendapat keberuntungan, sedang rekan-rekan saya sebaliknya sering dirundung masalah.

Saya pun membeberkan rahasianya: Sikap positif terhadap apa pun yang ada atau hadir dalam hidup ini. “Percuma lu salat tapi hati lu menyimpan prasangka buruk kepada Allah!” kata saya dengan nada rada serius (saya dikenal di antara teman-teman saya sebagai sosok yang jauh dari serius, hingga seorang rekan saya pernah mengatakan bahwa pembahasan tentang Tuhan dengan diri saya membuat Sang Pencipta dipersepsi punya sense of humor yang tinggi, berbeda dengan yang digambarkan dalam kitab-kitab suci).

Dari saya, yang dibilang rekan-rekan saya terlihat sering tersenyum ini, meski keadaan sedang tidak menyenangkan, ia belajar tentang betapa sehat dan menguntungkannya menerapkan sikap mental yang positif terhadap segala sesuatu yang berlangsung dalam hidup ini. “Orang cenderung kembali ke sajadah ketika keadaan sedang tidak membahagiakan bagi dirinya. Kebahagiaan itu cuma pola pikir—a state of mind. Dalam pikiran pula bersemayam prasangka—seolah Tuhan sedang mengabaikan kita ketika kita didera cobaan,” kata saya, yang kontan menumbuhkan motivasi rekan saya untuk terus maju walau berbagai hambatan menghadang.

Inti dari kemampuan untuk bersikap positif adalah meredakan prasangka terhadap hidup, orang lain maupun Tuhan. Jangan serta-merta menimpakan penderitaan diri Anda pada hidup, orang lain atau Tuhan. Tuhan tidak pernah menyiksa hambaNya, melainkan manusia menganiayai dirinya sendiri, demikian diungkapkan di kitab suci. Kegagalan sesungguhnya merupakan cara alami Hidup untuk mengajarkan kita lebih banyak pengetahuan tentang diriNya. Dengan banyak pengetahuan itu wawasan kita bertambah luas.

Kegagalan merupakan energi pendorong kita untuk berusaha lebih baik, tidak mengulang kesalahan yang sama, dan lebih keras. Upaya-upaya yang kita tempuh dalam usaha tersebut akan memperkenalkan kita pada siapa sejatinya diri kita, dan apa yang mampu dilakukan oleh diri ini. Biasanya, dalam tahap itulah seorang manusia menyadari eksistensi suatu kekuasaan yang lebih besar daripada dirinya, yang tak henti-hentinya membantunya.

Salat demi mendapat keberuntungan, sebagaimana anggapan bos saya di atas, adalah seperti memerintah Tuhan untuk berbuat sesuai kehendak kita. Sejatinya salat adalah menghamba (merendahkan hati) dengan dibarengi sikap mental yang positif, yang pada gilirannya merupakan keluaran (outcome) dari sikap penyerahan diri yang sabar, tawakal dan ikhlas. Bebas prasangka dan bebas kehendak pribadi yang inginnya, kalau bisa, berseberangan dengan kehendak Tuhan. Sembahyang bukan sesuatu yang buruk atau negatif; ia sebaliknya merupakan kendaraan untuk mendekat kepadaNya—sesuai makna dari kata-kata derivasinya “sembah” dan “hyang” (Tuhan), selama sembahyang tidak dilekatkan dengan prasangka buruk kepada Tuhan.

Menyejajarkan kehendak kita dengan kehendak Tuhan (wihdatul iradah) memudahkan kita untuk dapat menumbuhkan sikap positif itu, walau dalam praktiknya sungguh susah menerapkan wihdatul iradah. Kesusahan itu utamanya disebabkan oleh ketidaksediaan kita untuk mempercayakan segala urusan kita kepada Tuhan, mengizinkanNya untuk membimbing dan menuntun kita melalui jalan-jalan yang seringnya tidak sesuai harapan kita. Itulah gunanya kita tidak kelewat memberdayakan akal pikir kita jika berurusan dengan bimbingan dan tuntunanNya; hanya menyerah saja!

Masalahnya, lantaran kurangnya pengetahuan, banyak orang menganggap berserah diri merupakan sikap pasif yang meniadakan upaya dalam bentuk apa pun, yang berakibat pada perilaku yang fatalistik (menyerah pada nasib). Padahal, berserah diri merupakan sikap fisik dan mental yang sangat proaktif untuk berusaha semaksimal mungkin tetapi pada saat yang sama mewakilkan (yang membentuk kata “tawakal” dalam bahasa aslinya) keluarannya kepada Sang Pencipta.

Orang yang selalu bersikap positif menandai dirinya dengan senyuman yang senantiasa menghias wajahnya. Dr. Aidh al-Qarni dalam  bukunya, Ibtasim--Tersenyumlah (Jakarta: Al Qalam, 2007), menulis bahwa hidup harus dihadapi dengan senyuman, betapa pun beratnya masalah yang dihadapi, karena dengan senyum, otak menjadi cerdas, masalah-masalah yang berat bisa diperingan dan masalah yang rumit bisa diurai. Mengacu pada penjelasan ini, barangkali alat ukur yang tepat untuk menetapkan apakah Anda sudah bersikap positif atau belum adalah sebuah cermin, di mana Anda bisa menyaksikan diri sendiri mengurai senyum sebagai tanda sikap positif.©2011

 

Perak Barat, Krembangan, Surabaya Utara, 29 Agustus 2011

Sunday, July 31, 2011

Campur Tangan

 “Semua manusia terperangkap dalam jejaring mutualitas yang tidak bisa dielakkannya.”

—Martin Luther King, Jr.

 

PADA bulan Maret 1996, saya mendapat panggilan wawancara kerja dari sebuah biro iklan multinasional yang berkantor di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sebulan sebelumnya, saya baru meninggalkan posisi saya sebagai junior copywriter, di sebuah biro iklan multinasional papan atas negeri ini. Lantaran saking terkemukanya biro iklan yang saya tinggalkan tersebut, yang dijuluki oleh industri sebagai “universitasnya insan periklanan Indonesia”, tak pelak saya tergolong “orang iklan yang paling dicari” berkat predikat “mantan biro iklan papan atas terkemuka” yang saya sandang. Tak pelak pula, sebagai dampaknya, dari 20 biro iklan yang saya kirimi surat lamaran untuk menduduki posisi senior copywriter di departemen kreatif mereka, 16 di antaranya memanggil saya untuk diwawancarai. Salah satunya adalah biro iklan multinasional yang saya sebut pertama kali.

Telah menjadi kepercayaan umum bahwa bagus tidaknya seorang copywriter (penulis naskah iklan) atau art director (pengarah artistik) dapat dinilai dari portofolio karya materi komunikasi pemasaran dan korporat yang dimilikinya. Maka, dalam rangka memenuhi panggilan wawancara kerja dari sebuah biro iklan multinasional yang saya kemukakan di atas, saya membawa serta portfolio bag (tas besar dari bahan kain, plastik atau kulit untuk menyimpan karya visual) saya yang berisi puluhan karya iklan cetak maupun kaset video yang menampung semua iklan televisi yang naskah audio-visualnya ditulis oleh saya.

Orang Malaysia yang menjadi creative director (CD, atau pengarah kreatif, yaitu orang yang memimpin departemen kreatif sekaligus mengarahkan konsep kreatif yang digagas timnya, yang terdiri dari para copywriter, art director dan visualizer) di biro iklan tersebut membolak-balik portofolio saya tanpa minat, tetapi ia tampak mengangguk-angguk dan berucap datar, “Very good. Yeah, this is good!”

Tiga kaset video VHS yang saya sodori kepadanya hanya dipindai label stikernya, yang mencantumkan nama merek yang iklan televisinya berada di dalam kaset tersebut. “Yeah, I have seen this before,” katanya, sambil menghela napas panjang. Ia mengatakan bahwa ia pernah menontonnya di salah satu stasiun televisi, sehingga ia merasa tidak perlu memutar ketiga kaset video yang telah saya bawa dengan susah-payah itu.

“Masih ada lagi?” tanyanya dalam aksen Melayu yang kental. Saya merogoh-rogoh ke dalam portfolio bag saya dan mengeluarkan sebuah sampul besar berwarna kopi susu. “Apa itu?” tanya si CD. “Karya-karya saya yang di-reject oleh klien,” kata saya. “Wow, that’s more interesting! Saya suka karya-karya yang ditolak, karena menunjukkan kreativitas asli Anda. Kalau yang tadi, semua ada campur tangan dari banyak pihak, bukan?”

Saya mengangguk—tiba-tiba tersadar untuk membenarkan pendapat si creative director. Iya, betul, mana ada karya saya yang telah mengemuka di publik yang tidak melibatkan campur tangan orang lain? Bahkan sesungguhnya di aras penggalian ide saja saya dibantu oleh berbagai pihak, bukan hanya manusia, tetapi juga benda, pengetahuan, pengalaman atau peristiwa.

Satu iklan cetak, walaupun ukurannya tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan ukuran majalah atau koran di mana ia dimuat, melibatkan banyak orang, mulai dari pemercikan gagasan, lalu dituangkan menjadi konsep, kemudian dibuatkan tata letaknya, hingga penayangannya di media cetak. Selain saya sebagai copywriter atau creative director, di situ ada keterlibatan art director, fotografer, ilustrator, operator mesin cetak, perencana dan pembeli media, dan, tak kalah pentingnya, klien—yang membiayai itu semua!

Kabarnya, logo Garuda Indonesia yang kita kenal sekarang, yang dibuat oleh perusahaan konsultan merek terkemuka dunia Landor & Associates di San Francisco, Amerika Serikat, yang “cuma segitu aja” sampai melibatkan 150 orang dari berbagai disiplin ilmu dan kalangan, mulai dari antropolog, psikolog, pakar pemasaran, periset pasar, pengamat sosial, sampai perancang grafis, perancang busana dan konsumen sendiri.

Hidup pun demikian adanya. Manusia tidak bisa berdiri sendiri. Ia mampu menjalani hidup dan kehidupannya dengan melibatkan begitu banyak campur tangan dari berbagai unsur yang ada di alam ini, bukan hanya sesama manusia tetapi juga benda, peristiwa, pengalaman, pengetahuan, dan lain-lain. Dalam segala sesuatu yang kita lakukan ada divine intervention (campur tangan Tuhan) atasnya. Begitu kita berpikir untuk menginginkan sesuatu, atau mewujudkan sesuatu, di situ hadir campur tangan Tuhan, yang bekerja sedemikian rupa lewat tangan-tangan sesama kita, atau bekerjanya alam semesta.

Robert Scheinfeld, dalam bukunya, The 11th Element: The Key to Unlocking Your Master Blueprint for Wealth and Success (2003), menandaskan bahwa bila kita memiliki suatu keinginan, maka secara alami akan tercipta suatu invisible network (jejaring tankasatmata) yang menggabungkan berbagai unsur yang ada di alam ini untuk bekerja sama. Bagi Anda yang peka, atau terbuka ‘mata hati’-nya, akan mampu menyaksikan suatu pembelajaran agung (grand learning) dari apa pun yang Anda hadapi dalam hidup ini; bahwa hal-hal itu ada untuk suatu tujuan, yang langsung maupun tidak langsung berdampak bagi kehidupan Anda.

Terkait hal ini, tak mengherankan bila Sang Buddha tak bosan-bosannya menganjurkan pengikutnya untuk hidup secara sadar, agar mampu membaca tanda-tanda alam. Tradisi spiritual Jawa mensyaratkan tindakan niteni (membaca, menganalisis) agar senantiasa eling lan waspada (ingat dan mawas diri). Semua ajaran ini mengingatkan kita bahwa campur tangan Tuhan itu ada dan nyata, dan bisa ditangkap keberadaannya bila kita rajin mengamati. Campur tangan itu terwakili oleh bekerjanya berbagai unsur di alam semesta, termasuk manusia. Semua berpadu, bekerja sama untuk mewujudkan kesejahteraan yang berlaku bagi semua yang terlibat di dalam kerja tersebut.

Hubungan yang tercipta bersifat timbal-balik, saling menguntungkan. Ada sebagian dari kita yang tidak peduli dengan pelestarian lingkungan. Mereka berpikir bahwa hutan harus dieksploitasi untuk kebutuhan manusia. Tetapi, begitu penggundulan hutan menimbulkan longsor atau banjir yang memakan korban jiwa, kita baru menyesal. Begitu kita kepanasan disengat sinar matahari, lantaran pohon yang meneduhkan sudah ditebang, baru kita mengeluh.

Banyak dari kita yang membenci sesama kita lantaran perbuatan buruknya, dan menafikan adanya faktor campur tangan Tuhan dalam keburukan itu. “Keburukan adalah perbuatan setan, bukan Tuhan!” demikian umumnya ditandaskan. Coba, deh, Anda renungkan dengan perasaan yang tenang, hening dan tenteram, pengalaman-pengalaman hidup yang pernah Anda lalui.

Melalui suatu pengalaman nyaris ditipu seorang relasi bisnis yang sedari awal beritikad buruk, saya malah beroleh kepahaman bahwa Tuhan akan menolong saya apabila saya menyerahkan masalah itu padaNya, dan saya tidak perlu mengutuk relasi itu. Di penghujung perjalanannya, secara bertubi-tubi ia dicelakai oleh perbuatannya sendiri. Tanpa kejadian itu mungkin saya takkan pernah menginsafi kenyataan akan campur tangan Tuhan dalam pekerjaan saya yang pada dasarnya memang selalu melibatkan keterhubungan dengan berbagai pihak.

Ada pembelajaran agung di dalam jalinan perbuatan, peristiwa, pengalaman, pengetahuan yang dilakukan atau dilalui makhluk dan alam semesta, baik maupun buruk. Pembelajaran, yang terkadang sangat sederhana itu, membawa kita kepada pemahaman tentang eksistensi campur tangan Tuhan.©2011

 

Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 31 Juli 2011

Wednesday, July 6, 2011

Cinta Dalam Sepotong Cabai

 “Setiap orang bodoh bisa mengkritik, mengutuk, dan mengeluh tetapi diperlukan karakter dan pengendalian diri untuk dapat memahami dan memaafkan.”

~Dale Carnegie

 

SEPUPU saya, laki-laki yang kini berusia 38 tahun (pada tahun 2011), sewaktu kecil sangat nakal dan sering melawan orang tua. Ia anak bungsu dari tiga bersaudara, yang mana dua lainnya adalah perempuan. Lantaran “senasib”, ia lebih dekat dengan saya ketimbang saudara-saudara perempuannya. Anehnya, kalau bersama saya dia malah tidak menunjukkan kenakalan sama sekali.

Sekali waktu, ketika saya sedang menginap di rumah orang tuanya, saya menyaksikan kenakalannya yang luar biasa. Hanya karena ibunya menolak memberinya uang jajan (lantaran sebelumnya ia sudah mendapat uang jajan) ia mengejek ibunya dengan kasar. Seluruh penghuni kebun binatang dan kakus ia lontarkan kepada ibunya, yang pada gilirannya kemudian hanya diam dan tampak menahan tangis. Sepupu saya kemudian kabur, meninggalkan teras rumah dan kembali bergabung dengan kawan-kawan sepermainannya.

Tak dinyana, bibi saya, yang sebelumnya kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya,  melangkah ke teras. Di tangannya, beliau menggenggam sepotong cabai merah keriting, yang dengan melihatnya saja saya sudah merasa kepedasan. Bibi saya menyembunyikan tangan yang menggenggam cabai itu di belakang punggungnya dan beliau memanggil-manggil sepupu saya. Sepupu saya sempat tidak mau, tetapi lantaran bibi saya mengiming-iminginya dengan uang jajan, dia segera berlari menuju teras, mendatangi ibunya.

Begitu sepupu saya mendekat, bibi saya menangkapnya, menarik rambutnya agar sepupu saya terdesak untuk mendongakkan kepalanya dan mulutnya menganga. Pada saat itulah, bibi saya “mengulek” sepotong cabai merah keriting itu di mulutnya. Sepupu saya menjerit-jerit sambil memegangi mulutnya yang berlumuran cabai merah. Ia berlari kencang ke arah dapur, di mana ia membenamkan kepalanya ke dalam termos es batu.

Membandingkan diri sepupu saya yang dahulu dengan yang sekarang tentu akan tampak perbedaan yang signifikan. Kini ia lebih pendiam, hormat pada orang tua dan santun kepada siapa saja. Kepada saya—ketika saya mengungkit kisah sepotong cabai merah keriting yang diulek ibunya di mulutnya itu—ia mengutarakan bahwa ia sebenarnya mendapatkan cinta ibunya lewat pengalaman dengan cabai merah keriting itu.

Kebanyakan dari kita lebih suka dipuji daripada dikritik, atau dicaci, atau dimarahi, tidak menyadari bahwa justru lewat kritik, cacian atau kemarahan yang seimbang dengan pujian yang kita terima, pribadi kita tumbuh dan berkembang menjadi kian mantap. Pujian yang berlebihan, tanpa sekalipun menerima kritik, cenderung menjadikan pribadi kita manja dan tidak tahan dengan cobaan hidup, juga menjauhkan kita dari kesintasan (survivability).

Perlakuan yang saya terima ketika masih berstatus trainee copywriter di sebuah biro iklan multinasional papan atas di Jakarta sama sekali tidak ada korelasinya dengan pekerjaan saya. Tukang bikin copy (naskah iklan) diterjemahkan seenaknya oleh senior saya sebagai “tukang bikin kopi”; saya disuruh membuatkan kopi untuknya, padahal ada office-boy. Dan dari mulutnya jarang sekali keluar pujian atas pekerjaan yang saya lakukan dengan baik, tetapi kritikan dan caciannya sepedas cabai. Pengalaman itu membuat saya sempat bersumpah bahwa jika suatu saat saya mencapai tingkat sejajar dirinya (senior copywriter atau creative director) saya tidak akan bersikap sebagaimana dirinya terhadap bawahan atau yuniornya.

Ternyata hal itu tidak selalu bermanfaat. Ketika para pemula di bidang pekerjaan saya diperlakukan dengan lunak, tanpa pernah dikritik sama sekali, mereka malah tidak mengalami kemajuan sama sekali; pikirannya terjebak pada rutinitas atau berpikirnya tidak berani keluar dari pakem (out-of-the-box).

Hal yang sama saya lihat pada lulusan perguruan tinggi yang ketika menjadi mahasiswa baru tidak melewati masa pengenalan kampus atau perploncoan, yang sering terkesan sarat kekerasan yang intimidatif. Beberapa dari “spesies” ini pernah menjalani program permagangan di tempat saya bekerja dahulu, dan tampak jelas mereka tidak tahan banting, mudah menyerah dan sensitif terhadap kritikan. Ada yang sampai ngambek dengan membolos satu-dua hari dari masa permagangannya yang berlangsung sebulan itu. Berdasarkan pengalaman saya, inisiasi yang saya lewati ketika menjadi mahasiswa baru di Universitas Indonesia malah menempa saya untuk menghadapi kehidupan nyata di luar pagar kampus yang kerasnya melampaui apa yang saya terima dalam inisiasi.

Beberapa tahun lalu, sejumlah saudara Subud saya mengeritik serta mencaci saya sedemikian rupa di ajang mailing list, hingga saya nyaris tergerak untuk melontarkan amarah saya. Ajaibnya, pada saat saya hendak mengetik e-mail balasan untuk balik mencaci mereka, seorang saudara Subud saya yang sudah sepuh menelepon saya. Beliau berkata, “Kamu sudah baca e-mail mereka? Kalau kamu marah dan terpancing oleh mereka, berarti kamu gagal dalam Latihan Kejiwaan (baca: penyerahan diri) kamu. Kritikan dan kecaman maupun caci-maki semacam itu melatih “badan pengertian” (understanding) kamu. Terimalah dengan legawa (lapang dada). Dirasakan saja dengan penuh cinta pada mereka yang mencaci kamu.”

Itulah yang saya lakukan. Sepertinya Tuhan sedang mengajari saya untuk menjadi rendah hati terhadap situasi apa pun. Susah sekali pada awalnya memang, bak—meminjam istilah saudara Subud saya lainnya—menelan buah kedondong bulat-bulat; rasanya sakit sekali, terasa ngilu di ulu hati. Tetapi saya bersyukur lantaran pernah melewati “inisiasi kehidupan” semacam itu, karena kini, sesuai sikap kritisisme saya yang memang alami, saya cenderung terbuka dan blak-blakan dalam mengkritik orang lain, tetapi pada saat yang sama saya siap dengan konsekuensinya: dikritik atau dikecam balik oleh orang bersangkutan. Hanya saja, kini saya dapat menerimanya tanpa perasaan benci atau ketidaksukaan; sebaliknya, saya malah menyayangi orang tersebut.

Pujian memang perlu, tetapi harus proporsional, tidak berlebihan. Demikian pula dengan kritikan—harus seimbang. Dengan adanya keseimbangan, dibarengi sikap kerendah-hatian, kritikan sepedas cabai merah keriting pun berasa mengandung cinta dan perhatian.Ó2011

 

Lantai Dasar Wisma Indonesia, Kompleks Wisma SUBUD Cilandak, Jakarta Selatan, 6 Juli 2011

Wednesday, May 11, 2011

Kasih Spontan Berkat Mie Instan


Mengenang ibuku, Animah binti Radjab (1933-1996)


“Hati seorang ibu adalah jurang yang dalam yang di dasarnya Anda akan selalu menemukan pengampunan.”

Honoré de Balzac



Belakangan ini, saya kerap terkenang akan mendiang ibu saya, yang meninggal lebih dari empat belas tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 29 September 1996. Dari sekian banyak kenangan yang saya miliki bersama beliau, ada satu yang sungguh berkesan, yang selalu muncul pertama kali dalam ingatan saya setiap kali kini saya terkenang kembali akan beliau.


Suatu ketika, ketika saya masih duduk di bangku kuliah, sekitar tahun 1992-1993, saya dimarahi ibu saya lantaran hal sepele: Beliau menanyakan saya jam berapa. Saat itu sore, dan Mama, demikian saya memanggil beliau, sedang menekuni kebiasaannya hampir setiap sore, yaitu duduk merajut di teras rumah ditemani segelas teh hangat. Saya yang sedang berada di dalam rumah bergegas ke teras untuk menanyakan apa yang Mama tanyakan ke saya, karena saya tidak terlalu jelas mendengarnya.


Bukannya jawaban yang lembut yang saya terima dari Mama, melainkan omelan. Saya disangka Mama tidak tahu jam. Saya memang ketika masih sekolah dasar tidak mengerti hitungan waktu, yang diajarkan dalam pelajaran berhitung; dengan kata lain, saya buta waktu! Tetapi seiring perkembangan kecerdasan saya, saya pun dapat mengerti. Hanya saja, rupanya Mama tidak mengikuti perkembangan itu, sehingga ketika putra semata wayangnya (saya anak kedua dari empat bersaudara dan satu-satunya laki-laki) tidak mendengar jelas pertanyaan beliau tentang jam, dikira beliau saya tetap belum mengerti hitungan waktu. “Sudah kuliah kok tetap nggak ngerti jam?!” kata Mama, yang di telinga saya terdengar sinis.


Mama tidak mau menerima penjelasan saya, dan bersikukuh bahwa saya ‘memalukan’ lantaran tidak mengerti hitungan waktu. Terdorong oleh emosi lantaran sakit hati diejek sedemikian rupa oleh sosok yang sangat saya cintai dan hormati itu, saya membentak Mama hingga beliau terdiam. Lalu saya bergegas menuju kamar saya dan mengepak pakaian ke dalam tas ransel saya. Saya berniat untuk tidak berada serumah dengan ibu saya yang tentunya memendam amarah terhadap putra semata wayangnya yang telah durhaka ini.


Keesokan harinya, saya berangkat kuliah ke Depok, Jawa Barat, tanpa berpamitan ke Mama terlebih dahulu. Telah menjadi kebiasaan saya dan saudara-saudara kandung saya untuk mencium punggung tangan kanan kedua orang tua kami ketika akan bepergian, tetapi hari itu saya mengingkarinya. Saya bertekad untuk menghindari Mama dengan tinggal di kos saya di Margonda, Depok, sekitar sepuluh meter dari Stasiun Universitas Indonesia, di mana saya menempuh pendidikan sarjana saya.


Saya tinggal di kos itu selama sebulan, dengan uang saku hanya sedikit karena saya malu minta uang pada Mama ketika minggat dari rumah, dan seiring waktu jumlahnya terus menipis. Uang saku yang ada pada saya saat itu adalah honor saya dari menulis artikel di majalah. Dalam rangka berhemat, maka setiap hari selama ‘masa minggat’, untuk sarapan, makan siang dan malam saya hanya menyantap semangkuk mie instan dengan telur dan sawi, yang kala itu masih seharga Rp 700 per porsi. Sebulan penuh, perut saya hanya diisi mie instan!


Di penghujung bulan, saya memutuskan untuk pulang ke rumah orang tua saya, karena uang saku saya sudah ludes, sementara saya harus membayar uang sewa kamar kos sebesar Rp 25.000 per bulan. Setibanya di rumah, saya menjumpai orang tua dan saudara-saudara kandung saya sedang berkumpul di ruang keluarga, bersantai, dan masing-masing anak menceritakan pengalaman hari itu kepada kedua orang tua saya. Hal semacam itu telah menjadi tradisi di keluarga kami.


Mama tidak mau menegur saya, begitu pula saya tidak mau bertegur sapa dengan beliau. Dengan santainya dan sedikit bangga, saya bercerita ke saudara-saudara kandung saya bahwa selama di kos saya hanya makan mie instan, pagi-siang-malam, sebulan penuh. Saya perhatikan, tiba-tiba Mama beranjak dari kursi di mana ia duduk dan beringsut ke kamar tidur beliau, disusul ayah saya.


Beberapa jenak kemudian, Bapak, panggilan saya untuk ayah saya, keluar dari kamar dan memanggil saya. Beliau menegur saya dengan berbisik, “Mama-mu sedih tuh... Cepat minta maaf sana!”


Dengan agak enggan saya beranjak menuju kamar orang tua saya, di mana saya menjumpai Mama sedang membaca Al Qur’an sambil duduk di atas ranjang. Saya pun bersujud sungkem di hadapan Mama dan memegang tangan kanan beliau seraya mengucapkan permintaan maaf dengan sungguh-sungguh karena saya telah menyakiti hati beliau. Berurai air mata, Mama menarik saya ke dalam pelukan beliau dan mendekap saya erat, penuh kasih. “Lupakan kejadian waktu itu, Anto. Mama nggak marah sama kamu. Mama sayang sama kamu. Dan Mama sedih mendengar kamu makan mie instan sebulan,” kata Mama, terisak. Saya pun ikut menangis.


Sungguh besar kasih sayang Mama kepada saya, walaupun saya telah berdurhaka kepada beliau. Kasihnya spontan, tak mengenal batas, dan tak berpamrih. Seperti kasih yang dicurahkan Tuhan kepada ciptaanNya. Berkat makan mie instan selama sebulan, saya menemukan kenyataan bahwa kasih ibu bersifat alami dan spontan.Ó




Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 6 Mei 2011