Wednesday, September 19, 2012

Kembali ke Dasar


“Mundur selangkah untuk maju dua langkah.”
—Anonim


Baru-baru ini, melihat saya menenteng buku Kleppner’s Advertising Procedure, seorang kawan berkomentar, “Lu kan udah jago, pengalamannya banyak. Masak masih harus baca buku advertising?”

Buku tersebut didaulat sebagai kitab sucinya insan periklanan Indonesia karena isinya, yang mencakup bidang-bidang pokok dari spektrum periklanan modern, membahas dasar-dasar bisnis periklanan, walaupun di negeri asalnya, Amerika Serikat, buku yang terbit pertama kali pada tahun 1925 itu merupakan diktat kuliah mahasiswa jurusan periklanan dan pemasaran.

Kepada kawan itu, saya mengingatkan saat kami masih aktif berlatih seni bela diri Korea, Taekwondo, di bangku sekolah menengah atas. Walau kami sudah menyandang sabuk di atas sabuk putih, yang dikenakan para pemula, sekalipun setiap kali latihan saya harus kembali ke dasar, yaitu berlatih teknik-teknik pukulan, tangkisan dan tendangan yang diperuntukkan bagi pemegang sabuk putih.

Proses kembali ke dasar (back to basics) itu, dalam Taekwondo, adalah untuk mengetahui asal-usul sebuah teknik atau jurus sehingga kita dapat mengembangkannya atau berimprovisasi dengannya, maupun untuk mengasah kecepatan dan ketepatan. Tanpa mengenal dasar-dasarnya kita tak mungkin melakukan teknik/jurus lanjutan dengan baik dan benar.

Ini berlaku pula dalam berbagai bidang pekerjaan maupun kehidupan. Ekspresi ‘melanggar aturan’ yang kerap dipraktikkan oleh para pakar di bidang masing-masing tidak bisa serta-merta diterapkan sebelum kita memahami aturan-aturan dasarnya. Tanpa mengetahui aturan-aturannya, dengan mengamalkannya, tidak bisa disebut ‘melanggar aturan’, bukan? Proses kembali ke dasar ini pada hakikatnya melambangkan bahwa manusia seyogianya tidak melupakan asal-usul segala sesuatu, termasuk dirinya.

Konon, kesejatian manusia terletak pada sifat-sifatnya ketika ia masih bayi dan kanak-kanak antara usia 0 hingga 7 tahun. Dalam usia itu, manusia umumnya belum terkontaminasi dunia yang serba materialistis, memuja kebendaan, serta sarat nilai-nilai yang tidak hakiki. Usia 0 sampai 7 tahun dianggap usia yang suci, di mana manusia belum mengalami kemelekatan. Diyakini bahwa ketika masih bayi manusia dituntun oleh jiwanya, bukan akal pikirnya atau nafsunya, sehingga tak seorang pun dapat mengingat masa ketika dirinya masih bayi.

Sukses atau kaya bukan atribut sejati manusia; ia tidak dilahirkan dengan bekal untuk menjadi sukses dalam menjalani hidupnya—ia dilahirkan hanya dengan bekal untuk menjalani hidup, lantaran sukses atau gagal merupakan nilai-nilai dunia yang ditempelkan (diajarkan) oleh lingkungan budaya di mana ia dilahirkan, yang lambat-laun akan membuat ia meyakini bahwa itulah kebenaran hakiki dari hidupnya sebagai manusia, sehingga itulah yang senantiasa ia kejar.

Kebahagiaan pun demikian. Dalam Buddhisme diajarkan bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dikejar. Diajarkan kepada penempuh jalan sang Buddha bahwa manusia itu seharusnya menjadi bunga, yang berdiam diri (semadi) dalam kekinian, jumbuh dengan keadaan dan kondisi, sehingga keindahan dirinya yang terpancar dari sikap seperti itu akan mengundang kupu-kupu kebahagiaan menghinggapinya.

Kebahagiaan datang pada mereka yang tidak mencarinya atau mengejarnya. Hal ini melambangkan bahwa kebahagiaan itu sudah tertanam dalam diri manusia sejak awal penciptaannya, sehingga tidak diperlukan unsur-unsur dari luar untuk membangunkan kebahagiaan pada dirinya.

Keadaan kosong, Titik Nol, yang kita capai melalui berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal kepada kehendak Yang Maha Kuasa, mewujudkan wihdatul iradah (berjodohnya kehendak manusia dengan kehendak Tuhan) yang sempurna, merupakan retribusi manusia dalam upayanya kembali ke dasar, meraih kembali kesejatian dirinya yang tertuntun oleh jiwanya. Ini bukan sikap pasif, yang fatalistik (menyerah pada nasib), melainkan sikap proaktif kita untuk menapaktilasi asal-usul kita sebagai makhluk yang dalam menjalani hidup sejatinya harus senantiasa sejalan dengan lingkungan di mana kita berada dalam suatu waktu.

Setiap orang perlu sekali waktu atau setiap waktu kembali ke dasar untuk menggali dan menemukan hakikat dirinya dan peristiwa atau keadaan yang melingkupi dirinya, yang dengan demikian dapat mengungkap hikmah-hikmah yang tersembunyi di baliknya. Itulah momen kita untuk menggapai hakikat kemanusiaan kita—bahwa kita sejatinya makhluk fitrah.©


Mampang Prapatan XI, Jakarta Selatan, 22 Agustus 2011

No comments: