Wednesday, September 19, 2012

Tergantung Niatnya


“Yang paling penting dalam hidup adalah niat.”
—Andrea Bocelli


Tujuh tahun lalu, seorang kawan yang sedang ditimpa ujian hidup yang berat suatu malam mengajak saya berkontemplasi di Masjid Sunan Ampel, SurabayaJawa Timur. Saya gemar berkontemplasi, tetapi untuk itu saya tidak melulu melakukannya di tempat ibadah, tetapi juga di tempat-tempat lain, termasuk di kantor saya, lantaran keyakinan saya bahwa Tuhan ada di mana-mana. Namun kali itu, karena saya tidak mau mengecewakann kawan saya yang ingin bertafakur di masjid, saya mengikuti saja kehendaknya.

Selama berada di masjid bersejarah di tengah perkampungan bernuansa Timur Tengah itu, selain berkontemplasi kawan saya juga menunaikan salat tahajud, sedangkan saya hanya celingak-celinguk kegerahan, yang bukan diakibatkan oleh cuaca panas, melainkan pemandangan pemujaan berhala yang sarat di dalam maupun di seputaran masjid, seperti salat menghadap makam Sunan Ampel dan keluarganya dengan terlebih dahulu membakar dupa serta berdoa sambil memegangi pilar-pilar kayu yang menopang atap masjid bercorak tradisional Jawa itu.

Ketika tiba saatnya salat Subuh, saya dan kawan saya bergabung dengan jemaah pria yang hendak menunaikan salat Subuh. Karena bingung mau menaruhnya di mana, kawan saya, yang bersama saya berposisi di barisan terdepan, akhirnya menyandarkan tas ranselnya di dinding masjid yang dihadapi barisan terdepan dari jemaah salat Subuh itu.

Usai salat, kawan saya ditegur pengurus masjid lantaran tas ransel itu mengganggu jemaah salat, karena dianggap ‘merintangi’ penghambaan mereka kepada Tuhan. Kawan saya bersikukuh bahwa semua itu tergantung niatnya. Logikanya, katanya, jika kita berniat hanya menghadap Allah, tentu kehadiran tas ransel itu seyogianya tidak mengganggu. Jika dianggap merintangi penghambaan, walaupun tas itu disingkirkan masih ada dinding yang sebenarnya juga merintangi, demikian kawan saya berpendapat sambil ngeloyor pergi, mengacuhkan si pengurus masjid yang hanya berdiri melongo sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Beberapa tahun lalu, sepupu saya minta diantarkan kepada kenalan saya, seorang ulama Muhammadiyah, lantaran ia gundah dengan pekerjaannya sebagai juru racik minuman beralkohol di sebuah kapal pesiar asing, sedangkan dalam agama yang dianut sepupu saya minuman yang memabukkan itu haram hukumnya. Ulama itu menanyakan niat sepupu saya dalam bekerja: Apakah mencari nafkah untuk menghidupi keluarga—yang dalam hal itu justru diberkahi Tuhan—atau berniat dengan sengaja mau membuat orang mabuk?

 Tentu saja sepupu saya menegaskan yang pertama, makanya ia gundah dan memerlukan bantuan solusi dari sudut pandang ahli agama. “Ya sudah, jalankan saja pekerjaan kamu. Tenang saja. Apabila ada orang yang mencap pekerjaan kamu haram, minta dia mencarikan pekerjaan yang halal. Kalau tidak bisa, suruh dia tutup mulut!” ujar sang ulama dengan tegas. Ulama yang lain pernah menyampaikan kepada saya bahwa dalam apa pun yang kita lakukan, dan kiranya bertentangan dengan nurani, jadilah seperti ikan di laut. Laut itu asin, tetapi ikan yang hidup di dalamnya tidak ikut menjadi asin, bahkan memberi banyak manfaat.

Niat itu melampaui sekadar kata dan bicara. Apalagi ucapan dalam bahasa yang tidak dimengerti peniat. Ucapan tanpa niat saja tak ada artinya, apalagi tindakan atau perbuatan yang tidak dilandasi niat, yang cenderung tidak mengarah ke mana-mana.

Niat itu dasar dari segala perkataan dan perasaan, pikiran dan perbuatan kita yang dilakukan secara sadar. Dan niat itu hanya berasal dari orang-orang yang menggunakan akalnya. Jika kita berbuat tanpa niat, itu tak ada bedanya dengan tindakan yang dikerjakan orang yang pikirannya tidak bekerja.

Niat itu ketetapan diri yang diteguhkan oleh hati, baik yang dilisankan maupun hanya dibatinkan. Kawan saya suatu ketika menyatakan pendapatnya bahwa sembahyang yang tidak didasari niat itu tidak ada gunanya. “Daripada tidak niat mending tidak sembahyang. Lha, kita sedang membohongi siapa kalau tidak niat tapi memaksakan diri untuk sembahyang karena khawatir dicerca orang lain? Kita mungkin bisa mengelabui sesama manusia, tapi bukankah Allah Maha Mengetahui isi hati?” ujar kawan saya.

Eratnya niat dengan perkataan dan perasaan, pikiran dan perbuatan sama eratnya dengan gula dan rasa manisnya. Manis gula segera terasa—dalam hitungan nanodetik—begitu kita menyentuhkan lidah kita pada gula. Jika perbuatan tanpa niat menjadi tak tentu arah, maka niat tanpa dibarengi tindakan menjadi tak ada gunanya. Niat itu seperti gagasan, yang akhirnya akan berkarat di dalam pikiran kita bila tak segera diwujudkan. Ide tentang membuat Catatan ini akan lumer bersama pikiran-pikiran lain yang memenuhi kepala saya jika saya tidak segera menuangkannya.

Untuk memahami apa yang saya sampaikan dalam Catatan ini pun Anda perlu berniat, entah untuk mendapat inspirasi, motivasi, atau untuk mencerca saya. Percayalah, itu akan menjadi kenyataan. Karena apa pun yang Anda dapatkan nantinya, semua tergantung dari niat Anda pada awalnya.§


Perak BaratKrembanganSurabaya Utara28 Agustus 2011

No comments: