Sunday, April 10, 2022

The End of Theory

Teori begitu diagungkan manusia

Belum ilmiah suatu penjelasan bila teori tak ada

Tapi kenapa ia harus mengada,

jika keberadaannya toh selalu ditopang realita?


Realita terkandung dalam diri tiap manusia

Tak perlu teori untuk menggalinya

Hanya Jiwa, yang selalu bakti kepadaNya,

tak pernah bertanya mengapa


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 8 April 2022

Thursday, April 7, 2022

Mulai Dari Akhir


KEMARIN siang, 7 April 2022, kiriman buku dari saudara Subud saya di Surabaya tiba di rumah saya. Buku yang menceritakan perjalanan firma arsitektur CV Andy Rahman Architect yang berbasis di Sidoarjo, Jawa Timur. Saudara Subud ini, Heru Iman Sayudi namanya, adalah seorang praktisi komunikasi yang bersamanya saya berkiprah pada dua tahun terakhir saya di Surabaya, dan juga orang yang dituntun Tuhan untuk mengantarkan saya masuk Subud. Ia berperan sebagai konsultan bagi proyek buku ini.                                             

Ditulis oleh Anas Hidayat dengan sang arsitek sebagai konseptornya, buku ini ditulis dengan gaya yang unik, menitikberatkan pada penceritaan yang tidak membosankan, tanpa teori-teori arsitektur, serta menekankan perenungan dan spiritualitas Andy Rahman yang ia alami melalui pekerjaannya. Seperti inilah seharusnya anggota Subud melakoni enterprise sebagai gerak hidup yang tertuntun Latihan Kejiwaan, sedangkan Andy Rahman bukan anggota Subud.

Andy Rahman tercerahkan saat bertemu dengan para seniornya di Ikatan Arsitek Indonesia Jawa Timur tahun 2016, dimana ia mendengar ucapan bahwa “arsitektur sebagai jalan untuk kembali (ke Tuhan)”.

Heru Iman Sayudi
Inspirasi untuk judul Mudakhir atau “Mulai Dari Akhir” kabarnya berasal dari penerimaan kejiwaan si konsultan, yang di PPK Subud Cabang Surabaya tercatat sebagai pembantu pelatih. Cerita sang konsultan via telepon ke saya dua bulan lalu, tentang bagaimana ia mendapatkan ide untuk judulnya dan makna dari “mulai dari akhir”, mengingatkan saya pada obrolan dengan beberapa saudara Subud di teras timur Hall Subud Cilandak, Wisma Subud Jl. RS Fatmawati No. 52, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Obrolan itu menyimpulkan bahwa—berbeda dengan laku-laku spiritual lainnya maupun agama-agama pada umumnya yang menempatkan pencerahan atau kebangkitan kesadaran sebagai tujuan akhir, didahului oleh proses yang panjang dan berliku—melalui Latihan Kejiwaan seseorang mengalami pencerahan atau kebangkitan kesadaran terlebih dahulu, baru kemudian berproses. Latihan Kejiwaan selalu mulai dari akhir.©2022


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 8 April 2022 

Wednesday, April 6, 2022

Perintah dan Larangan

PERINTAH dan larangan merupakan ciri ajaran agama. Tuhan memerintahkan hambaNya, Tuhan melarang hambaNya. Jika menaati perintah dan laranganNya, seorang hamba akan selamat di dunia dan akhirat. Konon, perintah dan larangan itu berasal dari Tuhan. Saya katakan “konon”, karena tidak menyaksikan sendiri apakah benar Tuhan berbicara langsung kepada orang yang menerima wahyu.                        

Subud bukan agama. Karena bukan agama, maka tidak ada perintah dan larangan di Subud. Satu-satunya larangan, gurau satu saudara Subud ke saya, adalah “dilarang parkir” – kebanyakan tempat anggota berlatih kejiwaan tidak memiliki areal parkir kendaraan roda empat atau terbatas ruangnya. Satu pembantu pelatih berkebangsaan Amerika Serikat yang telah tinggal di kompleks Wisma Subud Cilandak sejak 1970an, yang karena itu pernah sering mengalami langsung interaksi dengan Pak Subuh, menyampaikan bahwa Bapak mengatakan, hanya ada satu wajib di Subud, yaitu wajib tertawa, dan hanya ada satu larangan, yaitu dilarang depresi.

Subud bukan agama, sehingga tidak ada perintah dan larangan yang wajib ditaati. Tetapi, melarang anggota Subud melakukan apa yang diajarkan agamanya sama saja menjadikan Subud agama, karena agama sarat dengan perintah dan larangan. Seyogyanya, bebas-bebas saja. Seperti apa yang saya alami baru-baru ini dengan satu saudara Subud, yang mengkritik perihal adanya kegiatan salat pada daftar acara sebuah perhelatan Subud di bulan Ramadan tahun 2022. Menurutnya, acara Subud seharusnya murni kejiwaan, tidak boleh ada kegiatan terkait agama.

Merespons kritiknya, saya katakan padanya bahwa meskipun dicantumkan sebagai agenda pada suatu acara, anggota bebas mau mengikutinya atau tidak, dan juga tidak memaksakan kehendaknya pada orang lain yang memilih untuk melakukannya. Jangankan ritual agama, kegiatan kejiwaan seperti Latihan Kejiwaan, mendengarkan ceramah, dan/atau sarasehan kejiwaan saja tidak wajib bagi anggota untuk menghadirinya atau melakukannya.

Entah sudah berapa kali saya tidak menghadiri pemutaran rekaman ceramah Bapak dan ceramah live dari Ibu Rahayu. Saya hanya mengikuti tuntunan dari dalam, yang tidak melulu mau menghadiri ceramah, betapapun pentingnya isi ceramahnya. Lagipula, berbeda dengan ceramah di agama, ceramah Bapak dan Ibu Rahayu bukanlah ajaran, dan tidak perlu dipercaya kalau kita belum mengalami sendiri.

Di Subud, segalanya bersifat pribadi. Anda mau maju atau jalan di tempat, mau “naik kelas” atau blangsak, mau mulia atau tidak, tidak ada yang bisa dan boleh memaksa Anda. Masing-masing pelatih kejiwaan Subud menerima bimbingan yang sifatnya berbeda-beda untuk setiap orang. Betapapun baiknya bimbingan yang diterima seseorang, tidak serta-merta baik pula bagi orang lainnya. Inilah sebabnya mengapa Bapak menegaskan bahwa Subud bukan agama. Karena Subud beragam, sedangkan agama mengharuskan seragam.

Bila agama merupakan pedoman bagi manusia untuk melakoni hidupnya, maka, menurut saya, agama yang dijunjung di Subud adalah “agama pribadi”, yaitu pedoman hidup berdasarkan bimbingan Tuhan yang diterima setiap pelatih kejiwaan, dengan perintah dan larangan yang bersifat pribadi; berbeda antara satu orang dengan yang lainnya.©2022


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 April 2022
 

Tuesday, April 5, 2022

Besar-Kecilnya Hanyalah Sudut Pandang

 

KA Lokal Bandung Raya melintas di tengah persawahan di daerah Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada 2 April 2022. (Foto oleh: Purwata Yuda Syarifudin)


BESAR-kecilnya masalah yang kita hadapi tergantung pada sudut pandang kita. Bila kita berfokus pada masalahnya, maka masalah itu akan semakin besar, sampai lupa pada Yang Maha Besar yang selalu menyertai kita di mana pun dan kapan pun. Seperti jantung pisang dalam foto di atas—dari sudut pandang yang melihatnya tampak lebih besar daripada rangkaian kereta api di latar belakangnya. Padahal kita semua tahu, jantung pisang itu tidak ada apa-apanya dibandingkan ukuran besarnya kereta api.

Kalaupun mau fokus pada jantung pisang (baca: masalah), pakailah pola pikir yang bermanfaat. Melihat jantung pisang seperti itu, timbul pemikiran saya untuk mengolahnya menjadi Tumis atau Gulai Jantung Pisang yang lezat.

Selamat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Semoga dengan kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan kita dalam menjalankannya memberi kita kebaikan dalam segala hal. Amin.©2022

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 6 April 2022