Tuesday, September 18, 2012

“Save the Best For Last”


SUATU ketika, saya diajak kedua adik kandung saya makan di sebuah restoran bakmi terkenal di Jakarta. Memesan mie ayam jamur dan pangsit goreng, rupanya kedua adik saya mengamati ritual saya ketika menyantapnya: Kuah yang telah diberi sambal bersama baso dan pangsit gorengnya saya santap terlebih dahulu, kemudian ayam jamur dan sawinya. Melihat hal itu, adik bungsu saya berkomentar, “Ih, kalau saya sih kuahnya belakangan. Save the best for last gitu!”
                                      
Ternyata, bagi kedua adik saya, kuah kaldu ayam yang gurih merupakan bagian terbaik dari seporsi mie ayam. Terserahlah, itu selera mereka. Tetapi bagi saya, bagian terbaik dari mie ayam tentu saja adalah mienya, yang kenyal dengan tingkat kegurihan tepungnya yang tajam. Karena itu, mienya saya save for last (menyisakan untuk yang terakhir saya santap).

Setiap orang mempunyai hal-hal terbaik dalam hidupnya, dan mereka cenderung memeliharanya. Bahkan, jika memungkinkan, sampai mereka mati. Tetapi hidup tidak seperti itu; hidup tidak selamanya berjalan mulus, lancar, mudah dan baik. Karena hidup bukanlah hasil akhir, melainkan sebuah proses yang berkelanjutan sampai berhenti pada mati. Tidak ada manusia yang berhenti pada satu titik dalam hidupnya, yaitu titik pencapaian yang dicita-citakannya sehingga ia terdorong untuk berusaha menggapainya. Proses selanjutnya telah menanti untuk ditempuh setelah satu titik tergapai.

Bagaimanapun, yang jelas “yang terbaik” ada di bagian terakhir dari setiap proses. Seperti dijanjikan di kitab-kitab suci, bahwa di akhir setiap derita ada kabar gembira.

Saya teringat pada ucapan saudara SUBUD saya di Surabaya, yang menurut saya begitu menggugahnya sehingga saya pun tidak bosan-bosannya meneruskan kepada teman-teman, kenalan maupun kerabat saya. “Mau bayar sekarang atau bayar nanti?” kata dia, yang membuat siapa pun yang mendengarnya berhenti bicara atau bergerak, dan mulai merenung.

Kata-katanya itu terkait dengan proses “pembersihan diri” (self-purification) yang kita semua hadapi, baik sadar maupun tidak, dalam hidup kita. Kalau mau bayar nanti, berarti selama masih mampu secara lahiriah bersenang-senanglah, tidak perlu ingat dan mawas diri, sedangkan ketika tidak mampu lagi lantaran usia tinggal menanggung akibatnya. Atau, mau sebaliknya—bayar sekarang, agar nanti bisa hidup tenang.

Namun, tidak banyak orang yang mau “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Mereka mengira, umur mereka terlalu singkat untuk tidak memulai bersenang-senang sejak dini. Tetapi, saya kira, bersenang-senang bisa dimulai bahkan ketika penderitaan mendera, yaitu saat kita menyadari bahwa derita hanyalah bagian dari proses hidup, sebuah momen pembelajaran mengenal diri dan hubungannya dengan alam, yang di bagian akhirnya merupakan bagian terbaik yang tersisa, lantaran pada tahap itu kita biasanya memetik hikmah, pemahaman, pelajaran, dan hal-hal hebat lainnya, yang membuat kekayaan materi tidak begitu berarti lagi. Jadi, save the best for last-lah.©


Mampang Prapatan XI, Jakarta Selatan, 3 September 2012  

No comments: