Tuesday, September 18, 2012

Kembara Pikiran (2)*



“Kita terbentuk oleh pikiran-pikiran kita; kita menjadi apa yang kita pikirkan. Jika pikiran itu suci, suka-cita akan mengiringi seperti bayangan yang tak pernah pergi.”
Buddha


PAGI hari pada Sabtu, 4 Februari 2012, lalu saya sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kantor guna menyelesaikan perbaikan atas suatu naskah laporan tahunan klien yang tenggat waktunya Senin pagi, 6 Februari 2012, ini. Sejak Jum’at pagi saya sudah merencanakan bahwa Sabtu itu akan saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk menyelesaikan perbaikan tersebut.

Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan jualah yang menentukan apakah rencana itu dapat terwujud atau tidak. Maksud hati saya mau lembur sejak pagi, apa daya saya malah diminta kerabat saya untuk menebus tunggakan sewa rumahnya di Kukusan, Depok, Jawa Barat, serta mengambil barang-barangnya yang disandera pemilik rumah sebagai jaminan dan memindahkannya ke rumah saya di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Mengira bahwa hal itu akan berlangsung cepat, saya pun menyanggupinya.

Perkiraan dan rencana merupakan produk pikiran, yang bila dibiarkan tak terkendali akan membuat kita khawatir dan cemas tak karuan. Itu yang saya alami, ketika saya menemui kenyataan bahwa proses penyelesaian pembayaran sewa dan pengambilan barang-barang milik kerabat saya itu tidaklah semudah dan secepat yang saya bayangkan. Ada saja kendalanya. Tinimbang larut dalam kecemasan, membayangkan bahwa pekerjaan saya sendiri bakal tidak berhasil mencapai tenggat waktunya, saya pun berdoa, memohon agar Tuhan memberikan saya pengertian bahwa keadaan itu mengandung rencanaNya untuk saya.

Saya pun menenangkan dan merasakan diri, suatu hal yang selalu saya lakukan sebelum berbuat dan berkata, berpikir dan berperasaan. Saat itulah saya menggapai pengertian mengapa Sang Buddha selalu menganjurkan agar kita hidup di saat ini, di momen ini, dan tidak menyesali masa lalu maupun mengangan-angankan masa depan. Konteks masa lalu yang saya pegang adalah ujaran salah seorang dosen saya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI, sekarang FIBUI atau Fakultas Ilmu Budaya UI): “Sedetik yang lalu pun adalah sejarah!”

Ungkapan ini pun, dalam konteks ini, saya terapkan untuk masa depan; bahwa masa depan adalah sedetik dari saat ini, yang tidak perlu saya risaukan. Sang Buddha menganjurkan agar kita selalu melepas (release) dan merelakan apa saja yang sudah, sedang dan akan terjadi, karena dengan demikian kita dapat hidup secara meditatif—berfokus penuh pada apa yang sedang kita perbuat, katakan, pikirkan dan rasakan.

Sebelumnya, saya membiarkan diri saya takluk pada kembara pikiran (wandering thoughts) saya sendiri mengenai apa yang akan terjadi pada Senin ini: Account executive butik kreatif yang memakai jasa saya akan marah besar, tidak puas dengan cara kerja saya yang pengelolaan waktunya payah, serta klien yang memaki-maki ketidakbecusan saya! Hal itu benar-benar melelahkan. “Benar perkataan Sang Buddha. Sekarang aku mengerti mengapa beliau menganjurkan demikian!” batin saya.

Selama sisa hari itu saya merasa gembira dan bahagia, bukan saja oleh pencerahan batiniah yang saya dapatkan mengenai bahaya kembara pikiran, tetapi juga oleh keadaan ‘mengada saja’ (simply be) yang saya rasakan saat itu. Segala sesuatu seperti air bening yang mengalir hening, walaupun perjalanan saya dari Depok ke Mampang Prapatan naik mobil pikap yang sempit dan panas di samping sopir yang merokok sepanjang jalan, dikepung kemacetan yang parah dan hujan yang membasahi barang-barang yang saya angkut di bak pikap tersebut. Saya tidak merasa lelah; yang ada hanya senang, tenang dan menang! Bahkan ketika baru menjelang senja saya sampai di kantor kejernihan pikiran saya membantu saya menemukan bahwa naskah yang sudah dicoret-coret klien tersebut lebih banyak akibat kesalahan klien sendiri, bukan kesalahan saya, yang memantapkan hati saya untuk menegur klien, tak peduli dia bisa marah karenanya!

Sungguh melelahkan dan menyusahkan mengikuti maunya pikiran yang mengembara ke mana-mana. Kita akan merasa tertekan oleh ketakutan-ketakutan yang tidak berdasar. Mending kita bergelayut pada sang jiwa yang melaluinya Tuhan mengucurkan bimbingan dan tuntunanNya!

Saya teringat pada mitra bisnis saya di Surabaya dahulu, yang sepanjang jalan menuju kantor klien untuk menghadiri rapat atau presentasi selalu merencanakan terlebih dahulu apa yang akan dikatakannya. “Kalau nanti client ngomong gini, aku harus bilang apa, Mas? Atau gini aja, Mas Anto, sampeyan ngomong begini dan begini, entar aku backup begitu dan begitu.” Saya cuma menukas, bahwa dia tidak perlu merisaukan apa pun dan biarkan waktu yang berbicara. Yang penting, kami serius dalam mengerjakan suatu pekerjaan, yang dengan begitu sebenarnya kami menguasai konten materi maupun subyeknya. “Whatever will bewill be-lah,” kata saya agar dia diam. Kenyataannya, apa yang ia risaukan dan rencanakan dengan pikiran yang mengembara ke mana-mana toh tidak pernah terjadi.

Sepupu saya yang rajin salat mengaku tidak pernah bisa salat dengan khusyuk. Saya tanya apa yang merisaukan pikirannya. Dia bilang, tidak ada. Saya ubah pertanyaannya: Mengapa kamu salat?

Pertanyaan itu ternyata ampuh untuk memancing sepupu saya berterus-terang tentang duduk persoalannya. Ia sedang menghadapi masalah hidup yang berat, dan tidak menemukan jalan lain selain mengadu kepada Tuhan di atas sajadah.

“Kalau mau menghadap kepadaNya, kamu harus suci. Suci bukan sekadar dengan berwudu membersihkan badan lahiriah, tapi juga badan batiniah. Kamu harus benar-benar kosong dari apa pun selain Allah! Salatlah dengan perasaan sabar, ikhlas dan tawakal. Tawakal itu artinya ‘mewakilkan’ semua masalah, hidup dan mati kamu kepadaNya. Tanggalkan pikiran kamu yang mengembara tanpa arah. Lepaskan dan relakan. Let golet God!” kata saya, mengutip kata-kata seorang Sufi untuk menasihati dia yang pikirannya amat kemrungsung (kacau).

Sekarang, bila pikiran Anda sedang berwisata ke destinasi yang tidak jelas nan berbahaya bagi kesehatan jasmani dan rohani Anda, tenangkan diri Anda dan mengembaralah ke jagat diri yang senantiasa dicahayai petunjukNya.©


Mampang Prapatan XI, Jakarta Selatan, 6 Februari 2012


*) Catatan berjudul sama pernah saya tulis jauh sebelum ini, namun dengan konten yang sama sekali berbeda. Untuk membedakannya, saya cantumkan angka ‘2’ di sebelah judul di atas.

No comments: