Thursday, August 27, 2009

Kok Bisa Ya? (Begitulah Adanya)

“Bila Anda dapat menenangkan pikiran Anda yang resah
dengan perlahan dan pasti, Tuhan akan segera dan
gembira membuka HatiNya yang Maha Luas.”
Sri Chinmoy Kumar Ghose


Saya acap diserbu pertanyaan dan pernyataan, setiap kali saya melempar wacana ‘menghentikan kerja pikiran’ atau ‘mengosongkan pikiran’: Bagaimana bisa? Tidak mungkin pikiran dihentikan, walaupun sejenak, karena ia pelengkap manusia untuk hidup di dunia. Pikiran itu seperti titik pada papan tulis. Apakah baik atau salah, ia tetap ada.

Okay deh, simak dahulu kisah nyata berikut, yang saya alami baru-baru ini. Pada 23 Agustus 2009 lalu, istri saya, yang secara profesional memanajeri pekerjaan-pekerjaan yang saya terima sebagai seorang freelancer, ditelepon oleh Anggitya (bukan nama sebenarnya), project procurement officer SAM Design, sebuah perusahaan layanan digital terpadu yang berbasis di Jakarta dan Surabaya. Saya dan istri sudah mengenal baik Anggitya dan jasa saya selaku public relations writer pernah dipakai SAM Design. Kali ini, SAM Design bermaksud memakai jasa saya lagi, sebagai scriptwriter untuk proyek pembuatan profil video sebuah perusahaan kontraktor pertambangan yang wilayah operasinya mencakup Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.

Selain nama perusahaan, kepada saya tidak diberikan info dan data yang menunjang tentang seluk-beluk perusahaan yang dapat membantu saya mengerangka profilnya. Situs Web-nya ada tetapi tidak bisa diakses (page cannot be opened). Pokoknya, saya benar-benar tidak punya arahan, sedangkan saya tidak terbiasa menggunakan imajinasi belaka dalam membuat profil video yang menyangkut citra sebuah perusahaan. Tenggat waktunya pun sangat ketat – naskah harus sudah selesai sebelum tanggal 28 Agustus, karena pada 29-nya kru syuting akan terbang ke Balikpapan.

Sepanjang lima belas tahun karier saya, belum pernah sekalipun saya mengerjakan suatu naskah tanpa data dan informasi sama sekali, sehingga saya menengarai suatu kejanggalan dalam pekerjaan yang diorderkan SAM Design ke saya.

Pada hari Selasa, 25 Agustus, saya harus memenuhi jadwal online editing sebuah iklan televisi yang tengah saya garap, di griya pasca produksi di Jakarta Barat. Sepanjang perjalanan dari Cilandak (lokasi salah satu perusahaan komunikasi pemasaran tempat saya mencari nafkah sebagai freelance copywriter), Jakarta Selatan, ke Kelapa Dua, Jakarta Barat, sambil mengendarai sepeda motor di bawah pancaran sinar matahari yang terik, saya merenungkan pernyataan ulama bahwa doa orang yang berpuasa pasti Tuhan kabulkan. “Ya Allah, berikan aku petunjuk dalam kaitan dengan pekerjaan dari SAM Design,” doa saya dalam hati.

Sampai di tempat, saya bersua dengan sutradara yang mengarahkan produksi iklan televisi tersebut. Kepadanya saya berkeluh-kesah mengenai SAM Design dan cara kerjanya yang menurut saya janggal berkaitan dengan penulisan naskah profil video kliennya. Spontan, si sutradara berkata, “Yang berangkat ke Balikpapan tanggal 29-30 Agustus itu ya?” Lalu, ia menjelaskan bahwa yang menggarap syutingnya adalah mitranya sendiri, yang juga saya kenal berhubung yang bersangkutan bertindak sebagai asisten sutradara bagi proyek iklan televisi yang hari itu masuk tahap online editing. Si sutradara bahkan menyambungkan saya melalui telepon selulernya dengan orang yang dimaksud, dan ia menjelaskan duduk perkaranya. Benang merah pun mulai terajut. Dengan jernih, saya melihat petunjuk Gusti Allah!

Akhirnya, meskipun saya segera teringat pada doa yang saya panjatkan beberapa saat sebelumnya, ketika saya sedang melaju di jalan, saya sempat berujar, “Kok bisa ya?” Kok bisa ‘maksud-maksud tak jelas’ SAM Design terbongkar dengan demikian mudahnya melalui obrolan simpel nan santai antara saya dan si sutradara? Anggitya yang sempat dikontak istri saya mengenai pengalaman saya yang mendebarkan (saya benar-benar gemetar begitu tersadar bahwa Tuhan Maha Mendengar doa hambaNya), juga berujar, “Kok bisa ya?”

Kok bisa ya? Ya, bisa saja, lantaran begitulah adanya – kenyataan itu tidak bisa digugat, diteorikan, dianggap kebetulan, dan lain-lain yang biasanya ingin kita pikirkan. Begitulah sifat pikiran; selalu ingin dipuaskan dengan jawaban-jawaban logis. Itulah batas akhir penggunaan pikiran kita. Sampai di situ saja! Kalau dipaksa untuk diteruskan, bisa-bisa kita jadi gila.

Pernyataan ulama bahwa doa orang yang berpuasa pasti dikabulkan Allah memang akhirnya terbukti. Tetapi bagaimana Tuhan melakukannya, tidak perlu dipikirkan. Buang-buang waktu saja. Ini mempertegas kenyataan bahwa kerja pikiran amat sangat terbatas, tidak mampu melampaui kemahaluasan Tuhan, dan karenanya bisa dihentikan atau dikosongkan sejenak. Di atas itu semua, serahkan segala urusan kepada Sang Pencipta. Sikap berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal adalah kunci pembuka segala rahasia, mulai dari yang bikinan manusia (seperti dalam kasus SAM Design) sampai, jika dikehendakiNya, yang bersifat Ilahi.©

Thursday, August 20, 2009

Tuhan Teori

Enam Oktober 1995, ayah saya masuk rumah sakit lantaran menderita sakit lever. Oleh sebab penyakit yang diderita ayah saya sudah sangat kritis, maka beliau langsung ditempatkan di high-care unit (HCU).

Ada empat kamar dalam posisi dua kamar bersebelahan, sementara dua lainnya berada di seberangnya. Satu per satu pasien HCU meninggal. Ayah saya sempat keluar dari rumah sakit, karena menurut dokter, kondisinya membaik. Namun, satu hari kemudian beliau masuk HCU lagi sampai beliau wafat pada 1 November 1995.

Di kamar di seberang kamar yang ditempati ayah saya berbaring seorang pasien yang kondisinya, tampaknya, sudah sangat kritis. Ia mengenakan masker oksigen dan selang-selang serta kabel-kabel disambung ke badannya. Saya perhatikan, tampaknya keluarga yang mengerubungi si pasien beragama Islam yang taat, karena yang wanita semua berjilbab, sedang yang prianya berjenggot, ujung celana bawah menggantung di atas mata kaki. Hingga saat itu, anggapan saya, keislaman yang baik dan benar adalah bila berpenampilan seperti itu.

Si pasien, yang tampaknya adalah suami dan ayah mereka, terlihat megap-megap, mengingatkan saya pada kakek saya yang mengembuskan napas terakhir sepuluh tahun sebelumnya, dan tanda-tanda sebelum wafat adalah megap-megap semacam itu. Perhatian saya kemudian tidak terlalu tertuju pada si pasien, melainkan pada keluarganya, yang tindak-tanduknya sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW: mereka, wanita maupun pria, meraung-raung, meratap, memukul-mukul tembok. Salah seorang putranya yang sudah dewasa malah membentur-benturkan keningnya ke jendela sambil menangis dan berteriak, "Ayah, Ayah, jangan pergi, Ayah!"

Hari itu adalah awal mula saya meragukan (pel)ajaran yang pernah diberikan oleh guru agama. Sebenarnya, bukan (pel)ajaran agamanya, tetapi orang-orangnya; mereka yang selalu menggaungkan Islamlah agama yang paling benar, tetapi pada saat yang sama tidak dapat memberikan contoh yang baik. Mereka mengutamakan atribut supaya diidentifikasi sebagai muslim, namun tidak menghayati penyerahan diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal yang seharusnya menjadi sikap dan perilaku muslim (yang berarti 'orang yang berserah diri').

Pada hari, di mana pasien yang menjadi tetangga ayah saya di HCU mengembuskan napas terakhir, diiringi ratapan dan raungan keluarganya -- bukannya ketenangan diri, keikhlasan dan doa, saya mulai mencari Tuhan yang bisa saya alami dengan keenam indra saya. Tuhan yang menjadi bagian dari praktik kehidupan saya. Bukan Tuhan teori.

Sebelum ini, keberagamaan saya terisi dengan pencekokan tentang Tuhan yang teori, Tuhan yang dibikin-bikin oleh manusia, dibatas-batasi sifat dan kehendakNya. Pelajaran agama yang saya terima melulu berisi informasi tentang Tuhan yang sifatNya mirip manusia: harus dipuja-puji dulu baru mau kasih apa yang kita minta. (Dalam hal ini, kok Tuhan seperti saudara-saudara dan teman-teman saya yang mesti saya puji dulu, di-baik-baikin dulu, supaya mereka mau memenuhi permintaan saya?!)

Waktu ayah saya wafat, disusul ibu saya sepuluh bulan kemudian, saya baru menyadari apa yang tidak diajarkan ke saya lewat agama, mungkin karena guru agama keasikan meneorikan Tuhan. Saya tidak pernah diajarkan dan dibiasakan dengan metode, cara atau teknik berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal, yang belakangan baru saya tahu bahwa itu ciri-ciri seorang muslim yang baik.

Para guru agama saya, sadar atau tidak, telah mengajarkan rasa takut pada diri saya, bukan hanya kepada Tuhan tetapi juga kepada setan. Buktinya, mereka memberi saya doa-doa untuk melawan setan, seakan doa itu mantra a la pemburu vampir dalam film. Untungnya, pertama kali saya berjumpa face-to-face dengan kuntilanak, lalu dengan pocong, saya sudah memiliki keinsafan bahwa Tuhan bersama saya selalu, sehingga tak ada yang perlu saya takutkan. Bukan doa yang saya semburkan ke muka mereka, melainkan caci-maki, "Dasar jin kunyuk. Emangnya gue takut ama lu apa?!" Saat itu, saya telah beroleh kepahaman bahwa makhluk-makhluk itu tidak bakal mendekati manusia yang jiwanya berserah diri kepada kekuasaanNya.

Suatu kali, kawan saya, seorang wanita yang ibunya aktif sebagai pengurus salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, sehingga ia pun mengidentifikasi dirinya dengan atribut-atribut organisasi tersebut, bercerita bahwa ia belum pernah salat Tahajud, bukan karena tidak mau, melainkan lantaran tidak berani. "Salat Tahajud harus malam, sih. Aku takut ketemu setan," ujarnya.

Saya pun bilang ke dia, kalau setan tidak kenal waktu. "Kalau dia muncul pas kamu salat Subuh, Dzuhur, Asar, Maghrib dan Isya', kamu nggak bakal salat lima waktu dong?" Kawan saya itu hanya bisa ngambek, dianggapnya saya menakut-nakuti dia.

Kawan saya lainnya rela menunaikan salat di atas kasur ranjang di kamar hotel yang dia inapi, karena pelayan housekeeping yang datang merapikan kamar selalu bersepatu dan ia khawatir lantainya kotor karenanya. Dia takut salatnya tidak sah karena itu, tetapi tidak takut bilamana kasur yang ia pakai untuk menggelar sajadahnya mungkin pernah dipakai tamu sebelumnya untuk berzina.

Kedua kawan saya di atas pasti menyerap teori dari guru agama, bahwa setan maupun Tuhan pilih-pilih waktu dan tempat. "Jangan menyebut nama Allah pas kamu di WC," tandas guru agama waktu saya sekolah dasar dahulu, sehingga waktu saya baca Surat al-Baqarah ayat 115, yang menyatakan bahwa ke mana pun engkau menghadap, di situ wajahKu, saya jadi bingung. Sebab, menurut guru agama saya, Tuhan tidak ada di WC -- di situ, ke mana pun engkau menghadap hanya ada wajah setan. Bagaimana dong ketika saya sudah sangat kebelet, dan mendapat penyalurannya di WC, dan spontan berucap "alhamdulillah"?

Tuhan Maha Segalanya, Maha Bisa dan ada di mana-mana, tetapi kehadiranNya dan apa yang bisa dan tidak bisa, mungkin dan tidak mungkin Dia Lakukan ditentukan oleh ulama dan pendeta, bahkan oleh kita semua yang bernisbah ciptaanNya? Tidak mengherankan, jika di negeri yang mayoritas penduduknya memeluk salah satu dari lima agama yang diakui negara korupsinya malah merajalela. Lha, yang disembah Tuhan teori, sih.(ads)


Jakarta, 9 Juli 2009

Wednesday, August 19, 2009

Aturan #1: Aturan Dibuat untuk Dilanggar

“Tidak ada aturan di sini – kita sedang berusaha untuk mencapai sesuatu.”
—Thomas A. Edison (1847-1931)


Lima belas tahun lalu, ketika saya mulai merintis karier di bidang penulisan naskah iklan (copywriting), saya menemukan buku Alastair Crompton, The Craft of Copywriting (1987), di rak perpustakaan biro iklan Matari Advertising. Crompton, antara lain, menandaskan bahwa ada 10 Aturan Perak dan 1 Aturan Emas dalam kaitan membuat iklan yang baik. Kesepuluh aturan perak itu mencakup ketentuan bahwa iklan yang baik itu harus bersandar pada strategi yang jitu, ide besar yang kokoh… Maaf, saya tidak hafal kedelapan aturan lainnya, gara-gara mengartikan secara keliru 1 Aturan Emasnya: Lupakan semua aturan! (Forget the rules).

Ekspresi bahwa aturan dibuat untuk dilanggar telah dipraktikkan secara luas dengan landasan berpikir yang keliru . Lha, bagaimana kita bisa melanggar suatu aturan jika belum menguasai aturan itu sendiri?

Tahun lalu, oleh salah seorang saudara Subud saya, saya diperkenalkan kepada seorang musisi jazz yang sohor oleh permainan musiknya yang sepintas serampangan, tidak berpegang pada aturan, namun irama yang dihasilkannya sungguh memukau telinga. Namanya Bayu Wirawan. Dengan sepak terjang mirip cacing kepanasan, ia unjuk kebolehan bermain kibor diiringi betotan bas dan drum di pentas festival jazz di Australia, yang kebetulan direkam video. Penonton melonjak-lonjak dan bertepuk tangan riuh. Saya menggeleng-geleng kagum saat menyaksikan video rekaman Bayu, yang mempersembahkan konsep bermain musik tanpa konsep itu. “Pertama-tama, kuasai dulu tekniknya, lalu silakan berimprovisasi. Langgar semua aturan!” ujar sang musisi kepada saya, yang membuat pikiran saya melayang ke momen ketika saya membaca buku Alastair Crompton. Saya menyesal, lantaran saya keliru menafsirkan pandangan penulisnya.

Melanggar aturan tidak bisa dilakukan dengan serta-merta. Kita harus memahami terlebih dahulu aturan itu, latar belakangnya, serta menguasai medannya. Saya memang keliru menafsirkan pendapat Crompton, tetapi saat itu saya sudah praktik langsung sebagai copywriter sungguhan, dan bahwa saya acap membelokkan aturan penulisan naskah iklan selama lima belas tahun karier saya itu dikarenakan secara praktis saya telah menguasai ‘aturannya yang lurus’ – dan tahu bilamana tindakan saya itu tidak menimbulkan efek yang berarti.

Bertindak kreatif sering dimaknai sebagai tindakan yang menghalalkan pelanggaran aturan. Kreativitas memang diawali dengan keberanian kita untuk keluar dari kotak (out-of-the-box). Ide-ide kreatif menyembur dari benak yang telah dikosongkan dari paradigma, aturan-aturan dan penilaian.

Jauh lebih baik apabila kita bisa menjadi diri sendiri dengan menjalani aturan-aturan kita sendiri, meski bertentangan dengan norma-norma yang berlaku umum, asal kita konsisten menjalankannya dan konsekuen dengan apa pun dampak yang ditimbulkannya.

Melanggar aturan adalah tema sentral yang dilontarkan Dan S. Kennedy dalam bukunya, No Rules – 21 Mitos Besar tentang Sukses dan Bagaimana Sukses dengan Cara Anda Sendiri (Bandung: Penerbit Kaifa/PT Mizan Pustaka, 2008). Pelajaran utama dalam buku ini, seperti ditekankan oleh pengantarnya adalah: Untuk mencapai keberhasilan dalam usaha, Anda dituntut untuk melanggar aturan.

Kennedy punya pengalaman mirip kisah saya dengan Alastair Crompton di atas. Di halaman 34, ia menulis, “Usaha utama saya adalah periklanan. Dan ada triliunan aturan mengenai cara membuat iklan yang baik. Ada segudang kearifan konvensional. Saya sudah menjalani karier saya dengan cara melanggar semua kearifan, seluruh aturan itu.” Bila saya mengikuti anjuran The Craft of Copywriting, Kennedy mengacu pada artikel Mal Warwick, “The 11 Cardinal Rules of Copywriting – And How to Break Them,” dalam majalah Fund Raising Management edisi Januari 1993. Meski melanggar aturan, ketika menulis naskah untuk sebuah periklanan tanggap-langsung (direct-response advertising), Kennedy sesungguhnya mengikuti aturan – yaitu bahwa kadangkala aturan harus dilanggar. Ia menyadari hal itu, sehingga di halaman 36 ia menulis, “Mungkin, bagian terbaik buku ini adalah bahwa buku ini tidak sepakat dengan isinya sendiri.”

Inti dari buku ini adalah bahwa tidak semua aturan dapat diaplikasi pada hal yang sama secara berulang-ulang. Dan pembaca diajak untuk peka dalam mengenali kapan sebuah aturan bisa dilanggar (atau tepatnya, diganti dengan aturan lain). “Di sisi lain, bukan saya saja yang yakin bahwa tak seorang pun memiliki seperangkat instruksi yang cocok-untuk-semua, dapat menyelesaikan semua hal, dan bisa mengatasi segala situasi, tetapi saya juga yakin bahwa jika ada yang memilikinya, mereka juga sering sekali tidak menyetujuinya” (halaman 36).

Kennedy tampaknya geram dengan kenyataan bahwa selama ini ia dibohongi oleh mitos-mitos yang secara umum telah dianggap sebagai kebenaran mutlak. Ia menggugurkan semua mitos itu dengan kenyataan-kenyataan sebaliknya yang ia jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Ke-21 mitos yang diungkap Kennedy dalam No Rules termasuk:
1. Mitos: Jangan pernah mundur.
Salah! Mundurlah! Langkah pertama untuk keluar dari lubang adalah berhenti menggalinya.
2. Mitos: Untuk menghasilkan uang dibutuhkan modal uang.
Salah! Tidak perlu. Banyak cara menghasilkan uang tanpa uang.
3. Mitos: Jangan pernah mencampuradukkan bisnis dengan kesenangan.
Salah! Malah harus. Setiap ada kesempatan, bersenang-senanglah.
4. Mitos: Orang tidak akan mencapai apa pun tanpa pendidikan tinggi.
Salah! Bisa saja. Dan jadilah kaya untuk meraih pendidikan apa pun.
5. Mitos: Manajer harus memperlakukan orang secara sama rata.
Salah! Jika ingin mencapai produktivitas maksimal, perlakukan setiap orang secara unik.
6. Mitos: Biar lambat asal selamat.
Salah! Teknologi komunikasi masa kini menuntut kecepatan bertindak.

Bagaimana? Tertarik untuk membacanya? Tidak ada aturan lho Anda harus membaca buku ini. “Jika buku ini tak memberikan hal lain kepada Anda, saya harap buku ini memberi inspirasi agar menjadi seorang penentang dalam menghadapi cara tunggal seseorang yang merasa paling benar dalam melakukan sesuatu atau kearifan seseorang yang sudah tak bisa diganggu gugat lagi. Tantanglah habis-habisan. Jangan takut menanyakan pertanyaan bodoh. Jangan pernah terintimidasi oleh tokoh yang berkuasa. Tepiskan dogma dari sepatu Anda dan wujudkan sesuatu dengan cara Anda sendiri,” tulis Dan S. Kennedy di halaman 345-346 bukunya.©


Jakarta, 17 Agustus 2009

Berdoa… Selesai!

“Satu ungkapan syukur ke Tuhan adalah doa yang paling sempurna.”
—G.E. Lessing (1729-1781)


Kemarin, 16 Agustus 2009, art director semasa saya masih bekerja sebagai ‘orang gajian’ datang mengunjungi saya. Sudah lebih dari sembilan bulan kami tidak bertemu muka, disebabkan oleh kesibukan masing-masing. Ia juga sudah menjadi saudara Subud saya sejak tiga tahun yang lalu, namun kami tidak pernah bersua di kelompok Subud mana pun di Jakarta, lantaran ia tengah asik menikmati berbagai pengalaman spiritual di luar lingkungan formalitas perkumpulan persaudaraan kejiwaan Susila Budhi Dharma (Subud) – menurut saya, begitulah seharusnya; mengamalkan spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari.

Saudara Subud ini menyampaikan kepada saya kebenaran yang pernah saya lontarkan dalam salah satu note Facebook saya, bahwa ketika kita menginginkan sesuatu maka alam semesta akan bersatu padu untuk mewujudkannya. Ia bercerita kepada teman-temannya tentang seorang copywriter (maksudnya, saya) yang dua tahun sebelumnya mengutarakan keinginannya untuk bekerja sambil jalan-jalan. Dan kini keinginan itu terwujud melalui kenyataan bahwa saya telah menjadi seorang travel writer (penulis wisata). Mata pencarian saya saat ini memang berlibur!

Saya mencoba mengingat-ingat, kapan saya pernah mengatakan hal itu – bekerja sambil jalan-jalan – tetapi tidak dapat, sedangkan saudara Subud saya itu dengan jelas masih mengingatnya. Yang tiba-tiba teringat oleh saya adalah ketika pada 17 Juni 2009, di Citibank executive lounge bandar udara Soekarno-Hatta, Jakarta, saya menulis jawaban kepada salah seorang teman Facebook saya yang mencurahkan kegundahannya kepada saya, mengapa orang yang rajin salat hidupnya lebih menderita daripada orang yang salatnya belang-bentong (jarang). Saat itu, saya menandaskan kepadanya bahwa Tuhan selalu mengabulkan doa kita, tetapi tidak segera, agar kita memperoleh lebih banyak dalam prosesnya – lebih banyak dan lebih bernilai dari yang kita inginkan.

Lalu, tiba-tiba saya tersadar bahwa pada saat itu Tuhan sedang mewujudkan doa saya. Saat itu, saya tengah menanti jadwal keberangkatan pesawat Garuda Indonesia dengan tujuan Jayapura, Papua, membawa serta lima puluh eksemplar buku Doors to the Unknown – The Story of Sentani in the Jayapura Regency of Papua yang saya garap bersama fotografer kondang Toni Sri, yang akan menjadi cinderamata Bupati Jayapura bagi para tamu kehormatan yang menghadiri pembukaan Festival Danau Sentani pada 19 Juni 2009.

Buku tersebut – pada saat saya menjawab pesan masuk dari teman Facebook itu – membawa ingatan saya ke tahun 1993, ketika saya baru menggondol ijazah sarjana ilmu sejarah dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia, di mana saya sempat melayangkan surat lamaran untuk menjadi pemandu wisata ke dua belas agen perjalanan. Semangat saya untuk menjadi tour guide dipicu oleh teman saya semasa kuliah yang sukses dengan profesi itu. Saya membayangkan betapa serunya menjadi orang yang dibayar untuk berlibur.

Tak satu pun surat lamaran saya yang ditanggapi. Saya malah tecebur ke dunia komunikasi pemasaran, yang selama tahun-tahun pertama membosankan saya. Tetapi, perlahan-lahan, keinginan saya untuk menjadi pemandu wisata pun pupus, lebur oleh ingar-bingar dunia komunikasi pemasaran yang sempat membuat saya tidak berpijak ke bumi.

Buku Doors to the Unknown serta curahan hati teman Facebook saya itu membuat saya teringat: “Iya-ya, aku kan pernah ingin jadi pemandu wisata?!” Proses hingga lebih dari lima belas tahun yang harus saya lalui tanpa gambaran yang jelas mengenai cita-cita itu ternyata, akhirnya, menjadikan saya pemandu wisata plus-plus. Saya memandu wisatawan ke tempat-tempat menarik (places of interest) lewat tulisan saya. Bukan saja saya dibisakan oleh pengalaman selama lima belas tahun di dunia komunikasi pemasaran untuk menulis artikel mengenai obyek wisata di media cetak, tetapi juga menulis untuk format audio-visual dan yang berbasis Web. Semua itu dengan gaya pemasaran yang komunikatif.

Secara fisik, sebelum ini saya memang belum pernah langsung mendampingi wisatawan ke obyek-obyek wisata. Tetapi, bagaikan deretan kartu domino yang roboh secara berurutan, hanya sehari setelah penutupan Festival Danau Sentani pada 23 Juni 2009, di mana selama itu buku saya dibagi-bagikan kepada para tamu kehormatan dalam dan luar negeri, saya didaulat secara dadakan untuk menjadi ‘penyambung perbedaan bahasa’ antara Pak Bupati dan dua tamunya dari Jerman yang datang khusus untuk memenuhi undangan panitia festival serta melongok potensi-potensi wisata Kabupaten Jayapura!

Serangkaian pengalaman ini membuat saya memahami – paling tidak, secara pribadi – bahwa sebaiknya Anda menyelesaikan doa Anda segera setelah mengajukan permintaan dan lupakan apa yang Anda minta serta biarkan diri Anda larut dalam proses yang membuat Anda tumbuh dan berkembang sedemikian rupa hingga fokus Anda bukan lagi apa yang Anda minta itu. Mudah-mudahan, Anda akan teringat lagi saat doa Anda terkabul. Karena pada saat itulah Anda akan menyadari betapa berlimpah yang dikaruniakan Tuhan atas sebuah doa yang simpel.©


Jakarta, 17 Agustus 2009

BIARKAN HIDUP MEREKAH


“Anda dibangun bukan untuk menyusut tetapi untuk kian merekah.”
—Oprah Winfrey, dalam O Magazine, Februari 2003.


Beberapa tahun belakangan ini, saya acap bersua dengan para pekerja kreatif periklanan yang baru ‘kemarin sore’ melangkah di industri ini. Karena baru, mereka umumnya sedang asik-asiknya menghimpun portfolio yang banyak dan – mesti – yang cool, seperti iklan cetak atau televisi dari merek-merek yang top atau berpotensi memenangkan penghargaan. Tahun lalu, misalnya, saya bertemu dengan yunior saya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dahulu yang telah menjadi copywriter (penulis naskah iklan) di sebuah biro iklan papan atas. Ia termasuk golongan seperti tersebut di atas. Sehingga waktu saya meminta dia (dengan imbalan, tentu saja) untuk membantu saya mengerjakan beberapa proyek penulisan laporan tahunan (annual report) dan profil perusahaan, dengan mimik melecehkan ia menolak. “Gue lagi ngumpulin portfolio yang cool dulu, nih,” katanya, seraya ngeloyor pergi.

Golongan penghimpun portfolio keren bukan saja mencakup anak-anak kemarin sore di dunia periklanan, tetapi ada juga yang dari kalangan para pelaku kawakan, yang sudah malang-melintang di medan komunikasi pemasaran selama minimal sepuluh tahun. Saya pun pernah menjadi makhluk semacam itu, sampai suatu saat saya memperoleh kepahaman, bahwa apabila saya menolak atau tergesa-gesa menghadapi suatu peristiwa atau keadaan dalam hidup ini berarti saya tidak membiarkan hidup saya merekah, tumbuh dan berkembang sempurna.

Saya mengibaratkan hidup ini bagaikan sekuntum bunga. Ketika kita dilahirkan di dunia, maka hidup kita ini bagaikan bunga yang masih kuncup. Hujan dan sengat matahari, siang dan malam terus menyirami kita. Kita dihinggapi kupu-kupu dan lebah pengisap madu, juga ancaman dipetik ketika hidup kita bahkan belum sempurna. Untuk tampil penuh dan merekah cantik, bunga itu harus melalui proses yang berliku. Banyak dari kita yang tidak sabar dengan proses menuju hidup yang merekah secara penuh dan menggelora. Semua ingin mereka capai, kalau bisa, secara serba instan. Padahal, melalui proses tersebut kita beroleh pelajaran, pengalaman dan pemahaman yang dapat menjadi bekal untuk melakoni hidup. Banyak dari kita tidak bersedia memberi hidup mereka kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, utamanya karena mereka tidak sabar serta berat hati untuk melewati prosesnya.

Ketergesaan, sebagaimana dituturkan oleh pengalaman saya, melemahkan kepekaan kita. Hidup kita menjadi tidak kreatif, tidak berjiwa, serta kita tidak akan mampu memaknai maksud dan tujuan hidup kita. Ketidaktahuan mengenai apa tujuan hidup kita lebih mengerikan daripada kematian, karena kita bakal seperti orang buta yang berjalan tertatih-tatih tanpa tujuan. Hidup tanpa mau melalui prosesnya juga membuat kita miskin secara material, intelektual serta spiritual. Kita akan cenderung menyesali dunia di mana kita hidup.

Meski kini saya sudah lebih dari lima belas tahun menggeluti profesi saya sebagai copywriter, saya sadar bahwa dengan membatasi diri atau menghindari diri dari jenis-jenis pekerjaan yang kesannya tidak bergengsi sama saja saya menolak untuk berproses. Sama saja saya menolak rezeki dari Allah – yang baru dapat kita ketahui kebenarannya apabila kita telah mewujudkannya melalui berbagai tindakan ikhtiar. Dalam lima tahun terakhir, saya telah ditawari berbagai kesempatan, yang umumnya ‘melenceng’ dari dunia periklanan serta kesukaan-kesukaan saya lainnya, namun tidak saya tampik. Bukan karena saya serakah, bukan pula demi imbalannya – yang kadang tidak sepadan dengan ukuran pekerjaannya, melainkan karena saya terdorong oleh rasa penasaran: ke mana kesempatan-kesempatan itu akan membawa saya dan pada akhirnya saya akan tiba di mana.

Kadang kita sampai pada suatu keadaan yang mengecewakan atau di luar harapan kita, atau suatu kondisi yang tidak kita mengerti. Tetapi tetap saja kita harus memberi kesempatan pada hidup kita untuk berkembang. Kepahaman atas hal itu mungkin tidak segera menghampiri kita saat itu juga, tetapi lama kemudian; tidak tahu kapan, tiba-tiba saja kita akan dimengertikan oleh suatu pengalaman.

Dengan saya tidak menutup pintu saya terhadap jenis-jenis pekerjaan yang secara subyektif dianggap tidak bergengsi atau tidak ‘mencemerlangkan’ portfolio, alhamdulillah kini bertambah luas wawasan saya serta bertambah banyak kemampuan saya. Hidup saya merekah sedemikian rupa, serasa begitu luas. Dan saya pun semakin menginsafi betapa berlimpahnya kekayaan material, intelektual dan spiritual yang Tuhan berikan atas diri manusia.

Hadapi segala peristiwa dan keadaan dalam hidup Anda dengan sabar, ikhlas dan tawakal. Dan biarkan hidup Anda merekah secara penuh.©


Jakarta, 8 Agustus 2009

Menyerah untuk Sukses

Merupakan hal yang hampir lumrah bila profesional mematok target, karena dengan pijakan target biasanya pekerjaan menjadi terarah visi dan misinya. Namun kebanyakan profesional dewasa ini -- di tengah tuntutan dunia yang semakin kompetitif -- malah mengekang diri dengan target-target, seolah kesuksesan merupakan efek dari kimia pribadi: bila berusaha keras, maka kesuksesan adalah imbalan logis dari usaha tersebut. Ini sering terjadi pada kita yang cenderung menetapkan target-target yang tidak sepadan dengan kemampuan kita. Sehingga begitu target gagal tercapai, kita akan terserang penyakit hati: marah, kecewa, iri pada kesuksesan orang lain dan, yang parah, menuduh Tuhan tidak adil.

Tolok ukur kesuksesan tidak terletak pada hasil yang dicapai ketika kita telah menuntaskan usaha kita dan memperoleh imbalan materi yang signifikan. Kesuksesan bukan berhasil menimbun kekayaan sebagai dampak dari upaya pekerjaan. Kesuksesan justru terletak pada kemauan kita untuk berproses. Kesuksesan adalah ketika kita berhasil melawan ketakutan dan kekhawatiran akan kegagalan dalam usaha. Berhasil menempatkan diri dalam proses, itulah makna sejati kesuksesan. Greget dan gelora semangat lebih terasa ketika kita berikhtiar, ketimbang ketika kita sampai pada perwujudan ekspektasi.

Di dunia yang fana ini, terdapat dua elemen kehidupan makhluk berakal, yaitu bentuk dan rasa. Menurut Rumi (dalam William Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi {Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003}), bentuk berasal dari rasa, seperti singa mewujud dari kegelapan belantara yang berasal dari pikiran. Walaupun tampaknya terpisah, tetapi bentuk dan rasa pada hakikatnya merupakan satu entitas yang tak terpisahkan satu sama lain. Gula harus berasa manis. Gula adalah bentuk kristalisasi tebu setelah mengalami pemrosesan tertentu. Rasa gula adalah rasa manis tebu. Tanpa rasa manis tebu, atau bahkan pahit seperti brotowali, tidak dapat disebut gula.

Manusia terdiri dari raga dan jiwa. Jiwa dan raga membentuk entitas bernama manusia. Di dalam jiwa bersemayam akal. Itulah yang membedakan manusia dari hewan; hewan hanya memiliki ruh dan hidup berdasar naluri hewaniah. Tetapi jiwa manusia juga tak dapat berdiri sendiri untuk dapat melakoni hidup di dunia. Manusia pun diperlengkapi dengan rasa diri, yang membungkus jiwa.

Bagaimana membangkitkan rasa diri? Yang telah dilakukan orang-orang di masa lalu, kebangkitan rasa diri dimulai dari kemauan menentramkan batin, menghentikan sementara bekerjanya akal pikir dan hawa nafsu. Atau, tepatnya, yang selama ini akal pikir dan hawa nafsu dipertuan, dikembalikan kepada proporsi hakikinya sebagai pembantu. Dengan ketentraman batin mereka melakoni penyerahan diri kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa dengan sabar, ikhlas dan tawakal. State of submission ini membawa mereka ke state of transcendency (kontak batiniah dengan Tuhan), mengikuti gerak diri secara spontan begitu rasa diri terbebas dari pengaruh akal pikir dan hawa nafsu.

Apa sebab hawa nafsu dan akal pikir harus dipisahkan dari rasa diri, sedangkan kedua unsur itu merupakan alat peserta hidup kita yang utama, yang dapat digunakan untuk mempertinggi dan memperluas wawasan intelektual kita? Dengan masih adanya hawa nafsu kehendak dan akal pikir dalam rasa diri, kita tidak akan dapat sampai ke state of transcendency, sehingga tidak mungkin mendapatkan kontak spiritual dengan Ruh Yang Maha Kuasa yang sesungguhnya telah meliputi, baik di dalam maupun di luar rasa diri.

Bila kita menyerahkan semua hasrat, harapan, ketakutan dan angan-angan tanpa terkecuali, maka yang tersisa adalah rasa diri yang hakiki! Apakah kita yang hidup di zaman modern ini bisa membangkitkan rasa diri, mengingat orang-orang di masa lalu harus melakoni laku prihatin (self-denial) dan laku tapa di hutan atau pegunungan? Para profesional, apalagi, terikat jadwal kerja dan sebagian sudah berkeluarga, sehingga tidak mungkin meninggalkannya.

Sesungguhnya, membangkitkan rasa diri bisa dilatih tanpa harus menjalankan laku prihatin dan tapa. Hanya berbekal kemauan untuk berserah diri dengan ikhlas, menumbuhkan rasa bahwa hanya Tuhan Yang Maha Berkehendak, sedang manusia hanya dapat berikhtiar dan berencana. Sikap menyerah seperti ini membuat kita dapat mengakses langsung 'kekuasaan' di balik kehidupan manusia (beyond human life) tanpa syarat amalan khusus serta meniadakan hubungan guru-murid, teori, ajaran atau pelajaran, maupun tata cara ritual penyembahan. Dengan sikap itu, rasa diri benar-benar dirasakan sudah tidak lagi terpengaruh oleh nafsu, kehendak pribadi dan akal pikir.

Berserah diri bersinonim dengan 'memasrahkan hasil kepada Tuhan'. Manusia hanya berhak atas proses, sedangkan hasil ada di dalam kendali Sang Pencipta. Berserah diri tidak sama dengan menyerah tanpa usaha sama sekali. Berserah diri justru sebuah sikap proaktif, sebuah perjuangan habis-habisan untuk melaksanakan apa pun yang bisa kita lakukan sekaligus menyadari eksistensi kekuasaan Tuhan yang bekerja di luar kontrol kita.

Inti dari berserah diri adalah selalu dapat melakukan sesuatu dalam situasi apa pun. Berserah diri bukanlah duduk termenung dan berdiam diri, tetapi konsep yang sangat dinamis dan proaktif. Jangan salah, menyerahkan pada Tuhan bukanlah tindakan yang pasif tetapi suatu pilihan yang kita ambil secara sadar.

Sikap berserah diri akan memberikan ketentraman yang sejati. Dalam situasi tanpa kontrol, berserah diri berarti memilih untuk menerima apa adanya, serta menghilangkan keinginan, ambisi dan cita-cita apa pun. Orang yang berserah diri dianugerahi kehidupan yang mengalir seperti air. Kaya atau miskin, sehat atau sakit, beruntung atau sial adalah produk rasa yang diperintah akal pikir. Dengan manajemen akal pikir dan hawa nafsu, rasa diri kita dapat memerintah akal pikir untuk selalu mengedepankan sikap-sikap positif.

"Kepemimpinan selalu dimulai dari diri sendiri," ujar Colin Powell, mantan menteri luar negeri Amerika Serikat. Karena itu, mulailah melakukan perjalanan ke dalam, yaitu menyelami diri kita masing-masing dan mendeteksi adanya benih-benih penyakit spiritual. Awalnya pasti sulit, namun camkan kata-kata mantan Sekretaris Jendral PBB, Dag Hammarskjold (1905-1961), yang banyak melakukan perjalanan antar negara dan antar benua, "Perjalanan yang paling panjang dan paling melelahkan adalah perjalanan ke dalam diri kita sendiri."©


Jakarta, 7 Agustus 2009

Yang Pertama Pastilah Peringatan

Pada 2 Agustus 2009 lalu, pukul 8.30, saya bergegas ke Wisma Subud di Jl. RS Fatmawati No 52, Jakarta Selatan, karena mesti menghadiri rapat Pengurus Nasional PPK Subud Indonesia pada pukul 9.00. Saya mengendarai sepeda motor dan istri saya, yang hendak pergi ke tempat lain, membonceng. Tidak mau membuang-buang waktu, dan karena lama perjalanan dari rumah saya ke Wisma Subud biasanya memakan waktu lebih dari setengah jam, maka sepeda motor pun saya pacu dalam kecepatan tinggi.

Pada suatu ruas jalan yang menanjak, hanya semenit dari kawasan kompleks tempat saya tinggal, mendadak keluar dari sebuah gang di tepi jalan dua sepeda yang masing-masing dikayuh anak-anak yang langsung berbelok, tetapi dengan terlebih dahulu masuk ke tengah jalan, seakan tak menghiraukan saya yang sedang melaju kencang. Spontan, saya mengerem, lantas saya pelankan laju sepeda motor saya seraya berjalan di sebelah salah satu sepeda tadi. Seorang anak laki-laki berusia kira-kira sepuluh tahun duduk di sadelnya.

Ingin sekali saya damprat anak itu, menjewer telinganya, menempelengnya, tetapi saya diingatkan oleh buku Jalaluddin Rakhmat, The Road to Muhammad (Bandung: Muthaharri Press dan Penerbit Mizan, 2009), yang sedang saya baca. Percuma dong saya menghabiskan waktu membaca profil Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, yang ternyata penuh kelembutan dan kasih sayang terhadap sesama, termasuk musuh-musuh beliau yang musyrik dan kafir sekalipun, jika saya tidak mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Saya hanya memelototi anak itu sembari menggerutu dengan maksud bercanda. Saya berharap, anak itu mengartikannya sebagai peringatan agar tidak sembrono di jalan raya.

Tindakan anak itu saya maknai sebagai peringatan bagi saya supaya tidak mengebut, meski sedang terburu-buru. Tetapi anak itu, sebaliknya, mengabaikan peringatan bahwa apabila ia sembrono di jalan raya ia bakal celaka. Benar saja: Hanya sesaat setelah saya melewatinya, ia menyeberangi jalan sambil mengayuh sepedanya dengan acuh tak acuh, dan sepeda motor lain pun menerjangnya, membuat anak itu terjerembab ke aspal!

Peristiwa di hari Minggu pagi yang cerah itu mengajarkan saya agar agar tidak mengabaikan peringatan pertama, sebab setelah itu saya pasti celaka. Ternyata alam tak pernah lelah dan bosan mengirim sinyal-sinyal peringatan kepada kita melalui peristiwa dan keadaan. Peristiwa serta keadaan yang pertama kali kita hadapi biasanya merupakan peringatan, yang jika tidak segera kita insafi akan membawa celaka bagi kita. Makanya, kalau orang Jawa bilang, hiduplah dengan senantiasa eling lan waspada, hidup secara sadar dengan selalu ingat dan waspada.

Salah seorang saudara Subud saya menuturkan pengalamannya dengan peringatan alami ini. Suatu kali, tak lama setelah ia masuk Subud, ia bersepeda motor di jalan raya. Maksud hati ingin melaju kencang, apa daya sebuah taksi di depannya selalu menghalangi jalannya. Ia heran sendiri, mengapa taksi itu sama sekali tidak mau memberinya jalan. Ketika ia hendak mendahului dari kanan, taksi itu bergeser ke kanan. Saat ia mengambil peluang untuk menyalip dari kiri, taksi itu buru-buru merapat ke kiri. Hal itu berlangsung lama. Yang membuat saudara Subud itu semakin heran adalah kenyataan bahwa jalan di depan taksi itu kosong, tidak ada kendaraan lain, yang artinya tidak alasan bagi taksi itu untuk berjalan pelan dan menghalang-halangi laju kendaraan lain.

Di saat dirinya diliputi keheranan, ia tiba-tiba teringat, bahwa dompetnya yang berisi STNK sepeda motor dan SIM-nya tertinggal di rumah oleh sebab ia berangkat dengan tergesa-gesa. Dan di salah satu ruas jalan ia menyaksikan polisi baru selesai mengadakan razia terhadap pengendara sepeda motor. Pada saat ia melewati lokasi razia itu, barulah taksi yang menghalang-halangi jalannya melesat pergi. Apakah semua ini hanya kebetulan?

Kebetulan saya tidak percaya ‘kebetulan’. Dan saudara Subud saya itu memaknai peristiwa yang dialaminya sebagai peringatan Tuhan. Tuhan memperingatkan lewat taksi itu, seakan Dia berkata, “Jangan tergesa-gesa, di muka sana ada razia. Tergesa-gesa membawa celaka. Lihatlah, kamu saja sampai lupa membawa SIM dan STNK.” Semenit saja saudara Subud saya itu lebih cepat dari yang dikehendakiNya, barangkali ia tak dapat menghindar dari razia.

Peristiwa atau keadaan yang pertama kita hadapi pastilah peringatan. Dan bila kita bisa bersabar sedikit saja akan terluangkan waktu bagi kita untuk dapat memaknainya, agar selanjutnya tidak tersandung.©


Jakarta, 3 Agustus 2009

Melakoni Hidup Secara Sepintas

“Sukses yang bertahan lama adalah hasil dari kesabaran,
ketahanan, kesiapan, dan pertumbuhan yang berkelanjutan.”
—Sidney Newton Bremer


Minggu ini (Selasa, 14 Juli-Minggu 19 Juli 2009) berisi hari-hari pembelajaran bagi saya. Pada hari Selasa itu, saya mengkopi ke dalam cakram padat (compact disc) lagu-lagu Richard Marx yang telah diunduh kawan saya dari Internet. Salah satunya adalah Thanks to You, sebuah lagu yang dipersembahkan Marx bagi ibu(nya). Salah satu liriknya, “And I never can do enough…”, begitu berkesan di hati saya. Bahkan melalui lagu yang melodinya demikian menyentuh perasaan, Marx maupun kita semua, saya kira, takkan pernah cukup berbuat untuk ibu kita. Perbuatan sebaik apa pun takkan pernah cukup untuk membalas kebaikan ibu pada anak-anaknya. Saya pribadi hanya bisa berusaha sebaik mungkin dalam hidup ini, agar susah-payah ibu saya melahirkan saya ke dunia ini ada gunanya.

Lalu, pada Jum’at, 17 Juli, beberapa belas menit sebelum saya mendapat kabar tentang ledakan bom di Ritz-Carlton dan J.W. Marriot, saya terinspirasi untuk menulis note Facebook bertajuk “Siapa Menggerakkan Siapa?”. Ketika orang-orang berkomentar tentang siapa yang menggerakkan pelaku pemboman, saya membatin, “Siapa menggerakkan siapa?” Hari itu, saya merenungkan kematian: bila saatnya tiba, pengamanan seketat apa pun takkan menghalangi malaikat maut menerobos barikade untuk menjemput Timothy Mackay dan kedelapan orang lainnya.

Hari Sabtu, 18 Juli, siang, saya menonton film Click di AXN. Film yang dibintangi Adam Sandler dan Kate Beckinsale itu mengisahkan seorang pria bernama Michael Newman (Sandler) yang menjadi suami dari Donna (Beckinsale), wanita cantik dan penuh perhatian terhadap keluarga, dan ayah dari dua anak, Ben dan Samantha. Michael gila kerja demi menggapai jabatan tinggi di firma arsitektur tempatnya bekerja hingga melupakan keluarganya. Ia juga marah pada Tuhan karena ia selalu ditimpa kesialan, hingga ia berharap dapat melewati (skip) itu semua.

Suatu hari, remote TV-nya rusak, dan pergilah ia ke toko di mana ia bertemu Morty, yang ternyata malaikat. Morty memberinya sebuah ‘pengendali semesta’ (universal remote), remote ajaib yang dengannya Michael bisa mengatur hidupnya semau dia dengan tinggal klik tombol remote. Semua yang menghalangi jalannya, yang menimbulkan sial baginya, ia skip. Ia menempuh jalan pintas dengan alat ajaib itu sampailah suatu ketika ia terbaring sekarat di rumah sakit lantaran serangan jantung pada saat ia menghadiri pesta pernikahan putranya, Ben. Michael telah melewati momen-momen di mana ia seharusnya menyaksikan anak-anaknya tumbuh dewasa. Ayah Michael meninggal tanpa ia tahu bagaimana. Juga bagaimana istrinya yang cantik akhirnya menikah dengan musuh bebuyutannya. Michael melakoni hidupnya secara sepintas lewat alat itu, sehingga ia kehilangan momen-momen berharga dalam hidupnya. Semua gara-gara ia menampik proses tumbuh dan berkembang yang mesti dijalaninya sebagai manusia.

Film itu, saya kira, juga meledek mereka yang menyia-siakan hal-hal yang paling esensial dalam hidup demi sesuatu yang semu, seperti karier yang hebat, harta yang berlimpah, dan jabatan. “Semua itu hanya sereal jagung, Michael,” kata Morty saat Michael terkapar menjelang ajal.

Hari Minggu, 19 Juli, usai rapat Pengurus Nasional PPK Subud Indonesia di Sekretariat, Wisma Indonesia, Kompleks Wisma Subud, Jalan RS Fatmawati 52, Jakarta Selatan, saya bersama sembilan saudara Subud saya mengunjungi saudara Subud yang sejak pertengahan tahun 2007 menderita sakit parah akibat diabetes. Bersamaan dengan sakit yang dideritanya, usaha soto mi serta Indomaret yang kini dikelola putra-putranya berkembang cukup pesat. Saudara Subud saya ini adalah pensiunan direktur utama sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengalihdayaan (outsourcing).

Kadang disela tangis, ia berkisah tentang dirinya, keluarganya dan hidupnya sejak ia didera sakit. Hartanya, yang dikumpulkannya dari jabatannya dahulu maupun dari bisnis-bisnisnya sekarang, terkikis untuk membiayai cuci darahnya lima hari sekali. Penyakit kronis yang dideritanya bukan satu-satunya kedukaan yang dialaminya sekarang ini, tetapi juga konflik dengan anak-istrinya. Bagaimanapun, ia menginsafi semua itu sebagai kasih-sayang Tuhan atas dirinya. Tak mau ia melewati momen itu. “To everything, give thanks,” ujarnya, mengutip kata-kata yang juga menjadi pedoman hidup salah seorang saudara Subud yang kemarin itu turut mengunjungi saudara Subud yang sedang sakit.

Pulang dari rumah saudara Subud itu, saya merenung di kamar. Tiba-tiba, saya mendapat kepahaman; secara rasa, hilang ketakutan saya akan kematian, lantaran hal itu adalah kehendak Tuhan yang tidak bisa disangkal. Yang saya takutkan adalah ketika saya mati nanti saya tiba-tiba sadar bahwa saya belum melakukan banyak hal bermakna dalam hidup ini. Saya pun tepekur ke dalam doa yang khidmat, “Ya Tuhan, janganlah Engkau membiarkan aku menjadi orang yang melakoni hidup secara sepintas.”©


Jakarta, 20 Juli 2009

Siapa Menggerakkan Siapa?

“…Maka Allah menyesatkan siapa pun yang Dia Kehendaki,
dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia Kehendaki.
Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
—QS Ibrahim [14]: 4


“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah;
dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.”
—QS Yunus [10]: 99-100


Waktu saya baru masuk Subud, seorang kawan ngenyeki (mengejek). Enyekan, cemoohan, bahkan tudingan murtad, sesat dan bid’ah merajam saya dari berbagai penjuru. Tetapi setiap kali saya mengheningkan diri, menyerahkan semua itu ke tangan kekuasaan Tuhan, saya terbebas dari kemelekatan pada ‘bentukan budaya’ yang mengatur dengan tegas bahwa enyekan, cemoohan dan tudingan itu menyakitkan dan bahwa pujian dan sanjungan itu menyenangkan. Dalam sekejap, rajam keji itu berubah menjadi siraman kalbu yang membawa kepahaman.

Karena masih baru, saya tidak dapat memberi penjelasan kepada kawan saya itu, sehingga saya memperkenalkannya pada saudara Subud yang lebih luas wawasan dan pengalamannya. Saudara Subud saya itu seorang ulama yang arif dan bijaksana. Dengan nada menyerang, kawan saya bertanya padanya, dari mana kita tahu bahwa yang menggerakkan peserta Latihan Kejiwaan Subud itu Tuhan. “Bisa saja jin kan?” kata kawan saya ketus.

Sambil tersenyum dengan keadaan diri tenang, tidak terprovokasi pertanyaan yang bernada menyerang itu, saudara Subud saya itu mengangguk-angguk dan berkata, “Iya, bisa saja. Tapi saya ingin nanya ke sampeyan, yang menggerakkan jinnya siapa ya?”

Kawan saya langsung gelagapan, kehilangan kata-kata. Reaksinya melantur tak jelas. Iya, siapa ya? Siapa yang menggerakkan jin, manusia serta alam semesta? Mungkinkah ada dualisme kekuasaan atas keberlangsungan hidup kita ini? Dan kalau pun ada, bagaimana jadinya hidup dan kehidupan kita apabila dua kekuasaan ini punya kepentingan masing-masing, yang satu mau menang atas yang lainnya? Saya tidak dapat membayangkan apabila dalam hal ini, setan yang menang atas Tuhan. Lho, Tuhan kok bisa kalah, kan Tuhan yang menciptakan setan?

Saya pribadi hanya ‘berpihak’ pada Tuhan Yang Maha Esa, yang tunggal, tidak ada yang lain. Hanya Dia Yang Maha Ada dan Maha Mengatur. Selebihnya, saya serahkan pada kehendakNya saja. Saya percaya, kehendakNya adalah yang terbaik bagi masing-masing kita. Saat kita ditimpa kemalangan maupun kesenangan, keburukan maupun kebaikan, derita maupun gembira, semua itu mengandung kehendakNya. Apakah jalan sesat itu memang sesat, dan apakah jalan lurus itu memang lurus, kita takkan pernah tahu – yang selama ini kita tahu hanyalah perumpamaan dari sesuatu yang sulit dijelaskan. Banyak orang menemukan kelurusan lewat jalan sesatnya, dan ada pula yang sebaliknya.

Itulah gunanya kita mesti senantiasa mengheningkan diri, melepaskan diri dari kemelekatan terhadap penilaian-penilaian atau penghakiman-penghakiman. Kita sering tidak sabar menghadapi masalah, sehingga kita kerap mencari kambing hitam atau menghujat, tanpa mau sedikit pun berintrospeksi. Berulang kali para guru kebijaksanaan menandaskan bukti-bukti bahwa wajah baik atau buruk lingkungan kita mencerminkan keadaan hati dan pikiran kita sendiri; bahwa hati yang busuk, misalnya, meresonansikan kebusukan ke ruang kehidupan kita.

Dengan senantiasa mengheningkan diri, kita akan terbebas dari penilaian/penghakiman terhadap segala perilaku. Saya perhatikan dari tingkah-laku sejumlah relasi saya yang acap menilai dan menghakimi orang lain sebagai salah dan sesat, pada akhirnya – mungkin karena penat menghadapi kebebalan yang tak kunjung usai – tanpa sadar memojokkan Tuhan, seolah Dia membiarkan kesesatan terjadi. Orang-orang semacam itu takkan pernah mau memahami hukum alam bahwasanya untuk memadamkan api diperlukan air atau pasir, bukan dengan api juga, yang malah akan menimbulkan kebakaran hebat; bahwa kebebalan mesti dipadamkan dengan kelembutan, dengan kerendah-hatian. Hal itu akan membawa kesembuhan, baik bagi yang bebal maupun bagi yang sebal.

Beberapa tahun lalu, di salah satu stasiun televisi swasta dalam rangka Ramadan, A’a Gym mengatakan,, “Janganlah kita membenci seseorang karena perbuatannya, karena begitu Allah membalikkan hatinya, ia bisa menjadi lebih baik daripada kita. Sebagai muslim, kita sebaiknya mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun.” Salut! Seperti itulah gambaran orang yang berserah diri; segala sesuatunya diserahkan kepada Tuhan, karena dari Dia segalanya berasal dan kepadaNya segalanya kembali.

Keheningan diri akan membawa kita kepada kepahaman bahwa semua perbuatan dan perkataan, pikiran dan perasaan digerakkan atas kehendak Tuhan. Bingung, atau kaget? Itu mungkin lantaran Anda masih terbelenggu penilaian atau penghakiman. Pengheningan diri akan merontokkan belenggu itu. Tetapi saya takkan memaksa Anda – ini bukan iklan atau aturan yang mengikat. Saya serahkan pada Tuhan saja, bagaimana Dia berkehendak menggerakkan kepahaman Anda. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memurahi Anda dengan tuntunanNya.©


Jakarta, 18 Juli 2009

Pancaran Pikiran

"Sekali Anda membuat keputusan, seluruh alam
bersatu agar keputusan itu terjadi."
—Ralph Waldo Emerson

“Anda memiliki pikiran yang sangat hebat yang dapat
membuat apa pun terjadi sepanjang Anda tetap fokus.”
—Dr. Wayne W. Dyer



Saat saya memasuki usia ke-40, satu setengah tahun yang lalu, saya senantiasa mencamkan dalam pikiran saya bahwa aslinya saya berusia sepuluh tahun lebih muda dari itu, dan menyadari bahwa usia/waktu hanyalah bentukan budaya. Alhasil, setiap ketemu orang-orang baru yang menanyakan berapa umur saya, mereka rata-rata tidak percaya kalau saya married guy berusia 40 tahun. Saudara Subud saya yang usianya berkepala dua bahkan mengira saya seusia dirinya. Saat itu, saya tidak tahu, mengapa orang-orang menganggap usia saya sepuluh tahun lebih muda dari aslinya.

Nah, kemarin baru saya menyadarinya. Kemarin pagi, 14 Juli 2009, setelah mandi saya bercermin. Entah mengapa, saya merasa positif bahwa badan saya kurusan. Istri saya hanya tertawa, tidak menganggap pernyataan itu serius, mengingat tiga hari sebelumnya saya mengeluh padanya bahwa saya tampak kelewat gemuk.

Saya lalu ke kantor butik kreatif tempat saya bekerja sebagai penulis freelance. Satpam yang menjaga di lobi spontan berucap, “Pak Anto sekarang kurusan ya!” Saya terkejut, karena anggapan Satpam itu kok sama ya dengan apa yang saya pikirkan dua jam sebelumnya. Jangan-jangan, ekspresi bahwa kita adalah seperti apa yang kita pikirkan memang merupakan hasil dari pengalaman praktis sehari-hari manusia.

Ingatan saya pun terlontar ke momen-momen yang telah lewat. Waktu masih berstatus mahasiswa Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, saya pernah menjadi koordinator seksi ketertiban dalam acara OPSPEK bagi mahasiswa baru angkatan 1992. Dalam melaksanakan tugas, saya sempat bersitegang dengan salah seorang ketua himpunan mahasiswa jurusan yang tidak termasuk panitia OPSPEK tetapi ikut terlibat dalam memlonco mahasiswa baru, yang berbuntut tantangan untuk duel usai acara. Saya terima tantangan itu; saya camkan dalam pikiran bahwa saya tidak membencinya dan bahwa saya hanya menjalankan tugas.

Duel itu tidak pernah terjadi. Saya sudah menunggu di tempat yang kami sepakati bersama, tetapi penantang saya tidak pernah muncul. Beberapa hari kemudian, lewat kawan saya ia menitipkan salam dan pesan supaya saya senantiasa memelihara integritas dan kebaikan hati yang ia rasakan terpancar dari diri saya. Ia juga ingin menjadi teman saya karena itu. Nah lho!

Berulang kali saya melewati momen di mana saya memikirkan diri saya sebagai likable person, yang menyebabkan bukan saja saya selalu berhasil memenangkan pitching -- utamanya yang diproses melalui presentasi tatap muka langsung, hubungan saya dengan klien pun menjadi langgeng dan dilandasi persahabatan, saling percaya dan saling memahami. Cewek-cewek, yang saya kenal maupun asing, juga tak jarang melontarkan ‘undangan’, baik secara eksplisit maupun implisit. Saya berhasil menghindarinya karena cincin emas yang melingkar di jari manis tangan kanan saya sangat kuat memancarkan energi kesetiaan pada istri saya.

Jadi, kalau Anda, tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba membayangkan wajah seseorang (bahkan yang mungkin tidak Anda sukai) dengan begitu intensifnya, kemungkinan besar orang itu sedang memikirkan Anda. Begitulah dahsyatnya pancaran pikiran kita.

Dengan kenyataan ini, mestinya kan semua orang bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, tetapi kok nyatanya tidak begitu. Menurut hemat saya, kebanyakan orang meragukan diri mereka sendiri. Di kalangan umat beragama saja tak sedikit yang meragukan bahwa Tuhan berkenan mengabulkan doa mereka. Hal ini disebabkan oleh cara berpikir yang keliru. Sebagian besar kita dididik bahwa mukjizat hanya hinggap pada para nabi (saya berulang kali dikoreksi orang karena saya menggunakan istilah yang menurut ‘aturan buatan manusia’ hanya khusus untuk para nabi ini), bahwa Tuhan tidak mendatangkan suatu nikmat secara sim salabim abrakadabra layaknya pesulap, dan bahwa perubahan dari kondisi melarat jadi konglomerat hanya ada dalam dongeng Hans Christian Andersen, sehingga pikiran kita, tanpa kita sadari, terancang untuk selalu menomorsatukan ketidakmungkinan. Lama-lama, ini mengakar di pikiran bawah sadar kita, sehingga tatkala Anda berusaha berpikir positif, tak pelak pikiran negatif akan selalu menyela.

Ada juga orang-orang yang memang tidak mau mendorong dirinya untuk berpikir tentang kebaikan/kebermanfaatan bagi dirinya. Saya pernah menceritakan pengalaman memperoleh uang yang banyak (melalui berbagai pekerjaan yang tiba-tiba menghampiri saya) tidak lama setelah secara intensif saya melakukan ‘semadi uang’, yang secara pribadi saya sebut ‘meduitasi’ (memeditasikan duit). Orang-orang yang mendengar cerita saya ini bukannya terdorong untuk melakukan hal yang sama, tetapi malah mengemis.

Kiranya kita bisa menaklukkan orang lain atau menguasai keadaan – untuk tujuan-tujuan yang positif, tentu saja, karena semua perbuatan akan bertolak kembali ke kita – tanpa harus unjuk kekuatan sakti mandraguna, tanpa menggunakan senjata ataupun menggelar permusuhan. Kita cukup mengandalkan pikiran yang daya pancarnya langsung atau tidak langsung (dengan membuka akses kepada berbagai sumber daya yang relevan hingga membentuk – meminjam gagasan Robert Scheinfeld dalam The 11th Element (Unsur Ke-11) – Mengaktifkan Kekuatan Batin Anda untuk Menderaskan Kesuksesan dan Kekayaan (Jakarta: Serambi, 2005) – suatu jejaring tak kasat mata (invisible network) mengarah kepada apa atau siapa yang kita pikirkan.©


Jakarta, 15 Juli 2009

Orang-Orang Pilihan

“Orang-orang yang menunggu dipilih, dan bukan
mereka yang mencari, yang bisa kita harapkan
bantuannya yang paling efisien.”
— Ulysses S. Grant (1822-1885), Personal Memoirs of U.S. Grant, Bab 46


Salah seorang saudara Subud saya, waktu baru masuk Subud, dengan girang mengatakan bahwa para anggota Subud itu adalah orang-orang pilihan Tuhan. Ini adalah ekspresi yang wajar; siapa pun yang baru menempuh jalan spiritual atau umat beragama yang baru mendapat pengalaman ajaib melalui ritual ibadahnya, yang – meminjam judul terjemahan buku William James – dimaknai sebagai ‘perjumpaan dengan Tuhan’, akan merasa dirinya orang pilihan Tuhan.

Tidak mau membahas hal itu secara serius – terutama karena di jalan spiritual segala sesuatu berlalu begitu cepat, berganti dengan pengalaman-pengalaman dan pemahaman-pemahaman baru, saya mengiyakan pernyataan saudara Subud itu seraya menambahkan, “Benar, Pak. Kita ini orang-orang pilihan. Ada yang dipilihNya masuk surga, dan ada yang dipilih Tuhan jadi penghuni neraka.” Saudara Subud itu tersenyum kecut, sedang saya santai saja karena saya murni bercanda, tidak bermaksud apa-apa. Perkataan saya saat itu tidak ada maknanya.

Namun, belakangan ini, saya baru memahami bahwa kata-kata yang saya maksudkan sebagai lelucon tiga tahun yang lalu itu ternyata punya makna mendalam. Kita semua, tak hanya anggota Subud, bukan cuma pemeluk agama tertentu saja, memang orang-orang pilihan; kita dipilih Tuhan untuk menjalankan peran-peran tertentu, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain.

Anda atau saya mungkin tidak menyadari – umumnya, sih, kita tidak menyadari, kecuali setelah melewati suatu kejadian dan kita berintrospeksi serta beretrospeksi. Tetapi orang lain, yang mampu memaknai kehidupan dengan kearifan dapat menandai hal itu pada diri kita.

Ada orang-orang yang separo hidupnya mencari keberadaan guru-guru kebijaksanaan ke segala penjuru dunia, mengejar yang namanya ‘ilmu hidup’, menggapai kearifan. Menurut saya, guru-guru itu tidak ada di ujung dunia; peta untuk mencarinya bukan berdasar petunjuk tertulis/tergambar yang ada di luar kita, terpisah dari kita. Ia ada di dalam diri kita – yang namanya ‘kearifan’. Sedang guru-guru yang dimaksud adalah orang-orang yang ada di sekitar kita, siapa pun dia, apa pun gelar dan statusnya, berapa pun usianya.

Mungkin Anda pernah terusik terus-menerus dengan keberadaan orang-orang yang selalu menjengkelkan Anda. Saya beberapa kali menghadapi situasi semacam ini, membuat saya bukannya segera menyadari, malah kian benci. Seiring berjalannya waktu, saya mendapat kepahaman bahwa orang-orang itu hakikatnya sedang memberi saya pelajaran tentang cara bersikap: jangan membenci, sebab kebencian itu akan bertolak kembali ke saya! Tuhan memilih orang-orang tersebut agar menyampaikan ajaranNya ke saya, jangan mudah membenci.

Saya pernah bekerja di sebuah perusahaan yang suasananya sangat menyenangkan, sehingga membuat saya tidak ingin ‘pindah ke lain hati’. Tetapi di tim saya terdapat orang, yang saya anggap virus – yang kehadirannya membuat saya tidak betah berlama-lama di kantor. Saya tidak dapat berbuat apa-apa karena dia senior saya dan menjadi andalan perusahaan. Akhirnya, saya pun terdepak, meninggalkan kenyamanan bekerja di perusahaan tersebut, tetapi sebaliknya membawa serta dendam kesumat kepada orang tadi.

Empat belas tahun kemudian, ketika menengok kembali perjalanan karier saya, dan apa-apa yang sudah saya lalui, sejak ditendang keluar dari perusahaan itu, saya bersyukur. Tuhan memilih orang tadi untuk memberitahu (baca: membuka kesadaran saya) bahwa Dia sudah melimpahkan begitu banyak peluang untuk saya, yang bakal lewat begitu saya seandainya saya terus bertahan di perusahaan tersebut.

Masih banyak lagi orang-orang pilihan Tuhan di sekitar saya dan Anda, dengan berbagai macam perangai dan tingkah laku. Umumnya, mereka tidak kita sukai, tetapi kalau kita tidak melekat dan bersedia memaknai dengan kearifan, dalam prosesnya kita akan menginsafi bahwa mereka dipilih untuk mengajar kesabaran dan keikhlasan kita. Saya percaya pilihan Tuhan tidak pernah salah.©


Jakarta, 10 Juli 2009

Melekat Bikin Penat

“Hidup akan menemukan jalannya sendiri.”
—Dr. Ian Malcolm, dalam film Jurassic Park

“Rasa tidak bahagia adalah karena kita
mengelak dari realitas yang sebenarnya harus kita hadapi.”
—Buddha Gautama


Pagi hari ini, 8 Juli 2009, sebelum menggunakan hak pilih, saya dan istri pergi mencari sarapan. Kami berlangganan pada dua penjual mi ayam pangsit yang mangkal di pinggir Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan. Selain lumayan dekat dengan kawasan tempat tinggal kami, juga karena keduanya menyajikan mi ayam dengan rasa restoran sekelas Bakmi Boy di Mayestik, namun harganya jauh di bawah harga Bakmi Boy. Kedua penjual itu berkeluarga, sehingga rasanya satu sama lain tak ada bedanya.

Kami ke sana berboncengan naik sepeda motor. Ternyata yang dekat Polsek Kemang tidak berjualan. Harapan kami tinggal pada penjual satunya lagi, di depan BCA Kemang. Ternyata, dia pun tidak berjualan. Mulailah saya menggerutu, menyesali kenapa tukang mi ayam langganan saya tidak menggelar dagangannya. “Gara-gara nyontreng nih, makanya nggak jualan,” kata saya, dan saya tahu dugaan saya itu konyol. Istri saya menenangkan, “Ya sudah, mau apa lagi? Kita cari yang lain saja.”

Kami pun melewati BCA Kemang, tidak tahu mau beli apa lagi, walaupun di sepanjang Kemang Raya banyak gerobak yang menjual aneka makanan. Tetapi hati saya melekat pada mi ayam dekat Polsek Kemang atau yang di depan BCA Kemang. Sekitar 1 kilometer dari BCA Kemang, kami menjumpai gerobak mi ayam lagi. Saya ogah-ogahan, tetapi karena ingin sekali sarapan dengan mi ayam, saya tetap mampir makan di gerobak itu. Lama-lama, saya capek juga menentang kenyataan bahwa kedua penjual mi ayam langganan saya tidak berjualan hari ini.

Begitu saya sampai pada kesadaran itu, mi ayam yang saya santap rasanya lha kok sama dengan yang dijual di dekat Polsek Kemang maupun di depan BCA Kemang. Gara-gara mi ayam, saya mendapat kepahaman bahwa kemelekatan pada segala sesuatu bikin kita merugi. Melekat membuat kita penat!

Tanpa kita sadari, apa saja yang kita pikirkan dan rasakan, apa pun yang kita katakan maupun perbuat dapat membuat kita melekat padanya. Mungkin saja kita tidak mau, tetapi kita cenderung membiarkan diri kita melekat, karena kita tidak tahu.”

Keluarga, pasangan, kekayaan, kemiskinan, kesuksesan, kegagalan, agama, kepercayaan, sikap, perilaku, kebaikan, keburukan, makanan, ide, karya, tubuh kita – apa saja, semua itu, percaya atau tidak, adalah sumber kemelekatan kita. Padahal, sejatinya semua itu akan berlalu. Dan apabila kemelekatan sudah meliputi diri kita, dijamin deh kita bakal susah menerima kenyataan. Kita bakal sulit berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal. Kita tidak mau melepaskan apa yang sudah kita miliki, karena kemelekatannya sudah demikian ketat bagai ditempel dengan perekat keras, yang apabila dipaksakan untuk dicabut akan menimbulkan sakit luar biasa.

Kawan saya bercerita tentang dirinya yang sepenuhnya percaya pada Tuhan. “Lu percaya kan kalau Tuhan mengatur hidup kita?” tanya saya. Ia meyakinkan saya bahwa ia meyakini hal itu. “Jadi, lu percaya kan kalau Tuhan bisa membalikkan hati manusia?” Lagi-lagi, ia meyakinkan saya bahwa ia percaya. “Nah, kalau Tuhan membalikkan hati lu supaya lu nggak percaya lagi sama Dia, lu siap nerima nggak?”

“Amit-amit jabang bayi!” seru kawan saya, lantas larut dalam kebingungan. Jika Anda tanyakan hal itu pada saya, saya juga tidak bisa menjawab dengan pasti, tetapi akan saya serahkan diri pada kehendakNya. Saya sudah lama melepaskan pengetahuan akan Tuhan bikinan manusia: dikatakan oleh ulama dan pendeta bahwa Dia Maha Bisa, tetapi tidak bisa begini, tidak bisa begitu; ini melanggar kehendakNya, itu tidak sesuai dengan sifatNya. Siapa diri kita sampai merasa berhak mengutak-atik Dia Yang Menciptakan kita?

Berbuat baik saja dapat membuat kita melekat. Ada orang-orang yang sampai berdoa, “Ya Tuhan, jangan Engkau matikan aku sebelum aku berbuat baik di dunia ini.” Lha kok sama Tuhan tawar-menawar?! Berbuat baiklah Anda, dan rasakan nikmatnya. Begitu nikmatnya rasa itu sehingga Anda ingin mengulanginya lagi. Saat itulah muncul nafsu – nafsu untuk berbuat baik, yang jika dibiarkan akan mencelakakan Anda. Anda tidak akan siap menerima kenyataan kalau suatu saat berbuat baik tidak ada nikmatnya sama sekali, atau Anda malah dicaci-maki orang yang padanya Anda tujukan perbuatan baik Anda, atau suatu saat Anda berbuat buruk. Sakitnya tak tertahankan.

Kita terus bertransformasi. Itu adalah hukum alam. Satu-satunya yang tetap dalam hidup ini adalah perubahan. Dahulu, saya bersikeras, menjadi copywriter adalah terminal terakhir saya, sehingga menutup mata terhadap peluang-peluang lain, yang seringnya memang tidak berbaju berkilauan sebagaimana baju profesi saya saat itu. Saya terbuai dengan nikmatnya penghargaan iklan, senangnya melihat iklan karya sendiri ditayangkan. Saya lupa bahwa di atas langit yang saya pijak saat itu masih ada langit lainnya.

Saya kemudian masuk ke lingkungan masyarakat yang kebiasaan bacanya rendah, sehingga peran copywriter menjadi kurang signifikan. Saya kecewa sekali atas rendahnya apresiasi lingkungan saya saat itu terhadap profesi copywriter. Saya lalu bernafsu jadi creative director terkenal, yang malah ditanggapi kawan saya dengan pertanyaan, “Setelah itu lu mau ngapain?” Setelah 15 tahun, saya pun menengok ke belakang. Tidak, menjadi copywriter ternyata bukan terminal terakhir saya, dan kini apa pun yang lewat akan saya sambut, manfaatkan sebaik-baiknya, dan siap melepasnya apabila sudah tiba waktunya.

Ya, saya sekarang sedang bereforia sebagai travel writer, namun dengan keinsafan bahwa suatu saat ini pun akan berakhir, entah dengan kematian saya, atau dengan hadirnya tawaran menarik lainnya yang bisa diberikan hidup. Terserah saja, takkan saya biarkan kemelekatan merundung diri saya.

Kemelekatan menghalangi langkah kita untuk sampai ke titik nol, dan dengan demikian membuat kita makin menderita hidup di dunia. Melekat memang bikin penat.©


Jakarta, 8 Juli 2009

“The Man Behind the Gun”

“…kebaikan dari kehendak tergantung pada niat dari tujuannya.”
—Santo Thomas Aquinas (1225-1274), Summa Theologica


Pada September 2006, ketika akan berangkat ke Solo menumpang pesawat dari bandar udara Soekarno-Hatta Jakarta, saya sempat mengalami masalah di bagian pemeriksaan barang bawaan ketika saya akan menuju boarding room. Pasalnya, petugas keamanan mendeteksi benda yang tergolong senjata tajam di tas ransel saya. Saya lupa menyingkirkan pisau lipat dari salah satu kantong tas ketika masih di rumah. Saya pun diperintahkan untuk melaporkannya ke meja yang ditunjuk untuk menyita barang-barang terlarang dan berbahaya di bandara. Secara bercanda, saya katakan ke petugas di belakang meja tersebut, “Tanpa pisau itu, saya tetap bisa membunuh orang.” Yang penting the man behind the gun-nya, bukan gun-nya, batin saya sambil tersenyum santai kepada si petugas.

Saya ingat ketika masih aktif berlatih seni bela diri asal Korea, Taekwondo. Saya diajarkan berbagai teknik untuk memukul, menendang dan menggunakan senjata. Tanpa teknik yang tepat serta kandungan emosi (emotional content) dari pihak pelaku, maka pukulan, tendangan dan senjata semaut apa pun takkan menyakiti, bahkan tak ada gunanya. Jadi, dalam seni bela diri pun, yang penting adalah the man behind the gun-nya, siapa yang berada di balik senjatanya.

Kita sering keliru menempatkan sesuatu pada proporsinya. Bila anak suka kekerasan, kontan saja media cetak dan elektronik atau gamesyang disalahkan. Acara televisi dituding tidak mendidiklah, gunting sensor kurang tajamlah, pemerintah tidak membatasi peredaran film-film dan games sarat kekerasanlah, dan lain-lain anggapan. Facebook didakwa sebagai penyebab keretakan rumah tangga serta membuat orang lupa salat, sampai fatwa mengharamkan Facebook pun dikeluarkan. Seingat saya, dulu-dulu sebelum ada Facebook tidak sedikit orang yang tidak atau lupa salat. Faktor the man behind the gun tidak pernah disentuh, sehingga yang muncul adalah reaksi-reaksi konyol nan tolol dari berbagai pihak yang tidak pada proporsinya.

Waktu kecil, saya memperoleh didikan yang cukup keras dari kedua orang tua saya, dan lingkungan tempat saya melewati masa kecil saya – Negeri Belanda – juga kondusif untuk melestarikan model pendidikan yang diterapkan orang tua saya. Jam 9 malam saya sudah harus masuk kamar. Jika acara TV menayangkan kekerasan dan seks, orang tua akan menggantinya ke saluran ‘Semua Umur’, atau saya disuruh tidur. Saya amat segan pada orang tua dalam hal mematuhi aturan yang mereka buat, karena mereka sendiri konsisten menerapkannya serta memberi teladan, sehingga saya tidak berani dan malu apabila melanggar.

Di era teknologi informasi ini, bukannya mencari ilmu sebanyak mungkin, orang malah lebih suka mencari kambing hitam. Itu memang lebih mudah dilakukan daripada mengintrospeksi diri, memeriksa diri sendiri. Para pemuka agama-agama yang diharapkan bisa bersikap arif dan bijaksana tak ada bedanya dengan para orang tua yang sukar diharapkan dapat mendidik anak-anaknya dengan baik. Semua melimpahkan kerusakan moral umat kepada gun, bukan kepada the man behind the gun. Padahal, kalau memang menganggap suatu tontonan tidak mendidik, ya mudah saja solusinya: jangan ditonton atau larang anak Anda untuk menontonnya, seperti yang dilakukan kedua orang tua saya dahulu. Media kan menyasar semua khalayak; Anda tidak bisa seenaknya mengatur-atur media untuk kepentingan Anda sendiri atau kepentingan kelompok. Yang bisa Anda atur adalah diri Anda sendiri, keluarga atau kelompok Anda. Saya perhatikan bahwa orang tua maupun pihak berwenang dewasa ini bisanya hanya mengatur, tetapi tidak bisa konsisten serta memberikan contoh melalui diri mereka sendiri. Ujung-ujungnya, ya itu tadi, kambing hitam dicari-cari.

Tak bakal ada asap jika tak ada api, tidak ada akibat jika tidak ada penyebabnya. Manusia sering membutuhkan sarana atau alat untuk membantunya dalam mewujudkan maksud-maksudnya. Maksud-maksud itu bisa baik, bisa pula jahat, tergantung dari niat di baliknya. Sarana tetaplah sarana, alat tetaplah alat; mereka tidak dapat dipersalahkan. Kartu kredit, handuk, tali, bahkan anggota badan kita adalah benda-benda ‘tak berdosa’ yang dapat berujung maut di bawah kendali orang yang ahli namun berniat jahat.

Seperti dinamit temuan Alfred Nobel (1833-1896) merupakan alternatif yang aman untuk menggantikan bubuk mesiu dan nitrogliserin dan dimaksudkan Nobel bukan sebagai alat pembunuh. Namun, dalam perkembangannya, dinamit digunakan oleh orang-orang yang berniat jahat untuk melukai bahkan membunuh orang lain, sehingga sebuah obituari prematur atas diri Nobel yang diterbitkan oleh sebuah koran Prancis menyalahkan sang penemu: “Dr. Alfred Nobel, yang menjadi kaya dengan menemukan cara-cara untuk membunuh lebih banyak orang lebih cepat daripada sebelumnya, meninggal kemarin.” Untuk menebus rasa bersalahnya, Alfred Nobel mewasiatkan agar sebagian besar kekayaannya disisihkan untuk Hadiah Nobel.

Semuanya tergantung niat dan integritas. Dengan niat yang baik dan integritas yang mapan, pikiran dan perasaan, perkataan dan perbuatan akan menjadi bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.©


Jakarta, 5 Juli 2009

Maka Yang Tersisa Adalah…

“Produk tercipta di pabrik. Merek tercipta di benak konsumen.”
—Walter Landor (1913-1995)

“Apa artinya sebuah nama? Yang kita namakan mawar akan
sama harumnya dengan nama yang lain.”
—William Shakespeare (1564-1616)


Saudara Subud saya, seorang dosen yang mengajar periklanan di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, suatu kali bercerita kepada para mahasiswanya bahwa ia menelan tablet Feminax ketika sakit kepala dan minum Kiranti saat haus. Para mahasiswanya tentu takkan terkejut dan meributkan hal itu seandainya saudara Subud ini bukan seorang pria!

Lalu, saudara Subud saya ini mengajak para mahasiswanya mengurai kedua produk ‘khas wanita’ itu satu per satu. Feminax, bila dicabut mereknya yang mengacu pada kata ‘feminin’, ditiadakan iklannya yang menginformasikan bahwa itu obat untuk mengatasi sakit akibat haid, maka yang tersisa adalah parasetamol yang digunakan secara luas sebagai pereda nyeri (pain reliever) dan antipiretik (penurun demam), yang boleh dikonsumsi pria maupun wanita, sedang haid atau tidak. “Apakah buah dada saya bakal membesar dan berganti kelamin jika saya mengonsumsi Feminax?!” seru saudara Subud itu di ruang kuliah.

Kiranti, bila dihapus mereknya dan dihentikan promosinya yang mengedukasi pasar bahwa ia minuman khusus untuk wanita yang sedang datang bulan, maka yang tersisa adalah air ekstraksi kunyit dan asam plus gula jawa yang di Surabaya dikenal sebagai sinom dan dijual secara umum kepada mereka yang kehausan, tanpa memandang jenis kelaminnya.

Mengapa ada makanan enak dan tidak enak? Mengapa orang miskin cukup puas dengan kekurangannya dan orang kaya bangga dengan kelebihan hartanya? Mengapa gagal itu menyakitkan dan sukses itu menyenangkan? Semua berawal dari pikiran yang memproduksi persepsi akibat pengaruh lingkungan. Orang kaya tidak mau disuguhi makanan sederhana dan tidak enak, karena dipersepsikan tidak cocok dengan kondisi kekayaannya, padahal bila makanan enak dan tidak enak diurai hingga ke esensinya, yang tersisa adalah kenyataan bahwa bahan dan bumbunya sama saja. Yang berbeda hanya tampilannya semata.

Saya menandai bahwa sejumlah mitra kerja saya di dunia permerekan yang secara materi mampu, tetapi tidak, membeli BlackBerry. Ketika saya tanyakan alasan mereka, saya pun dibawa ke momen penguraian berbagai telepon seluler (ponsel) pintar. Yang tersisa adalah nama (merek) yang berbeda, namun isinya sama: papan soket di mana sejumlah komponen elektronik terhubung satu sama lain, yang penampilannya tidak menarik minat siapa pun kecuali, mungkin, mahasiswa teknik elektro atau pelajar sekolah menengah kejuruan listrik. Isi tersebut bisa diberi pakaian dan nama apa saja, terserah kita. Toh tidak bakal mengubah esensinya. BlackBerry dibeli lebih disebabkan oleh namanya yang menunjang gengsi pemiliknya yang didorong oleh persepsinya yang dibangun sedemikian rupa oleh berbagai upaya komunikasi pemasaran.

Dari mana gengsi itu berasal? Dari pikiran. Jadi, kalau Anda punya keinginan tak terbantahkan untuk membeli BlackBerry, namun apa daya kocek tak sampai, tenangkan diri Anda dan uraikan esensi di balik merek BlackBerry serta merek ponsel yang Anda miliki saat ini.

Dokter-dokter Barat dewasa ini berkesimpulan bahwa hampir semua penyakit disebabkan oleh hal yang sama, yaitu pikiran. Suatu penyakit bisa menjadi parah atau malah sembuh juga disebabkan oleh pikiran. Lagi-lagi, keadaan pikiran itu dipengaruhi oleh ‘merek’ penyakitnya. Kita umumnya susah untuk berpikir positif jika penyakit yang kita derita bermerek ‘kanker stadium akhir’, sebaliknya akan santai saja apabila disuguhi merek ‘pilek biasa’. Hiromi Shinya, M.D., dalam bukunya The Miracle of Enzyme: Self-Healing Program – Meningkatkan Daya Tahan Tubuh, Memicu Regenerasi Sel (Jakarta: Qanita/PT Mizan Pustaka, 2009), antara lain menganjurkan agar kita bermeditasi dan senantiasa berpikir positif – ketimbang mengonsumsi obat dan suplemen berbahan kimia.

Saat ini, saya menderita DVT (deep vein thrombosis) atau terjepitnya saraf di paha saya akibat terlalu lama duduk ketika melakukan perjalanan jauh menumpang mobil bulan April lalu. Lama-lama, saya menyadari bahwa apabila pikiran saya tenang, tidak kemrungsung (kacau), sakitnya tidak akan terasa sama sekali, dibandingkan jika saya cemas. Karena itu, berkat DVT, saya kini dapat mendorong diri saya agar senantiasa berpikir positif.

Mengurai segala sesuatu terlebih dahulu telah menjadi kebiasaan saya dan saudara Subud tersebut di atas agar kami senantiasa terdorong untuk berpikir positif. Kebetulan kami berdua telah lama bergelut dengan komunikasi merek dan pemasaran produk, sehingga dapat memahami bahwa segala sesuatu yang sifatnya bertentangan pada intinya sama saja, tak ada beda.

Uraikan dan temukan esensi dari segala sesuatu yang menjadi bagian dari hidup Anda: sehat-sakit, kaya-miskin, sukses-gagal, pintar-bodoh, kebaikan-keburukan, bahagia-menderita, kehidupan-kematian. Maka yang tersisa adalah…©


Jakarta, 3 Juli 2009

Tuesday, August 18, 2009

Relativitas Waktu

“Hanya waktu – oh, waktulah yang akan menceritakannya.”
—Bob Marley, Time Will Tell


Sufi besar Jalaluddin Rumi mengatakan bahwa waktu sejatinya tidak ada. Dengan adanya perputaran siang dan malamlah maka ada hari, ungkap Rumi dalam salah satu syairnya. Waktu ternyata bersifat relatif. Cepat atau lambat itu relatif, tergantung dari bagaimana kita menyikapinya. Bagi mereka yang sabar melewati suatu proses, waktu bisa berjalan sangat cepat, sedangkan bagi yang tidak sabar, ingin cepat-cepat selesai, maka prosesnya akan terasa sangat lambat dan bertele-tele. Saat tangan kita memegang panci panas, sebentar serasa lama sekali. Tetapi ketika kita asik mengobrol dengan wanita/pria berparas menawan, berbodi aduhai, waktu yang lama serasa singkat sekali.

Seperti itu pula rasanya ketika kita dihadapkan pada keadaan yang menyenangkan, menggembirakan hati. Hari-hari serasa berlalu dengan cepat. Sebaliknya, ketika kita menderita, waktu serasa panjang sekali. Ketika saya menderita infeksi lambung, saya harus diopname di rumah sakit selama delapan hari. Tetapi sakit yang tak terperi membuat saya tak sabar. Delapan hari pun serasa seabad. Tatkala saya menerima berbagai macam perawatan dan terapi, dari suntik sampai infus (sementara saya fobia jarum), dari menu makanan yang diatur secara ketat sampai tubuh saya dipindai dan dilarik dengan CT-Scan, endoskopi, USG dan Rontgen, peralihan jam ke jam, menit ke menit, detik ke detik, rasanya lama sekali.

Yang jelas dan pasti, perubahan selalu terjadi, seolah telah menjadi hukum alam. Tidak ada yang abadi, tidak ada yang tetap di alam semesta ini. Orang yang paling menderita adalah orang yang sulit menerima perubahan, terutama perubahan yang tidak enak. Dan karena kita tidak bisa menghentikan perubahan, maka kita harus selalu menyambut dan merangkulnya.

Bersabar adalah sikap mental untuk senantiasa siap menerima keadaan apa pun dan bagaimanapun, tanpa syarat. Sabar sesungguhnya memiliki dimensi yang lebih pada pengalahan hawa nafsu yang terdapat dalam jiwa kita. Sikap membanding-bandingkan adalah gambaran orang yang tidak sabar. Ketika menghadapi penderitaan atau tidak berkenan dengan suatu keadaan, dia akan cenderung mengeluhkan keadaan tersebut dan membanding-bandingkannya dengan segala kelebihan dari keadaan yang dikehendakinya.

Di lingkungan perkumpulan persaudaraan kejiwaan Subud saja, di mana anggota-anggotanya berlatih untuk menjunjung perasaan menyerah dengan sabar, ikhlas dan tawakal, masih terdapat anggota-anggota yang tidak sabar dan sebagian memilih untuk meninggalkan Subud karena menghadapi keadaan-keadaan dan orang-orang yang tidak sesuai dengan kehendaknya untuk jangka waktu yang lama dan sering – tanpa mau berusaha memahami dengan perasaan menyerah secara sabar, ikhlas dan tawakal bahwa keadaan/orang yang tidak dikehendaki pribadinya sejatinya merupakan kehendak Tuhan.

Melalui keadaan atau orang itulah kita belajar, kita merefleksi diri, jangan-jangan kita pun tak lebih baik dari keadaan atau orang itu. Seringnya, menurut pengalaman saya, keadaan atau tingkah laku orang lain yang buruk hakikatnya mencerminkan bahwa diri kita pun masih buruk. Makanya, kepada anggota Subud yang mengeluhkan keadaan buruk atau tingkah laku buruk anggota lainnya saya katakan, bahwa Subud bukan showroom mobil, yang memamerkan mobil-mobil kinclong yang menggoda pembeli untuk merogoh kocek, melainkan bengkel, di mana mobil-mobil yang ringsek akibat tabrakan atau mogok dibongkar dan dibersihkan untuk kemudian diluncurkan kembali sebagai mobil yang brand-new.

“Seorang mukmin merupakan cermin bagi mukmin lainnya,” sabda Nabi Muhammad. Kata-kata beliau menekankan bahwa sikap dan perilaku orang lain mencerminkan sikap dan perilaku kita sendiri. Jadi, kalau menghendaki orang lain mengubah sikap dan perilakunya, mulailah dengan mengubah sikap dan perilaku kita sendiri! Saat orang-orang ramai-ramai berteori begini-begitu tentang eksistensi ‘guru sejati’, yang dipromosikan berbagai aliran mistikisme, kita justru menjumpainya pada orang-orang dan keadaan-keadaan yang kehadirannya seringkali tidak kita kehendaki, yang justru memberi kita pelajaran bernilai tinggi tentang kehidupan yang bahagia. Tentu saja apabila kita mampu memaknai orang-orang dan keadaan-keadaan itu dengan kearifan yang mendalam.

Mengetahui serta menghayati kenyataan bahwa segala sesuatu pasti berubah seyogianya mendewasakan batin kita dan membuat kita merasa bahagia dengan aneka keadaan dan tingkah laku orang terhadap kita. Baik maupun buruk. Kesukacitaan maupun kedukacitaan datang silih berganti sebagaimana kehidupan kita yang langgeng oleh kelahiran dan kematian, penciptaan dan kehancuran. Saat kita senang, sadarilah bahwa suatu saat kesenangan itu akan berubah menjadi kedukaan. Namun, sebaliknya, saat kita menderita, sadari pula hal itu akan segera berlalu. Berapa lama jangka waktu datang dan perginya? Serahkan saja pada relativitas waktu.©

'P' Ke-6

“Satu-satunya yang membuat hidup itu mungkin adalah ketidakpastian
yang permanen dan tak tertahankan beratnya; tidak tahu apa yang akan datang kemudian.”
—Ursula K. Le Guin


Selasa pagi, 26 Mei 2009, saya mengantar istri saya ke markas Kodam Jaya di Jalan Mayjen Sutoyo, Cililitan, Jakarta Timur, untuk suatu urusan. Karena belum sarapan, sekalian menunggu istri saya selesai urusannya, saya mampir di sebuah warung Tegal (warteg) tidak seberapa jauh dari gerbang kompleks markas Kodam Jaya.

Warteg itu sepi pembeli, dan karena saya menunggu istri saya hingga sore, saya merupakan satu dari segelintir pembeli dan satu-satunya yang makannya dua kali (sarapan dan makan siang). Beberapa kali saya dengar ibu pemilik warteg berkeluh-kesah, baik kepada anak-anaknya yang membantunya melayani pembeli maupun kepada sesama pedagang dan juru parkir, tentang sepinya pembeli.

Penjual minuman ringan dan dingin di muka warteg juga mengeluhkan hal yang sama. Cuaca yang panas dengan matahari yang bersinar terik rupanya tidak mendorong pejalan kaki yang lalu-lalang sambil menyeka keringat dan para calon penumpang bus dalam dan antar kota untuk mampir beli minum. Aneh sekali, saya pikir.

Ketika tiba jam makan siang, seorang lelaki paruh baya berbadan kurus yang memikul dan menenteng dagangannya berupa boneka bantal berwajah Dora Emon singgah mengisi perut di warteg. Ibu pemilik warteg bilang bahwa ia ragu barang dagangan si lelaki bakal laku. “Lha, saya jual makanan yang kebutuhan utama orang saja sepi kok, apalagi mainan,” kata si ibu. Ucapan ibu itu mengundang simpati saya pada si pedagang boneka bantal, dan dalam hati saya doakan agar Tuhan membukakan pintu rezekinya.

Sudah sejak lima tahun belakangan ini saya tidak memercayai lagi bahwa pemasaran itu memiliki hukum yang pasti berlakunya. Philip Kottler memformulasikan bauran pemasaran (marketing mix) 4P (product, price, place, promotion) agar upaya pemasaran bisa berhasil. Salah satu klien saya dahulu bahkan pernah ngotot bahwa apabila biro iklannya menerapkan 4P dalam rancangan strategi komunikasi pemasarannya, maka mereknya akan sangat berhasil di pasar. Praktiknya, tidak demikian. Bagaimanapun, dalam hidup di mana yang pasti itu hanyalah ketidakpastian, saya kira bauran pemasaran seharusnya 5P, dengan ‘P’ yang ke-5 mewakili prayer (doa). Saudara Subud saya yang sama-sama praktisi komunikasi pemasaran memfinalkan dengan ‘P yang ke-6: permission, alias ‘perkenan Gusti Allah’.

Ketika ajaran agama mengharamkan umat untuk memercayai ramalan para ahli nujum, karena hal itu dianggap mendahului kehendak Tuhan, pada saat yang sama kita meyakini kepastian hasil sebagaimana yang diramalkan atau dirumuskan secara teoritis oleh para pemasar, analis politik dan ekonomi, serta makhluk-makhluk sejenisnya, dan menjalani hidup atas dasar itu.

Ramalan atau rumusan dalam segala bidang kehidupan harus disikapi sebagai antisipasi, bukan kepastian yang mutlak. Walaupun ada sejumlah perokok berat yang mencapai usia panjang, sedangkan yang tidak merokok malah mati muda, bukan berarti merokok itu baik bagi kesehatan. Dalam hal ini, berlaku perkenan Gusti Allah tadi, meski mungkin sulit bagi kita untuk memahaminya. Bila kita tahu bahwa merokok bisa membahayakan kesehatan, tetapi kita tetap merokok, dalam pandangan saudara Subud saya – mengutip Alkitab – itu namanya ‘mencobai Tuhan'. Kita harus mengantisipasi akibat buruk rokok dengan menghindari rokok. Tuhan memang akan menentukan akhir kita, namun bukan berarti kita boleh berhenti berusaha.

Segala sesuatu yang menyangkut hidup kita tidak ada yang pasti. Apa yang berhasil di sejumlah tempat, jangan serta-merta dipukul rata bahwa di semua tempat akan sama keadaannya. Oleh karena itu, para guru bijak mengajak kita untuk senantiasa ‘hening dalam kebijaksanaan’, bersikap sabar, ikhlas dan tawakal dalam membiarkan Tuhan mengimplementasikan kehendakNya. Dalam hal ini, kita sama sekali tidak berhak menggugat, “Ya Tuhan, kemarin-kemarin Engkau beri aku kemudahan di banyak pekerjaan. Kenapa sekarang Engkau biarkan aku dihadang kesusahan?” Kita harus yakin bahwa di balik semua keadaan dan peristiwa ada rencanaNya.

Selama ini, kita merasa pasti bahwa rumah kita menawarkan keteduhan, keamanan dan kenyamanan. Penduduk Desa Geplak, Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, mungkin juga akan selamanya merasa pasti dengan ketiga aspek itu seandainya pada Rabu, 20 Mei 2009, pukul 6.30 sebuah pesawat C-130 Hercules tidak jatuh menimpa rumah mereka.

Ironi ketidakpastian tampak nyata dalam musibah ini: penghuni rumah ada yang tewas, sedangkan pesawat yang celaka menyisakan sebelas penumpang yang selamat. Mereka yang selamat maupun orang-orang yang menyaksikan tidak percaya mereka bisa selamat mengingat kondisi pesawat yang hancur lebur. Kondisi mereka kira-kira sama dengan para pedagang makanan dan minuman di ruas Jl. Mayjen Sutoyo, Cililitan, yang terlalu percaya pada khasiat 4P sampai tidak percaya bilamana dagangan mereka pada Selasa naas ini tidak laku.

Dengan menginsafi bahwa tidak ada yang pasti dalam hidup ini dan bahwa segala yang terjadi merupakan perkenan Gusti Allah, bukan karena kebetulan, kita akan mampu melihat dengan jernih, meraih kearifan dan tertuntun hidup kita olehnya. Jika Anda menghayati secara khidmat perkenan Gusti Allah (yang didaulat saudara Subud saya sebagai ‘P’ ke-6 dari bauran pemasaran), Anda pasti (sekaligus juga belum pasti) siap menerima kenyataan dari ketidakpastian apa pun yang Anda hadapi.©

Maksud Baik Belum Tentu Berakibat Baik

“Tangan dingin pemerintah tidak akan pernah dapat menggantikan
tangan yang senantiasa membantu dari seorang tetangga.”
—Hubert H. Humphrey (1911-1978)


Alkisah, seekor kera berjalan-jalan di tepi sungai. Melihat sebuah dahan pohon menjulur ke atas permukaan air, si kera menaikinya dan memandangi permukaan air sungai yang jernih. Tampak olehnya dua ekor ikan di dalam air. Tiba-tiba ia merasa iba dan dengan segera ia menangkap kedua ikan tersebut dan diletakkan keduanya di atas dahan di mana kera itu bertengger. “Aku telah menyelamatkan kalian dari musibah tenggelam. Kalian kini aman di sini bersamaku,” ujar kera. Kedua ikan itu tentu saja menggelepar dan megap-megap. “Lempar kami kembali ke dalam sungai,” teriak salah seekor ikan itu. “Kami tidak tenggelam. Habitat kami memang di dalam air!”

Kisah anekdot ini memberi contoh bahwasanya kita mesti mengetahui terlebih dahulu apa yang dibutuhkan orang yang hendak kita bantu. Sebab apabila pemberian bantuan kita salah sasaran, bisa-bisa maksud baik kita malah berakibat tidak baik.

Maksud baik memang tidak selalu berakibat baik. Ini yang kadang sulit kita pahami atau terima, utamanya oleh mereka yang landasan pelajaran budi pekertinya adalah ‘selalu berbuat baik’. Anda perlu pengendalian diri, wawasan mengenai profil pihak yang akan Anda bantu dan pemahaman esoterik (batiniah) mengenai di mana posisi Tuhan dalam hal ini.

Pengendalian diri penting dalam berbuat baik. Di dalam diri kita bersemayam dua kekuatan yang tak henti-hentinya bertarung: kekuatan Ilahiah dan kekuatan setaniah. Yang satu senantiasa berusaha menguasai yang lainnya. Mengapa pengendalian diri penting dalam melakukan sesuatu yang positif? Karena kita mudah terjebak oleh ego kita sendiri; ini yang dikhawatirkan oleh para guru sufi ketika melatih murid-murid mereka dalam berbuat baik. Saya pernah mengalaminya.

Suatu kali, saya membantu saudara Subud saya yang sedang mengalami ujian hidup yang sangat berat. Saya mengabaikan peringatan saudara-saudara Subud lainnya, bahwasanya tanpa ‘mengecek diri sendiri’ terlebih dahulu bisa-bisa saya terjebak dalam sikap sok pahlawan di hadapan Tuhan. Tetapi saya bersikeras -- kok orang yang di dekat saya tidak dibantu?! Saya bantu saudara Subud itu mendapat pekerjaan di tempat saya bekerja. Bos saya malah menawarinya tempat berteduh dan makan tiga kali sehari. Tidak sampai sebulan kemudian, ia mengkhianati saya dan bos saya, dengan membawa kabur keuntungan yang diperoleh perusahaan!

Terus terang, saya memang merasa punya andil besar dalam memberi bantuan; merasa bahwa Tuhan tidak ada apa-apanya dibanding saya yang bisa segera memberi bantuan.

Beberapa tahun kemudian, ketika saudara Subud saya itu sudah sintas dari ujian berat hidupnya – dan pada saat yang sama saya sudah memohon ampunan Tuhan karena telah mendahului kehendakNya – ia menyampaikan kepahamannya, bahwa apa yang sebenarnya dibutuhkannya saat ia melewati jalan derita hidupnya bukanlah keberlimpahan materi, melainkan kesadaran pribadi bahwa ia bisa memohon pertolongan pada Tuhan Yang Maha Menolong.

Dari pengalaman itu, saya memetik pelajaran tentang pentingnya merasakan diri dan diri pihak lain terlebih dahulu, merenungkan situasi dari berbagai sisi, sebelum memutuskan berbuat baik pada yang bersangkutan. Sebab, yang kita anggap baik bagi seseorang, belum tentu baik bagi dirinya. Kita di Jakarta sering menganggap apa yang baik bagi orang di daerah adalah yang sejalan dengan tolok ukur kita di Jakarta, sehingga ketika hal itu tidak terwujud, kita lantas menganggap telah terjadi ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi. Pertimbangan yang keliru ini juga dianut oleh masyarakat Barat terhadap kita di Indonesia.

Di Papua, belum nyata benar perkembangan teknologi informasi, namun ketika saya sarankan seorang pemuda Sentani yang telah mengenyam bangku kuliah untuk membuka akun Facebook agar dirinya punya banyak teman, ia malah menertawakan saya seraya berkata, “Saya bisa pergi langsung ke teman itu to?!” Ah, rupanya saya tidak memahami bahwa di habitatnya silaturahmi dengan bertemu muka langsung lebih baik daripada lewat sarana teknologi yang kehilangan sisi personal dari hubungan antar-manusia. Segera saja saat itu saya merasa laksana kera yang mencoba menyelamatkan ikan dengan mengeluarkannya dari dalam air!

Dan kera-kera seperti saya rupanya tidak sedikit. Memprihatinkan kondisi perekonomian masyarakat di kabupaten yang dikelolanya, Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, menyatakan maksud baiknya lewat pencanangan Gerakan Wajib Tanam Kakao sejak tahun 2006, karena kakao punya nilai ekspor. Pak Bupati berniat mengubah pola pertanian penduduk dari subsisten (bertani untuk memenuhi kebutuhan sendiri) menjadi berorientasi pasar, yang secara ekonomi lebih menguntungkan. Tanah Papua baik untuk ditanami kakao, ketimbang padi yang pernah dicanangkan oleh kera-kera di Jawa sebagai pengganti sagu dan umbi-umbian, karena padi terbukti baik bagi orang Jawa. (Saya jadi teringat pada relasi saya yang baru-baru ini meninggal akibat perut Jawanya tidak sanggup mencerna makanan yang disajikan di tempat penugasannya di kawasan Indonesia Timur.)

Namun, sayangnya, Pak Bupati kurang menyelami tradisi masyarakat – padahal ia sendiri asli Papua. Kakao adalah jenis tanaman yang agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik harus di-tongkrongi (dirawat dengan cermat) secara terus-menerus oleh petani. Tetapi dasarnya orang Papua menganut gaya hidup semi-nomadik, perkebunan kakao mereka kerap ditinggalkan tak terawat dan tidak dipanen hingga buahnya membusuk, karena petaninya pergi mengunjungi kerabatnya di kampung lain selama berbulan-bulan. Jadi, maksud sang bupati supaya masyarakat mandiri dalam mengupayakan kesejahteraan diri mereka gagal di beberapa tempat.

Kenyataan ini diperparah oleh kera-kera Barat yang datang dengan wajah lembaga swadaya masyarakat pemberi dana bantuan, karena dianggap mereka orang Papua miskin akibat kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak adil dan menindas. Dana-dana itu tidak disertai program pengentasan kemiskinan yang jelas dan terarah, mengakibatkan masyarakat Papua semakin terbuai kemalasan. Padahal orang Papua terlahir sebagai pekerja keras. Betapa tidak, bila perlu uang tinggal mengemis dana bantuan internasional.

Dibantu salah, tidak dibantu juga salah. Makanya, direnungkan dahulu bantuan seperti apa yang akan diberikan. Jangan sampai maksud baik berakibat tidak baik.©