Wednesday, September 19, 2012

Hidup untuk Melayani



“Kekayaan, seperti halnya kebahagiaan, tidak akan dapat dicapai jika dikejar secara langsung. Ia merupakan produk tambahan dari pemberian layanan yang bermanfaat.
Henry Ford  


Bidang pekerjaan saya—komunikasi merek, yang dianggap termasuk ranah dukungan pemasaran (marketing support), acap menghadapi pemasar (marketer) atau pengiklan (advertiser) yang membagi industri mereka ke dalam dua kategori: industri manufaktur (pembuat) dan industri jasa (melayani konsumen). Sehingga, atas dasar itu, perusahaan komunikasi merek, dalam hal ini tim kreatif beserta perencana strategis dan perencana media, diharapkan membedakan bahasa dan media komunikasi yang digunakan untuk masing-masing kategori. Industri manufaktur dianggap memiliki produk yang wujud (tangible), sedangkan industri jasa dipandang sebagai penyedia produk tak-wujud (intangible).

Sesungguhnya, jika ditilik lebih jauh, kedua industri hadir hanya untuk melayani pihak lain, atau yang dewasa ini dikenal sebagai pemangku kepentingan (stakeholder). Tidak ada industri yang eksis tanpa kepentingan untuk melayani kebutuhan pihak lain. Dan hakikatnya, hidup ini pun mengharuskan segala sesuatu di dalamnya untuk melayani kebutuhan yang lain, saling menunjang, saling melengkapi, saling menghidupi! Hidup ini, sejatinya, adalah untuk melayani.

Penulis melayani kebutuhan pembaca akan bacaan yang bermutu, desainer grafis melayani kebutuhan akan penataan visual yang artistik yang pada gilirannya memuaskan pemirsa, seniman melayani penikmat seni, orang tua melayani kebutuhan anak-anak akan kasih sayang, guru melayani kebutuhan murid akan ilmu. Lebih luas lagi, angin melayani kebutuhan makhluk untuk beroleh kesejukan, menjadi sumber pembangkit listrik, membantu anak-anak bermain layangan, membantu pelayaran, dan lain-lain. Api melayani kebutuhan untuk memasak makanan, menghangatkan dunia, membuat uap dari air, dan lain-lain. Air memuaskan dahaga, menyiram tanaman yang pada gilirannya menghasilkan buah untuk melayani pemangku kepentingannya, yaitu manusia dan hewan.

Pendek kata, ada rantai layanan dalam hidup kita ini. Yang satu melayani yang lain, yang lain melayani yang lainnya lagi, hingga kembali ke yang satu itu. Berputar terus dalam pola lingkaran. Dengan demikian, tidak ada satu pun di dalam hidup ini—maupun dalam mati—yang tidak ada gunanya. Semua ada gunanya, dan saling melengkapi. Albert Einstein mengatakan bahwa Tuhan tidak melempar dadu; artinya dalam menciptakan hidup dan kehidupan di dalamnya Dia tidak melakukannya untuk kesia-siaan, untuk sekadar menebak apa keluarannya (outcome) dari segala perbuatan dan pemikiran, perkataan dan perasaan manusia beserta makhluk-makhluk lainnya.

Semua yang diciptakan Tuhan untuk hidup dan kehidupan ada maksudnya. Soal apakah maksud itu tampak nyata atau tersembunyi, sehingga kita harus menggalinya terlebih dahulu lewat berbagai laku kehidupan yang tak jarang bersifat keras dan berat, itu urusan belakangan. Jalani saja hidup ini dengan sikap berserah diri yang sabar, ikhlas dan tawakal. Terus berusaha dengan memanfaatkan segala sumber daya, tetapi menyerahkan hasilnya kepada Tuhan.

Karena hidup adalah untuk melayani, maka, sebagaimana para pekerja di industri manufaktur dan jasa, kualitas merupakan prasyarat utama. Eksistensi kita dalam hidup ini sudah pasti ada manfaatnya, tetapi agar manfaat itu memiliki karakteristik keberlanjutan (sustainability), kita pun wajib senantiasa meningkatkan kualitas dari manfaat itu. Tanaman buah, misalnya, memang memberi manfaat kepada makhluk lain lewat produknya (buah yang bisa dimakan), tetapi agar bisa melayani lebih banyak lagi pemangku kepentingan maka kualitas si tanaman buah harus ditingkatkan, misalnya dengan diberi pupuk atau dirawat secara khusus demi menghasilkan buah yang lebih banyak jumlahnya, lebih segar dan lebih banyak kandungan gizinya.

Sebagai manusia, kita dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri, agar kebermanfaatan kita dapat menjangkau lebih banyak pemangku kepentingan. Tuntutan itu tidak hanya berasal dari orang lain, tetapi juga dari diri sendiri, karena masing-masing kita memiliki kebutuhan untuk mengaktualisasi diri. Dan pada gilirannya, dampak dari aktualisasi diri kita dapat dirasakan oleh orang lain.

Karena latar belakang saya adalah penulis naskah materi komunikasi pemasaran dan korporat (copywriter), maka saya sering mengamati tulisan-tulisan karya orang lain. Tak jarang saya menjumpai tulisan-tulisan yang menafikan perannya untuk melayani kebutuhan pembaca. Bukan hanya tulisan-tulisan yang resmi atau untuk dijual, tetapi juga tulisan-tulisan kasual dan pribadi, seperti surat cinta atau puisi atau pesan singkat lewat telepon seluler atau surat elektronik (e-mail). Maksud hati menyambung tali silaturahmi, apa daya malah memutuskannya.

Ada penulis yang mengabaikan tanda baca, susunan kalimat yang berantakan atau tidak relevan satu sama lain, penggunaan istilah yang tak jarang hanya dimengerti oleh penulisnya, pembagian alinea yang tidak jelas atau alinea yang mestinya bisa dibagi menjadi beberapa bagian malah dijadikan satu, sehingga pembaca tidak diberi kesempatan untuk istirahat sejenak dan merenungkan tulisan itu. Saran saya kepada Anda yang ingin menjadi penulis: Bila Anda tidak memiliki spirit melayani pembaca, jangan deh jadi penulis!

Ini berlaku bagi semua bidang pekerjaan; jika Anda tidak punya semangat melayani pemangku kepentingan dari pekerjaan Anda, sebaiknya jangan lakukan pekerjaan itu. Sia-sia saja, dan pada akhirnya toh Anda akan mengalami kejenuhan dengan pekerjaan yang tidak ada manfaatnya sama sekali, walaupun Anda digaji. Karena tampaknya sudah menjadi kodrat bahwa kita ini makhluk yang butuh dilayani oleh orang lain, dalam wujud yang tidak melulu uang, tetapi, yang lebih penting, juga pengakuan yang sifatnya tak-wujud.(AD)


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 7 Mei 2011

No comments: