Sunday, December 29, 2019

Kepribadian Ganda


SAYA kerap menyaksikan—entah nyata atau cuma halusinasi saya saja—bahwa diri pribadi saya mengikuti atau beradaptasi dengan situasi, kondisi, atau lingkungan di mana saya berada. Seperti pengejawantahan dari pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, saya menjadi pribadi yang sama sekali berbeda ketika saya berada di suatu tempat yang “mensyaratkan” saya untuk memiliki pembawaan tertentu; berbeda dari diri saya di tempat-tempat lainnya. Seakan saya memiliki kepribadian ganda.

Adaptasi itu, sebagaimana saya rasakan, bukan secara sengaja—bukan dibuat-buat, melainkan secara otomatis, tanpa saya harus mengusahakannya dengan bantuan nilai-nilai yang tertanam di akal pikiran saya. Bahkan acap kali saya tidak menyadari perubahan itu. Dan fenomena ini saya alami sejak saya dibuka di Subud, menerima Latihan Kejiwaan untuk pertama kalinya. Saya yakin, kekuasaan Tuhan melalui Latihan Kejiwaanlah yang memampukan saya demikian, karena sebagai manusia saya terlalu lemah untuk membuat diri pribadi saya berubah-ubah sewaktu-waktu, sesuai situasi, kondisi, dan lingkungan di mana saya berada pada suatu ketika.

Suatu ketika, di bulan Januari 2018, seorang saudara Subud dari Cabang Jakarta Selatan yang telah menerima dari saya buku berjudul Bakti Bagi Bumi: Kampung-Kampung Pelindung dan Pengelola Lingkungan (2017), yang kontennya saya yang tulis dan desain hingga cetaknya digarap LI9HT Brand—The IDEAS Company, berkomentar, “Om, saya sudah baca buku yang Om Anto tulis. Tulisannya kok beda ya di buku dengan di grup WhatsApp.”

Di perkumpulan persaudaraan kejiwaan Subud, terutama di Cabang Jakarta Selatan, saya memang dikenal sebagai orang yang suka membuat kekacauan, suka bikin ribut dan pertengkaran (walaupun di dunia maya), dengan menggunakan kata-kata yang tidak pantas, vulgar. Sehingga sebagian saudara Subud beranggapan bahwa saya tidak tahu hal lain selain membuat kekacauan dan berkata kotor. Sungguh amat berkebalikan dengan apa yang dibaca saudara Subud di atas dalam buku yang saya tulis—membahas tentang pemberdayaan kampung sebagai bagian dari mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Komentar saudara Subud tadi membuat saya merenung: “Iya-ya, kok kepribadian saya bisa berbeda di satu dan lain tempat?”

Sebagai konsultan penjenamaan (branding), bertemu dengan klien bukan hal baru bagi saya. Saya telah menghadapi yang namanya “klien” sejak saya berkarir di dunia komunikasi pemasaran, korporat, dan pembangunan berkelanjutan (sustainability communication) sejak tahun 1994. Di dunia profesional saya, saya tampil profesional sejalan dengan yang disyaratkan oleh tempat, situasi, dan kondisinya. Sebelum menerima Latihan Kejiwaan, bagaimanapun, sedikit banyak kepribadian saya di dalam maupun di luar ranah pekerjaan tidak jauh berbeda: Temperamental, ngototan, sulit menerima kritik dan hanya suka pujian, ngambekan, serta kurang bersemangat. Pokoknya, sama sekali tidak mencerminkan profesionalisme!

Nah, kepribadian seperti itu berubah sama sekali sejak saya aktif berlatih kejiwaan Subud. Baiklah, tidak “sama sekali”, karena di luar ranah pekerjaan, kadang saya masih menyuratkan kepribadian “negatif” seperti yang saya paparkan di atas. Tetapi di ranah pekerjaan, terutama saat berinteraksi dengan klien atau tim kerja, saya bisa menjadi pribadi yang sama sekali berbeda. Tidak saya buat-buat atau sengaja saya lakukan sebagai pencitraan, tapi benar-benar “dibuat seperti itu” tanpa melibatkan usaha dari pihak saya, alias otomatis, seakan ada dua atau lebih makhluk menghuni ruang di balik kemasan tubuh saya.

Perubahan kepribadian itu berlangsung dalam sekejap, dalam sekedip mata. Misalnya, saat bertemu klien yang ingin berkonsultasi menyangkut penjenamaan saya tampil benar-benar profesional, dengan segudang informasi berdasar pengetahuan dan pengalaman saya tumpahkan dengan lancar. Begitu pertemuan itu selesai dan saya sejenak menekuni diskusi-diskusi di grup WhatsApp (WA) Subud atau pasca meeting dengan klien saya pergi menjumpai orang-orang dalam situasi, kondisi, maupun lingkungan yang berbeda, bisa lho saya menjadi pribadi yang berbeda seratus delapan puluh derajat.

Di grup WA Subud, saya “kembali” menjadi pribadi yang luar biasa jahilnya, luar biasa vulgarnya, sampai saya dipersepsikan oleh para anggota grup tersebut sebagai pribadi monster yang kelakuan buruknya membuat mereka emoh berurusan dengan saya.

Saya pernah menghadiri sebuah seminar sejarah di gedung konvensi di kompleks Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 14 Februari 2018 lalu, di mana saya berjumpa dengan dua saudara Subud yang cukup sepuh. Satu adalah pengelola publikasi Subud Indonesia—sebut saja “Pak Wal”, sedangkan satunya lagi, “Ibu Sut”, hadir dalam kapasitasnya sebagai pakar ilmu sejarah bergelar doktor yang sehari-harinya berprofesi dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di kota Bandung. Saat rehat makan siang, Ibu Sut minta izin ke saya untuk menanyakan sesuatu. Saya persilakan, dan beliau pun mulai menanyakan kebenaran dari apa-apa yang beliau dengar dari satu saudara Subud yang selama ini tidak suka pada saya. Saudara Subud itu memperlihatkan postingan-postingan vulgar saya di sebuah grup WA beranggotakan anggota Subud dari berbagai cabang se-Indonesia, yang saya buat dan kelola. Ibu Sut mempersepsikan saya selama ini sebagai “sosok intelektual dengan analisis akademik yang mumpuni”, yang membuat beliau menaruh respek pada saya. “Sungguh berbeda Mas Anto yang saya kenal selama ini dengan Mas Anto dalam grup WhatsApp tersebut,” kata Ibu Sut.

Dalam kesempatan itu pun, saya meluruskan semua yang menyangkut diri saya dan apa maksud saya memposting hal-hal vulgar di grup WA tersebut. Pak Wal, yang mengenal pribadi saya berdasarkan apa yang beliau persepsikan dari postingan-postingan saya di grup WA Subud, turut mendengarkan penjelasan saya dengan saksama. Beliau yang tadinya “kurang berkenan” terhadap diri saya, akhirnya mengangguk-angguk sambil tertawa. Seorang saudara Subud, yang menjadi salah satu panitia penyelenggara seminar tersebut dan nimbrung dengan saya, Ibu Sut, dan Pak Wal, berseloroh, “Seharusnya publikasi Subud menampilkan profil Mas Anto, yang berhasil membuat semua orang Subud tertipu dengan kepribadian gandanya.”

Di kalangan teman-teman saya semasa kuliah di Universitas Indonesia dahulu, saya dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan jarang tersenyum, dan persepsi itu bertahan di benak mereka. Namun, ketika mereka berinteraksi dengan saya dewasa ini, baik di dunia nyata maupun maya, mereka tidak menyangka bahwa saya bukanlah pribadi yang pernah mereka kenal di bangku kuliah dahulu. Saya yang sekarang, di mata mereka, merupakan pribadi menarik yang murah senyum, tetap sulit bersikap serius dalam waktu yang lama namun memiliki opini-opini cerdas yang membuka mata mereka.

Dari serangkaian pengalaman dengan “kepribadian ganda” yang telah saya lalui, saya berkesimpulan, zat kekuasaan Tuhan yang hidup dalam diri saya, yang terbangkitkan oleh Latihan Kejiwaan yang saya tekuni dalam kurun waktu lebih dari 15 tahun terakhir ini, menata diri pribadi saya sesuai situasi, kondisi, dan lingkungan di mana saya berada. Bagaimanapun, saya terus memohon kepada Tuhan, agar saya dapat merengkuh budi pekerti yang utama sejalan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga kepribadian saya tidak lagi merugikan orang lain. Amin!©2019


GPR 3, Jl. Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 30 Desember 2019

Thursday, December 26, 2019

Sujud Berserah Diriku


Buyar pikiranku melihat wajahMu

yang memberi rupa pada semua unsur kehidupan

Aku terjatuh dalam sujud

Berhenti pikiran dan nafsu

yang menghalangi langkahku

menggapai kedekatan dengan diriMu

                                  

Wahai Keagungan,

mengapa diri ini menjadi perintang?

Adakah kematian membebaskan?

Dalam balutan rindu tak terperi,

terucap kekuatanMu

yang meliputi kejelasan

maupun kebingungan

 

Karena Kau ada di mana-mana,

lebih jauh dari tatapanku,

lebih dekat dari urat leherku

Tetapi tubuh ini jadi penghalang

dan pikiran ini jadi aral melintang

di dalam nyata yang tak seharusnya ada

 

Biarkan aku bergelimang cita,

membasuh kakiMu dengan kecupan mulut berdosaku

Gemetar mengucap syair doa

dengan hati yang mendua

 

Tak seharusnya aku begini, Yang Mulia

Tak seharusnya aku berpikir

apa yang menjadikan Engkau diriMu


Entah di Mana, Entah Kapan


Monday, December 23, 2019

Menyerap Bagaikan Spons


MESKI sudah lebih dari 15 tahun berlatih kejiwaan Subud dengan berbagai pengalaman yang mencengangkan, toh kadang saya merasa ragu atau tidak percaya dengan mukjizat Latihan Kejiwaan. Tapi untungnya, dengan adanya keraguan atau ketidakpercayaan ini saya dapat menyikapi setiap pengalaman ajaib, walau simpel, dengan rasa syukur yang besar. Artinya, bagi saya tidak ada pengalaman kejiwaan yang tidak luar biasa. Semuanya selalu luar biasa!

Seperti pengalaman menjadi “spons” bagi pengetahuan atau ilmu yang baru. Ini bukan hal baru, melainkan saya sering mengalaminya. Tapi toh tiap kali saya mengalaminya, saya selalu merasakan keterpesonaan yang dahsyat.

Sejak dibuka—menerima kontak Latihan Kejiwaan Subud untuk pertama kalinya, proses kejiwaan yang saya lalui berangsur-angsur membuat saya menjadi tak ubahnya spons atau kain penyerap air dalam hal memahami sesuatu yang baru. Hal itu terjadi di luar usaha akal pikir saya. Tiba-tiba saja, pada satu momen, saya berubah dari orang yang tidak tahu apa-apa mengenai suatu bidang atau hal menjadi tahu, bahkan begitu menguasainya sampai saya mampu menganalisisnya untuk membuat beberapa perubahan!

Baru-baru ini, di awal bulan Desember 2019, saya mengalami kejadian seperti yang saya gambarkan di atas. Perusahaan penjenamaan (branding) milik saya, LI9HT Brand—The IDEAS Company, mendapat satu pekerjaan bertenggat waktu yang sangat ketat, yaitu membuat suatu buku saku berisi kumpulan tulisan singkat dari para staf Divisi Teknologi Informasi PT Indonesia Power yang telah dibagi di antara mereka sendiri dalam momen-momen berbagi pengetahuan (knowledge sharing) setiap seminggu. Tulisan-tulisan tersebut boleh dibilang sangat teknis, mengandung informasi yang sebagian besar hanya dapat dipahami oleh mereka yang telah mengenyam pendidikan di bidang teknologi informasi (TI).

Berbekal ketidakmengertian, ibarat cangkir yang belum terisi, saya pun menghadap Kepala Divisi Teknologi Informasi (Kadiv TI) dari PT Indonesia Power di kantor pusat anak perusahaan PT PLN Persero itu di gedung Centennial Tower, Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Saya teramat buta dalam bidang TI; saya hanya bisa menggunakan internet, tapi tidak tahu bagaimana sistem itu sesungguhnya bekerja, dan beragam potensi yang dimilikinya sehingga saya dapat memaksimalkan penggunaannya.

REOC PT Indonesia Power di Lantai 8 Centennial Tower, Jakarta.
Duduklah saya berhadapan dengan Pak Kadiv TI di salah satu ruangan operasi TI PT Indonesia Tower, sebuah ruangan di mana para jawara TI perusahaan operator pembangkit listrik terbesar di Indonesia itu mengendalikan dan mengawasi bekerjanya sistem-sistem pembangkit milik PT Indonesia Power di seluruh Indonesia melalui perangkat komputer dan layar video wall. Di layar tersebut terpampang berbagai grafik yang secara realtime menggambarkan pergerakan sistem-sistem pembangkit, yang melaluinya para ahli dapat mencermati kecenderungan-kecenderungan yang harus mereka cegah untuk meminimalisasi risiko kerusakan atau kerugian operasional serta meningkatkan kinerja pembangkit. Di lingkungan PT Indonesia Power, bagian ini dinamai REOC (Reliability and Efficiency Optimization Center).

Semua itu membuat saya pusing, hingga Latihan Kejiwaan masuk dan mengambil alih. Dalam sekejap, saya, diliputi ketakjuban, dapat menyerap semua penjelasan Kadiv TI mengenai seluk-beluk sistem teknologi informasi, seakan saya sudah menggeluti bidang itu selama ini. Tubuh saya, terutama otak saya, seperti magnet yang menarik semua ucapan Pak Kadiv TI dan membiarkan penjelasan beliau menempel terus. Tanpa saya paksakan, maupun saya usahakan. Bukan main(-main) Latihan Kejiwaan Subud itu.©2019


GPR 3, Jl. Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 24 Desember 2019

Friday, November 22, 2019

Bersabar dalam Bertindak


SATU hal yang saya petik dari pengalaman Latihan Kejiwaan Subud adalah bahwa saya (dan semua anggota Subud) harus senantiasa merasakan diri sebelum berpikir dan berperasaan, berkata dan berbuat. Bagi orang yang belum menerima Latihan Kejiwaan, hal ini dipandang sebagai suatu sikap pasif yang menggemaskan—mereka inginnya cepat, inginnya segera melakukan apa harus dilakukan. Tetapi, dalam kejiwaan, percepatan proses hanya menghasilkan celaka.

Saya memiliki pengalaman terkait bersabar dalam bertindak. Ini bukan satu-satunya, tetapi banyak pengalaman sejenis, tetapi yang akan saya ceritakan ini cukup “ajaib”.

Pada 17 Juli 2019 lalu, seorang yunior saya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, yang kini menjadi dosen di almamater kami, minta satu eksemplar buku meja kopi (coffee-table book) Citeureup: Menapak Masa Lalu, Menata Masa Kini, Menatap Masa Depan (2015) yang digarap LI9HT Brand—The IDEAS Company atas pesanan dari Departemen CSR PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk., dalam rangka ulang tahun ke-40 perusahaan produsen semen terbesar di Indonesia itu. Dia melihat foto buku tersebut di akun Instagram saya dan tertarik untuk memilikinya.

Dia minta saya mengirimkan buku tersebut ke rumahnya di Kompleks Universitas Indonesia, Daksinapati, Rawamangun, Jakarta Timur, dan mentransfer uang senilai Rp50.000 pada 6 Agustus 2019 untuk ongkos GoSend. Anehnya, saya kok tidak tergerak sama sekali untuk segera bertindak mengirimkan buku tersebut dengan menggunakan jasa GoSend. Bukunya sudah saya siapkan, tapi greget atau dorongan tidak ada untuk melakukan hal yang relatif mudah tersebut. Istri saya sampai heran, mengapa saya kok menunda-nunda pengiriman buku tersebut, sedangkan ongkos kirim sudah ditransfer. Saya tidak mengerti mengapa begitu.

Pada suatu Kamis malam di Teras Timur Hall Latihan Subud Cilandak, di Kompleks Wisma Subud Cilandak, Jl. RS Fatmawati No. 52, Jakarta Selatan, saya pun menceritakan perihal penundaan pengiriman buku kepada seseorang yang sudah memesannya dan bahkan mengirimkan ongkos kirim buku tersebut ke rekening saya. Saya menceritakannya kepada seorang helper, seorang Amerika yang sudah sejak 1968 tinggal di Indonesia. Beliau mengatakan bahwa beliau juga memiliki pengalaman yang mirip dengan apa yang saya alami. Beliau bahkan lebih aneh bin nyeleneh: Email dari seorang relasi yang seharusnya dapat segera beliau balas, malah tertunda sampai tiga hari.

Lantaran merasa tidak enak terhadap yunior saya itu, saya mengirim pesan WhatsApp ke dia, beralasan bahwa saking sibuknya saya belum sempat mengirimkan buku tersebut. Alasan itu sebenarnya konyol; apa sih susahnya mengirim buku lewat GoSend?

Suatu hari, tanggal 11 November 2019, tiada angin tiada hujan, saya terbangun pagi sekitar pukul 06.00 WIB, dengan “mendengar” pemberitahuan dari dalam, bahwa hari itu saatnyalah saya harus mengirim buku tersebut. Saya pun segera mengerjakan prosesnya: Membungkus buku tersebut dalam paperbag, memesan GoSend—yang datang lima menit kemudian tepat di depan rumah saya, membayar Rp80.000 untuk jasa GoSend (saya lebihkan sedikit; seharusnya Rp74.000). Segera setelah pemotor GoSend-nya berlalu dari depan rumah saya, saya WA yunior saya itu dengan berita bahwa buku pesanannya sudah meluncur ke rumah dia.

Saya masih bertanya-tanya, mengapa harus menunggu sekian lama hanya untuk melakukan sesuatu yang seharusnya mudah. Beberapa saat kemudian, saya memeriksa akun Facebook saya. Sebuah notifikasi muncul, mengabari saya bahwa yunior saya itu hari itu berulang tahun! Apakah Tuhan menghendaki buku tersebut saya kirim sebagai sebentuk kado ulang tahun buat yunior saya, saya tidak tahu. Yang jelas, bersabar dalam bertindak memberi keuntungan bagi saya.©2019


GPR 3, Jl. Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 22 November 2019

Wednesday, November 20, 2019

Wakil yang Mewakilkan



SIANG hari, pada 16 November 2019, saya menjalankan peran sebagai wakil keluarga dalam acara lamaran keponakan saya (perempuan). Saya ngomong dengan sangat lancar, berasa terbimbing, sehingga apa pun yang terucap dari mulut saya tanpa dipikirkan dan direncanakan. Saya mewakilkan semua kekhawatiran atau kekikukan saya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Beberapa hari hingga beberapa jam sebelumnya, saya di-briefing oleh keponakan itu dan sepupu-sepupu saya (adik-adik dari ibunya keponakan saya) untuk mengantisipasi pertanyaan dari calon besan mengenai ayah dari keponakan saya. Keponakan itu sudah ditinggal ayahnya sejak ia masih dalam kandungan. Ditinggal pergi, bukan ditinggal mati. Hal itu, menurut sepupu-sepupu saya suatu aib yang sebaiknya ditutupi.

Tapi saya jawab dengan tenang, “Kalian jangan khawatir, serahkan pada Tuhan aja. Kalau saya nggak mau memikirkan apalagi takut pada sesuatu yang belum terjadi. Santai aja ya. Saya yakin hal itu nggak jadi masalah bagi calon besan. Saya percaya apa yang saya yakini.”

Begitu rombongan calon besan (sepuluh orang) tiba di rumah sepupu saya, saya sambut di depan pagar rumah sepupu saya dan saya iringi hingga ruang tamu, di mana kami duduk lesehan. Mulailah saya memberi sambutan.

Gila benar! Saya sendiri tidak nyangka bisa ngomong dengan kata-kata bijak, yang lancar, dan sering memancing tawa dari para tetamu, karena niat saya ingin membuat tamu merasa nyaman dan diterima. Dan yang ditakutkan tidak pernah terjadi. Saya yakin itu bimbingan Latihan Kejiwaan. Saya tidak memegang catatan, bahkan nama lengkap calon besan dan calon suami keponakan saya saya sebutkan tanpa sebelumnya saya hapalkan.

Giliran wakil keluarga pihak calon besan (yang jauh lebih tua dari saya) memberi sambutan, dia mengeluarkan secarik kertas berisi catatan tentang apa saja yang mesti dia sampaikan. Bukan lancar ngomong-nya, malah terbata-bata, dijedai berpikir.

Puji Tuhan, terima kasih Bapak. Latihan Kejiwaan memang mantul!©2019


Pamulang Timur, Tangerang Selatan, 16 November 2019

Thursday, November 14, 2019

Suara yang Terbimbing


LI9HT Brand saat ini sedang menggarap sebuah video presentation untuk ditayangkan dalam acara reuni akbar TFI (asosiasi alumni Technische Hogeschool te Bandoeng (THS) dan Institut Teknologi Bandung) di Penang, Malaysia, pada bulan Juli tahun 2020. Saya yang membuat script video presentation berdurasi 10 menit itu, dengan voice-over (suara latar) berbahasa Inggris dan sedikit sisipan kata-kata bahasa Belanda.

Sudah empat pengisi suara profesional (tiga di antaranya penyiar radio) tepar, tidak sanggup dan mundur—padahal mereka dibayar, bukan gratisan. Terpaksalah saya sendiri yang jadi pengisi suara latarnya.

Saya sebenarnya ragu, karena suara saya sumbang dan belum biasa berbicara di depan mikropon untuk pengisian suara. Tapi saya teringat pada suatu hari Minggu siang, tiga minggu lalu di Teras Timur Hall Cilandak, ketika saya mengobrol dengan Mas Rusli Arsjik, pembantu pelatih Subud Ranting Pasarminggu, Jakarta Selatan. Dia bercerita tentang pengalamannya mendengarkan suara tiap orang yang berlatih kejiwaan. Mas Rusli memiliki kemampuan mengenali segera suatu suara milik siapa, dan menurut dia, suara si A dalam Latihan sama dengan suara si A di luar Latihan.

Tapi menurut Mas Rusli, dia tidak pernah berhasil mengenali suara saya. Kata dia, suara saya di luar Latihan dan saat Latihan sama sekali berbeda. Dia pernah mendengar suara saya mengumandangkan azan saat Latihan dan dia bertanya-tanya karena tidak mengenalinya. Ketika dia selesai Latihan dan melihat sendiri bahwa sayalah yang mengumandangkan azan tersebut, dia membatin, “Ooh, Mas Arifin. Kok beda ya dengan di luar Latihan?”

Dengan ingatan akan hal itu, saya akhirnya melakukan Latihan Kejiwaan semalam selama +10 menit, dan kemudian, dengan masih merasakan vibrasi Latihan, saya merekam suara saya yang membaca teks suara latar video presentation tersebut, dengan menggunakan Voice Recorder pada smartphone saya. Hasilnya saya kirim ke produsernya, yang mengatakan, “Oke nih, Mas Anto. Suara siapa ya? Biar nanti di-take ulang di studio.”©2019



GPR Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 12 November 2019

Tuesday, November 5, 2019

Satu Ceramah, Seribu Makna


“...Ketika kita membaca ceramah Bapak, sepertinya kita hanya membacanya. Tapi, kadang kita tidak mengerti. Itulah sifat dari ceramah-ceramah tersebut. Ketika saudara membaca ceramah sebelum di dalam diri saudara cukup kuat untuk mengerti, ceramah itu tampaknya tidak jelas arahnya—saudara kira saudara sedang membaca buku yang biasa.”
—Ceramah Ibu Rahayu kepada anggota di Kongres Nasional,
Rungan Sari, Kalimantan Tengah, 21 Februrari 2013—13 TKL 1
                                                                

SUATU ketika di tahun 2004, saya membaca ceramah Bapak Subuh di majalah khusus untuk anggota Subud, Aneka Subud, di teras Wisma Subud Surabaya, Jl. Manyar Rejo 18-22, Surabaya Timur. Saat membacanya, saya menggunakan stabilo warna kuning untuk menyorot bagian-bagian yang saya anggap penting. Seorang pembantu pelatih (helper) yang menyaksikan kelakuan saya berkomentar: “Mas, sepuluh tahun dari sekarang, saya yakin semua isi Aneka Subud itu kuning semua sampeyan stabilo.”

Saya kemudian mendapat kepahaman, ceramah yang sama memberi makna-makna atau manfaat-manfaat yang berbeda seiring berkembangnya pengertian kita sejalan dengan Latihan Kejiwaan yang kita lakukan dengan tekun. Kepahaman yang saya dapat bertahun-tahun setelah insiden di teras Wisma Subud Surabaya itu, membuat saya tertawa ngakak dan sepakat dengan komentar si pembantu pelatih.

Dahulu, saya juga suka mencibiri saudara-saudara Subud yang membaca ceramah Bapak Subuh dan Ibu Rahayu, sebagai sesuatu yang kurang ada gunanya. Saya baru mulai tekun membaca ceramah tahun 2013, setelah mengalami kejadian yang sangat tidak enak dan—atas saran dari pembantu pelatih saya di Surabaya—solusi “penyembuhannya” ada di ceramah, yang untuk itu beliau mengkopikan 60,4 gigabyte ceramah Bapak Subuh dalam bentuk video, audio, dan transkripnya dari laptop beliau ke external harddisk saya. “Baca ceramahnya ya, dan temukan rahasianya di situ,” ujar pembantu pelatih tersebut.

“Rahasianya apa, Pak?” tanya saya.

“Cari sendiri! Saya sudah temukan rahasianya... yang memang untuk saya. Untuk Mas Anto beda lagi. Untuk setiap orang berbeda-beda rahasianya,” kata beliau.

Saya pun mulai tekun membaca atau mendengar ceramah Bapak Subuh, hampir setiap hari. Speaker luar MacBook Pro saya sampai jebol karena mendengarkan audio rekaman ceramah Bapak Subuh keras-keras.

Walaupun kekecewaan dan sakit hati saya pasca kejadian pahit 2013 berhasil disembuhkan oleh rahasia yang saya temukan dalam ceramah-ceramah tersebut, saya tetap suka membaca ceramah Bapak Subuh (dan Ibu Rahayu). Karena rupanya ceramah adalah “media” untuk mengetahui sampai di mana Latihan Kejiwaan kita telah berkembang. Bukan cuma melalui penjelasan Bapak Subuh, tapi lewat pemahaman kita sendiri terhadap muatan ceramah tersebut.©2019


GPR Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 3 November 2019

Sifat Asli


SEKITAR 20 tahun lalu, saya ikut workshop tentang Perilaku Konsumen (consumer behavior) di biro iklan tempat saya bekerja sebagai copywriter. Menurut hukum perilaku konsumen, periklanan (advertising) dapat diberdayakan untuk mengubah sikap dan perilaku, tapi tidak bisa mengubah sifat seseorang. Sifat adalah bawaan seseorang sejak ia dilahirkan. Baik atau buruk, positif atau negatif, hanyalah nilai-nilai sosial yang diciptakan oleh budaya suatu komunitas (masyarakat).

Semalam (31 Oktober 2019) di Teras Timur Hall Cilandak, dalam momen sharing pasca Latihan Kejiwaan, terungkap bahwa sifat asli memang tidak bisa kita ubah. Jangankan periklanan, kita sendiri saja tidak bisa mengubahnya. Hanya Tuhan yang bisa. Tapi kita bisa memohon agar sikap kita terhadap sifat asli kita diubah. Dengan perubahan sikap, dibantu oleh Latihan Kejiwaan, kita bisa membuat kekurangan kita menjadi kekuatan untuk membantu kita menjalani hidup di dunia dengan sebaik-baiknya. Latihan Kejiwaan yang rajin dan tekun juga membawa kita kembali ke sifat asli kita (yang terutama termanifestasi seiring perkembangan akal kita mulai usia delapan tahun).

Saya jadi teringat pada undangan workshopAnger Management: Mengubah Amarah Menjadi Management Tool” yang disampaikan seorang motivator Leadership and Happiness baru-baru ini (tanggal acara workshop-nya 14 Desember 2019), dengan tarif kepesertaan Rp3 juta. Saya sempat penasaran, bagaimana caranya mengubah negatif (amarah) menjadi positif? Tapi melihat tarif kepesertaan workshop-nya saya jadi emoh; mending menunggu penerimaan saja. Saya dapat semalam, gratis, di Teras Timur Hall Cilandak.
©2019


GPR Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 1 November 2019

Wednesday, September 11, 2019

Pada Akhirnya... “Latihan Saja, Nak!”


SEJAK kecil, saya dibebani fobia akan jarum suntik atau trypanophobia. Penyebabnya adalah trauma dari pengalaman saya menyaksikan sepupu saya disuntik pahanya oleh seorang dokter di ruang praktiknya dan jarumnya tetap menancap di pahanya ketika sang dokter mencabut tabung suntiknya. Kesaksian itu membekas di benak saya hingga saya dewasa, sehingga saya sangat takut disuntik, melihat orang disuntik, maupun hanya melihat alat penyuntiknya.

Menurut Wikipedia, fobia atau gangguan anksietas fobik adalah rasa ketakutan yang berlebihan pada sesuatu atau fenomena. Fobia terhadap jarum suntik menghambat kehidupan saya. Perasaan takut akibat fobia itu sulit dimengerti banyak orang. Itu sebabnya, saya sering dijadikan bulan-bulanan oleh orang-orang di sekitar saya.

Ada perbedaan “bahasa” antara pengamat fobia dan pengidap fobia. Pengamat fobia adalah orang-orang di sekitar saya; mereka menggunakan bahasa logika, sementara saya sebagai pengidap fobia menggunakan bahasa rasa. Bagi pengamat, dirasa lucu jika seseorang berbadan besar takut dengan benda kecil seperti jarum suntik. Sementara di bayangan mental saya, subyek tersebut menjadi benda yang menakutkan.

Dalam keadaan normal, setiap orang memiliki kemampuan mengendalikan rasa takut. Tetapi bila seseorang terpapar terus-menerus dengan subyek fobia, hal tersebut berpotensi menyebabkan apa yang oleh Willy F. Maramis, dalam bukunya yang berjudul Ilmu Kedokteran Jiwa (Surabaya: Airlangga University Press, 2009), disebut sebagai “fiksasi”. Fiksasi adalah suatu keadaan di mana mental seseorang menjadi terkunci, yang disebabkan oleh ketidakmampuan yang bersangkutan dalam mengendalikan perasaan takutnya. Penyebab lain terjadinya fiksasi, menurut Willy F. Maramis, adalah suatu keadaan yang sangat ekstrem, seperti trauma bom, terjebak dalam lift, dan, seperti yang saya alami, jarum suntik tertinggal di paha sepupu saya.

Berbagai pendekatan pernah saya coba, mulai dari menggantungkan alat penyuntik di tempat-tempat di mana saya biasa berada, seperti di ruang kerja saya (digantungkan di sisi layar komputer yang saya pakai untuk bekerja), atau di sebelah tempat tidur saya, sehingga setiap kali saya akan tidur saya melihatnya dan ketika terbangun saya tidak kaget dengan keberadaannya. Semua pendekatan ini tidak pernah berhasil.

Tetapi, bukan berarti saya tidak pernah disuntik selama usia dewasa saya. Walaupun tidak sering, untuk keperluan-keperluan yang mendesak, seperti akan bepergian ke luar negeri, sebagai persyaratan melamar pekerjaan, mengambil surat izin mengemudi, dan dirawat di rumah sakit, saya tetap harus merelakan diri saya disuntik dan/atau diinfus. Meskipun hal itu menimbulkan keadaan yang cukup memalukan, yaitu saya meronta-ronta sehingga harus dipegangi beberapa orang, atau saya menjerit histeris, atau menangis di sudut ruangan di mana dokter atau perawat menanti untuk menyuntik saya.

Ketika tahun 2006 saya dirawat di rumah sakit karena infeksi lambung yang saya derita, ada satu perawat pria yang ahli menusukkan jarum infus ke punggung tangan saya tanpa saya merasa takut atau melawan. Ia mengajak saya mengobrol tentang berbagai hal dan becanda, tanpa memperlihatkan bahwa saat itu ia sedang mempersiapkan penusukan jarum infus ke tangan saya. Tiba-tiba saja, ia berkata, sambil memperlihatkan tangan saya yang telah tersambung dengan selang infus, “Tuh, sudah masuk.”

Bagaimanapun, untuk membuat saya mau dirawat di rumah sakit saja, sejumlah kerabat saya harus berusaha keras meredakan ketakutan saya yang sempat menolak untuk dirawat inap di rumah sakit—meskipun saya merasa sangat kesakitan di perut akibat infeksi lambung—lantaran saya membayangkan situasi-situasi di mana saya harus ditusuk jarum suntik atau jarum infus!

Keadaan-keadaan menakutkan sekaligus memalukan ini mendorong saya senantiasa mencari cara terbaik untuk mengatasinya. Saya pernah membaca sebuah artikel di majalah Femina bertahun-tahun yang lalu tentang seorang dokter gigi yang menerapkan hipnoterapi pada pasien-pasiennya yang takut terhadap pemeriksaan dan perawatan gigi, yang melibatkan alat-alat yang bagi seorang pengidap fobia dentophobia (fobia terhadap dokter gigi) atau trypanophobia tergolong menakutkan. Hipnoterapi adalah aplikasi hipnosis untuk tujuan perbaikan (therapeutic).

Membaca artikel tersebut, saya menjadi penasaran dengan cara kerja hipnotisme. Tapi saya urungkan niat saya untuk menggunakan pendekatan hipnoterapi untuk mengatasi fobia saya, karena teringat pada sejumlah pengalaman saudara-saudara SUBUD saya yang gagal dihipnotis, lantaran, konon, Latihan Kejiwaan yang meniadakan kerja akal pikir tidak dapat ditembus oleh pendekatan-pendekatan yang mengadakan kerja akal pikir.

Tapi, itu masih “katanya”, sedangkan sebagai anggota SUBUD, kita harus mengalami kenyataan, bukan sekadar teori atau “kata orang lain yang pernah mengalaminya”, meskipun orang itu nabi yang menerima wahyu ilahiah sekalipun. “Jangan percaya Bapak, sebelum Nak mengalaminya sendiri,” ucap pendiri Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (SUBUD), Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo (1901-1987) sering kali. Karena itu, saya, cepat atau lambat, harus mengalami hipnoterapi. Saya tidak mau memaksakan diri jika belum waktunya, melainkan saya bergantung pada bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Nah, waktu yang dikehendakiNya tiba baru-baru ini. Pada tanggal 10 September 2019, saya ada janji untuk berkonsultasi dengan seorang dokter spesialis anestesi (dokter spesialis yang bertanggung jawab memberikan pembiusan sebelum pasien menjalani operasi atau prosedur medis lainnya. Selain itu, ia juga membantu dalam manajemen nyeri dan perawatan pasien) di sebuah rumah sakit swasta di bilangan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Seorang perawat laki-laki yang saya kenal sejak Februari tahun 2019, yang datang ke rumah saya untuk merawat luka di kedua kaki saya yang tak kunjung sembuh, menjadi perantara pertemuan saya dengan sang dokter. Dokter Andi namanya (bukan nama sebenarnya).

Kepada Dokter Andi saya ceritakan apa keluhan saya. Ia menyuruh saya mengetuk-ketukkan jari jemari tangan kanan saya pada sisi bawah tangan kiri saya dan sebaliknya selama saya bercerita. Menurut Dokter Andi, hal itu dapat meredakan ketegangan emosi.

Setelah cukup mendengar cerita saya, ia mulai melakukan serangkaian tindakan yang tampaknya merupakan bagian dari hipnoterapi. Mulai dari mengusap-usap kepala saya tanpa menyentuh, meletakkan jari telunjuknya di kening saya, sampai memijat-mijat bahu dan punggung saya. Sang dokter juga berbicara dengan suara dan konten yang ia ulang-ulang dan meminta saya mengulangi ucapannya. Rangkaian tindakan itu, bagaimanapun, tidak membuat sistem saraf saya tertidur, sebagaimana yang ditawarkan oleh arti dari asal kata “hipnotisme”, yaitu “neuro-hypnotism”. Saya tetap sadar akan sekitar saya, dan saya tetap takut pada jarum suntik yang dipegang oleh perawat laki-laki kenalan saya, yang saat itu mengasisteni Dokter Andi.

Dokter Andi terkejut dan terheran-heran. Ia mengatakan bahwa “lapisan-lapisan” yang membentengi saya sangat tebal, sehingga tak mudah ditembus. Menurutnya pula, belum pernah ada pasiennya yang tidak bisa dihipnoterapi. Kasus saya baginya istimewa, karena menantang ilmu pengetahuannya mengenai hipnotisme.

Merasa upayanya menghipnotis saya gagal, Dokter Andi mengulangi rangkaian tindakannya mulai dari nol lagi. Lagi-lagi gagal! Saat itu, saya baru tersadar: Ini pasti karena Latihan Kejiwaan telah mengisi saya, sehingga meskipun tidak saya niatkan Latihan itu telah membentengi saya dari segala unsur yang bukan ilahiah/alami. Dokter Andi berulang kali menekankan agar saya pasrah dan ikhlas. Saran itu justru semakin “mengisi” energi Latihan Kejiwaan pada diri saya. Di tengah terapi, anggota badan saya, yang sedari awal selalu dalam posisi duduk, bahkan bergerak-gerak seperti menari dan berjoget—persis ketika saya sedang Latihan Kejiwaan.

Saya ingin sekali menjelaskan kepada Dokter Andi dan asistennya bahwa saya anggota SUBUD yang aktif berlatih kejiwaan, yang konon tidak bisa dihipnotis, tetapi mulut saya serasa tercekat. Akhirnya, saya melepas keinginan saya untuk menjelaskan. Saya biarkan prosesnya berjalan alami. Saya ingin mendapatkan kenyataan.

Saya pun kemudian memohon kepada Tuhan, dalam hati, agar si dokter dimampukan untuk menghipnotis saya. Tapi, tiba-tiba saya tersadar dan “mendengar” suara dari dalam, yang berkata, “Mengapa kamu tidak minta pada Tuhan Yang Menciptakanmu agar diberanikan menghadapi jarum suntik? Minta padaNya agar kamu mampu melepas ketakutanmu.”

Saya pun melakukan apa yang diperintahkan suara batin saya. Tiba-tiba, semuanya berubah. Saya menantang si asisten dokter untuk menaruh alat penyuntik di depan saya, hal mana ia lakukan. Saya menyentuhnya, memegangnya, dan sambil tersenyum memandangi alat penyuntik dengan jarum logam yang menghunus. Saya tidak merasa ngilu melihat benda itu, tidak seperti sebelumnya. Saya yakin, saya ditolong oleh Tuhan melalui Latihan Kejiwaan yang diwariskan Bapak Subuh. Pada akhirnya, saya mengerti mengapa Bapak selalu menganjurkan “Latihan saja, Nak!” untuk mampu menghadapi berbagai perasaan negatif.

Bagaimanapun, saya menghargai usaha Dokter Andi dan asistennya untuk menyembuhkan saya. Saya yakin pula bahwa mereka berdua merupakan kepanjangan tangan Tuhan untuk membuat saya belajar mengenai diri saya sendiri dan mengenai kekuatan dari Latihan Kejiwaan SUBUD yang saya tekuni. Puji Tuhan!©2019



Green Permata Residence, Jl. Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 12 September 2019

Friday, August 30, 2019

Berpikir Negatif yang Positif


KAUM bijak sering kali berpesan, agar kita jangan berpikir negatif mengenai sesuatu atau seseorang, karena dapat menjadi kenyataan. Sebaliknya, berpikir positif pun dapat membawa kita kepada hal-hal baik atau positif. Karena itu, saran kaum bijak, kita harus selalu menjaga pikiran kita. Beberapa adat yang saya tahu, mengajak kaum prianya mengenakan tutup kepala berupa blangkon (Jawa Tengah dan DI Yogyakarta) atau totopong atau iket (Sunda) sebagai perlambang bahwa apa yang ada di dalam kepala—pikiran—harus selalu dijaga.

Terkait pikiran, saya memiliki pengalaman yang unik. Setelah saya menerima Latihan Kejiwaan dan gerak hidup saya terbimbing olehnya, saya mengalami berbagai kejadian, di mana berpikir negatif dapat terjadi walaupun saya tidak menghendakinya. Artinya, berpikir negatif tersebut timbul lantaran terbimbing oleh kehendak Tuhan, bukan oleh kehendak pribadi saya.

Tahun 2005 lalu, seingat saya bulan Agustus, biro iklan tempat saya bekerja diundang menjadi salah satu dari tujuh biro iklan serta firma kehumasan yang diikutkan tender proyek “pemulihan citra” (image recovery) dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Jadi, ceritanya, tiga anggota dewan direksi bank pelat merah itu ditangkap pihak berwajib, dan untuk menghindari kekhawatiran nasabah—mengingat pada saat itu Bank Mandiri tergolong bank baru yang belum sepenuhnya dipercaya konsumen—yang dapat mendorong terjadinya penutupan rekening beramai-ramai, pihak manajemen bank, dalam hal ini Divisi Komunikasi Korporatnya, perlu melakukan pemulihan citra.

Dalam satu Latihan Kejiwaan di Hall Latihan Cilandak, beberapa hari setelah mendapat taklimat dari Kepala Komunikasi Korporat PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., saya menerima pengertian bahwa proyek itu merupakan sesuatu yang tidak benar, karena sesungguhnya Bank Mandiri sudah memiliki dua perusahaan komunikasi (periklanan) yang membantu bank tersebut selama ini dalam membuat iklan dan kehumasan, dan bahwa tender itu hanya untuk “melihat-lihat etalase toko” (windowshopping).

Khawatir bilamana penerimaan kejiwaan saya itu hanya pikiran negatif yang masih terpendam di kepala saya, saya tidak mau memikirkannya dan tetap bersemangat bekerja mempersiapkan perencanaan strategis serta keluarannya berupa dummy dari materi komunikasinya, bersama tim kreatif dan account executives dari biro iklan tempat saya bekerja waktu itu. Bos saya juga mau all-out dalam persiapan dan presentasinya, sehingga ia memaksa manajer keuangan untuk mengalirkan dana buat pembelian peralatan yang dapat membuat presentasi kami hebat.

Suatu hari, sehabis pembadaian otak (brainstorming) di ruang meeting, tinggallah saya bersama Pak Bos dan dua cewek pemagang dari Universitas Petra Surabaya. Pak Bos tahu bahwa saya anggota SUBUD dan menyamakan saya dengan teman baiknya sesama praktisi periklanan yang juga aktif di SUBUD waktu itu, Soebiakto Priosoedarsono, yaitu mampu menerawang kemungkinan-kemungkinan masa depan yang belum terjadi.

“Menurut penerawangan lo gimana, To? Bagaimana kemungkinan kita, apakah bisa menang tender?”

“Jalani saja dulu, Pak. Saya nggak mau ngeshare sesuatu yang belum terjadi, takutnya teman-teman jadi kehilangan semangat,” kata saya.

Lo cerita aja ke gue,” kata Pak Bos, seorang pria setengah baya yang eksentrik sekaligus hobi marah. Ada saja pegawai biro iklan itu yang dia marahi setiap hari.

Setelah bimbang sejenak, sambil merasakan diri apakah perlu saya menceritakan suatu pengalaman kejiwaan pada seorang yang bukan anggota SUBUD, saya pun membuka mulut. Dua pemagang dari Universitas Petra tadi masih duduk dengan tegang, menyaksikan interaksi saya dengan Pak Bos. Mereka berdua tahu, di biro iklan itu hanya saya yang berani mendebat atau menyatakan tidak sependapat dengan Pak Bos, dan Pak Bos respek dengan saya karena saya dapat mengemukakan alasan-alasan yang masuk akal atau terdengar “cerdas” baginya.

“Begini, Pak, menurut apa yang saya terima dalam Latihan di Subud adalah bahwa semua ini nggak bener, bahwa Bank Mandiri cuman mau banding-bandingin karya agency-agency lain dengan agency yang sudah mereka punya,” jawab saya. Penerimaan saat Latihan Kejiwaan di Hall Cilandak itu seperti menggema di benak saya. Saya tidak sedang berpikir negatif tentang pekerjaan untuk Bank Mandiri itu, tapi ada suatu kekuasaan yang maha besar membimbing saya untuk “berpikir negatif”. Saya hanya bisa menerima, karena desakan penerimaan itu begitu kuat.

Mendadak Pak Bos memerah mukanya dan dia naik pitam. Dia kira saya tidak mau membantu biro iklan itu untuk menang tender. Saya juga ngamuk dan berkata kepada Pak Bos, “Lho, Bapak kan yang minta saya cerita terawangan saya. Lha kok nggak siap nerima kenyataannya?! Saya akan tetap kerja nyiapin presentasi kita, Pak!”

Saya bukan orang yang gampang kabur dari masalah, karena saya kan juga perlu bukti bahwa apa yang saya terima dalam Latihan Kejiwaan itu benar adanya. Pertengkaran saya dengan Pak Bos yang sengit itu segera sirna bersama kesibukan saya dan tim kreatif mempersiapkan materi-materi yang akan dipresentasikan di kantor pusat PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Singkat cerita, biro iklan tempat saya bekerja sebagai copy-based creative director bersama keenam biro iklan dan firma kehumasan lainnya yang telah diundang untuk berpartisipasi dalam tender proyek pemulihan citra Bank Mandiri pasca tiga direkturnya ditangkap karena kasus korupsi itu pun melakukan presentasi masing-masing selama setengah jam pada hari-hari dan waktu-waktu yang telah ditetapkan. Seminggu kemudian, pihak Divisi Komunikasi Korporat bank milik pemerintah itu mengirim faksimili ke masing-masing peserta tender, yang intinya bahwa Bank Mandiri “belum bisa bekerja sama”.

Semula, saya mengira hanya biro iklan tempat saya bekerja yang kalah tender, tapi setelah kasak-kusuk mencari informasi ke keenam perusahaan komunikasi lainnya ternyata mereka juga dinyatakan “kalah”. Tidak lama kemudian, kawan saya yang bekerja di sebuah firma kehumasan yang dikontrak oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), membocorkan informasi ke saya, bahwa dua biro iklan yang tidak pernah tampil dalam tender tersebutlah yang menangani proyek pemulihan citra Bank Mandiri. Kedua biro iklan itu memang telah diketahui menangani pekerjaan-pekerjaan periklanan dan kehumasan bagi Bank Mandiri, yang standar-standarnya ditentukan oleh BPPN dan diketahui oleh kawan saya selaku konsultan humas bagi lembaga tersebut.

Saya tersenyum lega setelah mengetahui kenyataannya. Pak Bos tidak memberi komentar apa pun mengenai kenyataan bahwa "penerawangan" saya benar adanya, sementara dua pemagang dari Universitas Petra Surabaya itu khusus datang ke ruang kerja saya untuk mengucapkan selamat atas kebenaran penerimaan saya dalam Latihan Kejiwaan. Kadang, memang, berpikir negatif bisa menjadi positif apabila dibimbing oleh kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.©2019


Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 30 Agustus 2019

Wednesday, July 17, 2019

Dalam Badan yang Sakit Ada Jiwa yang Sehat


SEJAK Jumat lalu (5 Juli 2019) saya terserang flu berat tapi pada saat yang sama saya dikejar tenggat waktu (deadline) pekerjaan dari satu klien, sampai saya harus lembur di kantornya. Lembur hari Minggu pula (7 Juli). Padahal lagi kliyengan, tapi saya harus bawa motor menempuh jarak 25 km antara Pondok Cabe-Tebet Barat (kantor klien) sekali jalan; pergi pulang jadi 50 kilometer.

Seharusnya saya beristirahat total, tapi malah digeber pekerjaan. Yang bikin saya sempat memaki-maki Tuhan adalah kenyataan bahwa pekerjaannya mudah sekali: Membuat materi presentasi dengan Powerpoint untuk klien yang jadi pembicara seminar pada 11 Juli. Mudah, tapi oleh Tuhan dibuat penuh kesulitan dengan saya sakit; anak saya ketularan sakit; istri saya kelelahan mengurus anak sakit bebarengan dengan melakukan pekerjaan rumah tangga ditambah tugas-tugas menyangkut perusahaan kami; desainer grafis yang sulit dihubungi dan sekalinya bisa dihubungi dia terpecah konsentrasinya karena anaknya sakit; ditambah internet yang digunakan si desainer (dia bekerja dari rumah karena anaknya sakit) lemot, dan lain-lain kendala silih berganti.

Ditambah saya juga harus menyelesaikan penerjemahan naskah 32 halaman berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris dan dua halaman dari bahasa Belanda ke Indonesia, yang saya terima dari Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut (DispenAL) sebelum tanggal 10 Juli—yang ini bisa saya selesaikan lebih cepat karena dijanjikan honornya cepat turun.

Senin malam saya lembur, masih dalam keadaan payah karena sakit, dan saya baru tidur jam 2.30 dinihari karena harus mengirim pekerjaan ke klien yang karena ukuran file-nya besar (553 MB) pengunggahan ke emailnya (via WeTransfer) memakan waktu sampai lebih dari setengah jam. Saya terpaksa membatalkan tiga janji meeting dengan klien-klien lain, karena flu yang saya derita semakin parah.

Ketika semua sudah selesai, Rabu pagi (10 Juli), baru saya bisa rebah di kasur dan tidur dengan tenang. Rabu siang, staf DispenAL mengabari honor saya sudah ditransfer. Puji Tuhan.

Pelajaran apa yang saya peroleh melalui serangkaian peristiwa ini? Apakah berarti saya harus banyak beristirahat di momen sehat saya? Atau justru banyak bergerak agar badan saya kuat? Apakah saya harus rajin minum obat atau rajin mencari tahu tentang pengobatan tradisional?

Ketika saya tengah menuntaskan tulisan ini, pada 16 Juli 2019, saya masih batuk, walau tidak separah pada 6-8 Juli. Hidung saya masih meler layaknya orang pilek, dan badan saya mudah lelah. Saya tidak dapat melawan datangnya penyakit, meskipun anggapan secara umum mengatakan saya kurang istirahat dan suka mengonsumsi makanan yang tidak sehat. Bila Tuhan menghendaki, tentunya saya diberiNya jalan untuk beristirahat total di tempat tidur. Nyatanya tidak; Dia malah “mendorong” saya untuk terus menjalani keseharian saya sebagai orang yang tidak sakit. Pencipta tentu lebih tahu daripada apa yang diketahui ciptaannya, kan?

Saya tidak dapat melawan kenyataan; saya hanya harus menerima kenyataan dengan perasaan sabar, tawakal, dan ikhlas. Saya merasakan langkah saya menjadi ringan dengan cahaya petunjukNya ini.

“Baiklah, Tuhan,” saya membatin, “Aku ikuti apa mauMu. Aku yakin Engkau tahu apa yang terbaik bagiku. Sakit ini hanyalah beban pikiranku. Badanku sakit, tapi jiwaku sehat, dan ia bergembira dengan kenyataan bahwa Engkau tak berhenti membimbingku.” Puji Tuhan!@2019



Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 16 Juli 2019