Friday, February 7, 2014

Tiada Hutan, Tiada Masa Depan!

Saya bersama Yakobus, warga Kampung Aurina II, Distrik Airu, Kabupaten Jayapura, Papua, di tengah hutan hujan Mamberamo. Perhatikan perlengkapan berburu di tangan Yakobus yang masih primitif.
DESEMBER 2008, saya mendapat pengalaman yang kelak saya disadarkan akan keunikannya. Pada awal bulan itu, saya mendapat penugasan ke daerah di KalimantanTimur yang dekat dengan perbatasan RI-Malaysia, untuk syuting profil video sebuah perusahaan kontraktor pertambangan. Tiga hari saya bersama tim berada di pedalaman, di tengah hutan yang di beberapa titiknya muncul penambangan batubara terbuka (open pit coal mining) dan perkebunan sawit.

Baru pertama kali itu saya benar-benar menyaksikan dengan mata kepala sendiri yang namanya hutan hujan (rainforest). Dan di tengah hutan itu saya merayakan ulang tahun saya yang ke-41 keesokan harinya. Klien saya secara khusus menggelar pesta untuk saya pada malam harinya, setelah sorenya mereka memberi saya kado spesial: Peledakan sebuah bukit yang mengandung batubara. Ketika saya membagi pengalaman ini di akun Facebook saya, banyak teman yang menyatakan iri—merayakan ulang tahun di tengah hutan merupakan sesuatu yang ternyata diimpikan banyak orang!

Tetapi saya saat itu tidak menyadari di mana letak keistimewaannya. Saya bukan pecinta lingkungan dan tidak menaruh perhatian yang serius pada kelestarian lingkungan hidup pada saat itu. Bila saat itu saya memiliki kepedulian terhadap lingkungan, tentu penambangan terbuka dan peledakan bukit yang saya ceritakan di atas akan membuat hati saya pilu.

Pada bulan Desember 2009, saya mendapat undangan dari Bupati Jayapura, Papua, untuk bersama beliau dan jajarannya serta wartawan dari berbagai media lokal dan nasional mengunjungi distrik paling terpencil dari Kabupaten Jayapura, yaitu Distrik Airu, yang hanya dapat dicapai dengan berperahu motor selama delapan hingga sepuluh jam menyusuri Sungai Nawa. Sungai Nawa merupakan daerah aliran sungai dari sungai terlebar dan terbesar dalam volume air di Indonesia, yaitu Mamberamo.

Perjalanan panjang dengan perahu bermotor yang panjang namun sempit—selebar badan saya—itu melewati kawasan lembah Mamberamo yang merupakan rumah bagi hutan hujan yang sangat luas dan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Di tempat itulah pertama kali saya menyaksikan secara langsung burung kakaktua dan elang botak, rusa bertanduk (antler) dan babi hutan di habitat aslinya, dan bukan di kebun binatang.

Pengalaman di Mamberamo ini membuka pintu kesadaran saya akan pentingnya hutan, dan bahwa masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh kelestarian hutannya. Kesadaran itu membuat saya mengerti mengapa perayaan ulang tahun saya di tengah hutan Kalimantan Timur menimbulkan iri dari teman-teman saya; ternyata karena hutan itu memang istimewa. Selain sudah tergolong langka di dunia, hutan hujan itu menyediakan apa saja yang dibutuhkan manusia untuk hidup. Hutan hujan bahkan dijuluki “pabrik farmasi terbesar di dunia”, karena lebih dari seperempat obat-obatan alami ditemukan di situ.

Rasanya tidak berlebihan bila saya menyebut hutan itu masa depan kita. Tiada hutan, tiada masa depan! Saya memperoleh wawasan yang kian mendalam dan luas tentang manfaat hutan bagi kehidupan manusia setelah dua tahun belakangan ini terlibat sebagai penulis buku tentang perusahaan-perusahaan peraih PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup) Emas dari Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.

Hutan itu sarat daun hijau yang memproduksi klorofil atau zat hijau daun. Klorofil itu mengandung nutrisi-nutrisi yang membantu meningkatkan jumlah dan kualitas sel darah merah dalam tubuh, sehingga meningkatkan sirkulasi dan produksi energi yang lebih banyak. Selain itu, kandungan magnesium dalam klorofil membantu mengangkut oksigen ke semua sel dan jaringan dalam tubuh kita, dan juga merangsang sel-sel darah merah, yang meningkatkan pasokan oksigen. Entah apa jadinya kelangsungan hidup makhluk di bumi ini bila hutan hujan terpangkas habis.

Membayangkan bumi ini berkurang koleksi hutan hujannya sungguh mencemaskan saya. Terbayang masa depan, paling tidak, bangsa Indonesia tenggelam dalam wabah penyakit mematikan yang ditimbulkan oleh kekurangan klorofil. Harapan saya mulai beroleh dayanya kembali setelah menyaksikan—lewat pekerjaan saya menulis buku tentang perusahaan-perusahaan peraih PROPER Emasantara lain, upaya-upaya dunia korporasi dalam perlindungan keanekaragaman hayati. Berbagai upaya yang ditempuh Greenpeace South East Asia (GPSEA) juga mengembalikan nyawa harapan saya.

Program Protect Paradise dari GPSEA, yang bermisi perlindungan dan pelestarian hutan dan lahan gambut di Indonesia, memiliki potensi untuk membuat keanekaragaman hayati di negeri ini tumbuh secara alami dan berkelanjutan. Dengan demikian, akan tumbuh harapan bangsa Indonesia akan masa depan yang lebih cerah dengan insan-insan yang memiliki kualitas kesehatan yang optimal, yang mampu berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan dalam bidang ekonomi, sosial dan lingkungan hidup negeri ini!©


Kalibata, Jakarta Selatan, 7 Februari 2014 

Thursday, February 6, 2014

Mengorbankan Perasaan Sebagai Korban

“Jangan tinggal di masa lalu, jangan bermimpi tentang masa depan, pusatkan pikiran pada masa kini.”

—Buddha Gautama



SUATU pagi, di masa yang sudah lama berlalu, ibu saya tergopoh-gopoh dari dalam rumah mendatangi saya yang sedang duduk-duduk santai di teras. Saat itu, saya masih duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah pertama (SMP), sekitar tahun 1982-1983. Ibu saya, yang barusan membersihkan kamar tidur saya, datang dengan membawa serta penggaris segitiga plastik yang padanya tertempel label kertas bikinan saya sendiri, dengan tulisan hasil mesin ketik berbunyi “Colonel Anto Dwiastoro, 101st Airborne Division, U.S. Army”. Ibu saya sekalian mengeluhkan tingkah saya yang suka berkhayal seperti itu kepada ayah saya yang saat itu berada bersama saya di teras. 

Label kertas itu ciptaan saya yang berkhayal menjadi komandan tentara Amerika, dan itu amat mengkhawatirkan ibu saya, yang rupanya tidak mau kalau anaknya tumbuh sebagai tukang khayal. Serta-merta, ibu saya mencabut label itu dan menyobeknya. Tindakan beliau membuat saya amat marah dan membela diri, bahwa berkhayal tidaklah separah yang beliau bayangkan.

Pada waktu itu, saya merasa syok dan sangat tertekan, tetapi diam-diam saya tetap melestarikan kebiasaan saya berkhayal. Saya bertekad tidak mau merasa jadi korban (victim) dari kekurangmengertian orang tua saya terhadap yang namanya “berimajinasi”. Berkat saya keukeuh tidak mau mematuhi larangan berkhayal yang dikeluarkan ibu saya, 12 tahun sejak peristiwa itu saya sukses sebagai pekerja iklan yang syarat utamanya adalah kemampuan berimajinasi!

Tidak sedikit orang yang mengikatkan diri mereka pada peristiwa (yang dianggap) traumatis di masa lalu walaupun sudah melangkah di masa kini. Mereka membiarkan diri terpuruk jadi korban dari keadaan yang mereka hadapi di masa lalu, sehingga tidak atau kurang berani melangkah maju di masa kini. Ajaran atau nasihat keliru di masa lalu telah tertanam sedemikian dalam di benak mereka, dan itu yang mengendalikan diri mereka di masa kini. Ajaran/nasihat itu telah berkembang menjadi meme, atau “virus akalbudi” yang bereplikasi dengan sendirinya, yang hanya dapat dilawan oleh kehendak dari si “korban”.

Perasaan sebagai korban keadaan itu disebut viktimisme—dari kata bahasa Inggris victim yang berarti “korban”. Hambatan yang dialami sebagian orang dalam tumbuh-kembangnya secara fisik, mental dan spiritual kebanyakan memang disebabkan oleh faktor viktimisme. Seseorang yang merasa sebagai korban dari keadaan yang dihadapinya di masa lalu cenderung membuatnya selalu menyalahkan orang lain atau keadaan tertentu jika dirinya mengalami hambatan dalam prosesnya untuk maju.

Viktimisme menghancurkan masa depan kita. Setiap kali kita berpikiran bahwa masalahnya ada di luar sana, pikiran itulah masalahnya. Setiap kali Anda membungkus kehidupan emosional Anda dengan kelemahan orang lain atau situasi, Anda telah menyerahkan kebebasan emosional Anda kepada orang atau situasi itu dan mengizinkannya untuk mengacaukan hidup Anda. Masa lalu Anda telah menyandera masa kini Anda!

Meski syok dan merasa jengkel pada masa itu, saya tidak menyalahkan ibu saya yang melarang saya berkhayal. Justru larangan beliau menjadi daya yang mendorong saya untuk berusaha keras membuktikan bahwa kekhawatiran beliau tidak beralasan. Dan saya berhasil!

Apa pun yang pernah Anda alami di masa lalu tidak seharusnya Anda terikat padanya. “Masa lalu adalah guru kehidupan,” kata sejarawan dan filsuf Romawi kuno, Cicero. Petiklah pelajaran berharga darinya, dan bukannya takut melangkah di masa kini lantaran dihantui masa lalu. Sukses memang butuh pengorbanan; mulailah dengan mengorbankan perasaan sebagai korban yang menghinggapi Anda, yang menghambat langkah Anda untuk maju.©


Kalibata, Jakarta Selatan, 6 Februari 2014